20 : Dilema

Beruntung, Sabtu ini Papa dan Mama pergi ke resepsi pernikahan salah satu rekan kerja Papa ke daerah Semarang. Biasanya, di hari Sabtu kedua orangtua Alyssa akan bertahan di rumah seharian, mengobrol atau menonton televisi. Menghabiskan waktu bersama yang tak dapat dinikmati di hari-hari sebelumnya. Benar-benar beruntung hari ini mereka pergi ke Semarang, sehingga Alyssa tak perlu mendapat ceramah panjang lebar kedua orangtuanya saat tahu ada seorang cowok yang tiba-tiba muncul dengan senyuman lebar khasnya.

"Lo ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya Alyssa ketus dari dalam rumah, menatap seorang Elang Devara Septian yang tengah nyengir, sedikit mengintip dari pagar rumah Alyssa yang cukup tinggi.

"Gue mau ngajak lo sarapan! Nih, gue bawa nasi uduk!" Elang berujar cukup keras dan membuat Alyssa memejamkan mata sebelum melangkah menuju ke pagar, membukakan pintu gerbang dan dapat dilihatnya sosok Elang yang mengenakan hoodie kebesaran berwarna cokelat dan jeans berwarna hitam, dengan selop hitam dan wajah pucat berhiaskan kantung mata.

Alyssa sempat-sempatnya memperhatikan cowok yang beberapa hari tak ditemuinya itu sebelum memberi isyarat agar Elang segera masuk, Alyssa sudah melirik kanan-kiri dan memastikan tak ada tetangganya yang tahu kehadiran Elang. Well, Alyssa benci tetangganya yang senang menggosip. Bisa jadi masalah besar jika mereka membuat gosip yang tidak-tidak tentang Alyssa dan Elang yang pada akhirnya, akan terdengar orangtua Alyssa. Alyssa paling takut mendengar ancaman 'coret nama dari Kartu Keluarga' yang sering diucap sang Papa saat bercanda, menjadi kenyataan karena Elang.

"Lo ngapain, sih, ke rumah gue? Tahu rumah gue dari mana?"

Alyssa mendorong punggung Elang agar cowok itu segera masuk rumah. Alyssa menutup pintu rumah dengan cepat dan beralih menatap Elang yang sudah duduk santai di sofa cokelat ruang tamu, menatap sekeliling ruang tamu dengan mata berbinar.

"Rumah lo adem juga, ya? Jadi betah." Elang memantul-mantulkan bokongnya pada sofa, benar-benar terlihat seperti anak kecil.

Alyssa menghela napas dan melipat tangan di depan dada memperhatikan Elang. Untungnya, Alyssa sudah bangun sejak satu jam lalu dan mandi. Dia sudah tak mengenakan piyama Doraemon berwarna birunya dan sudah mengenakan kaus santai berwarna putih dan celana katun selutut. Masih aman, setidaknya dan tidak memalukan.

"Lo jangan norak gitu, deh. Gue serius, nanya. Lo ngapain pagi-pagi ke sini?" Alyssa bertanya kesal.

Elang menghentikan kegiatan memantul-mantulkan bokongnya dan nyengir menatap Alyssa. Elang memperlihatkan kantung plastik yang dia bawa sambil berkata ceria, "Gue bawain sarapan buat lo. Lo pasti belum makan, kan? Gue udah tanya ke satpam tadi. Katanya, orangtua lo pergi dari semalam."

"Lo punya nomor telepon satpam kompleks gue, gitu?!"

Elang menggeleng. "Enggak. Gue baru nanya tadi."

"Gue kira lo punya. Tapi sumpah. Lo nyari mati pagi-pagi ke rumah gue? Untung orangtua gue gak ada! Mau kena omelan bokap-nyokap gue?" Alyssa menggeleng-gelengkan kepala, tak percaya.

"Emang gue nekat. Ketemu bokap-nyokap lo pun, gue udah siapin mental. Kan, niat gue baik. Gak buruk." Elang menjawab santai seraya mengeluarkan dua bungkus nasi uduk yang dia bawa dan meletakkan di atas meja kecil di hadapannya, "Sini sarapan. Nanti kalau kelamaan keburu sarapannya berubah jadi makan siang."

Alyssa menatap Elang selama beberapa saat sebelum memutar bola mata dan beralih duduk di sofa yang berhadapan dengan Elang. Dia menatap tangan Elang yang sibuk membuka bungkus nasi uduk dan menyajikannya di atas meja.

"Gak usah nawarin pakai sendok, gak usah. Gue pakai tangan aja, biar merakyat."

