10

Keesokan paginya Adelaide terbangun dan mendapatkan William berbaring di sampingnya. Ia masih tidur dengan tangan memeluk Badannya. Adelaide tersenyum kecil seraya menyentuh dagu William. Dan ia teringat bahwa sekarang mereka adalah raja dan ratu Irlandia. Panik melanda dirinya saat teringat suatu saat Eugene asli bisa saja muncul. Ia mencoba untuk tidak memikirkannya.

William membuka matanya dan menatap Adelaide. "Selamat pagi, cantik..."

"Selamat pagi, tampan,"sahut Adelaide seraya mendekat dan William memeluk serta menciumnya.

William mengusap rambut Adelaide yang panjang dan lembut. "Semakin hari kau semakin cantik dan menakjubkan..."

Adelaide tertawa. "Kau menggodaku atau sedang merayuku?!"

"Ini sungguh-sungguh. Kau cantik, dan aku tak pernah bohong padamu..."

Hati Adelaide terasa sakit seperti di tusuk mendengar perkataan William. Ia tahu William tak pernah bohong, sejak pertama bertemu. Justru dirinyalah yang berbohong selama ini. Dan William masih tidak mengetahui identitas sebenarnya.

William bangun seraya menggeliat. Memandang langit cerah di luar, "Kurasa kita harus segera mengganti baju dan melakukan tugas kita..."

-----

Hari terasa berjalan lambat saat Adelaide dan William duduk di bangku tahta mereka dan pintu terbuka. Beberapa pengawal menggiring sekelompok orang yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak. William dan Adelaide refleks berdiri melihat mereka yang tampak pucat. Wajah hitam kotor. Baju sobek dan kumal. Dan wajah mereka tampak shock. Beberapa wanita dan anak-anak menangis. Sementara para prianya berwajah pucat dan tampak geram.

"Apa yang terjadi?!"tanya William berjalan menuruni tangga mendekati mereka.

Seorang pria maju ke depan dan berlutut, yang diikuti oleh lainnya. "Yang Mulia, para pemberontak... Mereka telah menyerang dan membakar desa kami..."

"Berdirilah kalian semua,"ujar William meraih lengan pria di depan agar berdiri dan diikuti lainnya. "Kalian dari desa mana?"

"Kami dari desa Riviera, Yang Mulia,"ujarnya. "Desa kami hancur, tak ada yang tersisa..."

"Apakah ada yang terbunuh?"

"Tidak, tapi banyak yang terluka dan kami adalah sisa dari desa tersebut. Penduduk lainnya melarikan diri dan terpisah dari kami..."

"Kami sudah tak memiliki rumah lagi..."isak seorang wanita.

William segera memanggil seorang pengawal untuk membawa kelompok itu ke sebuah ruangan agar bisa istirahat dan makan. Dan ia meminta pengawal lainnya agar mengumpulkan para petinggi istana untuk merundingkan kasus ini. Sementara Adelaide memutuskan untuk menemani mereka. Adelaide membantu memimpin jalan menuju aula. Beberapa pelayan segera menyiapkan makanan dan pakaian baru untuk kelompok itu. Adelaide membantu membagikan makanan serta pakaian.

Ia melihat seorang wanita muda menggendong bayi dan tampak kewalahan karena dua anak lainnya meminta perhatian sang ibu. Adelaide mendekat. "Biarkan saya menggendong bayi anda sementara anda bisa membantu anakmu..."

Wanita itu menoleh dan tersenyum kecil pada Adelaide. "Terima kasih banyak, Yang Mulia..."

Adelaide meraih bayi ke dalam gendongannya. Ia seorang bayi perempuan dengan mata biru jernih dan rambut ikal pirang. "Siapa namanya?"

"Stella, Yang Mulia."

"Ia bayi yang cantik,"puji Adelaide menatap bayi itu dengan kagum dan sayang. Ia menggendongnya hingga bayi mungil itu tertidur. Dan mengembalikannya pada pelukan sang ibu.

"Apakah anda sudah merencanakan untuk memiliki anak?"tanya sang ibu tersenyum.

Adelaide menatapnya terdiam. "Apa? Hm...aku...aku Belum memikirkan hal itu..."ujarnya gugup. "Permisi..."

Lalu ia pergi keluar dan berjalan menuju taman. Ia mendongak menatap langit biru di atas. Mendesah sementara jantungnya berdebar cepat. Anak?! Ya, William pasti akan menginginkan anak sebagai pewaris. Ia duduk di kursi bawah pohon, memeluk tubuhnya yang gemetar sementara pikiran mengenai anak memenuhi pikirannya.

