8 - PILIHAN LAIN
"Lo nggak kenapa-kenapa?" tanya Nico begitu dia berdiri di samping tempat tidur Cakra. Campuran panik, marah, dan khawatir bukan hanya tampak pada wajahnya, tetapi juga terwakilkan melalui suaranya saat melihat Cakra terbaring di ranjang rumah sakit. Usaha Nico agar tidak melupakan gemuruh di dada menemui jalan buntu. Dia hanya bisa mengepalkan kedua tangan dengan sekuat tenaga, berharap dengan melakukannya, kemarahannya bisa tertunda hingga dia sampai di rumah.
Cakra mengangguk. "Cuma lecet-lecet aja, Nic. Selain memar dan lebam—termasuk di dekat mata—dokter ngeyakinin semua fungsi tubuh gue masih baik-baik aja."
Rahang Nico mengeras menyaksikan mata bagian kiri Cakra tertutup perban sementara luka-luka memar dan rintihan Cakra yang sesekali tertangkap telinga berhasil membuat bulu kuduknya berdiri. Mengatur napas demi menenangkan diri, Nico lantas menyeret kursi di belakangnya sebelum duduk. "Lo ngapain sih sampai digebukin?"
Cakra bertukar pandang dengan Alan sebelum kembali menatap Nico yang dikuasai gusar. "Lo bisa tenang kalau gue cerita?"
Tanggapan yang diberikan Cakra justru membingungkan Nico. Bergantian mengalihkan pandangan ke dua manusia yang telah dianggapnya sahabat, Nico seolah menuntut penjelasan atas tanggapan Cakra. "Kok malah lo yang nanya ke gue? Emangnya apa yang bakal bikin gue nggak tenang?" tanyanya tanpa mampu menyembunyikan keheranan.
"Kami berdua punya dugaan kalau otak di balik kejadian ini berkaitan dengan kasus Jacinda. Kami pikir mereka berhubungan."
Jawaban yang justru diberikan Alan itu semakin membingungkan Nico. Apa hubungan Cakra sama orang yang mukulin Jacinda? batin Nico sambil menatap Alan dan Cakra. Respon yang diharapkannya datang dari Cakra belum juga dia dapatkan. Sekali lagi, Nico menegaskan maksudnya. "Maksud lo berdua apa, sih? Coba nggak usah muter-muter ngasih tahu gue. To the point aja."
"Ada dua orang yang mukulin gue, Nico, dan alasan mereka ngelakuin itu pun gue nggak tahu atau dari mana mereka tahu gue lagi ada di tempat kejadian. Yang pasti, ini udah mereka rencanain." Cakra menelan ludah lantas melanjutkan. "Meski gue berusaha ngelawan, tenaga mereka jauh lebih gede dan mereka nyumpah-nyumpahin gue dengan sebutan yang nggak enak didenger. Gue sempet nangkep mereka bilang kalau mereka nggak akan berhenti bikin perhitungan sampai orang ... orang-orang kayak kita nggak lagi ada di Indonesia."
Mulut Nico terkunci sementara pikirannya mengembara jauh.
Sekalipun mustahil memusnahkan komunitas LGBTQ di Indonesia—bahkan merasa geli dengan kalimat tidak masuk akal tersebut—Nico tetap menanggapi ancaman itu dengan serius. Hujatan akan seksualitasnya bukanlah hal baru, dan Nico selalu menganggapnya sebagai angin lalu, tetapi mendengar Cakra mengalaminya—dan bukan hanya secara verbal—membuat Nico berpikir keras.
Geram di hatinya begitu membabi-buta, tetapi kemungkinan bahwa teman-temannya yang lain bisa menjadi sasaran berikutnya lebih membuat Nico khawatir. Dia tidak peduli jika dijadikan sasaran kebencian yang mengatasnamakan seksualitas, tetapi dia jelas akan melakukan segala upaya untuk mencegah orang-orang yang dia pedulikan mengalami hal seperti yang menimpa Cakra.
"Lo kenal gue, Nic, dan gue ngerasa nggak pernah punya musuh. Gue baru balik dari rumah adik gue, dan negrasa diikutin nggak jauh setelah gue keluar gang. Gue kira udah berhasil ngalihin perhatian mereka, tapi rupanya mereka tetep bisa nguntit gue sampe rumah," jelas Cakra ketika melihat Nico masih terdiam.