Alyssa terkekeh. "Siapa juga yang mau ambilin sendok! Tapi bentar. Gue ambil minum dulu. Pokoknya, selesai makan lo minggat dari rumah gue, oke?" Alyssa bangkit berdiri dan melangkah menuju ke dapur, dia meraih cepat gelas dan botol minuman di kulkas dan meletakkannya di atas meja ruang tamu tempat Elang tengah memakan lahap nasi uduknya.

Melihat Elang yang lahap, mau tak mau Alyssa ikut mulai memakan nasi uduk yang sudah Elang bawa, sesekali melirik Elang yang tampak fokus makan. Pikiran Alyssa melayang pada janjinya besok, dengan Irsyad. Cewek itu berhenti makan seketika.

"El, gue mau ngomong serius."

Elang mengangguk kecil. "Habis makan?" Dia bertanya dengan mulut penuh makanan.

Alyssa terkekeh dan mengangguk. "Oke, oke. Sori. Silahkan lanjut makan." Alyssa juga lanjut memakan nasi uduk yang sudah dibawakan Elang.

Keduanya sarapan dengan lahap sampai tersisa kertas nasi pembungkus nasi uduk tersebut. Keduanya merapihkan bekas makanan mereka dan Alyssa yang membuang di tempat sampah yang berada di dapur sebelum kembali ke ruang tamu dan mendapati Elang yang sudah duduk tenang setelah mencuci tangan di kran air yang berada di kebun kecil depan rumah Alyssa.

Alyssa duduk di tempatnya duduk semula dan menatap Elang yang kini juga menatapnya. "Lo ke mana aja tiga hari ngilang?" tanya Alyssa.

Elang menyeringai. "Kangen, ya?"

"Enggak, lah! Malah gue seneng. Gue makan siang jadi gak ada yang gangguin!" Alyssa berujar cepat, menepis pertanyaan bodoh Elang.

Elang terkekeh geli. "Gue kena skorsing, kan. Tiga hari gue nginap di rumah bokap di Bandung." Elang menghela napas. "Sengaja gak ngehubungin lo, biar lo kangen dan nyariin gue, hehe."

"Jangan ge-er."

"Tapi gue kecewa. Gue gak ngehubungin lo dan lo juga gak ngehubungin gue. Sedih gue jadinya. Berasa bertepuk sebelah tangan. Sakit banget di dada, Al." Elang memasang wajah berpura-pura kesakitan, meletakkan tangan di dada.

Alyssa memutar bola matanya. "Jangan mulai, deh, lebay-nya!"

"Gue baca buku Hujan, loh, selama di Bandung."

Alyssa mengernyitkan dahi. "Bohong banget."

"Ye, serius! Ada kutipan kesukaan gue di buku itu. Suka banget, lah, gue."

"Yang mana?" Alyssa terpancing, penasaran.

Elang nyengir sebelum berkata dengan sangat lancar, tanpa hambatan seperti memang dia menghafal di luar kepala. "Orang kuat itu bukan karena dia memang kuat, melainkan karena dia bisa lapang dada melepaskan."

Alyssa merasa disindir secara langsung oleh Elang. Alyssa diam sesaat sebelum terkesiap. Cewek itu bangkit dari sofa dengan mata memicing menatap Elang yang tersenyum puas. "Sana pulang. Udah habis, kan, sarapannya?"

"Gue mau ajak lo jalan."

"Gak mau jalan. Capek."

"Naik motor, lah! Gak benar-benar jalan, biar gak capek!"

Alyssa mendengus. "Maksud gue, gue gak mau jalan sama lo! Sekalipun itu naik motor! Gue mau tidur aja."

"Ayolah. Gue udah jauh-jauh ke sini buat jemput lo, lo-nya malah lebih milih tidur daripada jalan sama gue."

"Gue gak pernah minta lo ke sini. Lo-nya aja yang nekat."

Elang menghela napas. "Ya, udahlah. Gue balik aja kalau gitu. Thanks, ya, udah mau nemenin gue sarapan. Bunda pagi-pagi senam sama Ibu-ibu PKK soalnya. Makanya, gue ke sini bawa nasi uduk di deket rumah gue yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari sini, padahal baru tidur empat jam cuma buat ketemu sama lo." Elang beranjak dan tersenyum tipis, memelas dan membuat Alyssa luluh seketika.

Alyssa menghela napas. "Gak usah dibacain kali! Ya, udah! Ayo, jalan. Tapi sebelum Ashar, udah balik."

Elang nyengir. "Sebelum Maghrib aja, deh?"

