Episode 18 Menyelam Ke Dalam Bahaya
Jika ini memang akan menjadi hari terakhirnya, maka biarlah ia merengkuh seseorang yang ia rindukan selama tiga tahun ini.
Mata Neiva terpejam lalu meraih tangan lelaki di depannya. Darah mengalir membasahi wajah sementara kepalanya terasa nyeri, tetapi ia menggenggam tangan itu seolah tak ingin melepasnya lagi.
"Aku harap kita akan menjadi kapal yang berlayar selamanya. Tetapi ternyata aku adalah jangkar yang menghalangimu membelah samudera. Seandainya, kehidupan kedua itu memang ada, aku akan selalu menggenggam tangan ini, sampai aku direngkuh oleh maut."
Tubuh Neiva tergelincir dan tumbang, linangan darah menghiasi lantai tempat ia terkapar. Sementara sayup ia mendengar lelaki itu menyerukan namanya, "Neiva!"
Gadis itu terbangun dengan badan dibanjiri peluh. Benaknya mengulang lagi adegan yang ia lihat baru saja, ketika ia berada dalam alam ketidaksadaran. Tangannya mengusap dahi. Ia mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal, sebelum meraih gelas berisi air yang selalu ada di atas nakas di sebelah ranjang. Setelah pikirannya mulai jernih, ia mulai bertanya-tanya.
Apakah itu pertanda mengenai akhir hidupnya? Atau itu hanya simbol ketakutan karena apa yang terjadi akhir-akhir ini?
Neiva menggeleng sebelum membaringkan tubuh ke atas ranjang. Ia masih harus bekerja esok hari, tak ada gunanya memikirkan sesuatu yang absurd seperti mimpi buruk.
***
"Badai nggak bales ciuman gue waktu itu. Dia nggak bisa ngelupain lo." Renata menyentuh lengan Neiva dan menatapnya dengan tulus. "Gue minta maaf, gue lagi lemah dan pengen ngelakuin sesuatu yang bisa bikin gue lupa sama masalah gue waktu itu."
Neiva mengerjap dan memasang raut wajah bingung. "Kenapa lo ngomong itu sama gue?"
"Gue tahu lo masuk sama Dipta waktu itu. Terus kalian pergi. Sekali lagi gue minta maaf. Gue nggak mau jadi orang ketiga atau melibatkan orang ketiga dalam kisruh rumah tangga gue," tutur Renata.
"Jujur aja, gue nggak masalah, Re. Badai bukan siapa-siapa dalam hidup gue lagi." Neiva menepuk bahu perempuan itu. "Apapun yang lo lakuin waktu itu, nggak ada hak gue buat ikut campur."
"Ada, Va. Ada. Karena apapun yang Badai lakukan, semuanya pasti bermuara ke lo." Renata menarik napas panjang. "Lo pikir kenapa dia mau melibatkan diri dalam kasus gue, padahal dia tinggal cabut aja kalo emang nggak suka kerjasama bareng lo. Simpel. Dia pengen ngelindungin lo, entah gimana pun caranya."
Hati Neiva mencelus. Benarkah lelaki itu masih peduli padanya? Setelah ia mematahkan hatinya dan meninggalkan lelaki itu sendirian, lalu berpura-pura menuduh lelaki itu yang menyakitinya? Neiva bukan tidak tahu, bahwa dirinya yang harus disalahkan karena pergi begitu saja. Namun, setelah ia menuduh dan menempatkan Badai dalam posisi tersangka, lelaki itu masih ingin melindunginya? Gelenyar rasa bersalah menghinggapi hati Neiva.
"Makasih ya, Re." Mendadak saja Neiva berkata.
Renata menatap gadis itu dengan heran. "Kok makasih? Makasih buat apa?"
"Buat semuanya." Tangan Neiva meraih tangan sang artis dan menggenggamnya erat. "Yuk kita cari cara buat menjarain laki lo."
Sontak saja Renata terkekeh, "Ini kalo kondisi normal, gue mesti marah sama kata-kata lo, nggak sih?"
