2
Setelah melakukan perjalanan jauh dan lama, matahari mulai tenggelam. Dan di kejauhan terlihat bayangan hitam bangunan kastil raja Scotlandia. Adelaide menggenggam erat tangan Katie. Ia merasa takut. Kereta berhenti di depan kastil berbatu abu tersebut. Terdengar suara gemerincing kunci membuka pintunya yang besar. Dan kereta memasuki kawasan dalam kastil di mana banyak para prajurit berjaga. Mata tajam mereka mengawasi kereta berisi tahanan wanita. Kereta berhenti dan seorang prajurit membuka kunci. Menarik keluar para wanita dengan kasar hingga mereka jatuh ke tanah dan terisak ketakutan. Begitu pula dengan Adelaide. Seorang pria kurus berambut merah menarik keluar dan mendorongnya. Adelaide terhempas jatuh ke lantai berbatu yang keras seraya berteriak kesakitan.
"Bangun!!!"seru prajurit itu menendang badan Adelaide.
Adelaide kembali memekik kesakitan. Rasa sakit menyengat terasa di punggungnya. Ia meringkuk mencoba melindungi kepalanya dari pukulan dan tendangan prajurit. Merintih menahan sakit. Ia bisa mendengar suara sang prajurit yang mengeluarkan sebilah pedang dari sarungnya. Hatinya ketakutan. Ia menutup mata seraya terisak, menunggu akhir hidupnya.
"Hei tahan! Jangan ganggu dia!!"
Adelaide membuka mata dan melihat seorang prajurit berbadan tegap menahan prajurit yang sudah mengangkat pedangnya, bersiap membunuh dirinya.
"Dia hanya tahanan!"
"Ya, tapi semua tahanan milik Yang Mulia. Beliau yang akan memutuskan nasib tahanan ini, bukan kau! Kau tak mempunyai hak!!"
Pria kurus itu mengeram kesal tapi ia menyelipkan kembali pedang ke dalam sarungnya. Dan beranjak pergi menarik tahanan lainnya.
"Kau baik saja?"tanya prajurit yang telah menolong Adelaide. Pria itu membungkuk, membantunya berdiri.
Adelaide mengangguk dan berdiri dengan badan gemetar. Menolak bantuan dari prajurit itu. Mulutnya terkatup rapat. Menahan sakit yang masih terasa di badannya.
"Adelaide, kau baik saja kan?!!"kata Katie berlari mendekat dan memeluknya. Adelaide mengangguk. Ia tidak bisa mengatakan apapun. Mulutnya serasa kelu dan tidak bisa berpikir apapun.
"Ikuti aku!"seru seorang prajurit seraya berjalan lebih dulu. Para wanita itu berbaris mengikuti dengan pengawasan prajurit lain di belakang mereka.
Adelaide dan Katie berjalan bersama dan saling merangkul. Hati mereka takut. Jantung berdebar kencang tak tahu bagaimana nasib mereka. Tak tahu apa kemauan sang raja. Mereka berjalan melewati lorong yang panjang dan remang-remang. Cahaya yang ada hanya berasal dari obor api yang tergantung di dinding. Tampak menyeramkan. Dan tak ada suara apapun kecuali suara langkah mereka diiringi isakan takut.
Mendadak langkah mereka berhenti di depan sebuah pintu coklat besar dan prajurit di depan mengangkat tangannya. Menyuruh mereka berdiri diam. Lalu ia mengetuk pintu, menghasilkan suara ketukan yang bergema dan menakutkan. Lalu suasana sunyi mencekam. Para wanita berdiri dengan badan gemetar dan wajah pucat. Tak tahu apa yang menanti mereka di balik pintu itu. Mendadak ke dua daun pintu itu membuka memberi jalan pada mereka. Dua orang prajurit menjaga di balik pintu. Setelah semua masuk, ke dua prajurit menutup pintu. Mereka berdiri di tengah ruangan. Berdiri berbaris dalam dua barisan, sesuai arahan prajurit. Adelaide berdiri di barisan ke dua. Ia melihat ada dua bangku singgasana untuk raja dan ratu di depan.
