03 : Insomnia
Apa kau pernah jatuh cinta? Teramat pada seseorang yang bahkan kau sendiri belum yakin akan membalas rasamu. Lagipula, bagaimana mungkin dia membalas rasamu, jika kau sendiri belum yakin dia mengenalmu. Mungkin dia sempat mengenal, tapi kau hanya sekelebat angin yang berhembus. Hanya terasa dalam hitungan detik, tapi langsung terlupa dan sulit untuk teringat.
Malam hari bukan waktu terbaik untuk Alyssa. Jika di malam hari kebanyakan orang beristirahat setelah seharian penuh beraktivitas, Alyssa kebalikannya. Alyssa kerapkali merasa tidak beraktivitas di siang hari, tapi saat malam, aktivitas sesungguhnya barulah dia lakukan.
Alyssa memiliki insomnia akut. Pernahkah kau tidak tidur sama sekali dalam kurun waktu dua hari? Bayangkan bagaimana rasanya. Pasti sangat menyiksa, kau lemas dan tak bisa beraktivitas sebagaimana mestinya. Berbeda dengan Alyssa. Dia terlihat biasa saja, seperti tidak terdapat masalah berarti karena waktu tidurnya yang tak ada selama dua hari itu.
Jam di dinding kamar Alyssa yang didominasi oleh warna krem menunjukkan pukul sebelas malam dan cewek yang mengikat rambut panjangnya ke belakang itu masih asyik dengan dunia khayalnya. Alyssa membaca sebuah novel yang bukan pertama kali dia baca. Novel itu teenlit pertama yang Alyssa selesaikan dan sampai sekarang masih menjadi novel paling sering dia baca.
Judulnya Dia Tanpa Aku, karya Esti Kinasih. Jika dipersingkat, cerita novel itu adalah tentang Ronald yang meninggal dunia sebelum sempat menyatakan perasaan pada cewek yang lebih muda darinya bernama Citra. Lalu, Reinald memiliki dendam kepada Citra yang berujung pada cinta.
Senyuman muncul di bibir Alyssa saat membaca ulang bagian-bagian awal saat Ronald mengikuti Citra, seperti penguntit. Ah, jika di pikir-pikir, apa bedanya Alyssa dengan Ronald? Sama-sama terlalu berpikir lama di saat hal terpenting yang seharusnya dia lakukan sejak lama adalah menyatakan perasaan, bukan memendamnya.
Perbedaan mendasar antara Ronald dan Alyssa adalah Ronald meninggal dunia sebelum sempat menyatakan perasaannya, sementara Alyssa sudah memilih mengangkat bendera putih sebelum sempat menyatakan perasaannya.
Cewek yang masih duduk di kursi belajarnya itu menunduk dan tersenyum sendu tatkala kenangan yang tak pernah dia sangka akan hadir dalam hidupnya kembali terngiang dalam pikiran. Sudah hampir enam bulan berlalu, tapi Alyssa tak pernah bisa melupakan kenangan itu meskipun, Alyssa sudah memaafkan. Bukankah melupakan memang hal yang sulit?
Alyssa menutup novel yang hanya dia baca sekilas itu sebelum menumpu tangannya di atas meja dan memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa pening. Matanya berair, tapi sebisa mungkin dia menahan air itu menjatuhi pipinya. Alyssa menahan napas dan sedikit membulatkan mata. Dia menghela napas, tangan lentiknya bergerak menegakkan kembali sebuah pigura foto yang sudah beberapa bulan belakangan dia tutup di atas meja. Dulu, figura itu selalu terlihat di atas meja dan tersusun rapih sebagai pemanis di sana.
Senyuman pilu muncul di bibir Alyssa melihat foto itu. Foto tiga orang cewek yang dulu bersahabat dekat, bahkan seperti perangko yang ke mana-mana selalu lekat bersama. Ketiganya berpose lucu dan konyol khas anak remaja dengan background khas photobox yang ada hampir di setiap mall Ibukota.
Tiga cewek itu adalah Alyssa, Yeslin dan Laras. Jangan tanyakan apa yang terjadi pada persahabatan mereka karena Alyssa benci menangisi apa yang sudah terjadi. Dia sudah berjanji pada Yeslin untuk merelakan semua dan tak menyesali segala sesuatu yang sudah terjadi.
