25 : Liburan
Untuk pertama kali sejak awal masuk sekolah, Alyssa berharap liburan semester kali ini cepat berlalu sehingga, dia dapat hadir lagi di sekolah. Sudah hampir dua minggu Alyssa bertahan di rumah. Kegiatannya selama liburan hanya membaca ulang novel-novel lama atau menyetel lagu kesukaannya di ponsel lalu, mengadakan solo konser. Benar-benar solo konser di mana dia menjadi penyanyi dan dia juga yang menjadi penonton.
Mungkin, Alyssa akan benar-benar mati dalam kebosanan jika saja Elang tidak sering menghubunginya, hanya untuk memamerkan foto liburan Elang bersama keluarga sang Ayah. Rasanya sangat iri melihat Elang berlibur ke beberapa kota, tapi ada rasa bangga juga saat Alyssa tahu, Elang benar-benar hanya memamerkan foto-foto itu kepadanya.
Hubungan Alyssa dan Elang membaik, sangat baik. Alyssa sudah rajin membalas pesan-pesan atau panggilan masuk dari Elang. Sekarang, Alyssa bahkan sudah tak masalah jika dia menghubungi Elang terlebih dahulu. Hubungan mereka terasa menyenangkan, Alyssa sudah semaksimal mungkin menyingkirkan rasa gengsinya tatkala berhubungan dengan Elang.
"Gue di kebun apel ini. Panas banget, Al. Kulit gue hitam, dah, nih."
Alyssa tertawa keras mendengar gerutuan Elang. Cewek itu tengkurap di atas ranjang dengan laptop di hadapannya dan earphone yang tersambung langsung dengan ponsel yang tengah melakukan panggilan dengan Elang. Elang tengah berada di Malang saat ini dan dia baru menghubungi Alyssa setelah mengaku ketiduran dan baru bangun saat diciprati air oleh sang Ayah.
"Lo gak pake sunblock emang?" Alyssa bertanya seraya memainkan jarinya di keyboard laptop, tengah mengetik bahan untuk blognya. Sudah sangat lama sejak posting-an terakhir Alyssa, lebih dari satu setengah tahun lalu.
"Enggak, lah. Kan, gue cowok. Mana mungkin gue pakai krim gak jelas kayak gitu."
Alyssa memutar bola matanya. "Cowok. Tapi ngeluh takut kulit hitam."
"Bukan gitu, Al. Gue putih aja udah ganteng banget. Apalagi kalau gue hitam? Eksotis gitu? Gue takut makin dikejar-kejar soalnya, gue berubah mirip Taylor Lautner."
"Taylor Lautner apaan kayak lo? Lautner itu badannya bagus banget, ya, gak ceking kurang gizi kayak lo. Terus dia kalau senyum itu manis banget, lebih manis dari gulali, gak kayak lo."
"Elah. Cakepan gue ke mana-mana dari Taylor Lautner."
Alyssa menertawakan kepercayaandiri tingkat tinggi yang Elang miliki. Jika saja Elang tidak sering menghubunginya untuk menceritakan hal-hal yang dia lalui, mungkin Alyssa akan mati kebosanan. Yeslin tidak dapat dihubungi karena tengah berlibur ke kampung halamannya di Jember dan Alyssa tak pernah berharap Laras akan menghubunginya, kecuali jika Laras sedang membutuhkan Alyssa.
Tapi hiburan Alyssa selama liburan hanya Elang dan cerita-cerita menariknya. Hingga seminggu sebelum sekolah masuk, Elang masih menjadi hiburan utama Alyssa, tak peduli seberapa banyak novel yang Alyssa baca atau seberapa banyak lagu yang Alyssa mainkan. Mendengar Elang bercerita panjang lebar, itu sudah sangat lebih dari cukup.
Sangat lebih dari cukup untuk membuat Alyssa merindukan cowok itu dan ingin melihat apakah ada perubahan drastis yang terjadi pada Elang selama dia berlibur, seperti ceritanya setiap harinya?
