5
"Anda sudah siap, tuan putri?"
Adelaide berdiri dengan badan gemetar. Tangannya mencengkeram gaun. "Ya, aku siap..."
Pria itu tersenyum dan membungkuk untuk membiarkan Adelaide berjalan keluar mendahuluinya. Lalu ia mengawal Adelaide hingga menginjak pantai. Dan di kejauhan terdapat kereta kuda dengan beberapa pengawalnya.
"Pengawal anda sudah siap..."
Adelaide menahan napas. Menyadari kenyataan bahwa dalam beberapa jam kemudian ia akan memasuki istana Irlandia. Akan menemui raja dan ratu. Juga pangeran, yang akan menikah dengannya. Tidak, bukan dengannya, karena Eugene akan kembali sebelum hari besar itu. Adelaide mengangkat sedikit gaunnya dan berjalan bersama pria itu hingga tiba di depan kereta. Ia menerapkan langkah anggun yang sudah diajari Eugene. Berharap langkahnya tidak terlihat canggung dan menimbulkan kecurigaan.
Setiba di kereta, seorang prajurit membuka pintu. Dan Adelaide segera masuk ke dalam. Duduk bersandar seraya mendesah. Tangan menempel pada dadanya yang berdebar kencang. Ia menutup mata. Menunggu kereta bergerak maju ketika telinganya menangkap suara teriakan orang yang sedang bertarung. Terdengar suara pedang beradu. Adelaide membuka mata dan melihat keluar dengan panik. Mendadak pintu kereta terbuka dan tanpa ia sadari, tangan Adelaide ditarik kasar oleh sekelebat bayangan besar.
"Tolong!!!"teriaknya panik melihat para pengawalnya bertarung dengan beberapa pria pemberontak.
Adelaide memcoba melawan. Namun pria itu memiliki tubuh serta tenaga yang lebih besar. Dengan mudah ia menarik tubuh Adelaide. Pria itu menampar Adelaide hingga gadis itu terjatuh dan tak sadarkan diri.
----
Adelaide terbangun dalam keadaan sakit di kepalanya. Lengannya terasa mati rasa dan nyeri. Ia mengerang. Perlahan ia mencoba membuka mata. Menyadari bahwa tangannya diikat. Ia melirik ke atas melihat tali yang mengikat pergelangan tangannya. Dan tali tergantung di jendela atas. Lalu ia menunduk kembali. Merasakan pusing di kepala dan napasnya sesak.
"Selamat sore, tuan putri,"sapa sebuah suara berat dan serak dari hadapan Adelaide yang remang-remang.
Adelaide menyipitkan mata menatap ke depan. Ia melihat sosok pria mendekat dan mengenalnya sebagai pria yang tadi menculiknya dari kereta. Adelaide menarik napas. "Siapa kau?"
"Aku Damien, pemimpin pemberontak,"ujarnya seraya membungkuk memberi hormat pada Adelaide dengan seringai licik menghiasi mulutnya.
"Kau bukan orang Skotlandia?"
"Pemberontak tidak hanya berada di Skotlandia saja, my lady. Irlandia pun memiliki pemberontak."
"Apa yang kau mau?"
"Hmm...aku sedang memikirkan apakah aku akan membunuhmu dengan pedang, atau menenggelamkan kau di laut, atau mungkin juga dengan anak panah...atau mungkin..."gumam Damien seraya berpikir. "Mungkin ide untuk membakarmu hidup-hidup adalah ide yang bagus.."
Mendadak terdengar suara ribut dari luar. Seperti suara orang bertarung. Adelaide berharap dan menduga pengawal istana telah datang untuk menyelamatkan dirinya.
Adelaide kembali menatap Damien dengan panik. Ia melihat Damien berjalan mendekat dengan langkah pelan. Namun matanya menatap tajam padanya. Adelaide melangkah mundur hingga punggungnya menyentuh tembok batu dingin. Damien terus berjalan hingga berhenti di depan Adelaide dan gadis itu terpojok. Tak bisa bergeser karena ikatan tangannya. Tangan Damien merenggut kerudung Adelaide hingga gadis itu menjerit kaget dan panik. Jarinya menggamit dagu Adelaide dan mendongakkan ke arahnya. Mata hitam dingin menatap Adelaide yang gemetar ketakutan.
"Wajah yang cantik..."gumamnya seraya meraih pisau kecil tajam dari balik bajunya. Cahaya berkilau memantul dari mata pisau.
"Tidak... Jangan...."gumam Adelaide panik.
Damien mendekatkan pisau di kulit Wajah Adelaide. Terasa dingin dan menusuk. Adelaide memalingkan wajah menjauhi pisau itu. Damien memegang dagu Adelaide. "Jangan banyak bergerak. Aku belum ingin kau berdarah sekarang. Tidak sekarang..."bisiknya.