"Lo yakin ini murni karena seksualitas lo?"
"Gue nggak yakin seratus persen, tapi nggak ada alasan lain mereka mukulin gue selain itu. Fakta bahwa mereka nyebut nama Jacinda lebih dari sekali, gue yakin mereka ini masih satu komplotan. Entah mereka disuruh atau atas inisiatif sendiri, gue nggak bisa bilang. Mereka nggak perlu nyebut nama Jacinda kalau memang ini nggak berhubungan, kan?"
"Yang nolongin lo siapa?"
"Tetangga gue denger suara rebut dan langsung nyamperin. Begitu dia teriak, dua orang itu langsung kabur. Nggak ada yang sempet buat nyatet nomor polisi motor yang mereka pake. Gue nggak mau ngebayangin nasib gue misalkan nggak ada yang mergokin. Bisa aja gue berakhir kayak Jacinda."
Kalimat terakhir Cakra membuat duduk Nico semakin tidak nyaman. Dia sendiri enggan menggambarkan situasi di mana yang ada di hadapannya saat ini adalah tubuh Cakra yang sudah tidak bernyawa. Dia menggeser sedikit kursi yang diduduki meski melakukannya gagal mengurangi keresahan yang terus merongrong pikirannya.
Dalam diamnya, Nico sesekali bergantian menatap Cakra dan Alan. Penjelasan Cakra bahwa musibah ini tidak jauh dari kasus Jacinda yang dipicu homophobia dapat diterimanya dengan baik. Otaknya berputar mencari kemungkinan pihak yang bisa dia curigai.
"Mereka obrak-abrik rumah lo?"
Cakra menggeleng.
Pandangan Nico beralih sesaat ke Alan saat dia berkata, "Gue ngerasa ini harus sampai ke tangan polisi. Lo nggak bisa diem aja karena yang diincer bukan lagi individunya, tetapi seksualitas mereka. Gue harus mastiin yang lain nggak akan ngalamin ini. Jacinda sama lo udah cukup. Gue nggak mau lagi denger kabar serupa next time."
"Dan seberapa yakin lu soal kasus Cakra ini bakal diusut?" tukas Alan. "Jacinda yang sampai meninggal aja dimasukin laci, Nic, apalagi ini. Mereka pasti nganggep ini penganiayaan biasa. Gue setuju sama pendapat lu soal lapor, dan sama nggak maunya kalau ini merembet ke temen-temen lainnya, tapi kalau hasilnya sama kayak Jacinda, buat apa? Mau bikin semakin banyak orang maki-maki kita dan berharap kenapa Cakra nggak mati sekalian? Gue malah berpikir bahwa memang tujuan mereka itu supaya kita lapor ke polisi."
Nico sudah siap menghujani Alan dengan fakta-fakta yang tersimpan di kepalanya tentang kekerasan yang dilandasi homofobia, tetapi dia mengurungkannya begitu menyadari alasan yang dikemukakan Alan sangat masuk akal.
Kemungkinan kasus Cakra—jika memang masuk berkas laporan—disepelekan memang sangat terbuka lebar. Nico percaya simpati dan dukungan akan tetap mengalir jika memutuskan untuk memupublikasikan kasus Cakra, tapi hujatan dan kebencian terhadap komunitas LGBTQ juga akan semakin kencang.
Paham dengan dilema yang dihadapi, Nico berkata, "Gue tetep ngerasa kita perlu lapor. Ini bukan kejadian kecil yang bisa disepelein gitu aja. Gue ngerti kekhawatiran lo, tapi semakin kita diemin, mereka bakal semakin ngelunjak. Dengan kita diem, gue malah khawatir mereka bakal ngerasa bahwa tindakan bejat ini sudah di jalan yang benar. Soal apakah kasus Cakra bakal dianggep atau nggak, itu kita pikirin nanti. Yang penting, gue nggak akan terima kalau lo berdua nganggep kita harus diem aja."
Nico menatap Alan lekat, seperti ingin mengajak sahabatnya itu beradu tatap dan meyakinkannya bahwa melapor ke pihak berwajib adalah keputusan yang lebih bijak daripada tidak melakukan apa pun atas ketakutan yang belum pasti.
