23 : Kantin
Pagi ini, Elang kembali menjadi trending topic di sekolah atas keputusannya untuk mulai bergabung dengan tim basket untuk semester depan, tapi bukan sebagai pemain melainkan sebagai asisten pelatih mengingat dia hampir masuk ke dalam tim nasional dan lihai dalam memainkan bola basket.
Padahal, pengumuman baru dipasang beberapa menit yang lalu, tapi kini, tim basket sudah di hadapkan dengan banyaknya calon anggota tim yang mendaftar dan kebanyakan adalah cewek, terlebih lagi adik-adik kelas yang sudah jelas-jelas masuk ke dalam barisan para penggemar Elang.
Seperti terjadi perang dingin, hari ini Alyssa merasakan sendiri bagaimana rasanya diabaikan oleh seorang Elang Devara Septian. Saat tiba di sekolah, Alyssa berpapasan dengan Elang, Elang buang wajah dan malah melangkah lebih cepat hingga akhirnya, hilang dari pandangan Alyssa.
Alyssa tak mengerti, bagaimana bisa kisah percintaannya tak pernah berjalan dengan mulus. Dia pernah menyukai Irsyad, tapi harus pupus karena Irsyad menyukai sahabatnya sendiri. Sekarang, saat dia ingin belajar membuka hati pada seseorang yang pernah mengejarnya, orang itu sudah berhenti mengejarnya dan malah berlari menjauh.
Lagipula, siapa orang bodoh selain Alyssa yang mau terus mengejar seseorang walaupun, dia tahu seseorang itu tak akan pernah menjadi miliknya?
"Alyssa?"
Lamunan Alyssa buyar begitu mendengar namanya disebut. Begitu mencari sumber suara, Alyssa mendapati Pak Imron yang hendak beranjak meninggalkan kelas, tengah menatapnya dengan senyuman tipis di bibirnya.
"Setelah Ujian Akhir Semester, kita mulai latihan, ya? Kompetisinya akan dilaksanakan sekitar bulan Februari dan saya berharap kamu dan Rayhan bisa menyumbangkan piala atas nama English Club meskipun, mungkin kalian gak lagi berminat."
Dari kursinya, Alyssa tersenyum dan menganggukkan kepala. "Siap, Pak. Saya akan coba semaksimal mungkin."
Pak Imron mengangguk kecil dan melangkah meninggalkan kelas. Tak lama setelahnya, siswa-siswa sekelas Alyssa ikut meninggalkan kelas, berhamburan untuk menuju ke kantin, memberi makan perut mereka yang sedari tadi meraung kelaparan.
Begitu tinggal Alyssa sendiri di kelas, Alyssa menyandarkan kepalanya pada meja. Alyssa sangat mengantuk. Akhir-akhir ini, insomnia-nya semakin parah, ditambah rasa aneh yang membuatnya terjaga semalaman. Alyssa tak mengerti apa yang dia rasakan sekarang, dia hanya ingin hidup dengan tenang dan damai.
"Alyssa, I am coming!"
Baru ingin tertidur, Alyssa harus mengangkat kepala saat mendengar suara melengking yang dia ketahui berasal dari sahabat dekatnya, Yeslin. Yeslin tiba-tiba sudah menarik kursi di depan meja Alyssa sambil bertanya dengan nada ceria, "Eh, bawa bekal apa? Mau minta!"
"Gue gak bawa bekel, Yes. Gak sempat bikin."
Yeslin mengerucutkan bibir. "Ih, lo akhir-akhir ini kenapa jadi jarang bawa bekel, sih? Ya, udah. Ke kantin, yuk! Pesan makanan keburu habis!"
"Males ke kantin."
Yeslin menarik lengan Alyssa yang baru saja ingin menyandarkna kepala lagi di atas meja. "Ayo, ke kantin! Lo harus makan! Habis makan, baru tidur!"
"Mana bisa? Habis makan, pasti bel masuk bunyi!"
"Ya, udah tinggal tidur di UKS, apa susahnya, sih? Bilang aja lagi sakit."
"Gak mau." Alyssa bersikeras.
"Lo mau ikut gue ke kantin atau gue panggil Elang ke sini buat nyeret lo makan?" ancam Yeslin yang membuat Alyssa terdiam sejenak.
Alyssa menarik lengannya yang ditarik Yeslin dan melipat tangan di atas meja. "Panggil coba. Gue traktir lo makan seminggu kalau dia mau ke sini buat nyeret gue makan."