Damien mengarahkan mata pisau itu ke leher Adelaide yang sudah terisak. Lalu Damien merobek jubah Adelaide dengan pisau itu. Terdengar suara robekan kain dan isakan memohon Adelaide. "Kau siap?"tanya Damien bersiap merobek kulit dengan mata pisaunya.
Adelaide menutup mata seraya terisak. Menanti akhir hidupnya. Lalu pintu terbuka dengan suara keras dari balik punggung Damien. Cahaya masuk menerangi hingga membuat mata Adelaide silau. Tapi gadis itu segera menarik napas dan berteriak minta tolong. Ia melihat beberapa pria masuk ke dalam dan bertarung.
Damien menatapnya kembali, berniat untuk segera mengakhiri hidup Adelaide. Mata bengisnya menatap Adelaide seraya mengangkat pisau itu, hendak menghunusnya.
Adelaide menangis dan menutup mata. Tapi ia mendengar suara Damien berteriak kesakitan. Gadis itu membuka mata dan melihat Damien berdiri dengan sebatang anak panah menusuk hingga menembus dada pria itu. Mata Damien melotot. Menjatuhkan pisau ke lantai dan tak lama ia pun terjatuh. Tak bernapas lagi.
Adelaide melihat sosok pria muda dengan busur di tangannya. Ia tak tahu apakah pria itu musuh atau bukan. Jantungnya mencelos dan badannya gemetar melihat pria itu mendekat. Mengambil pisau yang terletak tak jauh dari Damien. Lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Adelaide teriak. Mengira ia akan ditusuk. Pria itu melepaskan ikatan tali dengan pisau. Adelaide terpana dan merasakan tangannya yang kebas. Ia mendongak menatap mata biru pria itu yang melanjutkan melepas sisa tali. "T...terima kasih...."
Adelaide merasa kepalanya pusing dan sesak napas. Ruangan itu serasa berputar di matanya. Kakinya lunglai hingga ia terjatuh. Sebuah lengan kekar memeluk pinggangnya. Mendekatkan badannya pada pria itu. Terasa hangat dan aman. Lalu pria itu mengangkat tangan Adelaide agar memeluk lehernya. Dan ia membopong tubuh Adelaide. Menyangga badannya dengan tangan kuat pria itu.
Pria itu berjalan keluar. Menampakkan halaman luas yang penuh bekas pertarungan dengan beberapa orang terbaring terluka. Beberapa menyelamatkan temannya yang terluka. Sementara pemberontak yang selamat di tahan dan di bawa para prajurit istana.
Pria itu membawa Adelaide ke sebuah pohon di mana seekor kuda hitam menunggu. Ia bersiul dan kuda itu membungkukkan badan agar mereka dapat naik dengan mudah. Adelaide duduk di depan pria itu yang menjaganya. Mereka berjalan. Adelaide mengamati pria itu. Usianya tampak masih muda. Rambut ikal coklatnya berantakan dan kotor. Badannya tampak tegap dan kekar. Namun matanya yang menarik perhatian Adelaide. Begitu biru hingga ia tak bisa mengalihkan pandangannya. Seakan ia bisa hanyut dalam birunya mata indah itu. Mendadak mata biru itu menunduk menatap Adelaide. Sejenak mereka terdiam terpana.
"Terima kasih sudah menyelamatkan aku..."
Pria itu kembali menatap depan. Tak membalas perkataan Adelaide.
"Siapakah kau?"tanya Adelaide. Pria itu masih terdiam. "Well, namaku...." Adelaide hampir menyebut nama aslinya ketika ia teringat bahwa ia sedang bertukar peran dengan sang putri.
"Aku tahu siapa kau,tuan putri"gumam pria itu dengan suara kuat dan dalam namun menenangkan dan lembut.
"Oh...."sahut Adelaide. "Kau boleh memanggilku Eugene..."
"Apa mereka menyakitimu?"tanyanya dengan lembut menatapnya.
"Tidak, mereka....aku hanya takut..."ujar Adelaide. Lalu hening kembali hingga Adelaide salah tingkah. "Kau bertarung dengan baik..."
Senyum menghiasi mulut tipis pria itu. Membuat jantung Adelaide berpacu cepat dan wajahnya terasa hangat.
"Kita hampir sampai, Eugene..."ujar pria itu.
Adelaide merasa adanya desiran mendengar pria itu memanggil nama sang putri. Namun jauh di dalam lubuk hatinya ia ingin mendengar nama aslinya yang disebut. Ia merasa berat karena sebentar lagi akan berpisah dengan penyelamatnya. Ia menatap ke arah depan. Melihat sebuah bangunan istana besar Dan indah. Kuda berhenti di depan pintu gerbang besar dan kokoh. Pria itu turun lalu membantu Adelaide turun dengan memegang pinggangnya. Adelaide menatap kagum bangunan istana itu.