"Ucapan Alan ada benernya," tukas Cakra memecah kesunyian yang ada di antara mereka bertiga. "Ada berapa persen kasus gue bakal diusut, Nic? Gue nggak ada clue siapa mereka dan tampang mereka kayak apa. Bukti yang gue kasih nggak cukup kuat buat nyeret otak di balik kejadian ini. Malah bisa aja gue dianggep mengada-ada. Tetangga gue juga saking paniknya, nggak yakin bisa ngasih keterangan yang bakal ngebantu. Gue juga pengen mereka ketangkep, tapi daripada buang waktu dan tenaga tanpa dapet hasil, mendingan nggak usah dilaporin sekalian."
Nico beranjak dari duduknya dan dalam hitungan detik, langkahnya yang tidak tentu tidak berbeda dengan orang yang dihadapkan pada pilihan sulit. Sambil sesekali menyisir rambut dengan tangan, dia memejamkan mata, menguras otak demi mendapatkan solusi terbaik. Tidak ada yang bisa dilakukannya jika Cakra bersikeras untuk tidak melapor.
"Gue harap lo mau gue wawancara buat BERANDA," ucapnya tiba-tiba. "Gue bakal nulis kejadian ini ke beberapa media luar. Kalau ada media lokal yang mau nerbitin, gue bakal bersyukur, tapi misalnya nggak ada, kasus lo nggak akan tenggelam. Gue nggak tahu impact-nya bakal kayak apa, tapi gue nggak bisa cuma diem, Cak. Gue harus ngelakuin sesuatu kalau lo ngotot nggak pengen lapor."
Tiga pria itu saling bertukar pandang sebelum Alan mengangguk, diikuti Cakra. "Gue rasa itu ide yang nggak jelek dan bisa jauh lebih efektif buat ngebangun opini publik. Ntar gue bawa kamera buat foto kondisi Cakra biar nggak dikira hoax." Alan menatap Cakra dan berujar, "Cak, kalau bisa kenalin gue dan Nico sama tetangga lu yang jadi saksi biar kami dapet keterangan dari dia. Kita bisa bikin edisi ekslusif supaya orang bener-bener fokus sama kejadian ini."
Cakra mengangguk. "Nunggu gue keluar rumah sakit ya?"
Ucapan Cakra yang spontan dan terkesan retoris itu justru dibalas Alan dengan sebuah gelak. Cakra pun tidak bisa menahan diri meski dia harus berhati-hati agar nyeri yang dirasakannya tidak terlalu terasa.
Nico yang awalnya bingung, membiarkan tawanya lepas menyadari bahwa dia terlalu tegang memikirkan peristiwa yang datang tiba-tiba ini.
***
"Mas Nico mau nyewa private investigator?"
Tangan Nico yang sudah terulur untuk mengambil potongan pizza terakhir, menggantung di udara. Dia menatap Eli yang sudah menghabiskan potongan pizza-nya sebelum otaknya paham maksud Eli menyebut private investigator.
"Buat apa?" balas Nico sebelum menggigit crust pizza tanpa memedulikan remahan yang jatuh di atas kaus abu-abunya.
"Nyelidikin kasus Bang Cakra, buat apa lagi? Kalau lo berhasil dapetin bukti, seenggaknya lo bisa bawa ke yang berwajib buat diproses lebih lanjut. Atau kalau emang nggak mau dibawa ke polisi, seenggaknya Bang Cakra atau lo tahu otak di balik pemukulan itu. Lebih baik tahu daripada berasumsi. Gue paham banget lo pasti penasaran, Mas."
Meski ucapan Eli sangat masuk akal, Nico memilih untuk mengabaikannya sejenak demi memanjakan lidahnya dengan potongan pizza bertabur tomat dan ikan tuna itu. Sejak pulang dari rumah sakit, Nico dipenuhi praduga tentang otak di balik penganiayaan Cakra. Hanya ada satu kelompok di Indonesia yang menurutnya secara terbuka dan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap keberadaan komunitas LGBTQ. Mereka juga yang melempari para protestan dengan kerikil saat Nico dan kawan-kawannya memrotes tentang RUU. Namun tidak ada bukti yang bisa diajukan Nico untuk menyeret mereka. Dia sengaja tidak mengungkapkan kecurigaannya pada siapa pun karena tidak ingin mendengar ceramah tentang betapa kuatnya orang-orang di balik organisasi tersebut.
