Red - 18

Sesampainya di rumah Sarah, rumah bercat putih tulang dan batu-batu besar menempel di dinding bagian bawah rumah yang menurut gue itu mirip banget sama rumah di film horror Pengabdi Setan. Asli. Entah kenapa saat gue turun dari motor dan menyimpan helm di pekarangan rumah, energi negatif mulai membuat bulu kuduk gue merinding. Mungkin karena omongan sialan gue yang hendak meminta maaf pada ayahnya Sarah.

Sarah yang sedang membuka helm memperhatikan gue yang masih berdiri mematung, "Red? Ayo masuk. Atau lo mulai berubah pikiran?"

"Eng-nggak. Gue cuma nunggu lo buka helm. Kan tuan rumahnya elo."

Sarah terkekeh, memberikan helmnya dan gue simpan di jok motor. Ia mengkode gue buat mengikuti dia menuju pintu utama dan mengucapkan salam. Dengan sedikit jantung berdebar gue mengikuti dia di belakang, dan mengucap salam.

Bukan apa-apa, gue mulai merasakan perut gue sakit dan mulas bukan kepalang. Gue berdeham, berusaha untuk menghilangkan keinginan alamiah perut gue. Tanpa sadar gue merem, kemudian membuka mata berkali-kali saat keringat dingin mulai membasahi punggung dan tubuh gue.

Ya Tuhan, kenapa harus sekarang gue harus merasakan mulas menahan boker saking gugupnya minta maaf sama bapaknya Sarah.

Kegugupan gue mereda saast seorang wanita berbalut daster membuka pintu. Menyambut kedatangan kami, tepatnya terkejut saat melihat gue yang sudah pias menahan segala keinginan perut gue. Sialan emang.

"Bu, ini Red. Temen sekelas. Dia tadi gak sengaja senggol motor Ayah, jadi dia mau minta maaf katanya." Sarah mulai memperkenalkan gue di depan Ibunya. Dengan rasa gugup gue mulai memberi salam kepada wanita di hadapan gue.

"Oh, ya sudah kalau gitu. Silakan masuk."

Gue tersenyum mengikuti Sarah memasuki rumah yang kira-kira menurut gue ini emang klasik dan masih kelihatan ornamen rumah zaman dulu. Gue duduk di salah satu kursi seraya melepas tas ke atas kursi. Seketika rasa ingin boker itu tiba-tiba datang kembali.

Astagfirullah.. Kenapa rasa alamiah ini harus datang di saat yang tidak tepat!

Gue meringis, berusaha menenangkan diri.

"Kenapa, Red?" tanya Sarah duduk di samping gue. Tidak. Jangan. Gue sedikit bergeser menjauh. Kalau tidak, rasa gugup gue bertambah pesat nanti.

"Gue gak apa-apa. Ayah lo kapan pulang kerja?"

"Ayah gue udah pulang dari tadi. Dia kerja di rumah. Pengrajin tanduk."

"Oh, gitu ya."

"Gue tanya sekali lagi, Red, lo kenapa? Sakit? Muka lo pucet banget."

Gue menelan ludah. Gimana gak pucet, Sar! Gue gugup, takut, sekaligus pengen boker gara-gara bakal ketemu sama bokap lo.

Tahan Red. Berusaha untuk bertahan. Tahan sekuat tenaga. Gue mengembuskan napas pelan, sebelum akhirnya satu tangan menyentuh kening gue.

"Lo sakit? Kenapa gak bilang. Lo kan bisa datang lain kali ke rumah gue. Cuma minta maaf, kan? Gue ceritain nanti."

Gue tertawa pelan, melihat Sarah begitu khawatir liat muka gue yang udah pucet pias. Dengan alasan yang buat gue malu tingkat dewa.

"Sar,"

"Apa?"

Gue harus berani, gue harus berani bilang kalau--

"Mau ke toilet?"

Dewi fortuna. Peka banget. Makin suka.

"I-iya, Sar. Toilet dimana?" tanya gue berdiri semangat. Akhirnya.

"Ada siapa, Sarah?"

Gue mematung. Kaku. Dan gemetar saat gue dengar suara bariton datang menuju tempat gue berdiri. Gue menelan ludah gugup, melihat kedatangan seorang pria berkumis dengan wajah tegas dan wibawa menatap Sarah dan gue bergantian. Fuck time. Gue menatap Sarah meminta memberika penjelasan, penjelasan bahwa gue pengen cepet ke toilet!

