35 : Sakit

Awalnya, Elang hanya berpikir Alyssa marah padanya sehingga tidak membalas pesan Elang dan jika seperti itu, bukanlah diam adalah pilihan terbaik menunggu mood Alyssa reda keesokkan harinya, baru Elang akan meminta maaf.

Ya, awalnya itu yang ada di pikiran Elang sampai di jam istirahat dia mengunjungi kelas Alyssa, Elang tak mendapati pacarnya itu di kelas. Setidaknya, jika Alyssa pergi ke kantin, seharusnya dia tidak membawa tasnya, kan? Elang harus bertanya kepada teman sekelas Alyssa yang dia kenali wajahnya mengenai keberadaan Alyssa dan Elang melemas saat teman Alyssa itu berkata jika Alyssa tidak masuk sekolah karena sakit.

Elang mencoba menghubungi Alyssa, namun ponsel Alyssa tidak aktif dan membuat kecemasan Elang bertambah banyak. Mau tak mau, Elang menemui Yeslin yang seharusnya tahu apa penyebab Alyssa sakit dan mungkin sudah mendapatkan kabar dari Alyssa sebelumnya.

"Oh, Alyssa. Kemarin dia nelepon gue pakai nomor siapa gue gak tahu. Nanyain gue lagi di mana. Kalau gak salah sekitar sebelum maghrib. Terus gue jawab baru balik les dan dia minta tolong jemput di sekolah soalnya hujan dan Pak Surahman gak jemput." Yeslin bertopang dagu, berpikir sebelum lanjut bercerita, "Pas gue sampai sekolah, dia di pos satpam, setengah basah, sih. Jadi, kayaknya meriang gara-gara itu."

Elang diam sejenak, hatinya benar-benar mencelos. "Dia gak balas BBM atau angkat telepon gue dari kemarin."

Satu alis Yeslin terangkat. "Lo berantem, ya, sama Alyssa?"

Elang menjawab dengan mengedikkan bahu. "Gue gak ngerasa berantem sama dia. Tapi dia emang lagi sensitif akhir-akhir ini."

Yeslin menghela napas, berkacak pinggang. "Ya, elah. Gue pikir lo cowok terpeka sedunia. Ternyata sama aja. Cowok peka itu spesies langka dan lo bukan spesies langka itu."

Elang memutar bola mata. "Intinya, Alyssa ngambek sama gue, gitu?"

"Ya, iyalah! Gitu doang nyimpulinnya lama bener."

"Ya, udah. Ikut gue ke rumah Alyssa, yuk? Gak berani gue kalau sendirian ke sana. Nanti dikira nekat mau ngelamar. Bukannya gue gak mau, ya, tapi gue belum punya bekal cukup buat ngelamar anak orang."

Yeslin mengernyitkan dahi. "Oke, deh. Nanti pulang sekolah ketemuan di parkiran aja."

"Pulang sekolah? Enggak, lah! Sekarang!"

Yeslin menganga sekilas. "Eh, jam berapa sekarang? Nyari mati lo mau bolos?"

"Gak apa-apa, lah, sesekali bolos. Nanti gue yang ngehadap Kepala Sekolah langsung, tenang. Gue mau ketemu Alyssa sekarang. Lo harus ikut gue."

Jika yang Elang ajak membolos adalah Alyssa, pasti Elang akan mendapat ceramah beserta omelan panjang lebar dari Alyssa yang intinya dia tak mau mengikuti jalan sesat Elang untuk membolos. Sayangnya, saat ini yang Elang ajak membolos adalah Yeslin yang terkadang mengingatkan Elang akan Ricky. Yeslin seperti Ricky, namun versi cewek.

"Bener, ya, lo tanggungjawab kalau gue ditanyain?" Yeslin menunjuk Elang, membidik.

Elang mengangguk mantap. "Iya. Gue pasang badan."

Yeslin nyengir lebar. "Oke! Let's go!"

Bahkan, sekarang Yeslin yang jauh lebih bersemangat untuk membolos.

🕛🕛🕛

Alyssa dan Bunda memang dekat, tapi bukan berarti Elang dekat dengan Mama Alyssa. Pasalnya, Alyssa selalu bercerita tentang seberapa ketat pengawasan kedua orangtuanya yang membuat Alyssa selalu melarang Elang ketika Elang berniat untuk mengunjungi rumah Alyssa. Elang hanya akan ke rumah Alyssa saat Alyssa memberi kode bahwa orangtuanya tak ada di rumah. Sampai detik ini, Elang belum pernah bertemu dengan Papa Alyssa dan hanya sekali bertemu Mama Alyssa.