Setelah berkata seperti itu, Alyssa menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan. Yeslin mencoba memahami maksud ucapan Alyssa, sampai akhirnya dia mengerti. Yeslin kembali duduk di kursi di depan Alyssa, ikut melipat tangan di atas meja dan menyandarkan dagu di lipatan lengannya.
"Lo putus sama Elang?"
Alyssa menjawab dengan gelengan kepala.
Yeslin menghela napas. "Terus kenapa?"
Alyssa kembali menggeleng. "Gak apa-apa, Yes. Mungkin gue lagi kena karma."
Yeslin melotot. "Hah? Kena karma gimana, deh?"
Alyssa tak menjawab selama beberapa saat sampai dia mengangkat wajah dan ikut menyandarkan dagu di lipatan tangannya. Alyssa menghela napas. "Kayaknya, bentar lagi gue diputusin sama Elang."
"Elang mau mutusin lo?!"
Alyssa mengangguk dan tersenyum pilu. "Iya. Kayaknya, dia udah mulai capek ngehadepin cuek dan juteknya gue. Ditambah lagi, perasaan gue yang labil." Alyssa menyembunyikan separuh wajahnya di lipatan tangannya, "Seperti yang sering gue bilang, dia berhak dapet seseorang yang menghargai perasaannya."
"Al, lo ngomong apa, sih?"
Alyssa menghela napas lagi. "Udahlah. Anggap gue gak ngomong apa-apa."
"Ya, udah. Tapi ayo, ke kantin! Laper, nih, gue! Gue gak mau sendirian ke kantin!"
Alyssa menggeleng. "Gak mau, Yes. Lo aja sana beli makanan, bawa ke sini. Sekalian beliin buat gue."
"Eh, ngantri-nya panjang, ya, Al. Gak setia kawan banget, sih, lo! Tinggal temenin ngantri doang apa susahnya, sih? Ayo, cepetan!"
Yeslin menarik lengan Alyssa cukup kuat hingga akhirnya, Alyssa pasrah saat Yeslin menyeret langkah kakinya meninggalkan kelas menuju ke kantin yang sudah cukup ramai oleh para siswa.
Tak mau menunggu terlalu lama, Yeslin meminta Alyssa mencari tempat duduk kosong sementara, Yeslin memesan bakso Mang Ujang yang menjadi kesukaan para siswa. Setelah mencari, akhirnya Alyssa menemukan meja kosong untuknya dan Yeslin duduk, tak begitu jauh dari pintu masuk kantin. Alyssa menatap sekeliling yang ramai sebelum menundukkan kepala dan memegangi kepalanya. Alyssa tak begitu menyukai keramaian, terkadang melihat banyak orang membuat kepalanya pusing. Itulah alasan kenapa dia lebih memilih membawa bekal daripada makan di kantin.
Tak berapa lama setelah Alyssa duduk, tiba-tiba saja Ricky datang sambil menyeret Elang untuk duduk di kursi kosong yang satu meja dengan Alyssa dan berkata, "Udah di sini aja, elah. Gue udah laper gak usah buang-buang waktu nyari kursi lain!"
Sangat kentara jelas, Elang hendak memprotes keputusan sepihak Ricky, tapi akhirnya dia memilih pasrah saat melihat tak ada lagi meja kosong di kantin. Sisanya dipenuhi banyak siswa dan hanya meja yang Alyssa tempati yang masih menyisakan beberapa kursi untuk duduk.
"Yeslin! Gue sama Elang mau bakso juga!" Ricky berteriak cukup keras kepada Yeslin yang tengah mengantri.
Yeslin menoleh dan memicingkan mata kepada Ricky. "Gue gak bisa bawanya, bego! Ngantri, lah!" Yeslin berujar tak kalah keras.
"Nenek lampir, pelit banget lo!" umpat Ricky yang langsung mendapat tatapan tajam Yeslin.
Melihat perdebatan itu, Elang bangkit berdiri sambil berkata, "Ya, udah. Gue aja yang antri. Lo bakso gak pakai mie kuning, kan?"
Ricky nyengir lebar kepada Elang. "Iya, Sayang."
Elang memutar bola matanya sebelum melangkah menuju counter yang sama tempat Yeslin mengantri. Alyssa mengikuti pergerakan Elang. Elang tampak berbicara sesuatu kepada Yeslin dan Yeslin tertawa, keduanya tertawa bersama sambil mengantri dan lagi, seperti de javu, rasanya sangat sulit menampik kekhawatiran akan kejadian yang sama terulang kembali.
