20 - TAK TERDUGA
Flinck menjadi salah satu tempat favorit Nico setiap dia merasa jenuh dengan De Brug atau Crea, dua tempat nongkrong mahasiswa di kampus Roeterseiland. Selain jarak yang tidak terlalu jauh dari kampus—dia bisa bersepeda atau bahkan berjalan kaki jika cuaca sedang cerah—suasana hatinya tidak pernah gagal membaik setelah menghabiskan beberapa jam di sana.
Seusai menyelesaikan tumpukan tugas selama dua minggu, Nico tidak berpikir panjang sebelum mengayuhkan sepeda ke De Pijp, salah satu kawasan tersibuk di Amsterdam. Sembari melemaskan otak dengan membaca Keeping a Rendezvous karangan John Berger, Nico memanjakan mulutnya dengan black angus hamburger, satu-satunya menu di Flinck yang tidak pernah bosan dia lahap habis. Dia bahkan berniat menjadikan makanan itu sebagai hadiah setiap kali dia berhasil menyelesaikan tugas sebelum tenggat waktu habis.
Burger-nya hampir tandas dan Nico sedang bersenandung pelan saat menyadari kursi di hadapannya ditarik mundur. Begitu dia mengangkat wajah dan mengetahui siapa yang dengan berani menganggu ketentramannya, Nico langsung meletakkan burger yang dipegangnya di atas piring.
Matanya tidak mungkin salah mengenali pria necis yang dengan santainya menempati kursi tanpa meminta izinnya. Nafsu menandaskan hamburger seharga 15 Euro itu tiba-tiba lenyap dengan tiba-tiba. Kebencian yang sudah lama tidak dia indahkan sejak menginjakkan kaki di Belanda, dengan kuat menggedor kembali batinnya dengan keras.
Menyadari harinya telah dirusak, tanpa menunggu lama Nico menyambar buku yang dia baca dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah memastikan tidak ada satu barang pun yang tertinggal, Nico bangkit dari kursi tanpa mengarahkan pandangan atau mengatakan satu patah kata kepada pria yang masih menyaksikan setiap gerakan Nico dalam diam.
Namun sebelum Nico sempat melangkah lebih jauh, suara pria yang sudah tidak didengarnya selama sepuluh tahun itu berhasil menghentikan ayunan kakinya dengan otoritas yang belum juga luntur dengan usia.
"Papa ke sini karena ada kabar yang harus kamu dengar dari Papa langsung."
Ada keterkejutan saat menyadari tidak ada rasa jijik atau marah dalam suara Alfian Witeja. Namun mengingat kembali kalimat yang terlontar dari mulut pria yang sudah lagi tidak dianggapnya sebagai ayah, Nico menanggapinya dengan kasar, "Awas aja kalau lo sampai macem-macem sama Mama atau Eli."
Semua rasa hormat, sopan santun serta kagum yang pernah dimiliki Nico dulu, sudah hilang tak berbekas setelah mengetahui betapa tidak beradabnya perlakuan Alfian Witeja terhadap sang istri di balik pintu kamar tidur mereka. Sekan belum cukup, ketika Alfian Witeja menganggap anaknya sendiri sebagai kotoran dalam keluarga hanya karena orientasi seksual Nico dianggap mengancam bisnis yang dia miliki, keinginan masa kecil Nico agar dia tumbuh menjadi pria seperti sang ayah terhapus dengan cepat.
Waktu masih belum mampu menghilangkan semua kenangan buruk yang ditancapkan Alfian Witeja dalam hidupnya. Pun kata maaf yang tidak sudi keluar dari mulut Nico—bahkan jika pria itu bersimbah dan memohon kepadanya.
"Bisa kita bicara di tempat lain?" tanyanya sambil mengamati sekeliling seolah tidak menginginkan penolakan dari Nico. "Kalau kamu mau melampiaskan kemarahan, mereka tidak perlu menaruh kamu dalam blacklist. Papa tahu ini salah satu tempat favorit kamu di Amsterdam."