Pikiran Alyssa buyar begitu mendengar dering ponsel yang ada di hadapannya. Alyssa menutup kembali pigura fotonya sebelum meraih ponsel itu, mendapati nomor asing tertera di sana dan sukses membuat Alyssa bingung. Alyssa termasuk cewek dengan privasi yang sangat terjaga. Siapa yang menghubunginya, sudah pasti orang yang dipercaya Alyssa untuk mempunyai kontaknya. Tapi Alyssa tak ingat dia memberikan nomornya untuk orang asing, akhir-akhir ini.
"Halo? Ini, siapa?" Alyssa bertanya tanpa basa-basi setelah mengangkat panggilan masuk tersebut.
"Parah. Nanya ini siapa? Sumpah, lo gak nyimpen nomor cowok lo sendiri?"
Alyssa melotot dan menjauhkan ponselnya untuk menatap nomor yang tertera di layar ponselnya itu. Cewek itu memejamkan mata dan mengumpat dalam hati sebelum mendekatkan lagi ponselnya ke telinga. "Lo ngapain malam-malam ini nelepon gue?"
"Lo ngapain malam-malam gini belum tidur? Tapi sumpah lo gak nyimpen nomor gue, Al?!"
Alyssa memutar bola matanya. "Gue mau tidur. Bye."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Alyssa mengakhiri panggilan dan meletakkan cepat ponselnya di atas meja lagi. Cewek itu memicingkan mata dan risih kembali muncul dalam benaknya. Alyssa memang mudah risih dengan makhluk ciptaan Tuhan yang dinamakan cowok dan dia tak bisa berhenti menyesali kebodohannya menerima sosok Elang sebagai pacar karena sekarang, Alyssa bahkan tak tahu bagaimana harus mengakhiri semuanya.
🕛🕛🕛
Setidaknya butuh lebih dari dua minggu untuk para penggosip berhasil mendapatkan topik baru yang tidak lagi membahas tentang hubungan Alyssa dan Elang. Sudah dua minggu berlalu dan lucu memang jika Alyssa dan Elang masih menyandang status berpacaran, tapi Alyssa memilih bertahan untuk menjauhi Elang.
Mengingat Elang pernah tiba-tiba datang ke kelasnya saat Alyssa tengah sendirian dan hendak memakan bekal, Alyssa memutuskan untuk tetap membawa bekal, tapi memakan bekalnya di ruang kelas Yeslin. Alyssa memaksa Yeslin untuk mau menemaninya makan dan bahkan membawa bekal berlebih untuk Yeslin hanya untuk menghindari Elang.
Elang tidak akan mengganggu Alyssa saat Alyssa tengah bersama Yeslin. Elang tahu jelas jika Alyssa juga butuh waktu berbicara masalah cewek dengan Yeslin. Tapi bukankah keterlaluan jika kejadian seperti itu berulang selama beberapa hari belakangan? Bahkan Alyssa yakin, Elang mulai kesal padanya karena sulit untuk ditemui dan tak kunjung merespon panggilan ataupun pesan dari Elang.
Siang ini, seperti siang-siang sebelumnya, tepat sesaat sebelum bel istirahat berbunyi, Alyssa sudah bersiap. Saat teman-temannya berhamburan ke luar kelas, Alyssa ikut bersama mereka. Alyssa melangkah cepat menuju ke kelas Yeslin yang berada dua kelas ke kanan dari kelasnya.
Tak seperti kemarin yang terasa lebih melegakan, hari ini Alyssa harus menahan napas dan menghentikan sejenak langkah kakinya saat melihat Elang melewati kelasnya bersama seorang teman baiknya yang tak kalah terkenal bernama Ricky. Elang sempat menatap Alyssa sekilas sebelum membisikkan sesuatu kepada Ricky yang tak lama kemudian melangkah pergi meninggalkan Elang yang masih diam di posisi.
Alyssa menahan napas saat Elang mulai melangkah dan berhenti di dekatnya.
"Mau makan di mana?" tanya Elang.
"Di kelas Yeslin." Alyssa menjawab, singkat.
Elang mengangguk dan tersenyum tipis. "Oke, deh. Habisin, ya. Kalau bisa nambah. Itu kasihan badan udah kurus kerempeng begitu."
Alyssa melotot. "Gak punya kaca, ya, di rumah?"
Elang terkekeh. "Enggak. Pinjem kaca lo, dong. Gue ke rumah lo, ya?"
