Episode 11 Psikopat Tak Punya Hati
"Tapi, Re, sebelumnya kamu pernah membuat pernyataan bahwa Andreas yang berselingkuh dari kamu. Kamu juga sudah mengumpulkan bukti. Apa ini termasuk fakta atau kebohongan?" tanya Bagas dengan mimik serius.
Renata menoleh ke arah Neiva, bibirnya membuka kemudian mengatup, seakan ia hendak mengucapkan sesuatu pada gadis itu. Namun, artis kondang tersebut menghadap ke Bagas dan mengangguk. "Sayangnya, setelah Andreas tahu bahwa saya sudah mengajukan gugatan cerai, dia menghapus semua berkas CCTV. Saya sedang berusaha mengumpulkan lagi bukti yang tadinya saya punya. Namun itu butuh waktu. Saya hanya takut jika terlalu lama menunda untuk bukti tersebut, saya akan ..."
Cengkeraman tangan Renata ke Neiva semakin kencang. Gadis tersebut kembali dilanda kebingungan karena tak mengerti isyarat yang diberikan oleh Renata.
"Biar saya perjelas. Sebelumnya kamu sudah menyerahkan barang bukti pada kuasa hukum kamu yang sebelum kami?" simpul Badai, yang kini berwajah lebih tegang.
Anggukan kecil Renata menjadi jawaban. Semua advokat yang berada di ruangan mendesah.
"Namun, Pak Hotma malah melaporkan kepada pak Tegar, dan akibatnya ... saya jadi kehilangan semuanya."
"Apakah barang bukti itu masih ada di kantor Hotma atau sudah dimusnahkan?" Badai mengangkat alis.
"Badai, jangan coba-coba ...." tegur Neiva dengan mata melotot.
"Apa?" tantang Badai yang mengalihkan tatapannya ke gadis itu.
"Gue tahu lo pasti pengen pergi ke kantor Pak Hotma buat meriksa, kan? Lo gila!" sembur Neiva.
"Lo nggak ada hak buat ngelarang gue sekarang, Nei!"
Neiva menggebrak meja dengan tangan yang bebas dari genggaman Renata, "Kita ini masih kolega! Yang lo lakuin itu ngelanggar hukum dan ngerugiin tim kita!"
Mereka berdua saling bertatapan dengan sengit, seolah melupakan ada tiga orang lain lagi yang berada di sana.
Bagas yang mendengarkan perkataan Neiva segera menyergah, "Neiva benar, Badai. Kita ini orang hukum, jangan mengesankan kalau kita ini maling yang menghalalkan segala cara. Justru langkah itu akan jadi blunder buat kita."
Helaan napas berat terdengar dari Badai. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa jika atasannya melarang. Sejak dulu, Badai selalu menggunakan cara-cara yang ia sebut kreatif untuk mendapatkan barang bukti atau data yang ia perlukan untuk kemenangan kasusnya.
"Lagipula, sebenarnya saya sudah sempat menyalinnya di komputer saya di rumah yang saya tinggali bersama Andreas. Saya hanya perlu menunggu Andreas tidak di rumah untuk mengambilnya," ujar Renata.
"Apakah Andreas tahu pasword atau letak komputer tersebut?" Dipta menimpali.
Renata menggeleng. "Itu komputer pribadi dan hanya saya yang tahu kodenya. Lagipula, sejak setahun ini kami tidur terpisah di kamar yang berbeda, jadi ia takkan tahu tentang komputer itu. Saya sengaja membelinya untuk penyimpanan berkas-berkas penting."
Pernyataan terakhir Renata seperti embusan udara segar di ruangan yang pengap. Mereka kemudian segera merumuskan strategi untuk menghadapi sidang perdana yang akan dilaksanakan seminggu lagi. Renata berjanji bahwa ia akan mengirimkan barang bukti tersebut jika ia berhasil masuk rumahnya. Saat ini, sang artis memilih tinggal di sebuah apartemen demi keselamatan diri.