Nico tidak perlu mengajukan pertanyaan dari mana Alfian Witeja tahu soal Flinck, apalagi mengetahui dirinya sedang berada di sini saat ini. Alfian Witeja punya terlalu banyak uang untuk dihamburkan hingga menyewa seorang private investigator demi mengumpulkan informasi tentang Nico tidak akan berimbas besar pada kekayaan yang ditimbunnya sejak dulu. Yang tidak Nico pahami adalah alasan pria itu menghamburkan uang untuk manusia yang pernah dianggap Alfian Witeja sebagai aib paling memalukan.
"Gue mau balik. Rusak hari gue ngeliat lo di sini."
Langkah Nico belum jauh ketika suara Alfian Witeja kembali membuat langkahnya terhenti. "Ini soal Jacinda."
Jacinda?
"Papa tahu usaha kamu dan teman-teman kamu untuk melacak siapa pelaku pembunuhan Jacinda. Apa yang kamu harapkan dari BERANDA? Bahwa polisi akan mengusut kasusnya hanya karena kamu memuatnya setiap bulan?" Ada jeda cukup lama sebelum dia melanjutkan. "Ini juga tentang orang yang menganiaya Cakra, merusak buku-buku kamu, membuatmu masuk rumah sakit dua kali, dan ... membakar rumah kamu. Yang tidak mereka tahu, ada darah Witeja yang mengalir dalam tubuh kamu. Seorang Witeja tidak akan kalah dan menyerah dengan ancaman seperti itu."
Sekarang mulut Nico benar-benar kelu. Kebingungan perlahan merambati otaknya, menutupi kemarahan yang tidak pernah pudar kepada dua pria yang hampir mencabut nyawanya dan membuat tubuhnya hangus. Demi memastikan pendengarannya tidak salah, Nico menelan bulat-bulat semua rasa gengsi dan membalikkan badan demi mengajukan satu pertanyaan.
"Dari mana lo tahu?"
"Let's take a walk."
Nico hanya diam saat pria itu bangkit dari kursi dan melewatinya untuk berjalan keluar dari Flinck. Ada kebimbangan dalam diri Nico untuk mengabaikan kebenciannya atau menjilat ludah yang telah dibuangnya atas rasa penasaran.
***
"Mereka melakukannya karena kamu menyandang nama Witeja, berharap Papa akan dengan gampang tunduk pada cara kotor dan sadis seperti itu. Mereka tidak peduli kamu sudah pergi dari rumah selama bertahun-tahun atau fakta bahwa kamu tidak lagi ingin berhubungan dengan Papa dan segala bisnis yang membawa nawa Witeja." Alfian Witeja menyilangkan lengan. "Sejak dulu, mereka selalu ingin menjegal bisnis yang Papa bangun, tetapi selalu gagal. Papa yakin, saat tahu kamu seorang homoseksual, mereka merasa telah menemukan senjata pamungkas untuk menghancurkan Papa. Mereka tidak tahu bahwa hubungan kita tidak lagi sama sejak sepuluh tahun lalu. Yang mereka pedulikan hanyalah kamu satu-satunya anak laki-laki Papa dan itu cukup. Mengetahui aktivitas kamu yang tanpa lelah memperjuangkan kesetaraan gender, Jacinda sengaja mereka jadikan pancingan agar kamu bereaksi. Jacinda hanya tidak beruntung berada di waktu dan tempat yang salah." Alfian Witeja menunduk, seolah menunjukkan simpati atas kematian transpuan tersebut. "Dan mereka memang berhasil mendapatkan reaksi dari kamu karena kamu memang tidak tinggal diam. Mereka tidak berniat mencelakai Cakra, tetapi karena informasi yang didapat Cakra dapat membahayakan dan mengungkap dalang di balik serangan itu, maka mereka menjadikannya target. Juga karena mereka tahu, Cakra adalah salah satu teman terdekat kamu. Untungnya dia selamat. Semua usaha kamu untuk mengungkap kasus Jacinda mereka jadikan alasan kuat untuk mencelakai kamu. Mereka ketakutan ketika kamu masih tidak menyerah untuk mencari tahu otak di balik kejadian yang menimpa Jacinda dan Cakra. Mereka lantas mengacak-acak rumah kamu, berharap kamu akan mundur. Tapi kamu tentu saja tidak akan terima begitu saja. Papa—"
"Dan lo cuma diem tahu semua itu?" Nico tidak peduli jika suaranya membuat orang-orang yang sedang menikmati sore di Sarphatipark menoleh. Dia tidak akan menyimpan kemarahannya demi nama baik Alfian Witeja.