"Kau baik saja?"tanya Ellen mendadak muncul.

Adelaide menoleh. "Oh Ellen, aku tak pernah berpikir tentang memiliki anak! Dan aku pasti diharapkan untuk segera memiliki anak!!"ujarnya panik.

"Jangan terlalu dipikirkan. Rahasiamu tidak akan diketahui siapapun,"ujar Ellen berlutut di hadapannya. "Jangan mempersulit dirimu. Kau masih memiliki banyak waktu untuk hal itu.."

-----

Adelaide kembali ke kamarnya dan menemukan William sudah ada di dalam.

"Ah kau sudah datang. Aku sedang bertanya-tanya ke mana dirimu,"ujar William menghampiri, memeluk dan mencium Kening Adelaide.

"Aku di taman bersama Ellen."

"Apakah cuacanya indah?"

"Ya..."

"Baguslah..."ujar William berjalan menuju meja.

"William.."

"Ya?"tanya William menoleh ke arahnya kembali.

"Apa kau sudah merundingkan kasus ini? Dan apakah hasilnya? Jika aku boleh tahu..."

William tersenyum kecil, "Tentu saja kau boleh mengetahuinya...."

"Apakah kalian sudah mengambil keputusan?"

"Ya..."

"Apakah hasilnya?"

"Well...besok.. Menjelang siang, aku dan para prajurit akan pergi mencari dan mengejar para pemberontak."

"Berapa lama kau akan pergi?"

"Tiga minggu."

"Apa?!"teriak Adelaide. "Tidak, kumohon kau jangan pergi!"

"Aku harus pergi, sayang..."

"Tidak. Kenapa kau harus ikut pergi? Kenapa tidak para prajuritmu saja dan kau diam di sini bersamaku?!!"pekik Adelaide panik

"Aku tak bisa. Aku tak mungkin membiarkan mereka berjuang sendiri sementara aku hanya duduk diam di sini."

"Tapi kau bisa mati..."ujar Adelaide gemetar.

"Jika memang begitu, itu sudah takdirku..."

Adelaide menatapnya dengan airmata menggenang. Lalu ia membalikkan badannya dan keluar dari kamar. Menutup pintu dengan keras. Kembali ke kamar lamanya.

-----

"Eugene, sayang...tolong bukakan pintunya, aku akan segera pergi dan aku ingin pamit denganmu, tanpa adanya kemarahan di antara kita,"ujar William.

Adelaide hanya diam, tak menjawabnya.

"Well, jika kau tak mau membukanya, aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Dan aku selalu memikirkan dirimu..."

Adelaide mendengar langkah kaki William yang berjalan menjauh.

Tak lama Kemudian Ellen masuk tanpa mengetuk pintu. "Kudengar kau menolak berpamitan dengan Yang Mulia?!"

"Ya..."

"Kau keterlaluan, Adelaide!"sahut Ellen geram. "Ia sudah mengambil resiko agar kau dan rakyatnya aman. Dan kau tak peduli!"

"Ia bisa mati di sana!"

"Mungkin. Tapi akan lebih baik jika ia tahu bahwa wanita yang dicintainya juga membalas perasaannya! Ia harus tahu bahwa kau pun mencintai dirinya..."

"Mungkin kau benar..."gumam Adelaide.

"Aku tahu. Sekarang, pergilah kejar dia dan katakan kau mencintainya..."

"Tapi...apakah ia mau memaafkan aku?"

"Adelaide, ia mencintaimu. Tentu saja ia akan memaafkanmu.."

"Benarkah?"

"Oh ayolah cepat kejar dia sekarang sebelum ia sudah pergi!"seru Ellen gemas.

Adelaide berdiri dan berlari keluar menuju bagian depan istana di mana ia melihat para prajurit sedang bersiap pergi. Dan ia melihat sosok William.

"William!!!"pekiknya.

William menoleh dan seketika wajahnya berbinar melihat sosok Adelaide. Ia berlari menghampiri Adelaide. Memeluk dan menciumnya.

"Maafkan aku.."

"Tidak, aku yang seharusnya minta maaf,"ujar William menciumnya kembali.

"Please, segeralah pulang, demi aku."

"Ya, Eugene..aku pasti akan pulang dengan selamat!"

"I love you, William!"isak Adelaide.

"I love you too,"sahut William menciumnya kembali. Lalu ia naik ke atas punggung kuda hitamnya. Menatap Adelaide sebelum akhirnya ia pergi bersama pasukannya.

Dan Adelaide menatap kepergian mereka dengan pedih. Terus menatap hingga mereka hilang dari pandangan matanya.... 



❤❤❤❤
To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top