"Tumben lo ke kantin. Gak bawa bekal?"
Perhatian Alyssa teralihkan. Dia baru sadar ada Ricky yang menunggu di meja, bersamanya tanpa meminta izin untuk duduk. Alyssa menggelengkan kepala. "Enggak bawa."
"Tumben banget."
"Ya, suka-suka gue mau bawa, kek. Mau enggak, kek."
Ricky melotot. "Kok, lo nyolot jawab pertanyaan gue, sih?!"
"Lo-nya gak usah kepo, makanya!"
Ricky memutuskan untuk tak menjawab daripada harus mendapat semprotan dari Alyssa lagi. Ricky menunggu Elang datang, tak sabaran karena aura Alyssa terlihat sangat buruk dan Ricky selalu takut dengan aura menakutkan Alyssa.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Elang dan Yeslin datang membawa masing-masing satu nampan berisikan dua mangkuk. Yeslin meletakkan mangkuk di atas meja di hadapan Alyssa sambil berkata, "Silahkan dinikmati, Nyonya."
"Makasih, Bi." Alyssa menyindir seraya memutar bola matanya.
Sedangkan saat Elang meletakkan mangkuk di hadapan Ricky, Ricky berkata menggoda, "Makasih, ya, Abang Ganteng."
Elang balas tersenyum menggoda. "Sama-sama, Ganteng." Elang mengedipkan satu mata sebelum duduk di samping Ricky, di hadapan Yeslin dengan semangkuk bakso yang sudah terletak rapih di atas meja.
"Lo berdua kayak pasangan gay tahu. Ke mana-mana selalu berdua. Padahal masing-masing punya pacar." Sindir Yeslin.
"Ye, lo gak ngaca? Lo berdua lebih mirip lesbian. Ke kantin aja gandengan. Gue sama Elang, kan, gak gandengan." Ricky menimpali dan membuat Elang menoleh kepadanya dengan mata memicing.
"Jadi, lo mau gue gandeng, Rick?" tanya Elang.
Ricky melotot. "Ya, kali lo gandeng gue, Sableng!"
Satu meja tertawa, kecuali Alyssa yang memilih untuk diam, tak berani mengganggu percakapan. Elang benar-benar menghindari tatap mata langsung dengan Alyssa dan malah memilih untuk membuat kontak mata dengan Yeslin yang duduk berhadapan dengannya.
Saat tengah asyik makan, tiba-tiba dua orang adik kelas menghampiri meja mereka atau lebih tepatnya mendatangi Elang. Keduanya berhenti di belakang Elang dan Alyssa melihat jelas keduanya sibuk menyenggol satu sama lain untuk meminta membuka percakapan.
"Kak Elang,"
Akhirnya, seseorang yang mengenakan kerudung membuka suara dan sukses membuat Elang berhenti makan untuk menoleh. Salah satu adik kelas yang lain buru-buru bersembunyi di balik temannya saat mendapati tatapan tajam Alyssa. Perhatian Ricky dan Yeslin ikut teralih oleh kehadiran mereka.
"Ya?"
"Kita mau tanya-tanya soal ekstrakurikuler basket, Kak." Ujarnya gugup dan kini giliran si siswi berkerudung yang merinding saat mendapati lirikan tajam Alyssa.
Elang mengambil gelas Aqua dan meneguknya cepat sebelum berbalik menatap kedua adik kelasnya itu sambil bertanya, "Emang harus nanyanya ke gue, ya? Ketua ekskul gak ada? Gue juga belum fix balik lagi ke ekskul basket."
Si kerudung putih menggigit bibir bawahnya, sedikit menyenggol temannya yang berdiri di belakangnya seakan meminta bantuan. "Ta―tadi mau nanya, ta―tapi kayaknya mending nanya ke Kak Elang. Bo―boleh minta pin BBM Kakak aja gak?"
"Enggak."
Bukan Elang yang menjawab, perhatian mereka teralih pada Alyssa yang kini menatap tajam dua adik kelas itu, seakan-akan dia adalah macan yang tengah mengincar buruannya. Entah dapat keberanian dari mana, tapi dengan luwesnya Alyssa berkata, "Kalian punya etika gak, sih? Orang lagi makan dan diajak ngobrol soal ekskul. Emang gak ada nanti-nanti?"