Nico memang sengaja minta Eli datang ke rumah. Mereka makan malam berdua—satu porsi jumbo pizza yang dibeli Eli dari Pomodoro—sambil menyelonjorkan kaki di atas meja ruang tamu. Sudah lama dirinya tidak makan sesantai ini bersama Eli. Diceritakannya dengan jelas dan runut tentang peristiwa yang menimpa Cakra dan meski tidak secara jelas meminta pertimbangan sang adik, Eli tetap mengutarakan pendapat sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia hukum sekalipun pidana bukanlah ranahnya.
"Gue harus ngomong ke Cakra dulu. Gue nggak mau lancang nentuin hal kayak gini karena gimana pun juga, dia korbannya. Tapi dia udah yakin nggak mau bawa ini ke pihak berwajib. Alan pun percaya bahwa itu keputusan paling tepat."
Eli mengangguk sebelum menurunkan kakinya dari atas meja. "Gimana mereka tahu Bang Cakra gay?"
Nico mengembuskan napas panjang dan menggeleng. "Gue sama nggak tahunya, Eli. Tapi kami curiga bahwa wajah Cakra kerekam kamera pas demo nuntut pemerintah buat batalin RUU waktu itu. Kami nggak yakin ada mata-mata karena kami bukan organisasi, jadi kemungkinan besar, mereka tahu dari foto dan entah bagaimana, berhasil ngelacak Cakra dan berasumsi bahwa dia juga bagian dari komunitas LGBTQ. Asumsi mereka memang nggak salah, tapi tindakan mereka itu bener-bener barbar kayak binatang buas."
"Berarti lo ada dalam daftar mereka?"
Meski ingin menepisnya, Nico tidak punya pilihan selain mengangguk. Dia sudah memikirkan kemungkinan tersebut lama sebelum Eli menyuarakannya. "Mungkin." Begitu melihat wajah adiknya berubah, Nico dengan sigap berkata, "Gue bakal ati-ati. Kalau misalnya gue jadi korban nanti, gue yakin lo nggak bakal diem." Diulurkannya lengannya untuk meremas pelan pundak Eli. "Lo nggak usah khawatir. I can take care of myself."
Eli hanya diam sekalipun wajahnya menampakkan resah yang sulit disembunyikan. "Lo punya gambaran siapa yang ada di balik ini semua?"
"Ada satu kelompok yang gue curigai, tapi gue nggak akan ngasih tahu siapa pun sebelum gue yakin. Gue punya alasan kenapa mencurigai merek karena selama ini ... ya cuma mereka yang secara terbuka nentang keberadaan kami. Ini baru dugaan, jadi gue nggak bisa gegabah. Cakra yakin yang nyerang dia ada hubungannya sama Jacinda, sementara gue—"
"Cuma karena Bang Cakra nyebut nama Jacinda, bukan berarti mereka orang yang sama, Mas," potong Eli.
Nico mengangguk, membenarkan teori Eli bahwa Jacinda mungkin hanya nama yang mereka catut untuk menakut-nakuti Cakra. "Kemungkinan itu ada, tapi gue, Cakra, dan Alan percaya mereka orang yang sama, kalau nggak orangnya, mungkin komplotan atau otak yang nyuruh mereka. Orang nggak bakal nyerang Cakra tanpa alasan jelas, El. Apalagi mereka ngata-ngatain Cakra dengan bahasa yang sangat merendahkan. This is an organized hate crime."
"Gue nggak tahu soal organized karena menurut gue ini murni didasari homofobia. Lo tahu sendiri, negara kita sekarang jauh dari kata toleran dibanding dulu. Meski lo nggak bilang, gue bisa nebak siapa yang lo curigain, Mas."
