Episode 19 Berbaikan
Tiga puluh menit berlalu. Neiva menatap penunjuk waktu di layar ponselnya dengan khawatir. Ya Tuhan, mengapa lelaki itu tak jua memberi kabar? Apa ia perlu melakukan sesuatu yang gila di sini untuk mengalihkan perhatian seisi rumah? Tangan gadis itu meremas ujung kemejanya, kepanikan mulai merambati darahnya, menyebabkan hawa dingin menyergap punggung. Gadis itu berjongkok seraya menaruh kepala di atas lutut, tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak mau pulang dan lepas tangan jika lelaki itu tertangkap.
Sepuluh menit berlalu, tak tampak tanda-tanda Badai berhasil keluar. Neiva menggigit bibir, sementara pikirannya mulai mencari cara untuk menyusul lelaki itu di dalam sana. Namun, ia tidak tahu ia harus ke mana. Jemarinya menggaruk pelipis dengan gelisah, setiap detik yang dihabiskannya di sini semakin menambah tensi ketegangan yang ada.
Dua puluh menit berlalu. Keringat mulai menetes di punggung dan dadanya, juga ada beberapa tetes yang menghiasi dahi Neiva. Apakah Badai ditangkap dan dihabisi di sana? Jangan-jangan, Andreas tahu bahwa Badai akan masuk ke rumah dan lelaki itu sudah siap dengan orang yang akan menghabisi koleganya itu? Jantung Neiva mencelus.
Mata Neiva melirik ke layar ponsel dan menyadari sudah satu jam penuh sejak lelaki itu masuk ke rumah Andreas. Lututnya terasa goyah, hingga ia akhirnya jatuh terduduk di lantai beton yang dingin dan keras itu. Kedua tangannya menutup muka, sementara air matanya terus mengalir.
"Ini semua salah gue. Seharusnya gue aja yang masuk ke sana," isaknya lirih. Ia tak sanggup membayangkan jika Badai sampai harus disiksa di dalam sana.
Sebuah tepukan lembut di bahunya, menyebabkan gadis itu terlonjak. Ketika ia membuka mata dan menatap sosok yang kini berdiri di hadapannya, dengan seringaiannya, gadis itu ternganga.
"Udah gue bilang, lo pulang aja. Rumahnya Andreas luas banget, anjir. Rasanya kayak lari maraton gue."
Neiva bangkit berdiri dan merengkuh lelaki itu dalam pelukan. Ia menumpahkan air matanya, merasa lega karena tidak terjadi apa-apa pada Badai. Sementara lelaki itu merasa syok sekaligus senang, karena sudah lama ia tidak merasakan hangatnya dekapan gadis itu. Namun, ia sadar mereka harus segera pergi. Dengan enggan, Badai menjauhkan tubuh Neiva, mengajaknya menuju mobil yang terparkir sedikit jauh dari rumah Andreas agar tidak tertangkap CCTV. Wajah Neiva dipenuhi kebingungan, tetapi setelah menyadari bahwa mereka masih di rumah Andreas, ia pun mengikuti langkah Badai tanpa penolakan.
"Yang tadi itu ... gue cuma khawatir lho," sangkal Neiva, tak mau membuat lelaki itu berpikir macam-macam.
"Iya tahu."
"Bukan berarti gue masih ada rasa sama lo!" Neiva melontarkan pembelaan lagi.
"Iya, Bawel. Kita mesti cepet pergi dari sini, sebelum ketahuan," sahut Badai, tak mau memperdebatkan sesuatu yang bisa mereka lakukan nanti.
Neiva merasakan pipinya memanas. "Oke."
"Lo masih bisa nyetir, kan?" tanya Badai menyerahkan kunci mobilnya ke tangan Neiva. "Gue capek lari. Bisa nggak gue tidur bentar terus lo nyetir sampe rumah lo? Nanti dari rumah lo, gue udah seger lagi kok."
"Gue masih belum punya sim A." Neiva memalingkan wajah dan menggigit bibir. Badai pernah mengajarinya menyetir mobil pada saat mereka bersama, dan berjanji akan mengajak Neiva membuat sim A suatu saat nanti.
"Kok bisa?" Mata Badai membelalak.
"Ya buat apa? Gue nggak punya mobil sampai sekarang. Kalo sekedar nyetir doang ... gue masih inget caranya, kok." Badai bahkan tak bisa berkata apa-apa, tetapi gadis itu sudah masuk ke kursi pengemudi dan menyalakan mesinnya. "See, gue masih bisa bawa lo ke rumah lo tanpa terbunuh."
Wajah Badai tampak ngeri dengan kalimat yang dilontarkan gadis itu barusan. "Lo nggak ada niatan melakukan pembunuhan pas gue tidur, kan?"