"Mereka belum menyentuh kamu saat itu, Nico. Mereka cuma memberi kamu peringatan."
Sembari mengepalkan tangannya di dalam saku mantel, Nico berujar, "Gue yakin lo bakal seneng kalau gue mati beneran karena lo nggak perlu lagi nyembunyiin fakta bahwa gue homo. Lo nggak perlu lagi ngancem mereka yang berusaha cari info soal gue. Hidup lo bakal lebih tenang. Kenapa nggak lo bayar orang buat habisin gue sekalian? Nggak ada lagi rival bisnis yang repot-repot jadiin gue sasaran."
Nico menelan ludah sembari membuang muka.
Semenjak memutuskan untuk mengikuti Alfian Witeja dari Flinck, tidak sekali pun Nico memandang wajah pria yang berjalan di sampingnya. Dia tidak ingin kehilangan kontrol atas emosinya jika menatap wajah Alfian Witeja.
"Mungkin ini terdengar jahat, tetapi Papa lebih tidak mau mereka mengincar Eli. You're the strongest one and I was right. Kamu akan menyalahkan diri sendiri jika terjadi sesuatu dengan Eli."
Jika kebencian serta rasa marah tidak menguasainya, Nico akan menganggap ucapan Alfian Witeja tentangnya sebagai sebuah pujian. Ada kelegaan dalam diri Nico bahwa bajingan-bajingan itu tidak menyentuh Eli—dia tidak bisa membayangkan mereka menjadikan Eli seagai sasaran—tetapi menyadari nilai dirinya lebih rendah daripada adiknya di mata Alfian Witeja, Nico merasa jijik.
"Lo beneran sinting!"
"Kamu bisa melepas nama Witeja secara formal, tetapi kamu tetaplah Witeja. Tidak ada yang bisa mengubah itu, Nico. Papa akan membiarkan kamu berpikir tentang ketidakacuhan Papa atas apa yang terjadi dengan kamu. Apa pun itu, Papa tidak keberatan. Papa diam karena kamu kuat, karena kamu tidak kalah ngotot daripada Papa. Kamu bahkan jauh lebih keras kepala. Kamu masih hidup. Bukankah itu yang penting?"
Tanpa mengucapkan satu kalimat pun, Nico yakin Alfian Witeja mampu menangkap amarah yang tampak jelas dalam bahasa tubuhnya. Jika pria itu cukup peduli.
Langkah Alfian Witeja terhenti begitu dia menyadari tidak ada manusia lain di sudut Sarphatipark. Pria yang rambutnya masih tampak lebat itu memandang Nico meski tatapan putra satu-satunya itu tidak terarah kepadanya. "Papa menemui kamu karena ingin memberikan ini," ucapnya sambil mengulurkan satu map kulit berwarna cokelat tua ke arah Nico. "Semua yang ingin kamu tahu soal orang-orang itu ada di sini. Papa tidak peduli langkah apa yang akan kamu ambil. Kalau kamu ingin menjebloskan mereka ke penjara, semua bukti ada di dalam map."
Nico hanya memandangi map yang harganya mungkin masih lebih mahal daripada dirinya. Dia masih membenamkan dua tangannya ke dalam kantung mantel karena tidak ingin telihat lemah di hadapan Alfian Witeja. Pandangannya pun diarahkan ke rumput-rumput yang masih tampak hijau meski musim gugur sudah hampir berakhir.
