Episode 12 Badai Hati Neiva
Suasana sidang pertama kali ini terasa jauh lebih menegangkan. Renata sudah memastikan tidak datang, hanya diwakili oleh Bagas. Pengacara kondang itu mengenakan setelan jas terbaik, saat tiba di pengadilan agama. Neiva ikut menghadiri sidang, tetapi ia tidak ikut duduk di bangku pengacara. Bagas menugaskan dirinya untuk mencatat apapun poin penting selama sidang.
Badai tidak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Padahal seusai sidang, ia dan Neiva ada janji untuk mewawancarai para ART di rumah Renata dan Andreas.
Dipta duduk di sebelah Neiva, bergabung di pertengahan sidang. Andreas datang bersama tim kuasa hukumnya, tampil percaya diri dengan setelan mahal. Sepertinya empat tahun yang lalu, ketika Renata terkena kasus narkoba, lelaki itu selalu menemani istrinya.
Ingatan Neiva segera berputar ke momen empat tahun yang lalu, saat hakim memutuskan Renata tidak terbukti memiliki barang haram yang ditemukan di mobilnya saat sedang ada razia. Andreas dalam benak Neiva selalu menjadi lelaki yang lembut dan pengertian. Ia selalu memegang tangan sang istri dan tidak pernah membiarkan perempuan itu sendirian.
"Terima kasih sudah membela istri saya dengan sepenuh hati," ujar lelaki itu dengan suara yang seakan hendak menangis. Neiva bisa melihat kantung mata yang tebal dan menghitam, juga bibir yang pucat di wajah Andreas. Seolah dirinya yang sedang dijerat kasus narkoba bukan istrinya.
"Sudah tugas kami, Pak." Jawaban Neiva memang singkat, karena entah mengapa ia merasakan tidak nyaman berdekatan dengan lelaki itu. Sebuah perasaan yang tidak terjelaskan. Renata yang berdiri di sisi Andreas, menunduk dan terlihat canggung. Ketika Andreas meremas pundaknya, Renata berjengit bukannya merasa lega karena vonis hakim sudah membebaskannya.
Saat itu, Neiva tidak menyadarinya sama sekali. Namun sekarang, gadis itu mulai curiga. Apakah KDRT yang sempat disinggung oleh Renata bermula sejak kasus itu? Atau sebelumnya lagi? Lantas mengapa bukan alasan itu yang dijadikan Renata sebagai penyebab perceraiannya? Bagas pun tak pernah membahas tentang KDRT. Pengacara itu yakin dengan perselingkuhan Andreas.
Sepanjang sidang, Neiva gelisah. Tanpa sengaja Andreas menoleh ke arahnya dan menyunggingkan senyum sinis. Hati Neiva mencelus. Apa lelaki itu ingat dirinya? Namun perasaan apa ini, yang dirasakan Neiva sekarang? Bulu kuduknya meremang.
Hakim memeriksa semua berkas dan menyatakan bahwa agenda berikutnya adalah mediasi. Kemudian sidang berakhir. Dipta segera mengajak Neiva menghampiri papanya. Tidak disangka, Andreas menghampiri gadis itu.
"Lama tidak bertemu, ya."
Neiva memaksakan senyum sopan. "Selamat sore, Pak Andreas. Apa kabar?"
Suami Renata itu mengulurkan tangan. Mau tak mau, Neiva membalasnya meskipun merasa risi. Tatapan lelaki itu sungguh ... mengerikan. Seolah Neiva adalah mangsa atau buruan sementara Andreas adalah pemburu. Cengkeraman tangan lelaki itu kuat sekali sampai dahi gadis itu mengernyit.
"Kamu teman baru Rere, kan? Saya tak sabar menantikan kunjungan kamu ke rumah. Saya ingin tahu seperti apa kawan baru Rere yang berhasil mencuci otaknya."
Mata Neiva membulat. Otaknya segera memroses kata-kata lelaki itu, dan ia tak bisa lebih mengenyahkan jutaan pikiran buruk yang memenuhi kepala.
