Red - 14

"Ibu kasih tugas aja ya, soalnya Ibu mau ada rapat sama guru-guru. Kerjakan tugas halaman 67 sampai 135. Jawabannya aja di kertas dua lembar. Bukunya ada di perpus, jadi kalian ambil aja ke perpus."

Tugas Sosiologi. Mengerjakan soal bab enam, tujuh, delapan sampai sepuluh. Bu Wina, wali kelas gue kalo moodnya udah ancur imbasnya sama tugas. Udah tahu gue gak terlalu suka Sosiologi, walaupun gue berancang-ancang UNBK nanti pilih pelajaran Sosiologi.

Gue tertawa sinis, menyikut Budin, "Yakin dua lembar?"

"Dua lembar polio maksudnya." jawab Badru menggeleng jengah.

"Kalo ngerjainnya di perpus, gimana?" tanya Sarah mengangkat tangan.

"Boleh."

Gue mendengus. Perpus itu adalah tempat yang paling menyenangkan dan sekaligus menyebalkan. Menyenangkannya, gue bisa baca komik gratis sampai puas. Menyebalkannya, gak boleh berisik dan bukan waktunya baca komik, tapi ngerjain tugas yang bejibun.

Setelah memberi salam liat Bu Wina keluar kelas, semua temen sekelas mulai sibuk nyari jawaban. Ada yang dari buku catatan, google, sampai pergi ke perpus.

Nah! Gue liat Sarah sama dua temen ceweknya pergi ke perpus. Tanpa Kania. Gue berdiri, menyambar buku dan pulpen menyusul mereka dari belakang.

"Eh, lo mau kemana, Cuk?"

Gue menoleh ke arah Budin, "Perpus."

Budin menatap gue horror, "Ilham darimana lo?" setelah beberapa detik dia berpikir, dia menepuk meja gemas, "Anjir! Modus lo!"

"Telat lo, ah." jawab gue datar. Berjalan keluar kelas. Gak sadar, ternyata dari tadi dia ngikutin gue dari belakang. "Ngapain ikut?"

Budin terkekeh, "Modus. Gue laper. Entar gue nyusul perpus, okey!"

"Serah dah serah."

Dan ternyata benar, Budin belok ke arah warung belakang sekolah, bukan ngikutin gue ke perpus. Dasar, tahu gini gue mau titip gorengan. Ah, semoga Budin mendengar kata hati gue.

Sesampainya gue di perpus, gue masuk dan mencari keberadaan Sarah Cs dimana. Dan ternyata, dia ada di meja paling tengah, sama Putri dan Nisa. Nah, untung gak ada cowok lain. Gue menghampiri merek, menarik kursi di dekat Putri. Biar gak terlalu keliatan kalo gue pengen banget deket sama objek gue.

"Widih. Perasaan gak ada badai gledek tapi lo bisa datang ke sini?" tanya Putri mulai berlebihan.

"Red dapet hidayah kali, ya." sahut Nisa melirik gue sekilas.

Gue liat Sarah cuma menaikan dua alis, senyum, dan balik lagi nulis jawaban. Gue berdecak, ternyata kodenya itu dari alis ya? Bukan dari kode-kode yang lain. Mulai gak jelas gue.

"Iya, nih. Gue baru dapet ilham. Eh, udah beres sampai mana? Kenapa gak pake google aja." saran gue melirik mereka bertiga.

Sarah terkekeh, "Gue juga tanya sama lo, Red, kenapa lo gak ngelakuin saran yang lo maksud barusan?"

"Karena gue pengen generasi Indonesia gak boleh tergantung dengan apapun yang instan." jawab gue asal. Bodo amat mereka mau ngetawain gue. Daripada tengsin gak bisa jawab pertanyaan tuh cewek.

Sarah menaikan sebelah alis, "Masa?"

Tuh kan! Sarkasme nya dapet! Dia mah kalo udah ngasih pendapat suka pedes. Mulutmu itu, bagaikan ujung besi yang di asah dengan profesional. Tajam dan menusuk dengan mudah.

Gue berdeham, "Terus jawaban lo buat pertanyaan gue apa?"

"Sama kayak lo." Sarah tersenyum, mencolek tangan Putri. "Jawaban nomor tiga yang bab tujuh jangan dulu ditulis."

"Kenapa?" tanya Putri dan Nisa bersamaan. Sedangkan gue mulai dikacangin, dan memilih menyalin jawaban yang ada di kertas Putri. Lumayan udah dua bab.

"Salah. Entar dulu, gue mau nyari dulu buku kelas dua. Soalnya tentang diferensiasi sosial ada di materi kelas dua. Kalo gak salah. Bentar ya."

Gue melirik Sarah keluar dari kursi, berjalan mencari buku yang dia maksud. Gue mendengus, "Sarah kemana?"

"Itu dia nyari buku buat jawaban nomer tiga. Kita tulis yang lain dulu, soalnya gue nemuin jawaban nomor tujuh bab tujuh." jawab Putri.

"Eh, di sini komik terbaru biasanya di sebelah mana, Put?" tanya gue mencari keberadaan Sarah di sekitar, tapi gak ketemu.