Nico menurunkan kakinya untuk meraih gelas berisi air putih yang tinggal setengah. Ditandaskannya dalam sekali teguk sebelum dia menatap Eli. Dia yakin tebakan Eli tidak akan meleset, tapi Nico tetap akan mengunci mulut. "Gue nggak mau ada lagi yang jadi korban, Eli. Whoever that may be. Makanya gue sempet ngotot supaya kasus ini dilaporin supaya mereka tahu kami nggak akan diem dan supaya kami punya bukti. Tapi Cakra dan Alan punya alasan yang jauh lebih kuat dan konsekuensinya bisa jauh lebih fatal kalau kami lapor. As much as I don't want to admit it, I trust their judgment. Gue pengen bikin edisi khusus BERANDA yang isinya bakal ngebahas soal kasus Cakra. Kami bisa tetep angkat insiden ini tanpa harus ngelibatin aparat. Itu cara yang paling efektif buat ngasih tahu bahwa kami nggak akan diem."
"Maksud lo gimana? Gue nggak ngerti."
Nico meraih bungkus rokok dari atas meja sebelum bangkit dari sofa. Jika dorongan untuk merokoknya tidak bisa ditahan ketika bersama Eli, dia akan menjauh agar adiknya tidak terpapar asap rokok. Nafsunya tidak cukup kuat untuk menunggu lebih lama. Dinyalakannya gulungan tembakau itu begitu dia menyandarkan punggung ke dinding, cukup jauh dari Eli.
"Gue bakal wawancara Cakra dan juga tetangganya yang kebetulan waktu itu jadi saksi mata, kemudian naruh hasil wawancara di edisi BERANDA bulan depan. Gue juga bakal nulis artikel soal ini buat gue kirim ke media luar," jelasnya. Pandangan Nico beralih ke jalanan di depan rumah yang mulai sepi. "Cuma itu caranya supaya cerita Cakra nggak tenggelam."
"Kenapa nggak lo kirim ke media lokal? Gue nggak ngerti kenapa lo malah mau ngirim ke media luar yang notabene nggak berhubungan langsung dengan kejadian ini. Dampaknya nggak akan ada kalau cuma orang luar yang baca, Mas."
Nico menatap Eli yang dengan santai membersihkan remahan pizza yang mengotori blus kuning gading yang dipakainya. Dia mengisap rokoknya sebelum menjawab, "Media sini yang mau muat cerita kayak gitu nggak banyak, El, nggak peduli apakah ini kasus kriminal atau nggak. Lo harus inget, ini Indonesia di mana kasus penganiayaan terhadap Cakra hanya akan fokus ke sekualitas Cakra daripada tindakan kriminalnya. It's a same old story. Gue cukup tahu gimana kerja media di sini kalau nyangkut isu-isu LGBTQ."
"Kalian kan punya medsos, kenapa nggak dipake?"
"Alan lagi ngerencanain content sementara nunggu Cakra balik dari rumah sakit. Gue serahin semua ke dia karena dia yang lebih tahu."
Nico melanjutkan mengisap rokok dan membiarkan pikirannya berkelana. Ketika Alan mengabarinya tentang Cakra, dia mengumpat sekeras mungkin karena ketakutan yang dia ungkapkan setelah acara untuk Jacinda malam itu terbukti. Dia tidak pernah takut jika dirinya yang menjadi korban, tetapi tidak teman-temannya.
"Mas, lo mau kan misalnya gue ajak makan malam lagi sama Mama?"
Pertanyaan tiba-tiba yang sangat melenceng dari topik obrolan mereka membuat Nico perlu memusatkan konsentrasi. Perlu beberapa detik baginya untuk memahami apa yang dimaksud Eli. Sejak dari Pomodoro, mereka memang belum membicarakan malam itu. Nico tahu tinggal menunggu waktu sebelum Eli menyinggung acara makan malam yang tidak pernah ingin dia ulangi. Namun dia tidak menduga adiknya akan tetap membahasnya sekalipun tahu ada hal yang lebih penting yang menguasai pikiran Nico.
Tatapan mereka bertemu dan Nico tahu, Eli mengharapkan jawaban yang berbeda. Namun Nico telah bersumpah bahwa dia tetap bergeming akan keputusan untuk tidak lagi menyia-nyiakan malamnya dengan Citra Witeja. "Gue nggak bisa, El. Dan jangan paksa gue. Lo mau jadi penengah terus?"
"Gue nggak keberatan, Mas."