Semuanya benar-benar di luar kendali saat motor yang Elang kendarai dengan Yeslin yang dia boncengi berhenti di depan rumah Alyssa. Jantung Elang berdebar tak karuan begitu Yeslin dengan santainya berbicara seakan tak ada beban.

"Eh, ada mobil Papa-nya Alyssa. Kayaknya dia gak kerja."

Keringat dingin mengalir di sekujur tubuh Elang dan cowok itu untuk pertama kalinya mati kutu hanya untuk menemui orangtua Alyssa. Untung saja, Yeslin menarik lengan Elang untuk segera melangkah mendekati pagar kediaman Alyssa.

"Assalamualaikum!"

Yeslin mengucap salam dengan lantang selama beberapa kali, dari depan pagar. Tak lama, pintu terbuka dan Elang benar-benar membeku mendapati wajah wanita paruh baya yang benar-benar mirip Alyssa versi muda muncul dari balik pintu rumah dan buru-buru melangkah untuk membukakan pintu gerbang.

"Walaikumsalam. Loh, Yes? Kok, kamu di sini? Bukannya sekolah?"

Mama bertanya dengan mata menatap Yeslin heran, setelah dia berhasil membuka pintu gerbang. Yeslin nyengir. "Iya, dong. Udah dapat izin dari Kepala Sekolah buat jenguk Alyssa, hehe."

"Ngapain dijenguk? Paling sakit sebentar. Sebenarnya gak parah-parah banget dan baru sehari gak masuk."

"Sebenarnya aku ke sini nemenin El─Aw! Kenapa nyubit gue, sih?!"

Perhatian Mama beralih ke Elang yang tampak memberi kode sesuatu kepada Yeslin, meminta cewek itu untuk tidak mengungkit hal yang membuat Mama menjadi kesal pada Elang.

Elang beralih menatap Mama dengan memaksakan diri untuk tersenyum. "Iya, Tante, maaf. Kebetulan saya ada tugas kelompok sama Alyssa dan beberapa materi ada di Alyssa. Gak maksud nyuruh Alyssa belajar buat tugas, tapi saya mau ambil tugasnya aja"

"Kamu pacarnya Alyssa, kan?"

Elang menahan napas mendengar pertanyaan menohok itu. Elang melirik sedikit Yeslin, meminta pertolongan karena aura Mama benar-benar jauh lebih menyeramkan dari hantu. Yeslin malah buang wajah, menahan tawa.

Mengumpulkan mental secara penuh akhirnya, Elang mengangguk. "Iya, Tante. Saya pacarnya Alyssa."

Mengejutkan, Mama tersenyum kepada Elang sebelum berkata dengan nada yang jauh lebih bersahabat, "Ah, ya, udah. Ayo, masuk dulu, biar kalian istirahat. Papa-nya Alyssa baru pergi naik motor, mau mancing katanya."

Alhasil, Elang dan Yeslin memasuki rumah Alyssa disambut hangat oleh Mama yang langsung meminta mereka duduk di ruang tamu sementara, Mama menyiapkan makanan serta minuman untuk mereka.

"Gue takut, Yes." Elang berbisik kepada Yeslin, cowok itu sangat terlihat gugup.

Yeslin tertawa kecil. "Elah. Gak gigit. Bokap-nyokapnya Alyssa, mah, baik sama gue."

"Sama lo iya. Tapi gue malah takut waktu Nyokapnya Alyssa sebaik itu setelah gue ngaku sebagai pacar anaknya."

"Jangan sampai minuman lo dicampur Baygon nanti."

"Amit-amit!"

Obrolan keduanya terhenti saat Mama datang membawa nampan berisikan dua gelas teh dan satu piring gorengan yang entah dari mana dia dapat. Mama menghidangkan makanan dan minuman itu di atas meja, sontak membuat Yeslin berujar, "Tante, maaf ngerepotin. Padahal, kita niatnya cuma mau jenguk Alyssa sebentar sebelum balik ke sekolah."

Mama tersenyum lalu, duduk di sofa di hadapan Elang dan Yeslin. Yeslin terlihat dengan santai meminum teh miliknya sementara, Elang harus mengumpulkan keberanian baru mengikuti jejak Yeslin meminum teh yang telah disajikan.

"Alyssa di kamar. Susah minum obat, katanya istirahat nanti juga sembuh. Demam dari kemarin."

Yeslin mengangguk. "Iya, Tante. Kemarin setengah basah dia. Pantes sakit."

"Kalian mau jenguk ke kamarnya gak? Kayaknya dia belum tidur. Kamu tahu di mana kamar Alyssa, kan, Yes?"