"Sebaiknya anda cepat masuk sebelum ada bahaya mengintai dari belakang kita..."
Adelaide tersentak dan menatap pria itu. "Ya, kau benar."
Pria itu menaiki kudanya kembali dan berderap pergi. Adelaide menoleh. "Terima kasih sekali lagi kau sudah menyelamatkan aku!"
Pria itu menunduk dan tersenyum. Kembali menimbulkan desir di dada Adelaide. "Saya juga senang melihat anda selamat, Eugene,"ujarnya seraya menunduk memberi hormat dan berlalu pergi dengan kuda hitamnya.
Adelaide menatapnya sejenak. Lalu ia menarik napas. Merasa bodoh karena lupa menanyakan namanya. Tak tahu apakah mereka akan bisa berjumpa lagi. Adelaide melangkah mendekati pintu gerbang kokoh itu dan mengetuknya.
"Siapa itu?!"seru suara dari dalam.
"Aku Eugene. Putri dari Skotlandia..."
"Bukakan pintu!"sahut dari dalam.
Beberapa menit kemudian pintu kokoh itu terbuka. Adelaide berdiri dengan gugup dan melihat sekelompok pengawal di hadapannya. Seorang pria memimpin jalan menuju depan istana di mana beberapa pelayan berdiri menanti. Sang pelayan meminta Adelaide mengikutinya. Ia berjalan dengan gugup. Tangan mengepal. Lalu ia tiba di hadapan seorang wanita anggun dengan gaun indahnya.
"Apakah kau putri dari Skotlandia, Eugene?!"Ujar suara merdu itu
"Ya..."
Wanita itu mengamati Adelaide dari atas hingga bawah kaki. Matanya sempat terpaku pada tangan Adelaide. Lalu ia kembali menatapnya. "Aku Louise, ibu dari pangeran William..."
Adelaide membungkuk memberi hormat. "Suatu kehormatan bisa menemui anda, Yang Mulia."
"Berdirilah. Ini rumah barumu sekarang. Kuharap kau akan betah tinggal di sini."
"Terima kasih...."
"Sebentar lagi kau akan makan malam denganku dan anakku. Dan kau harus bersiap..."ujarnya. Lalu ia menoleh ke belakang. "Ellen...."
Seorang wanita berusia pertengahan berjalan mendekat. "Ya, yang mulia."
"Siapkan Eugene untuk makan malam,"
"Ya, Yang Mulia..."sahut Ellen. "Mari, my lady..."
"Yang Mulia,"ujar Adelaide. Louise menoleh menatapnya. "Apakah para pengawal yang menjagaku berlayar dari Skotlandia selamat dan baik-baik saja?"
Louise menaikkan alisnya. Namun ia tersenyum seraya berkata, "Ya mereka selamat dan baik."
"Terima kasih,yang mulia"
Lalu Ellen mengajaknya berjalan menuju kamar baru Adelaide. Dan ia terpana saat melihatnya. Begitu indah dengan ranjang besarnya. Ellen menyiapkan air mandi dan membantu membersihkan badan Adelaide. Lalu ia mengeringkan badan Adelaide. Memakaikan gaun indah berwarna coklat lembut. Merapikan rambut panjangnya hingga membentuk sanggul indah.
"Anda terlihat cantik, my lady,"puji Ellen.
"Terima kasih, Ellen. Kau bisa memanggilku Eugene,"sahut Adelaide tersenyum.
Lalu Ellen mengantar Adelaide menuju ruang makan dan membukanya seraya berkata, "Putri Eugene dari Skotlandia..."
Adelaide masuk dan melihat sebuah ruang makan besar dengan meja indah dan besar di tengahnya. Lukisan indah terpajang di dinding. Dan beberapa pelayan berdiri di dekat meja makan
"Selamat malam, Eugene!"sapa Louise menyambutnya. "Mari kukenalkan pada pangeran William, yang akan segera menjadi raja."
Mata Adelaide bergeser ke samping Louise dan detik itu juga matanya terbelalak lebar. Pria yang berdiri di samping ratu adalah pria yang menyelamatkan dirinya tadi. William berjalan mendekat, membuat napas Adelaide tercekat. Lalu ia sadar dan segera membungkuk. "My Lord..."
William menyambut tangan Adelaide dan mengecupnya dengan lembut. Hingga Adelaide merasa pipinya panas ketika merasakan bibir lembut William menyentuh kulitnya.
William membimbingnya ke bangku. Menarik kursi agar ia duduk. Adelaide duduk seraya mengucapkan terima kasih. Lalu William berjalan dan duduk di seberang Adelaide. Dan acara makan malam pun di mulai. Sepanjang malam itu, hanya sang ratu yang banyak berbicara. Sementara Adelaide dan William diam dengan pikiran mereka. Sibuk mengamati diri pasangan masing-masing.
❤❤❤❤❤
To be continue....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top