"Iya sih. Tapi cerai aja nggak cukup, Re. Andreas mesti dihukum karena perbuatannya, juga karena telah mencemarkan nama baik lo di masyarakat." Neiva tersenyum, berusaha untuk menguatkan artis yang wajahnya kini tampak kuyu tersebut. "Lo juga nggak mau, kedua anak lo dirawat oleh ayah yang telah nyakitin ibu mereka, kan? Mereka juga masih butuh lo, Re."
"Makasih ya, Va." Mata Renata mengembun. Ia memeluk pengacaranya erat, terharu karena dirinya masih memiliki orang-orang yang mendukungnya di saat terpuruk.
"Yuk, keluar. Kita udah kelamaan di toilet, para cowok itu pasti bingung kita ngapain."
Neiva menggandeng tangan perempuan itu lalu bergegas menuju ruangan meeting di kantor Tanudja. Pagi itu, Renata datang dengan mobil Bagas yang masih di apartemennya kemarin, agar tidak dikenali wartawan. Benar saja, ia bebas melenggang masuk dan menarik Neiva ke kamar mandi.
Segenap tim kuasa hukum Renata sudah berkumpul. Dipta memaparkan betapa kurangnya bukti yang mereka punya, sehingga mereka harus cepat mendapatkan sesuatu sebelum sidang berikutnya dimulai.
"Kita harus ambil data yang Renata punya di komputernya." Badai mengajukan ide yang segera saja membuat Neiva mendelik. "Itu yang paling mudah daripada harus menghimpun semuanya dari awal. Lagipula, kita belum sempat mewawancarai saksi. Kita punya alibi seandainya ketahuan."
Dipta menggumam menyetujui. "Tapi kita bisa kena pasal menerobos rumah orang, Badai."
"Gue yang akan ambil. Gue yang tahu lokasinya dan kayaknya Andreas belum ngajuin larangan buat gue masuk ke rumah kan?" sahut Renata dengan antusias. "Nggak akan ada yang mencurigai gue."
"Itu bahaya buat lo, Re. Gimana kalo suami lo di sana dan nyiksa lo lagi?" cetus Dipta dengan dahi berkerut.
"Gue bisa temenin dia." Neiva mengajukan diri.
"Lo cari mati?" bentak Badai yang segera melotot ke arah gadis itu. Bahkan, Bagas yang biasanya tidak terpengaruh suasana, ikut terdiam dan menjadikan ruangan itu hening. Neiva mengatupkan bibir, ingin membantah tetapi ia memahami situasinya.
Badai menyadari bahwa ia dikuasai emosi, segera menoleh ke Bagas dan mengangguk segan. "Maaf Pak, saya nggak akan ngulangi lagi. Maksud saya, dua perempuan ini jelas tidak akan bisa melindungi diri jika berada di sana. Biar saya saja yang ke sana. Renata tinggal memberitahukan tempatnya. Jika saya tertangkap, saya bersedia dikeluarkan dari firma ini."
"Tidak perlu." Bagas segera memberi titah. "Membahayakan nyawa orang lain dan diri sendiri jelas bukan yang saya inginkan dalam hal ini. Kalian fokus pada pencarian bukti baru. Lupakan masalah ini. Renata, mulai sekarang akan ada yang mengawasi kamu agar aman. Setelah ini, saya nggak mau kalian membahas tentang data itu lagi. Titik."
Keempat orang lain dalam ruangan itu saling berpandangan. Mereka tahu Bagaskara Tanudja tidak bisa dibantah. Pada akhirnya, mereka kembali mengakhiri pertemuan itu tanpa hasil apa-apa.
***
"Ngapain lo di sini?" Serempak, Neiva dan Badai bertanya dengan melotot ke satu sama lain.
"Lo harusnya dengerin kata pak Bagas, Nei!" Wajah lelaki di hadapan Neiva memerah seolah terbakar.
"Lo juga ngapain ada di sini?"
"Denger ya, satu-satunya orang yang bisa dikeluarkan dengan mudah dan nggak punya risiko sama sekali itu gue. Jadi biarlah gue berkorban demi tim. Sekarang lo pulang dan tunggu kabar aja dari gue," usir Badai.