"Papa tahu kebencian kamu kepada Papa sudah terlalu dalam. Papa tidak datang ke sini untuk meminta maaf atau mengemis maaf dari kamu. Jika kamu memutuskan pulang, Papa bisa mencoba menerima pilihan hidup kamu. Demi Eli dan usia Papa yang tidak bertambah muda, Papa bisa mencoba." Alfian Witeja kemudian meletakkan map yang masih dipegangnya di atas bangku yang ada di dekat mereka. "Papa tetap akan menyewa seseorang buat mengawasi kamu dan meski tahu kamu akan keberatan menerima pengamanan dari Papa, kamu tetaplah anak Papa. Yang terpenting, Papa tidak mau melihat Eli sedih jika kamu harus masuk rumah sakit lagi. Your sister loves you very much that she'd rather losing everything than losing you. Your mother raised you two right." Alfian Witeja sudah membalikkan badan, tetapi sebelum dia berjalan menjauh dari Nico, dia berkata, "Papa tidak pernah mencoret nama kamu dari ahli waris karena permintaan Mama dan karena Papa masih punya perasaan. Semua yang ditinggalkan Kakek kamu tidak pernah Papa sentuh. Mama kamu dan Eli memastikan kamu tidak kehilangan apa pun meski sudah pergi dari rumah dan menghapus nama Witeja."
Rahang Nico masih mengeras dan tangannya masih mengepal, bahkan ketika langkah Alfian Witeja sudah tidak lagi didengarnya. Nico menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan keras sembari memejamkan mata.
Pertemuannya dengan pria yang sudah tidak lagi dianggapnya sebagai orang tua memang mengacaukan semua emosinya. Dia membuka mata sebelum duduk di bangku. Dipandangnya map cokelat tua itu sambil memutar kembali apa yang dia dengar beberapa menit lalu. Semua informasi yang keluar dari mulut Alfian Witeja terasa seperti konflik yang terdapat dalam cerita fiksi. Sulit untuk dipercaya, tetapi memang terjadi dalam dunia nyata.
Nico mengeluarkan tangannya dari saku mantel dan—entah apa yang membuat jemarinya gemetar—menyentuh permukaan map itu sebelum membukanya.
Laporan yang ada di dalam map itu begitu rinci. Nama-nama serta foto yang terpampang dalam setiap lembarnya tampak sangat asing bagi inderanya, tetapi Nico merasa mengenal mereka. Dipandangnya lekat wajah pria yang menurut laporan adalah salah satu yang punya andil dalam pembakaran rumahnya serta daftar kejahatan yang pernah dia perbuat. Pria itu juga menjadi bagian dari gerombolan yang menganiaya Jacinda hingga tewas. Dibaliknya halaman demi halaman laporan itu sebelum Nico menutupnya dengan keras.
Nico tidak pernah menyangka kejadian yang menimpa Jacinda, Cakra, dan dirinya berhubungan dengan Alfian Witeja. Kebencian yang sudah terlanjur mengakar kuat dalam diri Nico semakin bertambah mengetahui Alfian Witeja hanya diam mengetahui itu semua. Yang tidak ingin Nico akui adalah dirinya tidak bisa seutuhnya melepaskan nama Witeja. Nama itu akan terus menguntitnya sekalipun Witeja sudah tidak lagi tercantum di belakang namanya.
Meraih map itu, Nico kemudian bangkit dari bangku untuk mengambil sepeda yang dia parkir di dekat Flinck. Hanya satu orang yang ingin dia ajak bicara setelah pertemuan tidak terduganya dengan Alfian Witeja. Berbicara dengan Gijs akan mampu memberi Nico pandangan objektif tentang apa yang harus dia lakukan dengan informasi yang sekarang menjadi miliknya.
***
Dear all,
Another update :)
Saya sebenernya nggak yakin mau update ini. Bukan kenapa-kenapa, tapi bab ini saya rencanain buat jadi bab terakhir sebelum Epilog, makanya jumlah katanya lebih banyak dari ini. Cuma pas ngedit ini tadi, saya kok ngerasa ini perlu jadi bab tersendiri. Maka dari itu, akhirnya saya post karena pertemuan Nico sama ayahnya emang perlu bab sendiri.
I hope you enjoyed this part. Kira-kira bab berikutnya soal apa? :D
Have a great evening, people!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top