Yeslin terkekeh mendengar pertanyaan itu. "Ya, masa lupa, sih, Tante? Aku sering nginep di sini."

Mama terkekeh dan bangkit berdiri dari sofanya. "Ya, udah. Sana ke kamar Alyssa. Saya mau lanjut masak dulu buat makan siang nanti. Kalian makan di sini, ya?"

Buru-buru Elang yang menggeleng, ketika Yeslin memberi wajah senang seakan dia memang berniat makan di sana karena Elang menyeret Yeslin ke rumah Alyssa sebelum sempat Yeslin makan siang.

"Enggak, Tante. Gak usah. Biar kita makan siang di sekolah. Takut kelamaan, soalnya dikasih izin gak lama sama Kepala Sekolah."

Mama Alyssa mengangguk dan tersenyum tipis. "Ya, udah kalau begitu. Sana, kalian ke kamar Alyssa. Saya di dapur, ya, kalau kalian butuh sesuatu."

Elang dan Yeslin mengangguk, Mama berbalik dan melangkah ke dapur. Yeslin mulai melangkahkan kaki, Elang mengikuti dari belakang sampai Yeslin menghentikan langkah kakinya di depan sebuah pintu kamar dan di saat bersamaan ponsel Elang berdering. Elang mengernyitkan dahi melihat nama kontak yang dia namai Ayah tertera di sana.

Memberi isyarat kepada Yeslin untuk masuk terlebih dahulu, sementara Elang masih berada di luar mengangkat panggilan dari sang Ayah.

"Halo, Yah?"

"Kamu di mana? Jam segini bukannya ada di sekolah, malah kelayapan."

Elang memicing. "Ayah di sekolah?"

"Iya. Mau ngurus semua data-data kamu buat tes selanjutnya, sekaligus temu kangen sama sahabat baik Papa."

"Aku udah izin sebentar ke luar. Mau jenguk Alyssa. Lagi sakit dia." Elang menyandarkan punggungnya pada dinding di samping pintu kamar Alyssa, dia menundukkan kepala.

"Calon menantu Ayah sakit? Kok gak bilang? Kan, bisa sekalian jenguk, sekalian ketemu."

Elang terkekeh kecil. "Ya, kali, Yah. Orang sakit pasti males ketemu banyak orang. Butuh istirahat."

"Ya, udah. Salam dari Ayah. Kamu kapan balik ke sekolah? Ayah tungguin. Sekalian Ayah mau bicara sama Bunda kamu itu."

Elang memejamkan mata sekilas. "Yah, aku aja yang bicara nanti ke Bunda."

"Kapan? Elang, kamu itu mana berani bicara langsung buat nolak keinginan Bunda kamu. Biar Ayah yang bicara. Ayah gak suka cara dia ngelarang kamu ngelakuin sesuatu yang kamu minati hanya karena alasan masa lalu. Kamu gak ada sangkut pautnya dengan masa lalu Ayah dan Bunda kamu."

"Yah, plis, jangan sekarang. Nanti Elang bicarain baik-baik sama Bunda."

"Gak bisa. Kamu itu niat jadi pilot gak, sih, Lang? Kejar cita-cita kamu. Jangan nyerah dan pasrah saat Bunda kamu bilang enggak. Ayah gak suka punya anak gak ada perlawanan sama sekali saat keinginannya diganggu."

"Tapi, Yah─,"

"Gak ada tapi-tapian. Cepat balik ke sekolah. Ayah tunggu."

Setelahnya, panggilan berakhir begitu saja. Elang menghela napas dan memasukkan ponsel kembali ke saku seragam. Baru hendak melangkah menuju ke kamar Alyssa, Elang menahan langkah saat sudah mendapati cewek yang baru ingin dia jenguk sudah berdiri di dekatnya, melipat tangan di depan dada dengan wajah pucat dan piyama biru bermotif Spongebob yang dia kenakan.

"Loh, ngapain ke luar? Istirahat di dalam sana."

"Mana bisa istirahat kalau tahu lo tiba-tiba muncul di rumah gue, bahkan di depan kamar gue." Alyssa menjawab cepat, memicingkan mata menatap Elang.

Napas Alyssa tertahan saat tangan Elang beranjak mengelus puncak kepalanya. "Sori, ya. Lo pasti sakit gara-gara gue, kan? Sori banget. Lo kalau mau marah gak apa-apa, kok. Mau diamin gue juga gak apa-apa. Gue yang salah. Harusnya gue gak ninggalin lo."