Mereka berdua mengentakkan kaki, lalu segera bersembunyi ketika terdengar suara gemerisik. Neiva memutuskan untuk mengendap-endap ke rumah Andreas sepulang kerja, mengenakan masker dan topi untuk menyamarkan wajah. Tak disangka, ia bertemu Badai yang juga menggunakan masker untuk menyamar.
"Gue jauh lebih nggak ada gunanya di tim. Keluar dari kasus Renata, paling gue dimutasi ke Papua. Mending lo yang pulang." Neiva mengajukan alasannya.
"Lo tahu nggak sih seserem apa suaminya Renata? Lo bisa mati di tangan dia! Jangankan mutasi, lo bisa keluar hidup-hidup dari sini aja udah syukur!" Lelaki itu bahkan mengepalkan tangan. "Gue udah dikasih tahu lokasinya sama Rena. Nah, lo punya bekal apa kemari? Rumah mereka ini nggak sekecil rumah kontrak lo di Utan Kayu!"
Gadis berambut panjang itu terdiam. Sejauh ini, ucapan Badai lebih masuk akal ketimbang alasan yang ia kemukakan. Namun, melihat Badai berdiri saat ini, membahayakan karirnya sendiri setelah sesuatu yang sudah ia raih selama ini membuat Neiva dihantam rasa bersalah.
"Oke, lo yang masuk."
Mata Badai membulat. Ia tak menyangka bahwa semudah itu mendapatkan persetujuan Neiva. "Apa? Ma-maksud gue, emang itu rencana yang terbaik. Lo mestinya sadar dari awal." Lelaki itu membusungkan dada, tetapi di dalam hati ia salah tingkah.
"Tapi gue ... bakal tunggu di sini." Neiva melepaskan masker dan topinya, lalu mengurai rambutnya. Ia lebih memilih mengalah demi kesuksesan timnya. "Kalo lo dalam bahaya, lo bisa missed call gue, jadi gue bisa cari bantuan atau pengalih perhatian."
Badai masih ingin menyuruh gadis itu pulang demi memastikannya tidak dalam bahaya. Namun, ia tahu bahwa Neiva sungguh keras kepala. Sekali ia memutuskan sesuatu, mustahil bisa digoyahkan. Lelaki itu kemudian mengangguk. "Tiga puluh menit. Lebih dari itu kalo gue nggak missed call, lo pulang dan jangan peduliin nasib gue lagi. Menerobos rumah orang lain jelas nggak bisa dianggap enteng, jadi biar gue yang nanggung hukumannya kalo ketangkep polisi."
Mendadak mata Neiva terasa hangat, tetapi gadis itu memalingkan wajah. "Oke." Ia menarik napas panjang sebelum mengalihkan tatapannya ke arah lelaki itu.
Ada jeda ketika mata mereka saling bertaut. Badai ingin melanggar dinding batas tak kasat mata di depan mereka untuk memeluk gadis itu. Namun ia sadar itu adalah hal yang mustahil. Sementara Neiva mengepalkan tangan, berusaha untuk tidak melakukan hal yang sama yang diinginkan Badai. Kebisuan itu berakhir ketika lelaki itu memutuskan kontak mata dan beranjak menuju pagar samping yang tak banyak diketahui orang.
Lelaki tersebut segera mengeluarkan kunci cadangan yang diberikan oleh Renata dan masuk ke dalam rumah seluas seribu meter persegi itu. Bukan perkara yang mudah, tetapi Badai bertekad untuk mendapatkan sesuatu yang bisa melemahkan Andreas di pengadilan. Dalam hati ia berharap, bahwa ia tak perlu membuat gadis yang menunggu di luar cemas memikirkannya. Ia tidak mau membuat Neiva kembali menitikkan air mata karena dirinya.
*episode18*
Maafin ya kalo update hari ini rada lelet. Mana belum bisa dobel update lagi.
Doain aja ya, agar sampai tanggal 30 November nanti cerita ini bisa tamat 🙈🙈
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top