Terdengar suara pintu di buka, membuat para wanita terlonjak kaget. Mereka melihat raja dan ratu berjalan menuju kursi tahta dengan mengenakan jubah indah dan mahkota di kepalanya. Raja dan ratu duduk di kursi, menatap para tahanan wanita di hadapannya. Menatap satu per satu dengan mata tajam sang raja.
"Sebelum kalian dijual sebagai budak, putriku akan memilih kalian sebagai pendamping!"
Adelaide merasa darahnya mendidih. Amarah menyusup ke dalam dirinya. Dan entah dari mana ia memiliki keberanian untuk membantah raja. "Kau ingin menjual kami sebagai budak? Apa salah kami? Kami bukan barang yang bisa seenaknya kau jual!!"
Raja menatap arah suara itu. Menemukan sosok Adelaide dengan wajah merah karena amarah. Ia menatap dengan tatapan yang akan menakutkan bagi siapapun yang melihatnya. "Desa kalian telah menyembunyikan pemberontak. Dan ini hukuman bagi kalian yang membantu menyembunyikan pemberontak itu!"serunya. Lalu jarinya menunjuk pada sosok Adelaide. "Dan kau! Akan kupastikan kau di jual sebagai budak dengan harga rendah!"
Adelaide menatap sang raja dengan penuh dendam. Perhatiannya teralihkan saat pintu kembali terbuka. Refleks semua mata menatap ke arah suara itu dan melihat sesosok putri berjalan mendekat. Putri itu terlihat berusia sebaya dengan Adelaide. Atau mungkin lebih tua. Dengan warna rambut yang hampir sama dengan milik Adelaide. Matanya menyapu barisan wanita di hadapannya. Gerakannya begitu anggun dan pelan saat menaiki tangga menuju kursi tahta raja dan ratu.
"Pilihlah pendampingmu, Eugene!"ujar sang raja.
Eugene mengangguk. Lalu ia kembali menatap ke depan. Meneliti satu per satu wanita yang berdiri dengan badan gemetar. Sorot mata takut terlihat jelas dalam mata mereka. Eugene meneliti mereka dari atas kepala hingga bawah kaki. Ketika menurutnya wanita itu tidak sesuai dengan keinginannya, ia melihat wanita lain di samping lain. Hingga matanya menatap sosok Adelaide. Ia meneliti gadis yang menunduk itu dan mengangguk.
"Aku sudah memutuskan untuk mengambil gadis itu!"ujarnya seraya menunjuk pada arah Adelaide.
"Yang mana?"tanya raja berharap ia salah memilih atau melihat.
Eugene menuruni tangga dan dengan langkah mantap serta anggun berjalan hingga berhenti di hadapan Adelaide. Membuat gadis itu terkesiap kaget menatap sang putri. "Aku memilihnya,"ujarnya seraya menoleh pada sang raja. "Siapa namamu?"
Adelaide menelan ludah dengan susah payah. Berharap ini hanya kesalahan. Tapi ia tetap menjawabnya, "Adelaide..."
Eugene berputar pada sang raja. "Saya memilih gadis ini, yang bernama Adelaide..."
"Eugene, apa kau yakin tak ingin memilih budak lainnya?"tanya raja.
"Saya yakin!"
"Sesuai permintaanmu,"sahut raja pasrah. Lalu ia menatap prajurit yang berjaga di belakang. "Bawa sisanya dan jual sebagai budak!!"
Para wanita mulai menangis. Memohon pengampunan dari raja. Tapi raja dan ratu telah beranjak pergi, tak mempedulikan para tahanan yang tidak bersalah. Tidak mendengarkan suara permohonan mereka. Katie memegang erat tangan Adelaide. Menangis dalam genggaman sahabatnya hingga mereka terpisah karena tarikan sang prajurit. Membawa jauh sahabat serta para penduduk lainnya yang di kenal Adelaide.
----
Setelah mereka menghilang dari balik pintu, Adelaide hanya berdiri diam sambil menangis. Sesaat dirinya merasa hampa. Ia tak akan bisa melihat mereka lagi. Katie. Ayah dan nenek. Juga para penduduk lainnya. Desa mereka kini sudah hancur hingga menjadi abu.
