Episode 1 Getir

Sejak vonis hakim dijatuhkan, badan Neiva seakan mati rasa. Tangan dan kakinya kaku tak bisa digerakkan. Hingga ruangan sidang kosong, gadis itu masih ada di sana, mengenggam ujung bajunya, berusaha menahan diri agar tidak menangis. Dia kalah. Sekali lagi. 

Ketika kakinya mengayun gontai ke luar ruangan dan menyusuri lorong, ia disambut oleh kliennya yang tersenyum kepadanya dengan mata sayu. 

"Ndak papa, Mbak. Saya sudah tahu saya pasti salah." Perempuan berparas ayu itu menggenggam tangannya. "Terima kasih sudah membela saya." 

Neiva menggigit bibir, sementara tangannya mengacak rambutnya dengan canggung. "Apa Mbak Widya bersedia mengajukan ... banding?" 

Widya menggeleng. "Ndak usah, Mbak. Rasanya percuma. Saya hanya merepotkan Mbak Niva saja." 

Belum sempat Neiva mengucapkan kalimat penyangkalan, kliennya melepaskan tangannya dan berpamitan. Hati gadis itu terdengar bergemeretak, hancur berhamburan. Karena kekalahannya terasa seperti kekalahan perempuan yang selalu terstigma menjadi korban. 

⚖️⚖️⚖️

"Greentea Latte, extra whipped cream, grande.

Neiva yang sedari tadi berjalan seraya menatap layar ponselnya memasuki sebuah kedai kopi di dekat gedung pengadilan, merasa familiar dengan suara lelaki itu. Tidak, tidak mungkin itu dia. Mustahil. Meski pun minuman yang dipesan oleh lelaki di depan counter itu memang sama. Gadis itu segera melangkah ke belakang lelaki yang mengenakan jas berwarna biru navy, yang terkesan perlente. 

"Bayar pakai kartu saja, ya?" 

Suara itu terdengar lagi. Berapa persen kemungkinan ada dua orang berbeda memiliki suara yang sama? Neiva mengembuskan napas. Ia mendongak dan mendapati sosok di hadapannya benar-benar mirip dengan orang yang ia kenal. Gadis itu serta merta menunduk, kembali menekuni layar ponselnya, berharap bahwa ia salah orang. 

"Wah, kuli pemerintah. Apa kabar?" 

Sialan. Neiva membenci situasi canggung yang mengharuskannya merangkai percakapan yang tidak ia inginkan. Gadis itu mendongak dan mendapati wajah tampan Badai Sanggara ada dalam pemandangan matanya. Sh*t. Coret kata tampan. Otaknya harus segera direparasi karena masih menganggap lelaki itu memiliki wajah rupawan.  Neiva bahkan tak mau repot-repot memberikan senyum basa-basi. Bahkan menjawab sapaannya pun tidak. 

"Eh, Mbak, saya nambah Caramel Macchiato, less sugar, grande satu ya." Badai segera berbalik ke arah kasir yang baru saja menggesek kartunya. 

Itu minuman kesukaan Neiva. Namun, TIDAK MUNGKIN kan, lelaki itu memesan untuknya. Neiva melengos, berusaha untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada lelaki itu. Hatinya mendadak dongkol bukan main, padahal pagi tadi ia bangun dan mandi dengan riang gembira, bahkan bernyanyi di kamar mandi, menyebabkan Irishーteman serumahnyaーmenganggapnya sudah sinting. Sekarang raut wajahnya semuram mendung di tengah bulan Desember. Benar-benar dampak kedatangan Badai itu membuat badai di dalam pikirannya. 

"Kesukaan lo masih sama, kan?" 

Nah, ini. Mengapa pula lelaki itu harus mengungkit-ungkit sesuatu yang seharusnya dilempar ke dalam museum purbakala? Neiva menatap ke arah Badai dengan bibir mencebik.

"Astaga, lo nggak usah judes gitu kali komuknya. Gue cuma mau traktir doang, itung-itung sebagai balas budi gue karena lo udah jadi budak pemerintah." 

"Maksud lo apa, Kampret?" 

"Akhirnya, Yang Mulia Neiva Yuki membuka mulutnya. Gila banget, gue ngomong dari tadi dianggurin." Badai terkekeh. Saat pesanannya diserahkan ke barista, lelaki itu menggeser posisinya agar Neiva bisa ke depan kasir. 