"Tapi gue keberatan," tandas Nico tidak kalah cepat. "Gue nggak tahu kondisi rumah sekarang kayak apa dan sejujurnya, gue nggak mau tahu. Tapi selama Mama masih takut sama orang itu, selama itu pula gue nggak akan nyaman ketemu Mama. Gue nggak perlu jelasin kenapa."
"Papa udah jarang mukul Mama sejak gue beneran ngancem Papa."
"Dan lo pikir, orang itu nggak punya cara lain buat nyakitin Mama?" Nico menggeleng. "Gue nggak bisa, El. Lo liat sendiri Mama kebanyakan diem di Pomodoro karena masih ada ketakutan yang nggak bisa dia singkirin. Lo berharap kami langsung akrab kayak dulu cuma karena gue anak Mama yang udah tujuh tahun nggak pulang? Things have broken between us, Eli. Dan gue nggak punya energi buat ngebenerin yang udah rusak itu. Ada banyak yang gue tahan sejak gue pergi dari rumah dan semuanya nggak akan ilang cuma dengan lo ngajakin gue ketemuan sama Mama."
Eli diam. Mereka saling beradu pandang sebelum Eli bangkit dari sofa dan menyambar tasnya. Dengan cekatan, dia memakai sepatu bersol merahnya sebelum menghampiri Nico dengan langkah mantap. "Gue cuma nggak mau lo nyesel, Mas. Lo mungkin nggak mikir sejauh itu, tapi lo juga harus inget bahwa nggak selamanya Mama hidup. Gue berusaha bantu lo supaya saat itu tiba, lo nggak punya penyesalan. Believe me, you will have regrets over this."
Nico menelan ludah. Kalimat Eli memang menohok ulu hati karena sesungguhnya Nico enggan membayangkan sesuatu yang belum terjadi. Setelah pergi dari rumah, penyesalan tidak pernah lagi menghampiri karena dia telah mematikan satu emosi itu agar tidak menyeretnya ke dalam kubangan memori. Tidak ada yang salah dalam ucapan Eli, tetapi jika ketakutan yang diungkapkan adiknya itu nanti benar-benar datang, tidak ada yang akan bisa membantu selain dirinya sendiri.
"Lo nggak perlu khawatir karena gue yang bakal nanggung itu, bukan lo." Nico lantas mendekatkan wajahnya untuk mengecup pipi Eli. "Kalau lo mau bantu gue, cukup berhenti ngajakin gue makan malam sama Mama. That's all I'm asking for." Nico tersenyum saat melihat adiknya masih memasang tampang sebal yang ditahan hingga menimbulkan rona merah pada pipinya. "Ati-ati di jalan. Nggak usah ngebut," pesan Nico. "And thank you for the dinner, little sister."
Eli hanya melambaikan tangan saat berjalan menuju mobilnya. Senyum yang ditunjukkan Nico mulai memudar begitu melihat mobil Eli keluar dari halaman rumah. Ditariknya napas panjang sebelum mengembuskannya dengan keras.
"Lo nggak perlu tahu misalkan ada yang gue sesali, Eli. I promise, you will never see any of it."
***
Dear all,
Saya nggak tahu kenapa, rasanya kok semakin ke sini, cerita ini jadi lebih political ya? Hahaha. Tapi saya janji, porsinya nggak akan bikin kalian sampai muntah kok, LOL. Saya cuma ngerasa perlu menyampaikan kisah ini seperti yang kalian baca karena saya yakin, isu LGBTQ di Indonesia jarang diangkat ke dalam sebuah cerita (seenggaknya dari yang saya tahu) dan sekarang kondisinya bisa dibilang cukup miris. I just want to write something that is representing my fears of being part of LGBTQ community in Indonesia.
Kayaknya cerita ini bakal panjang, karena masih banyak yang belum tersampaikan. Apalagi saya nggak pakai outline secara tertulis, dan nggak punya stok bab, jadi saya nulis ini beneran sambil jalan. Semoga sih hasilnya nggak malu-maluin dan tetep pantes buat dibaca.
Just a short notice, KLB dan SBJ udah dalam proses pembuatan cover dan layout, dan semoga aja bisa saya buka PO-nya dalam bulan ini.
Anyway, itu aja sih. Have a great week, people!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top