"Ikut aku,"ujar Eugene. "Aku akan mengganti pakaianmu."
Adelaide berbalik dan mengikuti sang putri dengan air mata berlinang. Eugene berjalan melalui pintu yang berada di samping. Melewati lorong dan menaiki tangga hingga tiba di lantai dua. Jendela besar memberi penerangan dalam lorong itu. Terdapat banyak pintu di lantai dua dan Eugene berhenti di sebuah pintu coklat. Membukanya. "Ini akan menjadi kamarmu..."
Adelaide mengikutinya masuk. Terkejut melihat kamarnya yang besar. Lebih besar dari rumah kecilnya. Tempat tidur besar berada di tengah ruangan besar. Karpet merah indah terhampar di tengah kamar. Jendela besar dengan tirai indahnya memancarkan cahaya dari luar. Gadis itu masuk dengan langkah perlahan.
"Duduklah,"ujar Eugene membunyikan lonceng yang berada di dinding dan menghampiri meja berisi teko dan gelas. Ia menuangkan air ke dalam gelas sementara Adelaide duduk di samping meja itu. Ia meraih sapu tangan dan mulai membersihkan air mata serta kotoran di wajah Adelaide dengan lembut.
"Kenapa aku?"Tanya Adelaide lirih.
"Jangan banyak bergerak!"sahut Eugene seraya terus mengelap wajah kotor Adelaide.
Pintu terbuka dan seorang pelayan istana masuk. "Anda membutuhkan saya, tuan putri?"
Eugene menoleh dan tersenyum. "Emma, tolong bersihkan Adelaide. Mandikan dan pakaikan gaun yang layak padanya."
"Baik, tuan putri,"sahut Emma. Eugene berjalan keluar meninggalkan mereka berdua. Emma segera menyiapkan air mandi untuk Adelaide dan membantu menggosok badannya. Mereka melakukannya dalam diam. Adelaide terus memikirkan kenapa sang putri memilih dirinya.
Setelah selesai, Emma mengambil gaun dari dalam lemari dan memakaikan gaun berwarna hijau lembut. Emma membantu mengeringkan rambut panjang Adelaide yang basah. Ia mengepang rambut panjang Adelaide. Adelaide menatap bayangan dirinya dengan tak percaya. Ia tak pernah memakai gaun seindah dan selembut ini.
"Ya, sudah selesai,"ujar Emma menatap Adelaide dengan puas. Lalu Emma mengajak Adelaide keluar kamar menuju kamar putri Eugene.
Emma mengetuk pintu dan terdengar suara sahutan yang menyuruh mereka masuk dari dalam. Emma membuka pintu. Menyuruh Adelaide masuk lebih dulu di mana mata Eugene menatap dirinya. Senyum puas menghiasi mulut sang putri.
"Bagus, kini kau terlihat lebih baik!"
Eugene menarik tangan Adelaide. Mengajaknya ke meja di mana sudah tersaji sepiring makanan yang menguarkan aroma harum. "Sekarang kau harus makan, aku yakin kau belum makan"
"Maaf tapi Saya tidak lapar, tuan putri,"ujar Adelaide.
Eugene mengangguk. "Ya, aku sudah mendengar desamu dihancurkan dan orang tuamu telah meninggal. Aku turut berduka,"
Eugene menoleh pada Emma. "Emma, antarkan ia kembali ke kamarnya. Biarkan ia istirahat dan kita akan memulai pelajaran esok hari."
"Terima kasih, tuan putri,"sahut Adelaide merasa pelupuk matanya panas. Ia berusaha menahan airmatanya selama perjalanan kembali ke kamarnya.
"Jika kau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk meminta bantuan atau tanya padaku,"kata Emma saat sudah tiba di depan kamar Adelaide.
"Ya, terima kasih, Emma...."sahut Adelaide. Lalu ia masuk ke dalam kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang dan menutupi wajahnya yang sudah basah karena air mata. Kembali terkenang akan desa dan ayah serta neneknya.
❤❤❤❤
To be continue..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top