Akhirnya, waktunya cabut telah tiba. Gue mengait tas, bertos ria dengan teman-teman sebangsat gue yang kini berjalan menuju pintu kelas, hendak pulang. Begitu sampai di depan pintu, gue lihat Sarah baruaja datang sambil bawa sapu. Gue berdecak, sekarang gue piket kelas. Sengaja, gue halangin dia masuk. Dia ke kiri, gue pun ikut ke kiri. Dia melangkah ke kanan, gue pun ikut melangkah ke kanan. Dia malah natap gue, senyum manis. Fuck. Gue ikut balas senyuman dia.

"Makasih." ucap gue inget soal ulangan jam terakhir tadi.

Dia ngangguk, "Sama-sama. Bisa kasih gue jalan? Gue mau masuk."

Gue tersenyum, memberinya akses jalan untuk masuk kelas. Di kejauhan, gue lihat Budin ngode gue buat buru-buru cabut. Gue mengangkat tangan, menyuruh mereka pulang. "Gue piket!"

Gue lihat mereka pada ketawa, merasa puas seolah-olah piket kelas adalah hukuman terberat di sekolah. Gue juga kadang merasa begitu, tapi semenjak Bu Wina, wali kelas bagi regu piket, gue anggap itu anugerah. Gue satu tim sama Sarah. Cuma regu piket, bukan yang lain. Kayak kerja kelompok sebelumnya.

Alhasil gue balik lagi ke kelas, cuma ada Sarah yang lagi angkat bangku sendiri. Sendirian. Selintas gue kesel juga, yang lain pada kemana? Emang yang piket kelas cuma dia doang? Gak, kan?

Gue langsung liat ke papan tim regu piket. Lima orang. Sarah, Putri, Badru, Redista, sama Gina. Nah! Tuh cewek pesolek sama si Putri kemana lagi?! Kalo Badru sih gue tahu, dari tadi dia udah cabut duluan bareng anak cowok lain. Lah ini? Temen-temen ceweknya emang pada tega ninggalin dia piket sendiri? Begonya gue lagi, malah mau ikut cabut aja.

"Red? Lo gak ikut pulang? Tumben."

Gue tersadar, ada Sarah sedari tadi merhatiin gue. Tanpa banyak bacot gue langsung menghampiri dia, mengambil alih kursi yang diangkatnya. "Gue aja yang angkat kursi, lo nyapu."

Sarah menggeleng, "Udah, gue aja. Gue kan piket sekarang."

"Sar, lo cewek, gue aja yang angkat berat-berat. Gue juga piket." tuh cewek menghela napas, mengalah, "Emang si Putri sama Gina kemana? Lo gak ajak mereka piket gitu?"

Sarah tersenyum remeh, terkekeh, "Heh! Mereka mana inget piket. Pikirannya maen terus! Bosen gue bilang sama mereka. Jangan ngarep mereka sadar, udah gue aja. Dan lo juga, gak ikut Badru pulang? Piket segini mah, ck, kecil. Udah biasa."

Gue tertohok. Daripada perdebatan makin panjang, gue lebih memilih diam. Gue tahu banget, perasaan tuh cewek pastinya dongkol bukan kepalang.

Setelah gue angkat semua kursi di sana, gue langsung ikutan sapu-sapu jajaran yang belom dia bersihkan.

"Red, makasih udah mau bantuin. Walau sebenarnya emang ini tugas lo, tapi gue anggap lo udah bantuin gue."

Mendengar ucapan terima kasih Sarah, gue menoleh, "Gak usah bilang makasih. Gue harusnya malu sama lo, dari kemarin kek gue sadar, kalo gue jarang banget piket kelas."

Sarah terkekeh, menyelesaikan aktivitas menyapunya dengan cepat. "Red, boleh minta tolong, gak?"

Gue yang kebetulan udah menyapu sampai depan pintu kelas langsung natap dia bingung, "Bantu apa?"

"Ambilin air gih, buat pel kelas. Gue aja yang pel."

Dengan sigap gue menyimpan sapu ke tempat semula, menyambar ember di dekat sana. "Siap. Apa sih yang enggak buat lo, Sar." gue terkekeh, menjauh meninggalkan kelas menuju keran air dekat kelas.

"Serah dah serah." Samar-samar gue liat Sarah berdecak, menggeleng jengah. Bodo amat.

Setelah gue bawa air bersih ke kelas, dengan sigap dia mengucurkan cairan pembersih lantai, mencelupkan pelan, memerasnya. Refleks, gue menjauhkan tangan dia sebelum menyentuh pelan. Dia awalnya mau protes, tapi saat gue menggelung kedua kerah lengannya ke atas, dia cuma terkekeh.

"Lebay lo, Red."

"Biarin. Sama lo ini." gue tersenyum jahil, menggantikan posisinya saat akan mengepel.

"Gue aja, Red." pinta Sarah, "gue udah siap gini."

Sengaja, gue menjauh sambil bawa pel an ke belakang kelas. Dia berdecak, ngikutin gue. "Redoxon."

"Gak. Lo belum siap," gue menjawab sambil mengepel lantai, "lo belum siap buat suka sama gue."

Gue terkekeh, liat dia mulai badmood tingkat tinggi. Entahlah, semua godaan dan rayuan gue emang gak pernah mempan buat dia.

"Ya udah, makasih."

"Sama-sama," gue tersenyum, liat dia mulai jengah dan memilih untuk duduk di depan meja guru. Liatin gue. Aish, kenapa gue jadi salting begini?

"Kalo capek bilang aja. Gantian. Gue juga piket."

Dia mulai lagi. Gue berdecak, "Gue bisa sendiri. Lo diem aja."

Dan, hujan pun turun dengan deras. Ini nih, salah satu kendala gue susah buat pulang. Bodo amat. Yang penting sekarang, gue gak sendirian. Gue bareng Sarah sekarang. Tuh cewek adem ayem aja mainin hape, sesekali liatin gue yang lagi merhatiin dia diem-diem. Fuck, dahsyat banget efek tuh cewek.

"Pegel, gak? Gantian gue, Red."

"Gak usah. Bentar lagi juga beres."

Gue liat dia berdiri, berjalan keluar kelas. "Hujan, Red. Gue keluar bentar."

Huh. Capek juga ternyata. Tuh cewek malah cabut entah kemana. Tanpa banyak bacot gue langsung cuci pel an sama ember yang kotor. Pas gue mau simpan alat-alat tadi, gue udah liat Sarah bawa dua cup pop mie di atas lantai tempat dia duduk bersila.

"Widih.. Gak bilang-bilang mau ke kantin."

"Sini Red," gue menghampiri dia, "buat lo. Gue tahu lo pasti capek banget."

Gue terkekeh, tanpa malu gue ambil satu cup pop mie di hadapan gue. Mantab jiwa. Hujan-hujan gini, habis terkuras tenaga gue, dikasih pop mie hangat ditambah Sarah pula, komplit. "Makasih Sar. Kalo tahu mau ke kantin, padahal gue mau titip sesuatu sama lo."

"Emang mau titip apa?"

Gue mendekat, "Titip hati lo buat gue."

Tawa dia pecah. Entahlah, tawanya memang candu. Tapi, untuk yang kali ini, hati gue yang jadi korban.

"Canda lo hebat banget, Red. Gue suka."