"Sekarang? Enggak, kok. Yuk, gas. Kita langsung ke rumah lo aja, gue bisa naik taksi dari sana." Neiva memajukan kursinya sedikit agar kakinya bisa meraih rem dan gas.
Badai memasuki mobilnya sendiri dengan segan, tetapi ia terlalu lelah untuk mendebat gadis itu. "Nih, bawa besok ke Tino, anak IT di kantor. Dia bakal memilah semua data yang penting untuk bisa kita bawa ke pengadilan. Besok kita bakal lembur, yeah!"
Gelak tawa meluncur dari bibir Neiva, hingga Badai terkejut karena tak menyangka bahwa ia akan mendengar gadis itu tertawa lagi.
"Udah, tidur aja sana, gue nggak akan bikin mobil lo lecet." Neiva menyunggingkan senyum manis, lalu kembali memfokuskan diri ke jalan.
"Iya, gue percaya kok. Gue selalu percaya sama lo," tutur Badai dengan mata setengah terpejam. Ia sudah dikuasai rasa mengantuk.
***
Neiva menyerahkan data itu kepada Renata, yang datang keesokan harinya. Benda pipih dengan lempeng aluminium itu terasa berat saat digenggam olehnya kemarin, tetapi sekarang Neiva merasa lega. "Lo kasih ke Pak Bagas, bilang aja lo berhasil pulang dan dapetin data ini."
Sang artis mengangguk menyetujui. Saat Renata memberikannya ke Bagas, lelaki itu menyipitkan mata, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Bagas segera memerintahkan Tino dan segenap timnya untuk menyortir data yang mereka perlukan untuk bisa didaftarkan menjadi barang bukti susulan di pengadilan.
Namun, ketika sore itu saat mereka mengakhiri rapat mereka mengenai sidang yang akan berlangsung minggu depan, Bagas menyindir agar tidak boleh ada lagi yang melanggar hukum demi mendapatkan barang bukti atau lelaki itu akan mengakhiri karir mereka sebagai advokat selamanya.
Berbeda dengan biasanya, di mana Neiva dan Badai akan saling melemparkan makian, tetapi kini mereka bertukar pandang dan menahan diri untuk menyembunyikan senyum. Mereka lega karena berhasil mengurusi kasus klien dengan baik.
Semuanya berlangsung lancar, seolah Tuhan memang memberikan restuNya untuk mereka memenangkan kasus Renata. Neiva menatap langit sore itu, cerah dengan gumpalan awan yang berarak mengikuti angin, merasa tenang. Setelah ini, ia akan kembali menjalani hari-harinya sebagai pegawai negeri dengan gaji cekak, kehidupan yang normal dengan tekanan atasan.
Hati Neiva sedikit gundah, merasa berat hati karena ia akan meninggalkan kantor ini, kolega-kolega terbaik seperti Bagas, Dipta dan Badai. Tak dapat dipungkiri, pengondisian di kantor Tanudja memang membuatnya tidak bisa berleha-leha atau mengerjakan kasus dengan penuh tekanan mustahil seperti saat ia menjadi bawahan Angga. Meskipun diwarnai ketegangan, tetapi justru inilah yang Neiva inginkan. Semuanya ia kerahkan untuk mengerjakan kasus, berdiskusi dengan orang-orang yang mahir lebih membuka cakrawala wawasannya untuk memandang sebuah kasus dengan berbagai sudut pandang. Selama ini, Neiva menyadari bahwa ia terlalu naif ketika membela seseorang, tanpa menggali lebih dalam dengan jutaan perspektif.
Lantas, apakah lebih baik jika ia memutuskan untuk pindah kemari? Ingatan masa lalu menyengatnya seperti besi panas. "Enggak, gue cuma bermasalah dengan mama Badai, bukan dengan kantor ini."
Terdengar ketukan di pintu. Neiva menoleh dan berseru menyuruh siapapun yang ada di luar untuk masuk. Badai berdiri di depan pintu menenteng kantong dengan logo kedai kopi yang biasa dibeli oleh gadis itu. Mata Neiva berpendar sebelum ia menundukkan kepala, sadar bahwa ia tengah berhadapan dengan siapa. Ia tidak boleh menumbuhkan rasa di hatinya lagi. "Hanya bersikap biasa, Nei. Jangan kebablasan," bisiknya dalam hati.
"Nih, gue beliin, sekalian ke luar. Kita bakalan lembur sampai pagi kayaknya."
Tangan Neiva menggaruk kepala dengan salah tingkah. "Makasih, Badai. Lo nggak usah repot."
Anehnya, wajah lelaki itu terkejut, seolah tak menduga bahwa Neiva akan mengucapkan kata-kata itu dengan manis. "Ini beneran lo, kan? Lo nggak kesurupan? Tumben lo manis banget hari ini."