"Saya tidak ..." Neiva bahkan tak bisa memikirkan kalimat balasan yang telak. "... maksudnya?"
Genggaman tangan Andreas terlepas. "Selamat sore, Pak Bagas. Sampai jumpa di sidang mediasi."
Gadis itu benar-benar memiliki firasat buruk. "Maksudnya dia kira gue ngehasut Renata untuk minta cerai? Ajegile," gumamnya.
Dipta menawari Neiva tumpangan dan gadis itu menyambutnya dengan senang hati. Peduli amat kalau Badai menganggapnya kecentilan, lagipula lelaki itu bukan orang penting dalam hidupnya. Neiva mengembuskan napas berat, seluruh tubuhnya luluh lantak. Padahal ia hanya seharian duduk saja, tetapi rasanya seperti habis lari maraton. Tangan gadis itu memijat leher dan tengkuk sembari sesekali mengeluh. Ia menghubungi Badai dan menyuruhnya untuk segera menemuinya di rumah Andreas.
Namun, lelaki itu sepertinya mematikan ponsel. Neiva mendesah. Membayangkan dirinya ke rumah dengan Andreas yang membuatnya bergidik sungguh menciutkan nyali.
"Kenapa, Va?" tanya Dipta dengan dahi mengernyit.
"Ah, ini, Pak Badai hapenya mati kayaknya. Padahal katanya mau ketemu setelah sidang buat wawancara."
Paras Dipta yang lebih mirip Bagas di masa muda itu benar-benar enak dipandang, setidaknya menurut Neiva. Tegas dan kharismatik. Namun, gadis itu sadar diri untuk tidak mendekati Dipta. Perlakuan Bagas yang seperti ayahnya sendiri membuatnya tak enak hati jika sampai berharap lebih. Gadis itu mengeluh dalam hati. Nasib jadi orang kere.
"Lo sama Badai udah baikan, kan?"
Segera saja mata Neiva mendelik. "Apaan? Balikan? Nggak, nggak akan dalam seribu tahun yang akan datang!"
Dipta terkekeh. "Baikan, Va. Bukan balikan. Soalnya tiap ketemu kalian ribut terus. Papa kan udah ngajak kalian ngobrol berdua, kan?"
Tangan Neiva menggaruk rambut dengan salah tingkah. "Hehehe ... iya. Gue sebisa mungkin nggak akan emosi liat dia."
"Emang histori Badai seburuk itu ya? Sampai kalian nggak pernah akur kalo ketemu?" Dipta menatap Neiva dengan penasaran.
"Yah ... sebenarnya emang kami berdua itu nggak berjodoh lah kayaknya," elak Neiva.
"Karena Badai pernah selingkuh?" tebak Dipta tepat sasaran. "Dia pernah sempet ngomong kalo dia difitnah selingkuh, terus bikin dia putus sama pacarnya."
Gadis itu menunduk. Ia merasa tidak ada gunanya juga menyembunyikan sesuatu yang sudah pasti diketahui oleh Bagas dan keluarganya. Terlebih, Neiva harus menjelaskan alasannya kepada bosnya saat itu saat ia mengundurkan diri secara mendadak.
"Sebenarnya, Badai yang salah paham tentang alasan hubungan kami harus berakhir. Tapi gue juga nggak ada keinginan untuk meluruskan kesalahpahaman itu. Toh kami memang tidak ditakdirkan bersama." Neiva memaksakan senyum di wajah.
"Jadi apakah lo udah move on dari dia, atau lo udah punya gebetan atau pacar sekarang?" tanya Dipta lugas.
Neiva mengerjapkan mata. "Hmm. Nggak lagi deket sama siapa-siapa sih. Dan nggak minat deket sama siapapun. Bukan karena gagal move on."
"Kalo lo nggak lagi deket sama siapapun, apa boleh gue deketin lo?"