"Paling deket jajaran novel di pojok."

"Lo bukannya bantu Sarah nyari buku malah nyari komik. Bantu dulu sana! Mau nilai gede, gak?" Nisa bersungut-sungut nyuruh gue. Bukannya marah, gue justru mengiyakan saran Nisa. Tahu banget gue mau modus nyariin dia.

Putri mengangguk setuju, "Pergi sana."

"Okey, fine! Kalian yang suruh." gue pergi dengan perasaan riang gembira. Mencari keberadaan Sarah di setiap lemari perpustakaan.

Dan akhirnya gue menemukan objek gue. Dia lagi sibuk buka-buka halaman buku yang tebelnya pas banget buat ganjel pintu. Gue menghampiri dia, melirik buku-buku tebal yang dia bawa. "Lo ngapain di sini?"

Sarah menatap gue, "Bantu gue dong."

"Bantu apa? Buka hati lo, bukan?" tanya gue refleks. Entahlah, mulut sama otak gak pernah akur kalau di depan dia. Gue liat dia memutar mata jengah, menyimpan dua buku tebal ke arah gue. Sontak gue langsung menangkap buku itu sigap. "Canda, Sar. Gak bakal lagi." dusta gue.

Dia menghela napas frustasi, "Mana ya? Gue masih inget materi itu ada di dua buku yang lo pegang sekarang. Tapi pas gue liat gak ada. Aish, dimana ya?"

"Sar,"

"Apa, Red?" tanya dia sibuk nyari buku referensi.

"Sedeket apa sih lo sama Kania?" tanya gue serius.

"Yang lo liat gimana?"

Gue berdecak, mengikutinya mengelilingi lemari perpustakaan. "Kalo misalnya kalian suka cowok yang sama gimana?"

Sarah tertawa pelan, "Gue nyerah."

Penasaran, gue terus ngikutin dia di belakang, "Kenapa lo harus nyerah?"

"Gue gak mau ribet." Sarah balik natap gue, "Back to topic. Lo bukannya bantu nyari buku malah ngajak ngobrol. Ish, dasar cowok."

Gue terkekeh, mencolek pipinya yang kemerah-merahan. "Santai aja kali. Salah satu nomor gak bakalan ngaruh sama kelulusan nanti."

Dia mendelik sebal, "Terserah lo, Red."

"Eh, Sar, coba lo liat ke tulisan di buku gue dari jarak segini," gue mundur satu meter menjauh, "Buka kacamata lo, keliatan gak?"

Dia menaikan bahu, membuka kacamatanya, "Aduh, deketan dikit napa. Burem banget."

Gue menggeleng kasihan. Gue mendekat, jarak kami tinggal setengah meter. "Gimana, keliatan?"

Dia tertawa tanpa suara, menggeleng, "Gak. Sumpah. Ngeblur gitu. Deketan lagi."

Gue melangkah mendekat, jarak kami cuma satu langkah. Gue menutup wajah menggunakan buku yang berusaha ia baca, "Jelas?"

Sarah mendengus, "Udah, Red. Gue nyerah."

Tanpa sadar gue menyingkirkan buku yang menutup wajah gue. Mendekatkan wajah gue pada Sarah tanpa kacamata. "Kalo kayak gini?"

Njir, jantung gue maraton. Dia membulatkan mata, menatap dalam gue sampai darah gue mengalir deras seperti air terjun. Entahlah, gue gak tahu apa yang terjadi dalam beberapa detik ke depan. Karena saat ini, pikiran gue udah bener-bener buntu. Mata gue cuma fokus sama bibir tuh cewek. Gue mulai gila. Berusaha melanjutkan tanpa mundur, sampai tuntas.

Gue juga gak tahu kenapa Sarah sialan cantik luar biasa saat dipandang sedekat ini tanpa kacamata. Ia terdiam, menunggu risiko saat gue merasakan napas hangat dia di wajah gue.

"Jelas Red. Ternyata lo gak separah orang-orang yang gue liat tanpa kacamata."

Gue mendengus, melihat dia mengangguk beropini tanpa merasa bersalah. Menjauh menggunakan kacamata lagi. Gue menepuk lemari gemas, pelan tapi pasti. Jancuk. Gue mengumpat pelan. Mengusap rambut frustrasi. Mengikuti Sarah balik lagi nemuin temen-temennya di meja perpustakaan.

Muka gue panas. Sepanas harapan yang dia kasih buat gue. Bukan, bukan harapan. Gue yang terlalu kebangetan baper gara-gara tuh cewek sialan. Dan gue jamin, mukanya pasti udah merah banget sekarang. Kenapa juga gue harus memanfaatkan situasi di waktu yang salah. Jelas-jelas, kalau gue maju beberapa senti lagi, udah abis bibir tuh cewek. Tapi karena sifat menyebalkannya mendadak muncul, merusak suasana, meninggalkan tanpa merasa bersalah, gue cuma bisa mengatur napas dalam-dalam.

Asu. Lama-lama gue laper juga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top