Haduh. Sarah menatap gue pasrah, berbisik, "Tahan dulu ya."

Gue mengangguk lamat, menatapnya penuh perhitungan. Sedangkan di depan gue sudah berdiri Bapaknya Sarah, dengan sigap gue memberi salam dan menanyakan kabar berusaha berbasa-basi.

Sarah berdeham, "Yah, ini Red. Katanya mau minta maaf."

Ayah Sarah melirik gue tidak mengerti, mungkin beliau lupa karena saat kejadian gue pakai helm membelakangi dia.

"Begini, Om, saya mau minta maaf tadi pagi gak sengaja senggol motor Om. Yang dibelokan jalan ke sekolah itu, Om. Masih ingat kan, Om?"

Gue melirik Sarah, dia berusaha meminta gue bersabar dan menahan hasrat alamiah gue yang semakin mulai menjadi-jadi. Gue mengatur napas, berusaha untuk tidak gugup dan salah tingkah di hadapan calon mertua.

Eh, mulai ngarep, Lu, Red!

Gue mengalihkan pandangan ke arah pria di hadapan gue. Wajahnya yang keras dan tegas wibawa itu tiba-tiba tertawa pelan, tersenyum sambil menepuk pundak gue keras. Gue meringis, merapatkan kedua tangan, meminta maaf untuk sekali lagi.

"Maaf, Om. Saya gak sengaja. Bener-bener gak sengaja."

"Udah lah. Kamu saya maafkan." beliau tersenyum, "Lagi sakit, ya? Muka kamu pucet."

Gue tersenyum rikuh, mengusap tengkuk salah tingkah. "Enggak, Om. Cuma gugup aja."

"Gak usah gugup. Lain kali jangan ngelamun kalau lagi bawa motor. Risiko kalau kena bentakan orang kalau gak sengaja senggol motor orang. Om juga minta maaf udah bilang yang enggak-enggak sama kamu."

Gue mengangguk, "Iya Om."

"Oh, ya, nama kamu siapa?"

"Red."

"Red?"

Gue mengangguk, melirik Sarah yang beranjak pergi meninggalkan kami. Aduh, gue tambah gugup maksimal.

"Namanya unik. Nama asli kamu?"

"Redista Kertanegara."

Pria itu mengangguk, "Oh.."

Sesi tanya jawab soal kehidupan gue pun mengalir dengan santai. Itu menurut pria di depan gue. Tapi untuk gue, ini seperti sebuah penyiksaan secara tidak langsung. Jantung berdebar, gugup tingkat dewa, sekaligus dorongan alamiah dari perut gue.

Beberapa menit berlalu Sarah datang dengan membawa baki berisikan dua gelas cangkir yang disuguhkan ke hadapan gue dan ayahnya.

"Ya udah, kalau gitu Ayah tinggal ke belakang ya." pria itu berdiri membawa gelas yang Sarah suguhkan. "Ayah bawa minum ini Sar."

Sarah mengangguk, mengacungkan jempol kepada ayahnya yang kini meninggalkan kami di tengah ruang tamu.

Melihat ayahnya sudah pergi jauh ke dalam rumah, cepat-cepat gue meminum teh suguhan Sarah dan menatapnya memohon. Memohon dengan sangat.

Melihat gue udah gak peduli sama sekitar saking pengennya ke toilet, Sarah tersenyum miris menarik gue menuju toilet di dalam rumah, berjalan ke arah dapur, dan tiba lah gue di tempat tujuan.

"Maaf, Red. Ayah gue datangnya tiba-tiba sih."

"Gak apa-apa." gue membuka pintu toilet, "mau ikut?"

Sarah mengetok kening gue sadis, "Cepet masuk."

Gue terkekeh, sebelum akhirnya masuk ke dalam toilet. Leganya.

*

Setelah menyelesaikan aktivitas alamiah tadi, gue langsung minta pamit pulang dari rumah horror ini.

"Sar, gue mau langsung pulang aja." gue berjalan ke arah Sarah yang sedang duduk menunggu gue di ruang tamu.

Sarah berdiri, "Oh, ya udah. Ikut gue."