"Al, mau apel gak? Nanti gue petikin. Apel terbaik, buat cewek terbaik."
Alyssa terkekeh. "Busuk sampai Jakarta entar."
"Enggak, lah. Kata Mas-masnya, apel masih bisa tahan tiga hari setelah dipetik. Gue besok balik ke Bandung, besoknya lagi baru balik ke Jakarta."
"Coba hitung. Lo ketemu gue-nya kapan. Emang lo pikir gak nyampe tiga hari?"
"Pas gue balik ke Jakarta, entar gue main ke rumah lo. Gue bawain sekalian oleh-oleh yang lain buat Mama dan Papa mertua." Kekehan Elang terdengar dan Alyssa tak bisa untuk tak ikutan.
"Emang lo bawa oleh-oleh apaan? By the way, kayak berani aja lo nemuin orangtua gue."
Lagi, kekehan Elang terdengar sebelum cowok itu berkata, "Banyak ini oleh-oleh. Buat Bunda, buat Zico, buat Ricky dan buat keluarga Alyssa tersayang."
Alyssa mengerucutkan bibir. "Enak banget liburan. Gue ngajak Mama-Papa liburan malah diceramahin. Katanya, ngapain liburan. Capek. Mending tidur."
"Ya, udah. Nanti gue balik ke Jakarta, gue ajak lo liburan."
"Lo aja kapan balik ke Jakarta-nya."
"Lusa, kok. Masih ada waktu beberapa hari buat liburan sebelum balik ke sekolah."
"Paling ujung-ujungnya ke Monas. Liburan satu hari emang cukupnya ke mana?" Alyssa menghembuskan napas, berat.
"Rahasia. Intinya, sampai ketemu lusa. Seriusan, nih, gue bawain oleh-oleh. Mau gue antar langsung ke rumah atau lo yang mau ambil?"
Alyssa menggeleng. Dia tak pernah membayangkan bagaimana ekspresi wajah kedua orangtuanya saat Elang nekat main ke rumah. Mama akan menjadi yang paling sinis mengingat dia yang selalu mengingatkan Alyssa untuk fokus pada sekolah dan tidak mengikuti jejak sepupunya, Rosa, yang harus menyerah karena pergaulan bebas. Papa juga sama seperti Mama, meskipun dia tak pernah berkomentar. Alyssa takut, Elang malah akan menjadi pajangan di rumahnya. Atau bahkan menjadi target bully kedua orangtuanya.
"Gue aja yang ambil. Mau ketemuan di mana? Atau pas sekolah aja?"
"Tadi ngajakin liburan. Mau bolos pas sekolah?"
"Enggak, lah!"
"Gue jemput di depan kompleks, deh, ya? Nanti gue telepon kalau udah sampai. Paling siang, sekitar jam satuan soalnya, gue dari Bandung abis sholat Subuh langsung berangkat ke Jakarta."
"Lo istirahatnya gimana?"
"Gue istirahat penuh di Bandung, kok. Gak usah khawatir."
Alyssa mendengus. "Siapa juga yang khawatir?"
Elang tertawa. "Para penggemar gue, lah. Pasti pada kangen sama gue."
"Kepedean."
Keduanya terus berbicara sepanjang hari, bahkan sampai lupa melakukan kegiatan lain. Hanya terpaku pada cerita satu sama lain, melepas rindu melalui suara.
🕛🕛🕛
Gue baru nyampe, nih. Jam 2 gue tunggu di depan kompleks, ya.
Pesan masuk dari Elang itu sudah beberapa kali Alyssa baca. Pesan itu masuk sekitar pukul tujuh pagi yang berarti hampir tujuh jam yang lalu. Jam di ponsel Alyssa sudah menunjukkan pukul dua siang dan Alyssa belum mendapati panggilan masuk dari Elang, yang menandakan jika cowok itu sudah sampai di depan kompleks perumahan Alyssa.
"Mau ke mana, Lys? Rapih banget."