Mata Alyssa memicing sebelum cewek itu menyindir ketus, "Gak lucu."
Senyuman tipis muncul di bibir tipis Elang dan Alyssa baru sadar cowok itu punya warna kulit yang cukup pucat untuk ukuran cowok. Seingat Alyssa, Elang juga aktif di olahraga, tapi kenapa kulitnya masih putih bersih tidak seperti siswa lainnya yang gemar berolahraga?
Alyssa sedikit memundurkan kepalanya saat tiba-tiba Elang mendekat dan berbisik tak jauh dari telinga Alyssa. "Gak usah ngejauhin gue, Al. Gue jinak, gak gigit."
Setelahnya, Elang berdiri tegak dan tersenyum lebih lebar. "Gue makan siang dulu, ya. Jangan lupa makan yang banyak." Elang menepuk pelan pundak Alyssa sebelum melangkah meninggalkan Alyssa yang berdiri di tempatnya. Alyssa menoleh, mengikuti ke mana punggung Elang pergi. Cewek itu menggeleng dan melanjutkan langkah kakinya menuju ke kelas Yeslin.
Baru sampai di depan pintu kelas, Alyssa sudah disambut dengan hebohnya Yeslin yang sebenarnya sudah sangat kelaparan sejak tadi. "Al, lo bawa apa hari ini? Banyak gak porsinya? Gue belum sarapan, anjir, gak fokus belajar bahkan sampai lupa ngerjain PR!"
Alyssa melangkah memasuki kelas Yeslin yang sepi, hanya terdapat Yeslin dan dua teman sekelas cowoknya yang tidur di sudut ruangan sambil melipat kaki. Alyssa berhenti di meja Yeslin, meletakkan bekal yang dia bawa sebelum menarik kursi untuk duduk di dekat meja Yeslin itu.
"Gue kesiangan jadi, gue cuma sempat bikin nasi goreng." Alyssa membuka tutup Tupperwarenya dan Yeslin sudah menatap nasi goreng di dalam Tupperware itu dengan mata berbinar.
"Semua masakan buatan lo, mah, inshaAllah enak, Al. Gue perawanin, yak?"
Tanpa menunggu persetujuan Alyssa, Yeslin sudah mengambil sendok dan memakan nasi goreng itu dengan wajah yang sangat menikmati. Alyssa hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala sambil menunggu gilirannya untuk menyuap nasi goreng tersebut.
"Tadi gue papasan sama Elang, Yes. Gue pikir dia bakal marah, tapi dia malah ngingetin gue buat makan yang banyak. Katanya, gue kurus kerempeng." Alyssa melipat tangan di depan dada, menggembungkan pipi chubby-nya.
Yeslin berhenti makan. "Tuh, kan. Lo suka begitu. Ada yang lebih baik, malah diabaiin. Elang itu sempurna banget, sumpah, Al. Gak usah dengerin apa kata para nenek lampir suka gosip di sekolah. Mending lo respon Elang dan ngejalanin hubungan paling bahagia sama dia."
Alyssa menggeleng. "Enggak, Yes. Gue takut sama Elang."
"Bukan takut sama Elang. Lo takut sama cowok. Dari dulu begitu. Mau ketikung lagi lo?"
Satu kata ketikung dan ekspresi wajah Alyssa berubah kaku. Alyssa memicingkan mata menatap Yeslin yang lanjut makan dengan santai. "Gue udah gak mau bahas itu lagi, ya, Yes. Gue udah tutup lembaran masa lalu itu."
Yeslin tersenyum mengejek. Dia menghabiskan makanan dalam mulutnya baru kembali berkata, "Lo? Udah tutup lembaran masa lalu? Emang udah pernah dibuka? Kok, udah ditutup aja?"
Alyssa mendengus. "Yes, jangan mulai, ya. Udah, ah. Gue gak mau bahas."
Yeslin terkekeh geli melihat wajah Alyssa yang berubah menjadi memelas. Yeslin berhenti makan, meletakkan sendok di dalam Tupperware yang masih tersisa sedikit nasi goreng.
"Tapi gue serius, loh, Al. Lo bakal nyesel nyia-nyiain cowok kayak Elang. Mungkin, nyeselnya belum berasa sekarang, tapi nanti pas Elang capek dan nyerah buat perjuangin lo. Dia bakal beralih ke cewek lain yang lebih bisa ngehargain dia dan lagi-lagi, lo bakal patah hati. Bahkan bisa jadi lebih parah dari sebelumnya."
