Red - 13

"Lo fotoin gue?" tanya gue kepedean liat Sarah mengarahkan ponselnya ke arah gue.

"Geer. Gue lagi selfi."

"Ikutan dong!"

"Jangan."

"Lah, kenapa?"

"Sini," dia melambai menyuruh gue mendekat,  berbisik, "Ada yang suka sama lo."

Gue tersenyum menggoda, "Ngode ya, mulai balik suk--"

"Ada cewek lain," dia natap gue lurus, berbisik lirih, "yang suka sama lo."

Jleb. Gue natap dia lama. Lama banget. "Gue sukanya bukan sama dia, gimana dong?"

Sarah menggeleng, "Kalo jawabannya itu gue, jadi, jangan suka sama gue. Karena gue gak suka sama lo."

"Gak! Gak mungkin! Apa kurangnya gue?!" napas gue memburu, tersengal. Ternyata cuma mimpi. Mimpi yang amat sangat buruk untuk masa depan gue kelak. Gue menggaruk rambut yang acak-acakkan, melirik ke arah jam di dinding, pukul dua malam. Aish, kenapa gue mesti bangun jam segini. Haus juga ternyata.

Gue menyingkap selimut, berjalan keluar kamar menuju dapur. Setelah sampai di depan kulkas, gue membukanya dan mengambil botol air minum, menuangkannya ke dalam gelas. Meneguknya sampai tandas.

"Ah.. Leganya." gue mendesah panjang, merasakan air dingin yang mengalir lembut di tenggorokan. Gue kembali mendesah nikmat saat gue kembali menenggak air dingin langsung dari botol. "Segarnya."

"Ngapain kamu malam-malam di dapur?"

Gue menoleh, mendapati Ayah berjalan menghampiri gue yang lagi asik minum air dingin. "Haus, Yah. Mau minum?"

Ayah merebut gelas dan botol air dingin di tangan gue, meminumnya. "Udah, tidur lagi sana. Awas salah kamar. Kamu gak mau kan sampai Reka marah sama kamu. Udah tahu marahnya suka ngerajuk minta uang sama Ayah. Sama kayak Ibu, kalau merajuk bukannya minta cinta, malah minta uang."

Mendengar semua keluhan Ayah gue terkekeh, "Cewek jaman now, Yah. Susah kalo dimengerti."

Ayah tersenyum, menepuk pundak gue keras. Gue meringis. "Punya pacar dong! Biar ada yang ngertiin."

"Lagi usaha."

"Tiap ditanya lagi usaha mulu, kapan dong jadiannya. Ditikung orang, darurat."

Gue tertawa, "Susah, Yah. Dia mah orangnya gak peka. Mau Red bilang blak-blak an sekalipun, dia gak bakal ngerti. Setahun setengah Red ngejar, tapi dianya malah adem ayem aja."

"Tapi udah coba nge-shoot dia?"

Gue terdiam, "Belum."

"Aneh. Kamu ini gimana, sih. Jelas-jelas dia itu pengennya kamu seriusin. Cewek mana yang gak acuh kalo dia terus dikasih harapan tapi gak ditembak-tembak juga. Hey, Red, Ayah kasih tahu, kalo kamu suka sama cewek, buat dia nyaman dulu sama kamu. Gak usah ngasih gombalan atau harapan tapi kamu gak pernah ada maksud buat nge-shoot dia. Kasih dia kepastian."

Bener juga. Gue emang seringkali berceloteh suka, cinta, sayang, tapi gue gak pernah ada niatan buat serius sama dia. Gue berdecak, walaupun gue berlagak sok serius dan serius beneran, tuh cewek pasti gak bakal nerima gue. Karena apa? Karena gue juga sering liat dia nolak cowok mentah-mentah di hadapan gue. Dia juga pernah bilang kalo dia gak suka kalo ada yang suka sama dia.