Alyssa yang tengah duduk tenang menunggu terlonjak mendengar suara itu. Alyssa berusaha bersikap normal begitu melihat sang Mama di pintu kamarnya, menatapnya penuh tanda tanya.
"Mau pergi, Ma. Ada janji."
"Sama siapa?" tanya Mama yang membuat Alyssa menelan saliva gugup.
Alyssa menunduk dan menjawab pelan, "Sama Yeslin."
"Ke mana?" tanya Mama lagi yang semakin membuat Alyssa gugup. Alyssa paling jarang berbohong dan mau tak mau dia berbohong sekarang.
"Ke toko buku."
"Balik jam berapa?" Mama lagi-lagi bertanya dan di saat bersamaan, ponsel Alyssa berdering. Alyssa bangkit berdiri, menutupi layar ponsel dan meraih tas kecil yang sudah dia siapkan.
Alyssa meraih tangan sang Mama, mengecup punggungnya dan berkata cepat, "Yeslin udah sampai di depan, Ma. Lyssa berangkat dulu, ya. Sebelum Maghrib diusahain balik. Kalau enggak, ya sebelum Isya."
Mama masih menatap Alyssa penuh curiga, tapi wanita paruh baya itu memutuskan untuk percaya. "Ya, udah. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Mama atau Papa."
Alyssa mengangguk dan buru-buru melangkah meninggalkan kamar, ke luar dari rumah baru dia mengangkat panggilan dari Elang sambil melangkah di sepanjang jalan kompleks.
"Bentar, El. Ini lagi jalan ke luar." Alyssa berujar sebelum mendengar balasan Elang dan mengakhiri panggilan.
Dari beberapa meter sebelum gerbang kompleks, Alyssa sudah melihat Elang yang berdiri dengan tubuh tingginya, berbicara pada petugas keamanan kompleks. Alyssa bahkan sempat berdiam diri untuk memastikan penglihatannya terlebih dahulu.
Elang mengenakan jaket baseball perpaduan cokelat dan putih, dengan kaus dalaman berwarna hitam. Rambutnya sedikit lebih rapih dari biasa, sepertinya dia menyisir rambut gondrong lebat hitamnya tersebut. Jeans hitam juga terlihat sempurna membungkus kaki jenjangnya. Sneakers hitam juga menghiasi kakinya. Alyssa baru sadar. Penglihatannya selama ini bermasalah karena menganggap Elang sama seperti cowok lainnya.
Alyssa tersadar dari lamunan sesaatnya saat Elang menyadari keberadaannya. Elang melambaikan tangan dan buru-buru Alyssa menghampiri Elang. Sesampainya Alyssa di dekat Elang, Elang berpamitan kepada si petugas keamanan.
"Pak, pergi dulu, ya. Doain lancar."
"Siap, Mas. Didoain lancar, kok. Selamat senang-senang, ya. Non Lyssa juga."
Alyssa tak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, tapi dia memilih mengiyakan ucapan si petugas keamanan sebelum mengikuti langkah kaki Elang yang melangkah menuju ke sebuah mobil Honda Jaz hitam yang terparkir tak jauh dari sana. Alyssa mengernyitkan dahi.
"Lo bawa mobil?" tanya Alyssa.
Elang menghentikan langkah begitu sampai di dekat pintu mobil. Dia tersenyum lebar. "Iya. Mobil nyokap. Katanya pakai aja daripada gue harus panas-panasan naik motor terus tambah hitam?"
Alyssa terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepala. Elang membukakan pintu mobil untuk Alyssa dan Alyssa segera memasuki mobil. Setelah Alyssa sudah berada di dalam mobil, barulah Elang masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin mobil.
"Aman gak, nih? Gue baru tahu lo bisa nyetir mobil."
Elang menoleh sekilas dan mengerucutkan bibir. Cowok itu merogoh kantung jaketnya, mengeluarkan dompet kulit berwarna hitam dan menyodorkan kepada Alyssa. "Periksa aja. Gue udah dapat SIM A."