Alyssa menggeleng. "Enggak! Sebelum Ashar!"

Elang menghela napas dan mengangguk pasrah. "Oke, oke. Ayo, berangkat!"

"Gue ganti baju dulu, lah! Ya, kali pakai baju kayak gini?"

"Udah cakep, Al. Sumpah, deh."

"Enggak! Tunggu lima menit, gue ganti baju." Alyssa buru-buru melangkah menuju ke kamar dan Elang kembali duduk di sofa sambil menatap sekeliling dengan senyuman lebar di bibir.

Lima menit berubah menjadi lima belas menit dan untungnya, Elang seseorang yang sabar untuk menunggu.

🕛🕛🕛

Sepertinya, Alyssa sudah cukup terbiasa untuk dibonceng kilat oleh Elang. Motor Satria cowok itu berhenti tepat di depan gerobak warung. Alyssa tak mengerti apa yang ada di pikiran Elang, cowok itu membeli beberapa minuman dan roti di warung tersebut sebelum meminta Alyssa membawakan plastik berisikan minuman dan roti itu lalu, melajukan motornya kembali hingga berhenti di halaman parkir Monumen Nasional.

"Kita ngapain ke Monas?" tanya Alyssa, heran saat Elang memintanya turun dari motor.

"Ngapain, kek, yang enak." Elang menjawab singkat sebelum membantu melepaskan helm yang Alyssa kenakan, meletakkannya di kaca spion dan beralih melepas helm yang dia kenakan, "Kita piknik di Monas."

Alyssa memutar bola matanya. "Piknik jam segini? Panas banget, idih! Terus lo cuma beli roti sama air minum! Yang bener aja!"

"Itu, kan, cuma pelengkap! Nanti makan beratnya. Ayo, masuk dulu!"

Elang melangkah terlebih dahulu meninggalkan area parkir. Alyssa akhirnya, mengikuti cowok itu sambil membawa kantung plastik belanjaan Elang di warung tadi.

Selama berjalan di bawah teriknya matahari siang, Alyssa tak henti-hentinya menghela napas mencoba tidak langsung emosi kepada Elang yang berjalan santai di depannya. Lapangan monas sangat panas hari ini dan Alyssa tahu, saat sampai di rumah kulitnya pasti akan menghitam.

Setelah beberapa saat berjalan, Elang meneduh di bawah rindangnya pohon. Alyssa mengikuti, benar-benar duduk di bawah pohon sambil meletakkan kantung plastik belanjaan Elang di hadapan cowok itu.

"Gue gak nyangka Monas sepanas ini," Elang berujar seraya meraih salah satu minuman botol yang dia beli, membuka tutup dan meneguk isinya hingga tersisa setengah. "Minum, Al. Seger banget."

Alyssa meraih botol minum yang lain dan meneguknya. Benar kata Elang. Padahal hanya air mineral biasa, tapi terasa sangat menyegarkan akibat melangkah menerjang panasnya siang di lapangan Monas yang gersang.

"By the way, semalam lo mau ngomong apa?"

Pertanyaan Elang membuat Alyssa mengernyitkan dahi. Cewek itu menatap Elang lekat sebelum menghela napas. Alyssa bahkan harus memutar otak memahami maksud pertanyaan Elang sampai akhirnya, dia ingat.

"Bukannya lo tahu gue mau ngomong apa?" tanya Alyssa balik, mengangkat satu alis.

Elang mengedikkan bahu. "Gak tahu, sih. Awalnya, gue berpikiran negatif lo mau mutusin gue, tapi karena gue orang yang seharusnya selalu berpikiran positif, gue berpikir kalau lo mau ngutarain perasaan lo ke gue." Elang membusungkan dada, bangga.

"Ya, Tuhan, El. Otak lo terbuat dari apa, ya, sampai rasa kepercayaan diri lo itu benar-benar melewati garis normal?"

Elang terkekeh, cowok itu mulai meraih roti yang dibelinya, membuka plastik pembukus sambil bertanya lagi, "Tapi serius. Gue matiin telepon soalnya, gue belum siap kalau-kalau lo mau nyatain perasaan lo ke gue. Gue seneng banget lo ngehubungin gue duluan."

Rasa bersalah langsung menghantui Alyssa saat mendengar perkataan Elang tersebut. Yeslin benar. Rasanya sangat bodoh menyia-nyiakan perasaan Elang yang sangat kentara tulus. Rasanya sangat bodoh mengabaikan kejujuran dan senyuman manis penuh pesona Elang yang menjadi candu bagi banyak cewek.

