Red - 11

SIAL. GUE KESIANGAN. FUCK.

"Kenapa kamu sampai bisa masuk jam segini, Redista? Jalanan macet? Atau.. Ada kendala yang lain?"

Gue tergagap, malu sekaligus risih diliat temen sekelas di depan kelas. Jam delapan lebih lima menit, gue baru nyampe di kelas. Parahnya lagi, sekarang pelajaran Bu Siti. Guru Bahasa Indonesia ini emang paling nyebelin kalo urusan ngasih hukuman sama tugas. Dan sialnya, gue sekarang lagi nunggu vonis hukuman atau tugas yang akan dia kasih. Di depan gue, tepatnya di hadapan gue, Sarah natap gue iba. Tuh cewek emang duduknya tepat di hadapan meja guru, tiga tahun berturut-turut. Alasannya, mata dia minus 4, 5 silinder pula. Kasihan juga, sayang juga. Asu, gue mulai ngalor ngidul.

"Redista!"

"I-iya Bu. Tadi saya antar dulu adik saya ke smp. SMP sepuluh, Bu. Kalo Ibu gak percaya, coba telepon Ibu saya. Jarak SMP sepuluh sama SMA tiga itu butuh waktu--"

"Hukum aja Bu! Tugas-tugas!"

Gue mendengus, melirik sengit teman-teman bangsat gue yang baruaja ngomong senaif itu buat gue. Budin, dia malah mengangkat tangan pertanda damai. Sementara teman yang lain berusaha menahan tawa, selebihnya ikut setuju. Parah, semua temen gue emang sialan semua.

"Ya udah, duduk."

Akhirnya... Gue disuruh duduk juga. Gue melangkah menuju kursi gue di samping Budin jajaran ke tiga. Tuh anak malah cengengesan gak jelas, puas liat gue kesiangan. "Biasa aja kali, Din."

Budin terkekeh, "Emang pacar adek lo kemana? Kids jaman now."

Gue menggeleng, bergidik, "Gue ngeri liat Reka makin sini makin jadi aja tuh bocah."

Sesaat gue merasa ada yang colek bahu gue dari belakang, siapa lagi kalau bukan si cewek pesolek. Gue noleh, "Apaan? Lo kemaren kemana, heh? Gak piket lo. Gue sama Sarah piket berdua."

Dia berdecak, "Ih, kan gue sengaja, biar lo ada peluang deket sama tuh cewek. Lo mah kagak ngerti, Red. Itu namanya taktik. Lo untung, gue juga untung. Lo bisa ngabisin banyak waktu sama dia, gue bisa ngabisin banyak waktu buat cepet-cepet cabut. Fair, kan?"

Gue mencubit pipinya gemas, "Gak. Nanti lagi lo kudu piket kelas. Ajak tuh si Putri, biar capeknya sama kayak lo."

Dia mendelik sebal, "Iya-iya. Eh, lo kenapa bisa kesiangan, sih? Kena tilang?"

"Gue anter adek gue dulu ke smp. Lo tahu sendiri smp sepuluh jauhnya kek ujung dunia." jawab gue pelan. Sesekali melihat ke depan, memperhatikan Bu Siti.

"Kayaknya adek lo kekinian banget ya, Red. Kids jaman now."

Gue melengos panjang, mengindahkan Gina yang kini tertawa tanpa suara.

Beberapa jam terlewat dengan membosankan. Akhirnya istirahat telah tiba. Tapi, tiba-tiba kelas kami kedatangan para anggota Osis. Membawa dua dus berisi cokelat bermerk. Gue yang awalnya semangat berjalan ke arah pintu kelas harus berhenti dan duduk kembali di kursi Badru.

"Assalamualaikum, kami dari Osis meminta partisipasinya buat anak kelas tiga untuk membeli cokelat ini sebagai bantuan sponsor buat acara gelar seni prestasi nanti. Harganya murah, kok, cuma lima belas ribu. Silakan dibeli."

Gue punya ide. Saat gue menghampiri mereka, tiba-tiba riuh sorakan menggoda mulai menghiasi kelas.

"Ciee.. Yang udah ngegass aja beli cokelat."

"Si Redoxon mau nge-shoot kayaknya."

"Wow. Red udah berancang-ancang ternyata,"

"Berisik!" gue menatap mereka jengah, membeli tiga cokelat. "Mau? Beli sendiri."

Gue beranjak menuju kursi gue, memasukan semua cokelat itu ke dalam tas. Tanpa banyak bacot gue langsung cabut keluar kelas. Diikuti Budin yang baruaja beli dua cokelat.

*

Jam pelajaran terakhir,  pelajaran olahraga. Semua temen sekelas udah pada ganti baju, tinggal gue sama Budin yang terlanjur asik main AoV sampai gak sadar di kelas cuma ada kita berdua.

Gue menepuk pundak Budin, "Keluar. Gue pikir kelas masih rame, ternyata udah kosong aja."

"Kan kunci kelas ada di gue, Red."