Selepas kepergian Renata, Bagas kemudian mengajak Badai dan Neiva untuk makan siang bersama. Ajakan itu sudah menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi Neiva, karena entah mengapa pengacara paruh baya itu mengarahkan mobilnya ke warung coto Makassar yang sering ia kunjungi bersama Badai saat mereka masih bersama.
Neiva dan Badai tidak mengucapkan satu patah kata pun sejak duduk bersebelahan. Saat pesanan mereka dihidangkan, Bagas dengan ramah memulai percakapan.
"Nah, mari kita makan. Tenangkan pikiran kalian berdua dulu, ya."
"Saya nggak suka coto." Neiva mendorong mangkoknya menjauh. Ia meraih gelas berisi teh panas dan menyesap cairan merah kecoklatan itu.
Mendengar perkataan Neiva, Badai berjengit. Namun, Bagas terkekeh dan menyorongkan mangkuk milik gadis itu lagi.
"Nggak suka sama orangnya, jangan marah sama makanannya. Mubazir lho. Lagipula, saya tahu kok, kamu sebenarnya bukan nggak suka." Senyum di wajah Bagas seakan mengejek Neiva.
Gadis itu menghela napas dan meraih makanannya. Bibirnya bersungut-sungut.
"Nah, seharusnya saya melakukan ini sedari awal sebelum kita memulai pekerjaan kita. Namun, sekarang pun belum terlambat. Saya tahu kalian berdua pernah menjadi kekasih, tapi hubungan itu berakhir dengan tidak baik. Namun, bisakah kalian kesampingkan kemarahan dan ego kalian, untuk bisa bekerja sama sampai kasus Renata selesai? Setelah itu, kalian bisa saling membunuh dengan bebas."
"Bukan saya yang nggak bisa pro. Dia ini yang selalu nggak bisa kooperatif!" sergah Neiva kesal.
"Apa lo bilang? Lo kan sebelumnya ngomong kalo lo nggak sudi ngeliat gue lagi, ngapain lo terima kerjaan ini dan akhirnya satu tim ama gue?" Badai melotot ke arah gadis berambut panjang itu.
"Gue kan udah bilang kalo gue kepaksa nerima kerjaan ini! Dan gue udah sebisa mungkin nggak ngungkit-ngungkit masa lalu, lo aja yang nyangkut pautin semuanya!" Neiva mulai melampiaskan kejengkelannya selama ini.
"Eh, dasar cewek psikopat! Gue kan cuma minta lo bersikap obyektif! Bukannya nyuruh lo lompat dari tebing!" balas Badai, tak kalah nyolot.
Bagas berdeham. "Cukup. Saya minta kalian untuk tidak ribut, kenapa malah jadi adu mulut di sini?"
Tangan Neiva segera merapikan rambut, lalu memalingkan wajah dari lelaki di sebelahnya. Badai pun menarik mangkuknya menjauh dan menghabiskan cotonya dalam waktu singkat.
"Saya tidak peduli dengan apa yang terjadi di masa lalu kalian. Yang saya minta agar perselisihan kalian pribadi tidak muncul saat kita bersama klien. Badai, kamu representasi dari Tanudja Law Firm, jangan permalukan saya dengan sikap kamu yang seenak udel." Lelaki paruh baya itu mengembuskan napas berat. "Dan Neiva, saya suka komitmen dan kegigihan kamu dalam bekerja, tapi tolong turunkan tensimu kepada Badai setiap kita bertemu dengan klien. Mengerti?"
Gadis itu menelan saliva lalu menatap Bagas dengan malu-malu. Ia menyesal karena mudah dikuasai emosi setiap saat bertemu dengan Badai. Namun, seperti namanya, lelaki itu mudah sekali menyulut pertengkaran di mana saja.
"Saya mengerti, Pak. Terima kasih sudah mengingatkan saya."
Badai mendengkus. "Gimana gue bisa pro kalo kolega gue adalah cewek psikopat nggak punya hati?"