Alyssa mengerucutkan bibir. "Yang sebelumnya aja belum sembuh. Lo udah doain gue patah hati lagi?"
Yeslin tertawa. "Bukan begitu, Alyssa sayangku. Tapi emang begitu rumusnya. Lo tahu kenapa lo gak sembuh-sembuh patah hati sekarang? Itu karena lo belum dapat pengganti dia di hati lo dan lo gak bakal dapat pengganti dia kalau lo-nya aja ogah-ogahan kayak gini."
"Tapi gue takut. Gimana kalau gue respon Elang, tapi ternyata gue masih gak bisa lupa dari dia? Bukannya sama aja gue nyakitin Elang dan diri gue sendiri? Itu lebih riskan, malahan."
Yeslin menarik napas dan menghelanya perlahan. "Udahlah. Intinya, lo belum siap dan gak akan pernah siap kalau masih pertahanin pola pikir lo yang kayak gitu."
Alyssa terdiam.
🕛🕛🕛
"Pacaran adem ayem aja. Di sekolah jarang kelihatan bareng, kecuali kalau lo yang nyamperin. Dia-nya juga ketara banget cuek. Malam minggu masih ngegerocokin gue buat main PS."
Elang memutar bola mata sebelum meraih dadu dan mengocok dengan tangan lalu, melemparkan di atas area ular tangga mengingat sekarang gilirannya. Satu tangan cowok itu mengapit sebatang rokok, di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Sebelas, anjir." Elang mendengus, tapi tetap menuruti peraturan. Cowok itu mengerakan wakilnya melewati sebelas kotak dan semua yang melihat bersorak senang ketika Elang harus turun sangat jauh padahal, jika dia tadi jauh memimpin.
"Mampus, mampus! Kualat, sih. Sering ngegerocokin malam minggu gue!"
Mungkin Ricky adalah yang paling senang atas kekalahan Elang. Ricky dan Elang sangat dekat, saking dekatnya, Elang mengintili Ricky saat cowok itu tengah kencan bersama pacarnya yang adalah adik kelas bernama Bilqis. Sebenarnya tak apa jika Elang ikut, tapi dia sangat mengganggu! Apalagi beberapa orang yang melihat mereka setuju menyebut Elang sebagai pacar Bilqis sementara, Ricky tak dianggap.
Dadu yang Ricky lempar menunjukkan angka tujuh. Cowok itu menggerakkan wakilnya dengan penuh semangat sementara Elang memasang wajah merungut.
"Apa guna-nya temen kalau gak ada di saat gue lagi butuh?" Elang bertanya sarkastik.
Ricky melotot. "Terus apa guna-nya pacar kalau bukan buat diapelin tiap malam minggu?"
Elang mendengus. "Kan, lo tahu sendiri Alyssa gimana. Itu anak kayaknya alim banget. Ngelihat orang aja gak pernah ngelihat langsung pake mata, gitu. Terus sering nunduk. Emang, deh. Calon istri idaman." Elang tersenyum tak jelas.
Ricky mengernyitkan dahi. "Lo bego atau apa? Itu berarti dia gak suka sama lo! Dia nolak lo! Cakep-cakep bego lo, mah, Lang."
Bibir Elang mengerucut. "Heh, bukan nolak, ya. Masih dalam proses adaptasi. Bentar lagi juga dia luluh sama gue dan sampai saat itu datang, lo harap bersabar kalau gue ganggu malam minggu lo dan Bilqis."
Ricky melotot dan cowok berkulit tanned itu baru hendak memprotes, tapi Elang sudah memotong dengan mengatakan, "Tapi tenang. Minggu ini gue gak ganggu lo. Gue ada janji sama Bunda. Nemenin belanja bulanan."
Ricky tersenyum mengejek. "Iya, deh. Anak Bunda emang. Prioritas utama tetap Bunda, ya."
"Namanya anak berbakti sama orangtua. Gak kayak lo, anak durhaka yang kalau main ke luar rumah malah disuruh jangan balik!"
Ricky melotot. "Sialan lo! Gak usah dibahas kali!"
Elang tertawa lepas.
---
Haha, Esti Kinasih emang salah satu penulis teenlit terbaik. Ada yg pernah baca Dia Tanpa Aku? 😭
Thank you udah baca part ini❤
Selamat malam mingguan ya ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top