26 : Cemas

"Iya. Dulu, gue sama Alyssa kalau Sabtu sama Minggu suka nongkrong di Detos. Di foodcourt-nya yang atas. Padahal, cuma beli Aqua dan numpang nongkrong."

Elang tertawa kecil mendengar cerita Larasati Intan yang entah bagaimana bisa bergabung dengan obrolan Elang dan Alyssa. Mereka bertiga duduk di salah satu meja restoran Jepang karena Elang memang mengajak untuk mengobrol dan makan di sana.

"Gue juga dulu sering nongkrong di Detos, tapi gak pernah ketemu lo berdua, ya? Gue biasanya suka pesen steak Moen-moen. Masih ada gak, ya?"

Laras mengangguk antusias dan masih mempertahankan senyuman manisnya. "Masih! Gue beberapa hari yang lalu kangen Detos jadi, gue ke sana sama temen-temen sekolah buat beli steak Moen-moen. Gila. Lo suka steak itu juga?"

Elang menganggukkan kepala. "Suka. Harganya kan lumayan murah, pas banget lah di kantong waktu SMP dulu. Kalau SMA, ya, ningkat dikit, lah, kalau soal tempat makan."

Laras terkekeh mendengar ucapan Elang dan keduanya lanjut mengobrol, seakan-akan teman lama yang akhirnya dipertemukan kembali. Bahkan, mereka terlalu asyik mengobrol sampai melupakan fakta jika mereka bukan pergi ke sana hanya berdua, bukan tengah kencan berdua.

Apa kau pernah menemukan seseorang yang akan mendominasi sekeliling saat dia berada di sana? Mungkin, itulah yang saat ini Alyssa rasakan, tiap kali berada di dekat Laras dan orang lain yang ingin sekali diajaknya bicara akrab. Bukannya Alyssa yang kedapatan berbicara dengan orang itu, pasti Laras yang dengan mudah membuka bicara dan lancar berbicara dengan orang itu.

Jika boleh jujur, Alyssa selalu iri dengan Laras. Dengan seberapa cantiknya cewek itu. Seberapa pintarnya cewek itu dan seberapa mudahnya Elang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya dengan tindakan yang sangat sederhana, tapi berjalan dengan baik.

Alyssa butuh banyak waktu untuk membuka percakapan dengan seseorang, dia butuh banyak waktu untuk beradaptasi. Tapi Laras seperti bunglon yang dapat beradaptasi dan menyesuaikan kondisi dengan sangat mudah. Dia lawan bicara yang menyenangkan dan dia seperti terlahir sebagai pusat perhatian dan untuk menjadi pusat perhatian, sama seperti Elang.

Jika boleh meminta, Alyssa ingin merasakan dilahirkan kembali sebagai Laras. Menjadi seseorang yang sempurna dan mendapat semua perhatian yang Alyssa inginkan. Bukan hanya perhatian, tapi semua yang Alyssa inginkan.

Semua yang Alyssa perjuangkan, tapi sia-sia dan malah menjadi milik Laras. Alyssa ingin menjadi Laras. Alyssa ingin tahu bagaimana rasanya mendapatkan semua yang dia inginkan, tanpa perlu melakukan perjuangan yang cukup panjang.

"Berarti lo kenal juga, dong, sama Yeslin? Alyssa di sekolah akrab banget sama Yeslin."

Mendengar nama Yeslin disebut, Alyssa yang semula menunduk dan sibuk dengan pikirannya, mengangkat wajah dan menatap Laras yang tak menampilkan ekspresi apapun sebelum menjawab santai, "Gak kenal dan gak mau kenal. Gak penting."

Elang mengangkat satu alis sebelum akhirnya menganggukkan kepala mengerti. "Oke, oke. Gue gak akan bahas. Tapi gue gak pernah tahu Alyssa punya sahabat lain selain Yeslin. Emang gue yang gak nanya, sih."

Laras terkekeh kecil. "Alyssa juga gak pernah cerita punya pacar. Gue bahkan rada-rada gak percaya dia punya pacar. Soalnya, dari dulu, Alyssa itu anti banget sama cowok. Di deketin cowok, udah lari duluan."

"Iya, emang begitu dia. Gue juga ngejar-ngejarnya capek. Hampir nyerah, tapi akhirnya berhasil." Elang berujar bangga dan obrolan dengan Laras terus berlanjut, sekali lagi seakan melupakan keberadaan Alyssa di sana.

Tapi Alyssa tahu dan dia mengenal jelas bagaimana Laras. Dari sorot matanya, Alyssa mulai cemas. Lambat laun, apakah dia harus menyerah...lagi?

Setelah makanan datang, obrolan Elang dan Laras harus terpotong untuk makan. Selesai makan, Laras mendapatkan panggilan masuk dan membuatnya berpamitan untuk pergi, hingga hanya tertinggal Alyssa dan Elang. Alyssa yang masih terdiam dan Elang yang sebenarnya sudah menyadari hal itu sejak awal.