"Gue berhubungan sama Irsyad, akhir-akhir ini. Sejak pentas seni, lebih tepatnya."

Miris saat Alyssa melihat Elang yang tengah makan, tiba-tiba membeku sesaat sebelum beralih menatap Alyssa dengan tatapan hampa yang selalu Alyssa benci. Tatapan yang Alyssa sendiri sangat sulit untuk artikan.

"Apa lo bilang?"

Alyssa menggigit bibir bawah. Jantungnya berdebar sejak tadi dan Alyssa mengabaikan semua. Dia tak ingin menyembunyikan semua ini dari Elang. Rasanya tak adil. Elang berhak tahu semuanya. Dia berhak mendapatkan yang terbaik.

"Gue suka dia dari lama. Bukan sekedar suka, bahkan lebih dari itu. Sampai sekarang, perasaan gue ke dia masih sama dan gue teramat seneng waktu dia ngehubungin gue setelah pensi. Berasa kayak mimpi yang jadi kenyataan." Alyssa menjelaskan, berusaha mengabaikan bagaimana ekspresi Elang saat ini, "Gue saling kirim DM di Twitter, chatting di BBM. Besok dia ajak gue ketemuan dan gue menyanggupi."

Alyssa memejamkan mata, tak berani menatap ekspresi dingin Elang sekarang. Cewek itu menundukkan kepala. "Sori, El. Sori banget. Tapi gue udah bilang dari awal. Lo berhak dapat cewek yang terbaik. Bukan cewek yang gak bisa hargain perasaan lo kayak gue. Lo berha―,"

"Berhenti ngerendahin diri lo sendiri karena biar bagaimanapun juga, lo udah jadi sumber kebahagiaan gue."

Elang memotong ucapan Alyssa, meletakkan telapak tangan lebarnya di puncak kepala Alyssa, membuat cewek itu sedikit terkejut dan membuka matanya.

Senyuman tipis muncul di bibir Elang. "Kebahagiaan lo adalah kebahagiaan gue jadi, gue gak akan larang lo selama hal yang lo lakukan adalah kebahagiaan lo."

Alyssa sedikit mengangkat wajah. "El, sor―,"

"Al, lo gak ngelakuin kesalahan apapun jadi, buat apa lo minta maaf?"

Hati Alyssa mencelos. Terbuat dari apa hati seorang Elang Devara Septian?

"Al, kalau lo minta gue atau persetujuan gue buat mengakhiri hubungan kita, gue gak mau. Gue gak mau ngelepas lo gitu aja. Gue gak―,"

"El! Lo sadar gak, sih? Lo pertahanin orang yang salah! Lo ngapain pertahanin perasaan lo buat orang yang ngehargain perasaan lo aja enggak?!"

Elang menarik tangannya dari puncak kepala Alyssa seraya tersenyum tipis. "Egois, ya? Perasaan kita?" Alyssa terdiam dan Elang lanjut berkata, "Kalau gue balik nanya pertanyaan lo itu ke lo, dengan mengganti objek jadi Irsyad, lo mau jawab apa?"

Benar. Bukankah memang menasehati jauh lebih mudah daripada melakukan? Padahal, tak sadar jika kita saja tak melakukan nasehat yang kita berikan.

"Jangan pernah suruh gue buat berhenti berharap lo luluh, kalau lo sendiri aja gak pernah berhenti berharap dia luluh. Gue sadar posisi gue di mana, Al dan cukup terus berada di sisi lo udah buat gue bahagia. Jadi, jangan pernah suruh gue buat pergi."

"Tapi El―,"

Alyssa tercekat saat tangan Elang menggenggam tangannya, sangat erat. Cowok itu menundukkan kepala dan Alyssa dapat merasakan seberapa dinginnya telapak tangan Elang sekarang. Membuat hatinya merasakan sesuatu yang aneh. Seperti perih.

"Gue mohon sama lo. Gue gak peduli sama perasaan lo sekarang. Gue gak peduli seberapa jutek dan cueknya lo ke gue." Elang mengambil jeda, "Gue cuma mau ada di sisi lo, gue cuma mau bahagia karena lo, gue cuma mau jadi orang yang selalu ada buat lo. Jadi, jangan pernah paksa gue untuk pergi. Karena gue gak mau dan gue gak bisa." Elang memohon, tubuhnya sedikit bergetar.

Untuk pertama kalinya, Alyssa meneteskan air mata mendengar ucapan yang dia tahu sangat tulus dari seseorang yang selalu berada di sisinya.

Dilema menghantui hati dan pikiran Alyssa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top