Gue mengusap rambut bingung, meneguk kembali air putih dingin itu. "Yah,"

"Apa? Udah punya niatan? Sikat, Red. Mumpung kamu masih muda. Ayah dukung perkembangan kamu, asal dalam batas wajar. Dan tidak macam-macam."

Ayah gue udah ngegass aja. Gak usah ditanya juga, beliau pasti dukung gue pacaran. "Masalahnya, tuh cewek gak mau pacaran."

Ayah gue berdecak, "Ya udah, kamu pindah ke yang lain aja. Kalo emang kamu tahu jawabannya gak bakal bisa, kenapa enggak kamu buka hati ke yang lain? Bisa aja ada yang suka sama kamu tapi kamu gak nyadar."

"Gak segampang itu, Yah." gue melengos panjang, meninggalkan Ayah kembali menuju kamar. Gue juga berpikir, kenapa gue mesti terjebak sama Sarah. Bukan sama yang lain. Yang lebih cantik dan populer dari dia?

Karena gue gak yakin, cantik, pintar dan populer belum tentu bisa menjamin seseorang buat jatuh cinta. Cinta yang gue tahu bukan sekadar suka sehari, atau suka dalam memandang. Menurut gue, cinta itu gak neko-neko, gak maksa, gak terpaksa, dan gak sederhana. Cinta sama orang itu gak ada yang sederhana. Kecuali kata Suka. Suka bisa hanya dalam sesaat, bahkan sekejap. Dan gue gak butuh rasa sesaat seperti itu. Dan jawaban terpentingnya adalah rasa detakan jantung tiap bersipandang sama cewek. Dan jantung gue terus-terusan minta resign kalo cuma sama Sarah.

Gue berdecak panjang, mengingat aksi modus gue tadi siang di sekolah. Gue gak peduli banyak orang bilang gue modus. Bodo amat, emang nyatanya gue modus. Gue menarik hape di atas nakas, mencari riwayat chat WA gue sama Sarah. Duh, mulai kangen.  Fuck.

Percakapan terakhir memang masih berkaitan soal hardisknya yang rusak. Gue tersenyum, mengirim chat pribadi pada Sarah.

Redoxon: P
Redoxon: Sar.
Redoxon: Bangun dong, temenin ngobrol

Gue berdecak sebal, hanya satu ceklis yang terlihat. Dia pasti mematikan data internetnya kalo lagi tidur.

"Cewek irit. Calon banget sama gue." gue terkikik, menyimpan hape kembali berancang-ancang buat tidur. Membayangkan wajah Sarah tanpa kacamata, tersenyum buat gue.

Udah itu aja yang gue mau. Bukan yang lain.

*

"Budin! Tania ngapel nih!"

Mendengar teriakan Badru, gue terkekeh, melihat Budin menepuk keningnya gemas mengetahui pacarnya sudah berdiri di balik pintu kelas.

"Red. Pinjem headset."

Gue menoleh, "Ambil sendiri."

Gina tersenyum manis, mencolek dagu gue, "Makasih ganteng!"

Gue mendengus, tuh cewek emang rada agresif sama cowok. Bukan sama gue aja, tapi semua cowok. Dan sialnya, gue yang paling sering dapet keagresifan si cewek pesolek itu. Ah, daripada gue mikirin si Gina, mending gue molor.

"Eh, kadang gue heran kenapa Sarah malah nolak lagi si Reza ips dua. Bayangin. Reza anak Remaja Mesjid dia tolak."

Samar-samar gue denger Pika, teman sebangku Gina udah mulai bisik-bisik soal Sarah. Awalnya gue pengen ketawa keras, bersorak heboh kalo tahu Sarah nolak si Reza. Secara, Reza anak hits yang suka nongol fotonya di mading sekolah DITOLAK sama Sarah. Alhamdulillah.. Ditolak juga.

"Ngapain juga mau sama si Reza, remaja mesjid kok berani ngajak pacaran. Katanya remaja mesjid." Gina menekankan kata remaja mesjid dengan nada sebal. Gue mendengus, iya juga.