Elang menggeser posisi duduknya, sedikit mendekat ke arah Alyssa sambil mencubit gemas pipi tembam Alyssa. "Lo kenapa, sih? Didatengin sahabat lama, kok, gak kelihatan bahagia? Malah murung gitu."

Alyssa mendengus. "Gak apa-apa."

"Kelihatan banget, Al, seberapa gak nyamannya lo sedari tadi. Sori, ya. Gue gak enakan orangnya. Ya, kali gue kacangin sahabat lo itu dan malah ngobrol sama lo? Lo-nya juga diam aja."

Alyssa mengangguk. "Iya, gak apa-apa."

Elang memperhatikan cewek yang duduk di sampingnya itu sebelum menghela napas dan meraih tangan Alyssa. Elang memijat punggung tangan Alyssa sambil berkata lembut, "Lo itu kalau ada masalah, jangan suka dipendam sendiri. Bilang aja ke gue. Cerita ke gue. Biar gue bisa jaga sikap dan jaga omongan jadi, gue gak nyakitin perasaan lo."

Alyssa masih tak mau berkomentar apapun. Tangan Elang beralih menyingkap rambut panjang Alyssa, ke belakang telinganya. "Ya, udahlah kalau belum mau cerita. Mau nonton bioskop atau main Time Zone aja?"

"Nonton bioskop kapan kelarnya? Gue udah janji balik sebelum Maghrib atau Isya."

"Oke. Kita main Time Zone, ya? Oh, iya. Kan ada fotoboks di sana." Elang menaik-turunkan alis tebalnya, membuat Alyssa memutar bola matanya.

"Lo narsis banget, sih, jadi cowok. Ngajakin foto mulu."

"Lah, kapan kita foto bareng, sih? Belum pernah. Makanya, gue ngajakin." Elang memprotes.

Alyssa menggembungkan pipi. "Ya, udah, cepetan! Keburu Maghrib!"

"Ashar aja baru Adzan beberapa menit yang lalu."

"Masa bodo! Cepetan, ayo!"

Mereka menghabiskan beberapa jam untuk bermain di Time Zone, mengumpulkan banyak kupon yang akhirnya, ditukar dengan sebuah boneka Doraemon berukuran sedang. Sebenarnya ada banyak pilihan boneka, tapi Elang membiarkan Alyssa memilih dan pilihan cewek itu langsung jatuh pada boneka Doraemon. Elang menyimpulkan jika Alyssa menyukai Doraemon. Catatan khusus untuknya.

Tak lupa, Elang menyeret Alyssa untuk benar-benar melakukan sesi foto di photobox yang ada di Time Zone. Awalnya, Alyssa memang kaku di depan kamera, tapi akhirnya dia bisa menyesuaikan dengan Elang yang tampak sudah terbiasa. Setelah berpose untuk enam belas foto, mereka berdua melihat-lihat hasilnya dan tertawa bersama sambil memilih mana yang akan mereka ambil.

Setelah berfoto, keduanya melangkah kembali menuju mobil karena jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Sebenarnya, mereka masih ingin menghabiskan waktu bersama, melepas rindu setelah hampir dua minggu tak bertemu, tapi waktu harus memisahkan mereka.

Alyssa menahan napas saat baru Elang duduk di jok kemudinya, tiba-tiba cowok itu mencondongkan tubuh ke arahnya. Elang menyeringai. "Gue lupa. Tadi lo juga gak pakai sabuk pengaman, ya?" Elang berbicara tepat di wajah Alyssa, hanya berjarak beberapa centimeter.

Alyssa menggeleng dan tak lama, Elang menarik diri dari Alyssa setelah membantu memasang sabuk pengaman di sekeliling tubuh cewek itu. "Sori, ya. Gue lupa. Habisnya udah terlalu bahagia ketemu lo lagi. Sampai lupa, keamanan yang utama."

"Gue juga lupa, sih. Ya, udahlah."

Elang tersenyum dan mulai menyalakan mesin mobil ketika Alyssa mendekap erat boneka Doraemonnya, mencoba menormalkan degup jantungnya saat ini. Sungguh, Alyssa tak tahu apakah dia akan panjang umur jika degup jantungnya secepat ini tiap berada di dekat Elang?

🕛🕛🕛

Sisa hari liburan, Alyssa menghabiskan waktu seperti hari-hari liburan yang lain. Tapi mood-nya sedikit membaik setelah diajak ke luar rumah oleh Elang beberapa hari lalu. Tak hanya itu saja, gara-gara perbincangan singkat melalui panggilan ponsel, terkadang setiap malam Bunda juga ikut bergabung, menceritakan banyak hal.

Dari Bunda, Alyssa tahu sedikit banyak hal baru tentang Elang. Di mulai dari kebiasaannya yang tidur tanpa atasan-panas, katanya padahal, kamarnya sudah dipasang AC dan selalu ada di titik 16° celcius. Lalu, kecintaannya pada mie hingga ada lemari kecil khusus di dapur untuk menempatkan mie-mie instan itu. Elang juga pecinta kopi, apalagi kopi hitam dan dia tak akan menolak susu vanilla. Elang punya koleksi topi dan jaket di kamar, tiap diajak belanja pakaian dia pasti membeli dua item itu. Warna yang mendominasi kamar Elang adalah merah dan hitam, kata Bunda itu juga warna kesukaan Elang.