Alyssa menggeleng. "Enggak. Gue sakit karena emang udah waktunya sakit."

Elang menghela napas. "Udah baikan sekarang?"

Alyssa mengangguk kecil sebelum mempertemukan matanya kembali dengan iris kecokelatan Elang yang terlihat lebih kelam. "Lo teleponan sama siapa tadi?"

"Ayah ada di sekolah. Mau ketemu gue, katanya."

Satu alis Alyssa terangkat. "Ayah lo? Yang di Bandung?"

Elang terkekeh kecil. "Emang Ayah gue ada berapa, sih, Al? Ya, emang cuma satu dan yang di Bandung itu."

Alyssa mengangguk mengerti. "Ya, udah. Lo balik ke sekolah aja. Harusnya juga gak usah jenguk. Orang gue gak sakit parah atau gimana-gimana. Cuma butuh istirahat sebentar."

Tangan Elang kembali mengelus lembut rambut panjang berantakan Alyssa. "Gue hubungin lo lagi nanti. Istirahat. Makan yang banyak. Minum obat." Elang berpesan dan Alyssa mendengus.

"Iya, iya. Lo kayak Mama aja lama-lama."

"Oh, iya. Lo makan terus minum obat dulu. Setelah mastiin lo makan dan minum obat, baru gue balik ke sekolah."

Alyssa melotot. "Ih, gak mau. Gue gak sakit, cuma butuh istirahat. Ngapain minum obat?"

"Ya, biar sehatan! Ayo, cepetan masuk kamar biar gue sendokin makannya dan ambilin obat."

Elang mendorong punggung Alyssa untuk masuk kembali ke kamarnya yang masih dihuni oleh Yeslin. Yeslin yang semula sibuk membuka sebuah buku catatan milik Alyssa buru-buru meletakkan buku catatan itu dan nyengir lebar saat melihat Alyssa dan Elang yang berdebat saat memasuki kamar.

"Minum obat sekarang!"

"Enggak mau!"

"Lo mau mati, ya, gak minum obat?!"

"Sejak kapan gak minum obat gara-gara kurang istirahat doang mati?!"

Yeslin tercengang dengan mulut setengah menganga. Masih tak mengerti kenapa dia ada di sini, menjadi obat nyamuk pasangan yang disebut-sebut paling populer di sekolah saat ini.

🕛🕛🕛

"Kamu gak bisa ngelarang-larang Elang buat menggapai cita-citanya sebagai pilot! Biar bagaimana pun, Elang berhak menjadi apa yang dia mau dan minati!"

"Kamu gak tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk putera kamu sendiri! Kamu hanya tahu jika Elang punya minat yang sama dengan kamu dan mendukung seratus persen keinginannya, tanpa sadar jika kamu gak turut ikut andil dalam membesarkan Elang!"

"Saya gak turut ikut andil dalam membesarkan Elang? Apa kamu lupa? Beberapa tahun yang lalu saya menuntut hak asuh atas Elang karena kamu ngelarang saya untuk bertemu putera saya sendiri! Sekarang, kamu bertingkah seakan-akan saya seorang Ayah yang buruk dan gak bertanggungjawab terhadap puteranya!"

"Jangan kamu kira saya ikhlas untuk membiarkan putera saya tumbuh berkembang di tangan laki-laki bejat seperti kamu! Saya tahu mana yang baik untuk Elang dan mana yang gak baik! Berhenti ikut campur dengan cara asuh saya terhadap Elang!"

"Saya berhak ikut campur! Saya Ayah kandungnya!"

"Jika kamu ke sini hanya untuk mengajak saya bertengkar dan mendebat sesuatu yang kamu tahu sulit untuk diubah, lebih baik kamu pergi dan jangan kembali lagi. Silahkan hidup bersama keluarga bahagia yang sudah lama kamu bangun. Biarkan saya hidup dengan satu-satunya kebahagiaan saya yang tertinggal. Elang."

Pertengkaran sudah pasti akan terjadi tatkala Ayah dan Bunda bertemu, Elang tak dapat melerainya. Elang tak pernah ingin mengerti dengan apa yang terjadi pada keduanya sehingga, menyebabkan keduanya bertingkah seperti musuh satu sama lain seperti sekarang.

Cowok berusia tujuh belas tahun itu menyandarkan punggungnya pada dinding pembatas ruang tamu tempat kedua orangtuanya berada dan ruang tengah tempatnya berada. Dia memejamkan mata dan berharap Tuhan dapat menunjukkan arti keluarga bahagia sebenarnya kepada Elang karena hingga saat ini, semuanya masih bayang semu untuknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top