Elang mulai mengendarai mobilnya meninggalkan kompleks perumahan Alyssa sedangkan, Alyssa benar-benar memeriksa isi dompet Elang. Ada beberapa lembar uang seratus ribu, lima puluh ribu dan sepuluh ribuan. Ada banyak kartu juga, seperti: KTP, SIM, ATM, Kartu Pelajar dan beberapa kartu yang Alyssa tak mengerti kegunaannya.
Tapi Elang benar-benar tak bohong saat mengaku sudah memiliki SIM A. Kartu itu ada di dompetnya dan membuat Alyssa menariknya untuk membaca uraian yang terdapat di kartu.
"Nama, Marina Zaskia?" Alyssa mengernyitkan dahi membaca nama yang terdapat pada SIM A tersebut.
"Itu SIM Bunda. Gue punya SIM, kan? Meskipun, bukan atas nama gue?" Elang terkekeh geli.
Alyssa memutar bola matanya, "Ah, pokoknya, kalau ada apa-apa, lo harus tanggung jawab. Termasuk kalau kena razia," Alyssa memasukkan kembali SIM Elang ke dalam dompetnya, "Lo gak simpan foto gitu di dompet? Biasanya, kan, orang suka simpan foto di dompet."
"Ya, udah. Nanti kita ke photobox biar gue bisa simpan foto kita di dompet."
Alyssa mengernyitkan dahi. "Siapa yang mau foto sama lo?"
"Kan, gue maksa. Gak butuh persetujuan." Elang menjawab santai.
"Tapi gue bisa tuntut lo atas tuduhan pemaksaan."
"Gak apa-apa. Yang penting foto bareng."
Jika ada satu orang yang membuat Alyssa yang jarang bicara menjadi sering bicara dan mau mendebat, orang itu adalah Elang. Tak tahu bagaimana bisa, tapi Elang seperti punya jawaban atas semua pertanyaan atau sanggahan yang akan Alyssa ucapkan padanya.
Alyssa menyandarkan punggung pada sandaran jok dan memperhatikan lurus ke jalan raya yang tengah mereka lewati sampai ponsel Elang yang diletakkan di dashboard mobil tiba-tiba berdering. Elang melirik sekilas ponselnya itu sebelum berkata tanpa mengalihkan pandangan, "Al, boleh minta tolong angkat? Di loudspeaker aja."
Alyssa menurut, dia meraih ponsel Elang dan pada layarnya menandakan panggilan masuk dari kontak yang dinamainya Bunda. Alyssa melirik Elang, "El, Bunda lo yang nelepon."
Elang mengangguk. "Iya, angkat aja. Loudspeaker."
Alyssa mengangkat panggilan dan membuat panggilan itu dalam loudspeaker, mendekatkan ponsel ke arah Elang. Suara seorang wanita terdengar, sangat ceria dan membuat Alyssa awalnya mengira jika dia bukan Bunda yang adalah Ibu kandung Elang.
"Elang, katanya kamu mau bawain Bunda apel strudle? Tapi gak ada di plastik!"
"Bunda gak minta, bukannya? Jadi, Elang beliin buat yang lain. Tapi apel buat Bunda, Elang tambahin jadi dua kilo."
Alyssa mengernyitkan dahi mendengar bagaimana Elang berbicara dengan sang Bunda. Terdengar sangat akrab dan seperti tengah berbicara dengan teman, tapi dengan nada yang lebih lembut dan sopan.
"Ih, gak mau tahu. Bunda juga mau apel strudle. Kamu gak boleh pulang sebelum dapet dan kasih ke Bunda."
Elang yang masih fokus menyetir memutar bola matanya. "Bunda beliin, deh, tiket ke Malang lagi. Biar aku besok berangkat. Ini ada, tapi pesenan Ricky, Zico sama buat Alyssa."