Polosnya. Gue mengangguk mengikutinya berjalan menemui kedua orangtuanya. Aduh, ini bahasa gue gini amat. 

Gue berdeham pelan, berusaha menghilangkan rasa gugup ketika sampai di tempat ruang nonton tv. Kedua orangtua Sarah sedang asyik menonton sinetron hidayah dengan judul yang sangat amat panjang dan lebar. Tahu deh gue liat judulnya sekilas di ujung tv. Gak penting banget anjir.

"Yah, Bu, Red mau pamit pulang katanya." Sarah mengkode orangtuanya yang lagi sibuk nonton tv. Gue tersenyum rikuh, melihat mereka berdua tersenyum lantas berdiri menyambut gue yang kini mengusap tengkuk salah tingkah.

"Mau pulang? Yah, padahal nanti aja, Red."

MAUNYA NANTI SIH MAMS. Eh, lebay lo Red. 

"Soalnya udah sore, Bu. Nanti lagi aja." sama rombongan keluarga, bhaks!

Wanita di depan gue tersenyum, sementara pria berkumis baplang di sampingnya menepuk pundak gue keras. Tertawa renyah, "Apa bener nama kamu Red? Gak percaya. Besok-besok kalau ke sini lagi bawa KK ya."

Gue mengangguk, terkekeh, "Siap Om!"

Ternyata, di balik wajah seram bokapnya Sarah, tersimpan bom humoris yang super mengejutkan. Setelah memberi salam gue langsung pamit dengan Sarah mengantar gue berjalan menuju pekarangan rumah hendak mengeluarkan motor.

Gue menyalakan motor, lantas memakai helm di hadapan Sarah yang kini sibuk menatap aktivitas gue malas. Lengkap dengan seragam yang belum dia lepas dari sepulang sekolah.

"Hati-hati, Red. Ngelamun lo bahaya." peringat Sarah tiba-tiba.

Gue berdeham, "Aduh, yang perhatian."

Refleks, dia mendelik jengah sambil mengerucutkan bibir sebal. "Terserah deh."

Gue tersenyum, menahan sebelah tangannya saat dia hendak kembali menuju rumah. Sontak dia kaget, sebelah tangannya perlahan berusaha melepas tangan gue. Namun gerakannya terhenti saat sebelah tangan gue yang lain ikut menarik tangannya itu. Dia tertegun mengaduh pelan saat melihat gue lagi. Sedetik kemudian ia berdecak jengah dan mendesis pelan melirik gue.

"Red. Lepasin woi. Bukannya mau pulang."

"Je t'aime." Ucap gue dengan lugas di hadapan dia. Sontak dia membulatkan mata, melirik ke sana-kemari entah kenapa.

"Red, lepasin tangan gue." Sarah menghela napas, wajahnya tiba-tiba pucet dan salah tingkah. Asik, gasspoll Red!!! Ternyat dia juga suka balik sama lo!! Wooo!!!! Saltingdance!!!

"Je t'aime. Sarah." gue kembali mengucapkan kata teraneh dan terlebay yang gue lakuin saat ini. Biarkan. Sarah emang harus dikasih penjelasan secara jelas. Biar dia peka sama perasaan gue. Anjir, jantung gue langsung terasa maraton tidak karuan dengan desiran darah mulai naik hingga wajah gue panas dan mungkin memerah kek tomat siap panen.

Tanpa gue sadar, Sarah tiba-tiba berjalan mendekat lantas berbisik di telinga gue. Anjir. Mimpi indah apaan gue semalam Ya Allah. Mendapat jarak sedekat ini dengannya benar-benar sebuah anugerah maha dahsyat. Baim berdebaran Ya Allah.. Hapuslah status jomblo ini Ya Allah...

Hembusan napasnya begitu terasa di telinga gue. Dia berdecak pelan, berbisik, "Cepet pulang. Abang gue di belakang lo dari tadi."

Innalillahi. Tamat riwayat dinasti perjalanan cinta lo, Redistaaaa.....!!!! Kenapa lo musti gak sadar sekitarrr...!!!

Gue sontak melepas tangan Sarah perlahan, tersenyum meringis sambil menoleh ke belakang, dan aduh... Abangnya serem banget anjir..

"Oh, ada temen kamu, Sar? Bisa kali ya ngobrol dulu bentar sama gue?"

Mati gue. 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top