****
Badai sama sekali tak dapat dihubungi. Hal ini membuat Neiva membatalkan kunjungannya ke rumah Andreas, meskipun Dipta menawari untuk menemaninya. Gadis itu lebih memilih pulang dan memikirkan perkataan putra Bagas tersebut. Ia tidak menolak ketika Dipta menawarinya mengantar sampai rumah, tetapi gadis itu meminta waktu untuk mempertimbangkan permintaan lelaki itu.
Mengapa Dipta tertarik padanya? Neiva termenung di depan meja rias dalam kamar. Sejujurnya, Neiva tidak punya sesuatu untuk ditawarkan. Latar belakang pendidikannya biasa saja, jelas kalah telak dengan lulusan luar negeri seperti Dipta. Pekerjaaannya juga tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan. Lalu keluarga ... gadis itu menarik napas panjang.
Terdengar ketukan dari pintu kamar. "Va, ada yang nyari kamu!" Suara Irish yang nyaring membuyarkan lamunan.
Neiva segera membuka pintu dan bertanya, "Siapa?"
Bibir teman serumahnya itu mengerucut, "Yang Mulia Badai yang Terhormat."
"Ngapain sih?" keluh Neiva kesal. "Suruh pulang aja sana!"
"Aku udah suruh dia pulang. Tapi dia bilang ini urusan kerjaan. Ampun, kok bisa sih dulu kamu cinta mati sama dia?"
Omongan Irish segera ditanggapi dengan pelototan maut Neiva. Gadis itu segera mengangkat tangan dan menyingkir ke kamarnya sendiri.
Neiva bersungut-sungut saat ia keluar rumah dan mendapati Badai sedang berdiri bersandar pada kap mobil. Saat melihat Neiva, lelaki itu segera menghampiri dengan langkah sempoyongan.
"Ngapain lo nongol jam segini? Gue nungguin lama di rumahnya Andreas tahu, nggak? Mana hape lo mati!" omel Neiva.
Lelaki itu tak menjawab malah menaruh kedua tangannya di bahu gadis itu. "Nei, please lo mundur aja, ya? Jangan ikut tim kuasa hukum Renata lagi."
Aroma yang keluar dari mulut lelaki itu menyebabkan dahi Neiva mengernyit. "Lo mabok? Apaan sih? Ngomong apa sih lo? Bukannya kita udah sepakat damai kemarin?"
"Gue nggak bisa ngomong ini kalo gue sadar. Makanya gue minum dikit. Tapi Nei, gue nyuruh lo mundur, bukan karena gue benci kerjasama bareng lo. Pekerjaan apapun gue nggak masalah, meskipun kita harus perang mulut tiap hari. Tapi jangan ... kasus Renata."
"Lo ngoceh apaan sih, gue nggak ngerti?"
"Kasus ini bakal bikin nyawa lo dalam bahaya, Nei! Sebenci apa lo ama gue, tetep gue nggak mau lo dalam bahaya." Badai menatap mata indah Neiva dengan berkaca-kaca.
"Ini kan kasus perceraian biasa, napa nyawa gue dalam bahaya?" Neiva melontarkan pertanyaan itu, meskipun dalam hati ia membenarkan ucapan Badai karena selaras dengan firasatnya.
Badai menarik napas panjang. "Jawabannya ada sama ibu. Lo mesti pulang dan tanya sama beliau."
"Ibu? Nyokap gue? Dari mana lo tahu nyokap gue?"
Lelaki itu tidak menjawab, melainkan melangkah ke mobil dan mengambil sebuah amplop cokelat dengan stempel "confidential" di atasnya. Mata Neiva membulat. Berarti pengirim amplop itu adalah Badai? Namun, untuk apa?
Badai menyerahkan amplop itu dan kemudian tumbang ke dalam pelukan Neiva. Terakhir kali kalimat yang keluar dari bibir lelaki itu adalah, "Gue nggak bisa ngeliat lo mati, Nei. Mending gue yang mati demi lo."
*episode12*
Maafin kalo updatenya rada telat, ya.
Jadi apakah isi amplopnya dan kenapa si Badai ngirim amplop itu ke Neiva?
Tunggu part berikutnya 😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top