Gantian Neiva yang melotot. "Maksud lo apa? Gue selama ini kemasukan setan?"
Badai tergelak, sembari menaruh kantong tersebut di meja gadis tersebut. "Nah, gitu dong, sewot. Kayak Neiva yang gue kenal."
"Gue nggak sejahat itu kali." Neiva kembali menyunggingkan senyum, karena tak mau merusak suasana. "Beneran makasih. Lo nggak akan nagih gue kan abis ini? Ini beneran lo traktir, kan?"
"Astaga, cowok macam apa gue sampai nagih ginian? Gue masih mampu kali! Beliin mobil lo aja gue bisa!" Badai menyombongkan diri. Namun, setelah itu ia sadar bahwa kalimatnya bisa ditanggapi lain oleh gadis di hadapannya ini. "Sori maksud gue ...."
"Iya, lo kaya raya tujuh turunan, gue masih kuli pemerintah." Neiva mengatakan itu dengan ketus, tetapi setelah itu ia terkekeh.
Lelaki itu benar-benar terkejut dengan perubahan Neiva. Seakan ada orang lain yang mengambil jiwa gadis itu dan menggantikannya dengan yang lain. "Nei, ini beneran lo? Gue ... masih nggak ngira."
"Nggak ngira kalo gue bisa bersikap baik sama lo? Ya bisa lah. Nggak selamanya mantan harus berakhir menjadi musuh, kan? Kita bisa menjadi teman, terlepas dari apapun yang telah terjadi di masa lalu." Neiva bertekad untuk tidak lagi kasar kepada lelaki itu, karena rasa bersalah yang menyerangnya apalagi setelah kemarin lelaki itu sudah melakukan sesuatu yang berbahaya demi dirinya. Lagipula, seharusnya Neiva lah yang meminta maaf, bukan Badai. Karena gadis itu terlalu pengecut untuk mengatakan yang sebenarnya.
Seringaian lebar menghiasi wajah lelaki itu. "Lo nggak nyesel, kan? Lo nggak akan berubah jadi mak lampir yang bakal makan gue besok pagi, kan?"
"Sialan, lo kira gue apaan sampe berubah jadi mak lampir." Neiva memutar bola mata. "Udah ah, balik kerja lagi sana. Gue masih banyak kerjaan."
Mata Badai bersinar, seperti anak kecil yang girang setelah mendapatkan permen. Jantungnya berdebar kencang, hatinya seolah kembali bernyawa setelah sekian lama. "Neivaku telah kembali," bisiknya dalam hati. Tidak masalah hanya menjadi teman, bukan berarti tidak ada kesempatan menjadi lebih dari itu. Lelaki itu bersiul-siul saat melangkah menuju ruangannya, tak pernah merasa senang lebih dari sekarang.
Namun setelah beberapa saat, ia teringat bahwa ia meninggalkan beberapa berkas di mobilnya. Badai mendesah, lalu memutar tumit dan kembali ke basement, tempat kendaraannya berada. Senyum masih menghiasi wajah, sampai ia merasa aneh karena kembali merasakan hati berbunga seperti hari ini. Tangannya menyentuh dada, seakan-akan menenangkan detak jantungnya yang berdebar lebih kencang.
"Sabar, Badai. Dia cuma senyum, bukannya ngasih lo kesempatan kedua." Namun, tetap saja, sepertinya hatinya keras kepala.
Sebuah tangan menyergap mulut Badai, yang diikuti dengan benturan di kepala. Lelaki itu bahkan tak sempat berteriak atau menyadari apa yang terjadi, tetapi ia seolah ditarik menuju kegelapan dalam hitungan detik.
*episode19*
Nah, apa yang akan terjadi? Tunggu part berikutnya ya.
Betewe, aku kayaknya mau bikin dua versi ending. Ending yang buat di Wattpad sama grup fesbuk, yang yah entah mau sad atau hepi ending. Sama ending yang sebenarnya, tapi aku simpen dulu buat versi buku. Soalnya, cerita ini kemungkinan akan dibukukan, jadi aku mau bikin dua versi itu. Cuma masih belum tahu sih, bakal jadi dibukukan atau nggak, soalnya targetnya akhir bulan ini harus udah tamat nih cerita he he he.
Kalau jadi dibukukan, siap-siap aja ya, kemungkinan ending versi grup fesbuk ini lebih cepet dan belum tentu hepi ending. Tapi nggak tahu lagi kalo aku berubah pikiran ha ha ha.
Ya udah segitu aja obrolan nggak penting dariku. Mau lanjut ngetik lagi, jadi jangan ditagih dulu ya. Pasti dobel update kok hari ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top