Alyssa sejujurnya cukup terkejut karena Elang menyebutkan namanya saat tengah berbicara pada sang Bunda. Jika Ricky dan Zico, sangat terdengar wajar. Tapi menyebut nama Alyssa? Rasanya sangat aneh, tapi Alyssa senang mendengarnya.
"Ya, dibagilah dari punya mereka. Atau Bunda harus minta langsung sama Alyssa? Kamu lagi sama dia, kan?"
Alyssa terlonjak mendengar suara Bunda yang menyebut namanya. Elang melirik Alyssa sekilas dan menyeringai. "Nih, di samping aku anaknya. Mau ngomong gak, Bunda? Udah aku loudspeaker, sih."
"Halo, Alyssa. Ini Bunda-nya Elang yang paling bandel sejagat raya. Duh, kamu hati-hati, ya, deket-deket sama Elang. Kadang dia suka eror."
Mau tak mau, Alyssa terkekeh mendengar ucapan Bunda tersebut. Kali ini, dia mendekatkan ponsel ke bibirnya sambil menjawab, melirik Elang sesekali, "Iya, Bunda. Anaknya bandel banget. Erornya bukan kadang lagi, tapi sering."
Jawaban Alyssa membuat Elang terkekeh geli. Selebihnya, selama perjalanan, Alyssa berbicara meladeni Bunda yang faktanya benar-benar sangat asyik diajak bicara, sesekali Elang menimpali. Bunda terdengar sangat menyenangkan dan ramah, Alyssa senang dapat berbicara meskipun hanya melalui panggilan telepon. Sangat jarang ada orang yang bisa membuat Alyssa berujar banyak. Selain Yeslin dan Elang, mungkin Bunda akan menjadi yang selanjutnya.
Mobil yang Elang kendarai akhirnya, berhenti tepat di area parkir sebuah mall di jantung kota Jakarta. Setelah memarkirkan mobil, Elang dan Alyssa melangkah memasuki mall tersebut, beriringan.
"Gue mau beli sepatu buat Senin. Ke toko sepatu dulu, ya?"
Alyssa mengangguk mengiyakan, keduanya pun melangkah menuju ke gerai sepatu Nike. Alyssa sebenarnya menyarankan ke gerai Adidas, tapi ternyata Elang seorang pecinta Nike jadi, apa boleh buat?
Selama melihat-lihat sepatu, yang membuat Alyssa tidak bosan adalah Elang yang terus bertanya mana yang baik menurut Alyssa. Selama Alyssa berbelanja bersama teman, jarang sekali dia diajak bicara dan ditanyai pendapat. Terlebih lagi Yeslin dan Laras. Keduanya tiap berbelanja dan meminta pendapat Alyssa, pendapat Alyssa pasti tidak akan dianggap dan pada akhirnya, mereka membeli barang yang menurut mereka bagus. Setidaknya, Elang tidak seperti itu.
"Oke. Ambil yang ini, ya?"
"Setuju!"
Alyssa mengangkat ibu jari karena Elang setuju pada pilihannya. Elang tersenyum lebar dan membawa sepatu yang dipilihkan Alyssa ke kasir, membayar dan ke luar dari gerai sepatu tersebut.
Keduanya melangkah di sepanjang mall sambil mengobrol panjang lebar tentang banyak hal. Sepertinya, Elang sudah tahu bagaimana cara membuat percakapan panjang dengan Alyssa sehingga Alyssa dapat menimpali dengan baik. Keduanya terus melangkah berdampingan sambil sesekali bercanda tawa sampai sebuah suara membuat Alyssa menghentikan langkah, begitupun dengan Elang.
"Alyssa!"
Alyssa membeku. Beberapa langkah di hadapannya, Laras melambaikan tangan sebelum melangkah cepat menghampirinya, dengan senyuman lebar di bibir yang selalu dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk Alyssa. Alyssa melirik Elang yang menatap Laras dengan satu alis terangkat.
Seperti sebuah fobia, Alyssa memejamkan mata dan memegang dada. Rasa cemas itu muncul. Terus-menerus.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top