PROLOG



HOMOSEXUALITY IS NOT A SIN!

RANJANG BUKAN URUSAN PEMERINTAH!

STOP DISKRIMINASI TERHADAP WANITA

GAY ≠ PEDOPHILIA

KORUPSI > SEKSUALITAS


Berbagai poster bernada serupa terangkat tinggi-tinggi oleh puluhan tangan pemrotes yang tidak menyerah pada terik yang menyengat. Tuntutan mereka hanya satu yaitu agar pemerintah menangguhkan serta mengkaji ulang RUU yang tidak memihak kaum marginal. Pengesahan RUU hanya akan menambah persekusi terhadap kelompok minoritas seolah sanksi sosial yang akan didapat belumlah cukup.

Seruan tentang hak asasi manusia tidak hentinya bergema lantang sementara kendaraan yang lalu-lalang hanya lewat tanpa sedikit pun menaruh peduli. Mereka mungkin menggerutu di dalam mobil tentang manusia-manusia yang membuat jalanan Jakarta semakin sesak.

"Awas!"

Menyadari peringatan yang diserukannya tenggelam oleh riuh, pria berkaus putih dengan gambar pelangi di dada itu langsung berlari menerobos kerumunan menuju mimbar, tapi teriakan lain yang lebih nyaring membuat langkahnya tiba-tiba terhenti.

Belum sempat bereaksi, puluhan kerikil terlanjur menghujani mereka. Situasi yang awalnya dapat dikendalikan sontak berubah menjadi ricuh. Pelaku demonstrasi dengan cekatan berusaha menghindar dari lemparan batu-batu kecil tersebut, seruan aparat yang kecolongan karena serangan itu datang tanpa diduga dari berbagai penjuru yang dibarengi langkah sekumpulan manusia yang dengan lantang mengucapkan, "Rajam pendosa-pendosa ini!" sementara tangan mereka tidak ada hentinya melontarkan kerikil ke arah orang-orang yang berusaha memperjuangkan hak paling mendasar. Dalam waktu sekejap, mereka tercerai-berai bagai semut yang lari tunggang langgang saat rumah mereka diobrak-abrik manusia atas nama keisengan.

Namun ada beberapa dari para pemrotes yang memilih bertahan di tempat seolah ingin menunjukkan mereka punya keberanian lebih dan tidak gentar hanya dengan hujaman kerikil. Keringat yang lama-lama bercampur darah yang membasahi wajah mereka justru menguatkan spirit pantang menyerah. Tangan mereka terkepal, urat di leher mereka terlihat menegang tiap kali menyerukan, "Kami tidak takut!" sembari berusaha menahan tubuh mereka agar tetap di tempat. Mereka lebih memilih untuk tidak menghianati semangat dengan melangkah mundur.

Atmosfer pertentangan ideologi menguar tajam di antara dua kelompok manusia pembela kebenaran itu. Kesabaran tidak menunjukkan batang hidungnya, kesempatan untuk berdialog secara manusiawi jelas telah hilang sebelum sempat muncul. Usaha aparat demi mengontrol situasi agar kembali tenang belum membuahkan hasil karena kedua belah pihak sama-sama saling mempertahankan pandangan dan kepercayaan sampai tidak ada yang rela mengalah. Intensitas kerikil-kerikil yang melayang di udara tak ubahnya seperti hujan meteor Perseid yang jatuh setiap bulan Agustus.

"Nico!" teriak pria yang tadi menyerukan adanya bahaya seraya berlari menghampiri pria yang masih kukuh menjadikan dirinya sasaran empuk lemparan. "Lu jangan gila!" seru pria itu seraya melingkarkan lengan pada pinggang pria yang dipanggil Nico. Dengan paksa dan susah payah, dia menarik tubuh setinggi 175 sentimeter itu menjauh dari massa. Kata pendosa dan neraka tidak pernah terdengar senyaring itu di atas jalanan ibu kota.

Meski berontak, tenaga Nico telah terkuras oleh letih dan terik hingga dia akhirnya membiarkan tubuhnya diseret. Dari matanya terpancar kekalutan bercampur benci yang sudah mengakar kuat dan tidak bisa dikalahkan hanya dengan lemparan kerikil. Mulutnya masih lantang mengeluarkan sumpah serapah sekalipun jaraknya dengan para pembuat onar semakin jauh. Beberapa anak rambut ikalnya lekat pada pelipis oleh darah dan keringat. Kausnya tidak lagi menampakkan warna yang jelas. Putih yang tadinya terlihat begitu cerah dan melambangkan harapan telah menjadi kusam. Lengan dan lehernya penuh dengan luka lecet yang justru tidak menimbulkan rintih dari bibirnya.

"Tekan ini kuat-kuat!" perintah pria yang menggiring Nico sembari menempelkan handuk kecil pada pelipis Nico begitu mereka berada pada titik aman. Teriakan untuk merajam orang-orang yang mereka anggap penghuni neraka masih terdengar sekalipun mereka berhasil menyebrang di sisi jalan yang lain.

Nico hanya menurut di sela-sela napasnya yang kembang-kempis.

Dadanya masih bergemuruh oleh murka hingga dia tidak menyadari—atau peduli—dengan tindakan pria di sampingnya yang sedari tadi berusaha menyegat taksi untuk membawa Nico ke rumah sakit. Beberapa taksi kosong justru semakin mempercepat laju saat teman Nico mengangkat tangan untuk menghalau.

"Lo ngapain?"

"Bawa lu ke rumah sakit, goblok! Pelipis lu perlu dijahit."

"Naik taksi!"

Dengan geram dan tanpa bisa menahan marah, pria itu menghardik, "Lu pikir gue ngapain? Nggak ada taksi yang mau berhenti."

Rasa sakit itu akhirnya menembus pertahanan Nico hingga dia mengaduh sembari menekan kain di pelipisnya semakin kuat. Terlalu fokus menahan perih, Nico sampai tidak menyadari dirinya dipapah masuk ke dalam sebuah Range Rover hingga telinganya kembali mendengar suara pria yang tadi menjauhkannya dari maut.

"Ntar gue susul lu ke rumah sakit. Gue mau mastiin yang lain baik-baik aja. Makasih, Pak!"

Belum sempat Nico membalas, pintu mobil terlanjur ditutup.

Meski sekujur tubuhnya terasa disayat, Nico mengepalkan tangan dan tanpa bisa ditahan, dia mengumpat dengan tegas, keras, dan penuh kebencian.

"Bajingan!" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top