Bunda bilang, sewaktu kecil Elang sering menghilang saat ada di keramaian dan Bunda sampai kapok mengajak Elang pergi. Dari kecil, Elang sudah disenangi banyak Ibu-ibu dan bahkan, sampai sekarang teman-teman Bunda sering menjodohkan Elang dengan anak mereka. Padahal, menurut Bunda, harusnya mereka menjaga anak mereka dari Elang yang nakal dan tak bisa diatur.

Malam ini adalah malam terakhir liburan semester satu dan jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Alyssa masih melakukan panggilan dengan Elang, sejak seusai Isya tadi.

"Iya, seriusan. Kepala Sekolah itu naksir Bunda makanya, dia SKSD sama gue. Padahal, gue mah amit-amit punya Ayah ipar kayak dia. Gak level, ya, dari Ayah gue ke dia."

Alyssa tertawa keras mendengar cerita Elang tentang Kepala Sekolah yang sebenarnya menyimpan rasa kepada Bunda. Alyssa memang sudah tahu jika Bunda dan Ayahnya Elang berteman dengan Kepala Sekolah, tapi ini fakta baru yang lucu.

"Jangan bilang, lo nyogok Kepala Sekolah biar jadi Ketua OSIS?"

"Boro-boro, Al. Gue aja jujur gak minat masuk OSIS. Emang dia sableng. Masa masukin gue sebagai kandidat. Anehnya lagi, gue menang."

Lagi, Alyssa tertawa. Tiap mengobrol dengan Elang, memang Alyssa tak bisa berhenti tertawa. Elang seseorang yang sangat mudah merangkai kata dan tahu pemilihan kata yang cocok untuk berbicara dengan Alyssa.

"Al, lo kasih pin BBM gue ke Laras?"

Tawa Alyssa terhenti saat Elang menanyakan hal tersebut. Alyssa membeku sesaat sebelum memejamkan mata sekilas. "Dia nge-add lo?"

"Iya. Sori gue baru bilang. Dari dua hari lalu, sih."

Alyssa menahan napas dan berusaha untuk menghilangkan semua kecemasan yang ada dalam hatinya sekarang. Cewek itu menggigit bibir bawahnya. "Dia...BBM apa aja ke lo?"

"Ya, begitu. Lo gak pernah cerita punya temen yang asyik diajak ngobrol kayak Laras. Kalau Yeslin, mah, kan sebelas dua belas sama lo. Sama-sama jutek."

"Ya, udah. Lo jadian aja sama Laras." Alyssa menimpali kesal.

Kekehan Elang terdengar di telinga Alyssa. "Enggak, ah. Udah punya pacar."

"Kalau belum punya, lo mau gitu sama dia?" Alyssa bertanya ketus dan kini, tawa Elang yang dia dengar.

"Kalau pun gue belum punya pacar, ya, berarti gue masih ngejar-ngejar lo, lah, Al. Kan, gue naksirnya sama Alyssa Pradipta Cempaka. Bukan Laras atau siapapun itu. Lo sensi banget sama Laras, kayaknya. Bukannya dia sahabat lo?"

Alyssa menghela napas. Apa sangat kentara jika dia memang sangat sensitif jika membahas tentang Laras? Sebenarnya bukan masalah Irsyad saja, tapi banyak hal lain yang membuat Alyssa...memutuskan untuk menjaga jarak dengan Laras meskipun, mungkin Laras juga tak peduli. Tanpa Alyssa, Laras masih bisa hidup dan bersenang-senang dengan teman yang sangat mudah didapatnya.

"Gue gak mau bahas Laras. Apapun itu." Alyssa berkata tegas dan terdapat jeda beberapa saat sebelum suara Elang kembali terdengar.

"Oke. Gue gak akan bahas Laras. Kita bahas yang lain, deh. By the way, kalau gue masuk sepuluh besar, lo mau kasih gue hadiah apaan?"

Alyssa mendengus dan sedikit terkekeh. "Gue yang langganan juara kelas aja biasa, gak pernah pamrih minta hadiah atau pujian. Lah, lo baru masuk sepuluh besar aja bangga."

"Semester lalu, gue peringkat sepuluh. Pas banget."

"Terus?"

"Harusnya tahun ini ningkat. Kan, gue Ketua OSIS. Malu-maluin kalau Ketua OSIS gak dapet peringkat di kelasnya. Seenggaknya sepuluh besar, gitu."

"Emang ada aturan Ketua OSIS harus dapet peringkat bagus di kelasnya?"

"Enggak, sih. Tapi malu, lah, kalau Ketua OSIS gak dapat peringkat. Nanti gampang dibegoin anggotanya."

"Gak ada hubungannya juga, ya."

"Ada, ya."

Selanjutnya, mereka menghabiskan malam berdebat tentang pentingnya peringkat di kelas dengan jabatan meskipun, Alyssa belum dapat tenang setelah tahu kecemasannya benar-benar terjadi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top