Red - 12
Biologi. Pelajaran lintas minat yang paling nyebelin kalo udah urusannya sama praktikum laboratorium. Seperti biasa, kalo urusan bagi kelompok, gue pasti gak dapet kelompok bareng Sarah. Kali ini gue dapet kelompok bareng Badru dan Kania, temen deketnya Sarah. Sekilas gue melihat ke arah Sarah yang lagi duduk sambil mengerjakan metode ilmiah di samping Budin. Ya, hebat, Budin bisa satu kelompok sama Sarah. Gue mengerucutkan bibir ke samping, bertanya pada Tuhan kenapa bukan gue yang kini ada di samping dia? Bukan sahabat gue. Gue menghela napas, mengalihkan pandangan ke arah Kania yang kini tengah sibuk mengisi metode ilmiah bersama Badru.
"Ru, lo coba masukin ati ayam ini ke cairan nitrogen. Berbuih gak?" tanya Kania menyuruh Badru di sampingnya.
"Gue aja, Kan." gue menawarkan diri, daripada terus liat Sarah sama si Budin yang kini lagi mencoba mikroskop berdekatan, anjing, gue mendengus, balik fokus sama tugas Kania.
"Ya udah, tugas gue ambil cairan di depan aja." Badru mengambil wadah kecil di antara peralatan di atas meja kelompok kami, berjalan meninggalkan kami berdua.
"Berbuih, banyak," gue memberi jawaban pada Kania.
Kania menatap gue, kemudian mengangguk menuliskan apa yang gue ucapkan. "Sekarang cairan basa, Red,"
Gue menurut, menyerap cairan basa yang dibawa Badru menggunakan pipet, meneteskannya pada tabung reaksi yang di dalamnya terdapat ati ayam yang sudah digeprek. "Berbuih, Kan. Tapi dikit."
"Mana?" Kania yang penasaran mendekat, diikuti Badru di samping kiri gue. Jadi sekarang posisi gue berada di tengah-tengah. "Keliatan gak? Sini deketan biar jelas." Melihat Kania seperti kesusahan ngeliat buih di dalam tabung, gue menarik bahunya lebih dekat, hingga tidak ada jarak di antara kami.
Badru berdecak kagum, "Aneh, ya, kok bisa gitu Red? Tulis, Kan, coba cairan asam mana--eh, bentar, gue minta dulu sama kelompoknya si Budin. Din!"
Gue melihat kepergian Badru menuju meja kelompok Budin, Putri, sama Sarah. Gue liat tuh cewek menyadari kedatangan Badru, memberikan cairan asam milik kelompoknya dengan mudah. Badru berterima kasih, kembali menuju meja kami. Tapi, tatapan gue masih tertuju pada Budin yang kini membantu tangan Sarah menyeimbangkan mikroskop setelah melakukan praktikum yang kelompok gue lakukan. Asu! Gue mendesis pelan melihat Sarah tersenyum miris pada Budin yang kini berdecak karena Sarah tidak bisa mengatur cahaya saat melihat objek di mikroskop. Fuck, punggung gue panas.
"Red, coba yang asam sekarang. Redista!"
Gue tersadar, merasakan tepukan tangan Kania di pundak gue. "O-oke, kita coba."
Setelah gue meneteskan cairan asam, buih keluar banyak dari ati ayam di dalam tabung. "Banyak buihnya, Kan. Coba lo liat sini," gue menarik bahu Kania lagi, biar dia bisa liat praktikum yang gue lakuin barusan. Badru menggeleng kagum, masih merasa takjub dengan praktikum yang menurut gue sangat amat menyebalkan ini.
Kania tersenyum takjub, menatap gue dan Badru bergiliran, "Hebat. Metode ilmiah nya udah beres, tinggal kumpulin."
"Ya udah, kita ke tugas selanjutnya, meneliti lewat mikroskop." gue berjalan mengambil mikroskop tepat di atas lemari di samping kelompok Budin berada. Di sana, gue liat Sarah lagi serius menerangkan pendapat sama Putri. Budin cuma merhatiin sambil melihat-lihat mikroskop asal. "Din!"
Mendengar seruan gue, si Budin noleh. Diikuti Sarah dan Putri. Gue lihat Sarah menaikan kedua alis, kemudian mendapat colekan Putri untuk kembali fokus pada diskusinya. Gue mendengus, melihat Budin mengacungkan jari tengahnya dengan santai. "Mukanya biasa aja dong, Red. Gak selow gitu."
"Diem, Sat!" peringat gue menatapnya sebal saat melewati kelompok mereka.
"Red, lo bisa gak atur cahayanya? Gue gak keliatan soalnya."
Gue melihat Kania sedikit kesusahan benerin cahaya mikroskop. Dengan sigap gue langsung bantu dia. "Udah? Apa masih kurang jelas?"
"Belum," jawab Kania berusaha menepatkan sasaran cahaya, "Coba lagi, Red."
Gue kembali mengatur cahaya dengan tepat ke arah objek. Tak sengaja, tangan gue menyentuh tangan Kania. Refleks, dia narik tangannya pelan, menjauh. Gue sih gak terlalu peduli, niat gue geser mikroskop, bukan sentuh dia.