Hati Neiva yang semula reda kini mendadak dongkol karena ucapan dari sang mantan.
"Badai!" tegur Bagas dengan nada dingin. "Jaga bicara kamu, atau saya harus keluarkan kamu dari tim RM?"
"Tidak, Pak. Saya akan jaga mulut saya." Lelaki itu menghabiskan tehnya dalam sekali teguk.
"Bagus, semoga setelah ini, saya nggak akan ngeliat drama rumah tangga lagi saat meeting. Fokuskan perhatian kalian pada kasus Renata. Jika saya tugaskan kalian berdua untuk pekerjaan yang sama, jadilah profesional. Jangan bawa perasaan kalian sampai tugas kalian selesai."
Bibir Badai hanya berdecak lirih, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Neiva mengangguk sambil lalu, sembari menyendok makanannya. Dalam hati ia berharap, bahwa ia takkan melakukan pekerjaan bersama lelaki itu setelah ini. Lebih baik ia bersama Dipta, yang tidak akan menimbulkan banyak konflik.
"Bagus. Sekarang, saya tugaskan kalian berdua untuk mewawancarai keluarga atau orang-orang terdekat dari RM dan AG. Kita butuh kesaksian mengenai rumah tangga mereka berdua. Jika ada yang kesaksiannya potensial, kita bisa ajukan untuk masuk daftar saksi."
Mata Neiva membulat. "Pak? Yang bener aja?"
"Sama cewek psikopat ini? Bapak gila ya?"
Bagas menepuk dahi. "Kalian tadi sudah janji lho sama saya. Masih mau lanjut apa nggak? Saya nggak akan segan-segan ngambil peringatan atau tindakan tegas kalau kalian masih saja ribut."
"Tapi kenapa, Pak? Saya sama Pak Dipta juga oke," cetus Neiva dengan spontan.
"Oh, lo mau gebet anaknya Pak Bagas? Emang dasar kecentilan lo," sindir Badai.
"Saya sedang menugaskan Dipta untuk misi khusus. Barang bukti yang dikatakan Renata itu, adalah hal yang sangat penting, dan Dipta bisa memulihkan data-data tersebut. Lagipula, kalian sudah pernah melakukannya saat kasus Renata terakhir kali." Bagas kemudian berpaling ke mangkuk cotonya. "Sekarang biarkan saya makan dengan tenang, atau saya terpaksa memberikan kalian berdua pisau untuk saling menikam di luar warung."
Rasanya ide untuk bekerja sama dengan Badai memang sebuah hal yang tidak akan berakhir baik. Lihatlah mereka sekarang, terjebak dengan tugas yang mengharuskan mereka terlibat selama beberapa jam sehari. Bertemu pada saat meeting sudah mengesalkan, apalagi sekarang jika waktu mereka untuk bekerja berdua lebih banyak. Namun, Bagas memang masuk akal. Hanya saja waktu itu, hubungan Badai dan Neiva sedang baik. Itulah yang dilupakan Bagas.
Neiva melirik Badai yang berkutat dengan ponselnya. Gadis itu mulai berpikir apakah nanti saat kesabarannya sudah habis tersulut ia akan menjadi pelaku pembunuhan berencana kepada mantan kekasihnya? Karena sekarang saja, ia sudah memikirkan cara-cara menghabisi nyawa lelaki itu berdasarkan apa yang ia pelajari di perkuliahan saat membedah kasus-kasus pembunuhan.
*episode11*
Nah, kalo kayak gini omongan Badai bener dong ya, Neiva psikopat 😁😁😁
Akan jadi apa hubungan mereka setelah ini? Tunggu episode berikutnya ya.
Makasih buat yang setia nunggu dan ngasih komentar. Hepi banget aku tuh kalau baca komen-komen. Kalo sempet pasti kubales kok. Jadi jangan bosen ninggalin komen buat ku atau tentang ceritanya ya. Kalo perlu kita bisa diskusi mengenai kasusnya.
Oke, have a nice story
Love,
DhiAZ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top