Neiva dengan cepat menatap papan menu, mencari sesuatu yang bisa ia sukai dalam waktu beberapa detik, demi menyangkal kenyataan bahwa sebenarnya ia ingin memesan minuman favoritnya, Caramel Macchiato

"Kalau mau pesen yang biasa, nih. Nggak usah bayar. Lo kan udah kerja keras dibayar murah. Kasian gue lihat lo mesti naik bis transjakarta, bukannya naik mobil kayak gue." Badai menyodorkan minuman kesukaan Neiva, tetapi gadis itu bergeming. Namun lelaki itu rupanya pantang ditolak, karena ia menarik tangan gadis itu dan menaruh gelas plastik itu ke atas telapak tangannya. 

"Hanya karena gue kerja di LBH, bukan berarti gue kere ya, Bangsat!" Hati Neiva panas karena omongan sombong dari lelaki itu barusan. 

"Mulut lo yang sadis itu emang belum berubah ya," cetus lelaki yang kini memasukkan tangannya ke saku celana itu. "Betewe, gue dengar lo nanganin kasusnya Frederick ya?"

"Bukan urusan elo," sergah Neiva kasar.

"Anggap aja minuman ini sebagai pelipur lara lo, karena gue yakin lo bakalan kalah hari ini." Anehnya, tatapan lelaki itu terlihat sendu. Neiva mengerjap, berusaha menyingkirkan kegilaan yang menghinggapi pikirannya barusan.

"Jangan sok yakin, ya!" Gadis itu tak sudi menyebutkan nama, tetapi dalam hatinya telah terjadi gemuruh yang membuat moodnya ambles hingga ke dasar jurang. Tidak mungkin, padahal saat proses persidangan terakhir, Neiva sudah yakin kemenangan telah ada di pihaknya.

"Cewek itu nggak pake celana dalam, Sayang. Apa yang lo harapkan?" bisik Badai di telinga gadis itu, yang merasakan darahnya mulai mendidih.

Badai melambaikan tangannya, lalu berjalan keluar dengan ringan. Gambarannya persis seperti tokoh utama film komedi romantis, bahkan mungkin seharusnya ada iringan musik setiap kali lelaki itu melangkah. Bahkan aroma parfumnya masih tertinggal, membuat Neiva segera menahan napasnya. Sialan. Sialan, sialan, sialan. 

Neiva membuang minuman pemberian Badai ke tempat sampah dan berteriak ke arah kasir, "Mbak, saya pesan Iced Americano, grande, no sugar!" 

⚖️⚖️⚖️

Namun kenyataan itu sepahit kopi mahal yang terpaksa Neiva beli demi menebus harga dirinya yang hancur di depan Badai.

Kini gadis itu duduk di meja kerjanya dengan perasaan masygul, sementara lidahnya masih terasa getir. Segetir kopi dengan es yang sudah mencair, yang ia minum karena sayang dibuang.

Entah ada angin apa, seorang lelaki bernama Badai itu mendadak saja membeli kopi di sana. Padahal beberapa kali Neiva ke sana, ia tak pernah bertemu dengannya. Lalu kedatangan lelaki itu dengan cepat meruntuhkan semangatnya dan membawakan kesialan dalam hidup Neiva.

Kepala gadis itu tertelungkup di atas meja, tak sanggup mengetik laporan hasil sidang kepada atasannya. Kekalahan ini terasa cukup menyakitkan,  hingga hatinya pun ikut remuk redam.

Pintu ruangan terbuka, diikuti dengan dua orang rekan kerja Neiva. Salah satunya bersenandung riang saat duduk di kursi dan menghadap ke arah komputer yang masih menyala terang. Perempuan itu bahkan tak mau repot-repot menyalakan screensaver saat meninggalkan komputer dalam keadaan hidup.

"Va, lo disuruh menghadap Pak Angga sekarang," ujar Maya, rekan kerja Neiva yang layar komputernya seterang masa depan.

Neiva mengeluh. Dia masih tak sanggup menghadapi wajah atasannya yang menyebalkan itu.

"Buruan, lo ditungguin tuh!" desak Maya.

"Uh. Ngapain sih? Laporannya kan nggak harus hari ini," keluh Neiva tanpa mengangkat kepalanya.

"Pak Angga bilang lo ditugasi buat nanganin kasusnya Renata Mariana abis ini."

Neiva mendongak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah rekan kerjanya itu. "Hah? Si artis itu? Kenapa lagi dia?"

Maya melirik ke kanan dan kiri, kemudian menaruh kedua tangannya di depan mulut, "Dia mau menggugat cerai suaminya."

Halo Keliners, berjumpa kembali dengan cerita terbaruku ini. Gimana menurut kalian?

Ini proyek kolaborasiku bersama dua penulis lain, seperti yang udah kubilang di opening session.

Yuk ramaikan vote dan komennya ya! Meski pun slowres, pasti kubalas kok. Seru aja ngobrol bareng kalian semua, yang gemes sama karakter ceritaku.

Oke, sampai ketemu di episode berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top