Gue mendengus, menendang kursi yang didudukinya, "Asu. Ngomong dong." gue membuka resleting tas, mengeluarkan satu cokelat berjalan menuju meja paling depan. Tepatnya kursi Sarah. Liat Budin masih fokus sama hapenya, gue langsung membuka resleting tas milik Sarah, memasukan cokelat itu dan kembali menutupnya rapi. "Udin! Buru cabut! Pak Dodi, Cuk!"

"Mana-mana! Buru cabut!" Budin panik, menyimpan ponselnya berlari menepuk bahu gue untuk segera keluar kelas menuju lapangan.

Leganya, gue bisa ngasih cokelat buat Sarah tanpa dia ketahui.

*

"Assalamualaikum, Red pulang."

Sesampainya gue di rumah, gue langsung cari keberadaan Ibu gue. Ternyata dia lagi masak di dapur. Diam-diam gue memeluknya dari belakang, mencium pipinya. "Bu!"

"Allahuakbar! Red, kebiasaan kamu! Gimana.. Kalo Ibu--" gue langsung mengacungkan cokelat yang gue beli ke hadapannya. Dia mendadak matiin kompor, speechless.

"Buat Ibu."

Beliau menjerit girang, merebut cokelat itu, dimasukannya ke dalam saku celemek. Meluk gue. "Makasih sayang. Tahu aja Ibu pengen cokelat ini."

Gue terkekeh, meregangkan pelukan, "Reka udah pulang?"

"Udah tuh, di kamar. Gara-gara kamu sih, dia bilang kamu bawa motor ngebut itu bener, heh? Jawab Ibu!"

Gue meringis, kembali memeluk Ibu, "Maafin Red, Bu. Gak bakal lagi."

"Ya udah, mandi gih. Untung Ibu udah bilang sama Reka jangan sampai ngadu sama Ayah. Habis uang jajan kamu."

Gue kembali mencium pipi Ibu sebelum akhirnya berlari menuju kamar, kamar Reka.

Kebiasaan gue jarang banget ketok pintu apalagi minta izin. Gue langsung buka pintu kamar Reka, masuk ke dalam kamar. Tuh bocah lagi tiduran sambil baca majalah fashion. Gue berjalan santai, menjatuhkan diri ke atas kasur di samping Reka.

Dia berdecak, merasa terganggu, "Apaan sih. Ganggu aja."

Gue tersenyum, memeluknya dari belakang. Dia berontak, tapi gue malah kasih dia gelitikan paling mematikan di pinggangnya. Dia ketawa, berusaha membalas gelitikan gue sampai menjerit-jerit gak kuat.

"Bang Red! Redoxon! Ish, berenti woi." dia ketawa sampai nangis, akhirnya gue berenti. Reka mengatur napas, memukul bahu gue. "Jahat."

Tanpa banyak omong gue langsung mengacungkan cokelat ke arah mukanya. Dia natap cokelat itu lama, menjerit merebut cokelat itu kegirangan. "Makasih Bang Red..!!! "

Reka mulai meluk gue, mencium pipi gue. "Makasih ya, kalo gini dijamin Reka gak bakal ngadu sama Ayah." dia mulai tiduran di samping gue. "Eh, Bang, kita selfi yuk."

"Kebiasaan. Males ah, ogah."

"Please.. Sama aku ini, ih. Banget."

Gue melengos, menuruti. Saat gue menatap layar kamera, gila, gue pikir adek gue emang bener-bener cakep juga. Mukanya bersih dari jerawat pubertas, bibir merah alami tanpa lipstick, bulu mata lentik, mata bulat lucu, hidung mancung gak berkomedo, alis tebal alami. Bener-bener cakep. Jiplakan nyokap.

"Bang Red mah udah ganteng ini, gak usah digimana-gimanain lagi kalo selfi."

Gue merengut, melihat ke arah kamera untuk empat angle berbeda. Pertama, gue merengut dan Reka cemberut, kedua, gue meleletkan lidah dan Reka mengangkat tangan damai, ketiga kita saling menatap angkuh, ke empat gue mengacak rambut Reka sementara tuh bocah malah senyum sumringah.

"Anjir, Bang, lo ganteng banget." dia membulatkan mata, memperhatikan gue, sontak gue mendelik. "Gue upload ah."

"Jangan, itu gak banget fotonya."

Reka mencium pipi gue lagi, "Udah, diem aja. Bang Red emang cakep, tapi sayangnya lo malah pilih-pilih deh kayaknya. Gak mungkin gak ada yang suka sama lo di sekolah lo, Bang. Sadar diri apa. Rambut udah kece, hidung udah mancung, bibir udah seksi, mata kayu, gigi rapi, jerawat cuma satu, ketutup alis tebel lo lagi, Bang. Dan yang terpenting," Reka meluk gue lagi. Nih bocah emang kalo udah lengket susah buat lepas, "Lo gak bau badan."

Gue tertawa, kembali menggelitik Reka mengindahkan semua pujiannya tadi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top