Pika tertawa, "Eh, bener juga."

"Lo mau tahu, kenapa Sarah gak mau terbuka sama cowok?"

Gue mendengarnya hati-hati. Kenapa Gina mendadak ngegosipin Sarah?

"Kenapa?"

"Karena dia belum pernah jadian sama cowok."

Gue menelungsupkan wajah di balik tas. Kalo itu mah gue udah tahu, Gina..

"Udah serius gue dengerin lo, ck!" Pika menepuk meja, "Eh, kok, gue ngerasa ada yang lagi ngejar-ngejar Sarah ya di kelas."

Gue menelan ludah, memicingkan telinga denger Gina bakal bongkar rahasia gue atau enggak, "Tahu deh. Gue gak merhatiin. Gue sibuk merhatiin Deri. Ck! Tuh cowok makin ganteng aja. Pacar gue mah kalah."

"Serius, Gin, gue gak sengaja aja nebak-nebak." ujar Pika kukuh.

"Terus siapa?"

Gue gak denger lagi Pika ngomong apa. Yang jelas gue penasaran banget sama hipotesis dia. Apa ada bangsat lain yang mau sama Sarah?

"Ah, masa?! Jadi, selama ini dia suka sama Sarah?! Oh em ji, hellow.. "

Asu.. Gue penasaran banget, siapa sih! Gina mulai lebay lagi! Argh, gue stalk Pika juga buat nyari info tentang Sarah. Atau, gue pinjem hape Gina aja buat tanya sama Pika lagi? Aish, kenapa gue mulai panik begini.

"Lo tahu, tuh cowok gak tahu, kalo Sarah gak bakalan bisa suka sama dia. Lo mau tahu alesannya apa?"

Anjing. Gue penasaran, sumpah.

"Kenapa tuh? Emang Sarah udah ada yang lamar?"

Gak. Gue yang bakal nikah sama tuh cewek. Titik.

"Karena, lo jangan bilang-bilang, soalnya gue kemaren maen TOD pas lo sibuk berantem sama cowok lo di telepon."

Gina berdecak, "Gak asik. Si tukang drum sih ngajak berantem mulu. Okey, gue gak bakal ngasih tahu orang lain. Emang kenapa Sarah gak bisa balik suka atau nerima tuh cowok?"

"Karena Kania juga suka sama cowok itu. So, kenapa Sarah gak pernah peduli sama tuh cowok, karena dia gak mau ngambil apa yang sahabatnya suka. Dan, di kelas kita mulai ada drama korea."

Gue terdiam. Jangan sampai cowok yang dimaksud Pika itu gue. Gak! Gue gak mau kalo sampai kayak gitu. Gue gak sudi diperlakukan seperti itu sama Sarah. Asu, kenapa gue jadi lebay begini? Gue mengusap rambut, menjambaknya keras. Udah tahu mereka tukang gosip, kenapa gue percaya omongan sampah mereka?

Gina tertawa, "Gak yakin gue Sarah bisa tahan buat gak nerima tuh cowok. Secara, dari dulu aja udah keliatan kalo tuh cowok bener-bener ngejar Sarah."

"Ya gimana lagi, kalo gue jadi Sarah pun, gue bakal ngelakuin hal yang sama. Termasuk merelakan orang yang selama ini gue suka, tapi gue tahan, dan akhirnya sahabat sendiri yang dapet. Itu pasti anjing tralala banget kalo sampai Sarah selama ini balik suka sama tuh cowok. Bisa gawat jiwa dia." Pika menghela napas, "Tapi, sedingin-dinginnya cewek, kalo hatinya udah melunak, pasti luluh juga. Apalagi cewek non pengalaman kayak Sarah."

Gue mengerti sekarang. Hal yang harus gue lakukan sebelum mimpi buruk itu jadi nyata, adalah dengan mengikuti saran Ayah semalam.

Gue bakal nembak tuh cewek secepatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top