Elang bahkan terkesiap akan ucapan pedas Alyssa sebelum beralih pada kedua adik kelasnya yang terlihat ketakutan. Dalam hati, Elang ingin tertawa melihat ekspresi keduanya, sekaligus...senang karena Alyssa mengatakan hal seperti itu.
"Kalian tanya ke Deni dulu, ya? Kalau udah mentok, baru temuin gue lagi dan maaf, gue makan dulu, ya?"
Kedua adik kelas itu mengangguk dan buru-buru melangkah meninggalkan kantin. Elang melanjutkan kembali makannya meskipun, dia ingin sekali menggoda Alyssa. Beruntung, Yeslin sudah menggoda Alyssa terlebih dahulu, seakan mewakili Elang.
"Gila. Lo mau gabung sama Irvina dan kawan-kawan sebagai kakak kelas yang senang melabrak adik kelas yang gak berdaya?"
"Dia ganggu gue lagi makan, ya gue gak suka, lah!" Alyssa beralasan.
Ricky memicingkan mata. "Lah, yang diganggu, kan, Elang. Elang-nya aja gak apa-apa. Kenapa lo yang sewot?" Ricky menciut saat Alyssa beralih menatapnya tajam. Ricky menundukkan kepala dan bergumam pelan, "Shit. Cewek kalau lagi PMS emang serem, ya?"
"Gue gak lagi PMS!"
"Iya, tapi lo marah-marah mulu dari tadi!" Ricky tersulut emosi karena Alyssa membentaknya.
Alyssa baru hendak membalas, tapi Yeslin sudah menahannya sambil berbisik, "Udah, idih. Jangan diladenin. Ricky emang rada sableng. Lo sama sableng-nya sama dia kalau ngeladenin."
"Kok, lo juga ikutan bully gue, sih?!" Kini, Ricky beralih melotot menatap Yeslin. Yeslin balas menatap tajam.
"Kenapa? Gak suka?"
Sekarang, Elang dan Alyssa yang benar-benar merasa malu atas perdebatan Yeslin dan Ricky yang menjadi sorotan beberapa orang di sekitar mereka.
🕛🕛🕛
Setidaknya, hari ini Alyssa masih bisa melihat Elang saat OSIS mengadakan rapat bulanan dan seperti biasa, Elang yang memimpin rapat dan Alyssa yang mencatat poin-poin penting rapat. Rapat berjalan selama hampir satu jam sebelum Elang membubarkan rapat dan melangkah ke luar ruangan OSIS terlebih dahulu, terlihat terburu-buru. Alyssa menghela napas.
Elang benar-benar menghindarinya. Biasanya, Elang akan menemani Alyasa menunggu Pak Surahman di ruangan OSIS ketika yang lain sudah beranjak ke luar dari ruangan dan pulang ke rumah masing-masing.
"Bu Bos, gak bareng sama Pak Bos?"
Ryan sang bendahara OSIS bertanya dan Alyssa tersenyum dipaksakan. "Enggak. Gue dijemput, kan."
Ryan mengangguk. "Oke, deh. Duluan, ya, Bu Bos."
Alyssa mengangguk dan Ryan sebagai anggota OSIS terakhir sebelum Alyssa melangkah meninggalkan Alyssa sendiri di ruang rapat. Alyssa menarik napas dan mulai mengirimkan pesan singkat meminta dijemput oleh Pak Surahman. Setelahnya, baru Alyssa melangkah meninggalkan ruang OSIS yang nantinya akan dikunci oleh penjaga sekolah.
Sesekali Alyssa menatap ke area parkir, tempat biasanya sebuah motor Satria terparkir. Motor kebanggaan Elang, tapi siang ini tak Alyssa dapati motor itu di sana. Sepertinya, Elang benar-benar sudah pulang terlebih dahulu, tak seperti biasanya menemani Alyssa menunggu Pak Surahman datang.
Lucu rasanya, seakan memaksa Alyssa untuk menangis. Alyssa ingat berapa kali dia menyangkal perasaannya kepada Irsyad, hingga dia baru menyadari dan menyesali perasaannya itu begitu melihat Irsyad bersama dengan Laras.
Sekarang, bolehkah Alyssa meminta Tuhan memutar waktu sehingga dia dapat membalas perasaan Elang dan mengakui fakta jika...jika hatinya lebih sakit diabaikan Elang daripada saat mendengar Irsyad berbicara tentang Laras di hadapannya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top