"Red, gue dapet info dari si Budin, cahayanya di jendela sebelah westafel aja." Badru kembali menghampiri kami berdua, mengorek info dari beberapa kelompok ternama dalam tugas Biologi. Terutama kelompok gue sendiri. Kania jagonya Biologi. Walaupun pengerjaan praktikum sekarang kita ketinggalan gegara gue dan Badru yang telat ngumpulin bahan praktikum.
Mendengar usulan Badru, Kania mengangguk. Gue langsung mengangkat mikroskop ke dekat jendela samping wastafel, menarik Kania untuk mencobanya.
"Gimana, bagusan di sana atau yang sekarang?" tanya gue menatap Kania meminta jawaban.
"Bagus. Badru makasih banyak, lho." Kania menepuk pundak Badru, mencoba meneliti objek mikroskop sambil mengisi hasil penelitiannya sendiri.
Gue yang merasa kurang kerjaan kembali menarik pulpen dari tangannya, "Gue aja yang nulis, lo diktein. Kita kan kelompok."
"Oke, makasih Red. Badru, lo kondisikan apa yang gue mau harus udah siap di tangan gue." mendengar perintah Kania, Badru mengangkat jempol, menyediakan apa yang dibutuhkan Kania. Sementara gue menulis apa yang dijelaskan Kania. Sampai akhirnya tugas praktikum kelompok gue selesai dan kertas jawabannya gue kumpulkan di depan meja guru.
"Kebiasaan ya, kenapa gue jarang banget dapet satu kelompok sama lo."
Mendengar suara yang sangat familiar di samping gue, refleks gue menoleh, "Lo gak sanggup, Sar?"
"Gak sanggup apa?"
"Gak sanggup jauh-jauh dari gue, kan?" sengaja, gue pengen liat ekspresi dia kayak gimana. Ternyata biasa aja. Fuck.
Sarah menautkan alis seraya menyimpan kertas jawaban kelompoknya saat gue hendak menyimpannya pula. Tangan kami bersinggungan. Entahlah, sentuhannys seperti sengatan listrik yang menggelitik jantung gue, "Lo dulu."
Dia tersenyum, menyimpan kertas miliknya sebelum gue menyimpan milik gue. Tuh cewek bersiap buat balik ninggalin gue.
Lab Biologi mulai terlihat sedikit lengang karena jam pelajaran sudah berakhir. Hanya beberapa orang saja yang masih berjalan santai keluar lab menuju kelas.
"Kenapa kita gak pernah dikasih satu kelompok?"
Langkah Sarah berhenti saat gue tiba-tiba bertanya sambil menghampirinya yang kini memiringkan kepala, meminta penjelasan. "Kenapa?"
Gue berbisik, "Karena kita cocoknya dipersatukan di pelaminan. Bukan dalam sebuah kelompok."
Sarah terdiam. Gue menatapnya dalam. Menelusuri setiap pergerakan bola matanya yang terlanjur indah dan buat gue mabuk kepayang.
"Parah lo!"
Gue mendesah pelan, mendengar Sarah tertawa begitu renyah sambil meninggalkan gue keluar lab, diikuti gue dari belakang. Heran, ini cewek bener-bener minta diseriusin kali, ya? Tawanya itu loh, bunuh gue banget, asu!
"Mungkin ada benernya juga, Red."
Gue menatapnya setengah jengkel, "Berisik ah, lemot."
Sarah tertawa pelan, "Sori. Gak bakal lagi."
"Gak bakal nolak gue?" tanya gue refleks. Duh! Gue menepuk jidat, kenapa jadi gue yang baperan sekarang?! Panas dingin kan, tuh. Gara-gara lo, sih, Sar!
Gue liat tuh cewek menggeleng jengah, "Gak bakal beres urusannya, duh. Lo makin hari makin error."
"Gue error karena lo, Sar,"
"Lah, emangnya gue virus komputer lo."
"Virus berkarat," lanjut gue menyejajarkan langkah gue dengan Sarah, bisa gue liat raut muka dia yang gak ketebak sama sekali, "sampai semua antivirus sebaik smadav pun kalah."
"Ah, masa?"
Gue mengacak rambut dia gemas, "Capek, ah. Capek hati."
Dia tersenyum kecut. Menatap lurus ke depan tanpa merespons ucapan gue. Entahlah, gue gak tahu kenapa dia sama sekali gak pernah coba buat terbuka sama gue. Apalagi buka hatinya. Bayangkan, gue ngejar dia dari mulai kelas dua SMA. Satu tahun lebih berlalu, dan sekarang hampir masuk semester dua. Gue cuma dikasih senyum sama ketawa sadisnya doang.
Gue berdecak, merangkulnya dari belakang menariknya menuju kelas sepanjang di koridor sekolah. Dia terkejut, berontak. Bodo amat, gue terlanjur gemas dengan sikap tidak pekanya itu terhadap perasaan gue. Dia terus meronta, tapi gue lebih mengeratkan rangkulan gue. Masa bodo dengan tatapan risih dan iri teman sekolah, gue akan tetap mempertahankan aksi modus gue ini. Kapan lagi gue nekat rangkul dia sedekat ini, Man..
Jantung gue mendadak minta resign kayaknya.
"Redoxon! Lepas, woi! Malu tauk!"
"Biarin, sama lo ini!" gue tertawa, tawa kesetanan yang puas akan hasratnya yang kini terlampiaskan jua.
Akhirnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top