Red - 1

Jomlo. Atau bisa dikatakan sebagai seseorang yang tidak mempunyai pasangan. Istilah itu kerap kali disebut sebagai awal krisis kasih sayang bagi para teman-teman yang bernasib sama seperti gue. Tapi, gak selamanya status jomlo itu dapat merugikan Tuannya, bisa juga sebaliknya. Banyak waktu luang yang gue manfaatkan demi kepuasan dan kesenangan gue tanpa ada seseorang yang mengatur aktivitas gue. Kadang, orang pacaran gak selamanya merasa 'bahagia' dan 'bebas' selama berstatus sebagai seorang kekasih. Dan riset menunjukan, bahwa hampir sebagian besar orang berpacaran itu merasa terkekang dan lelah sendiri dibanding sebelum pacaran. Seperti halnya pada masa-masa approaching, atau bisa disebut PDKT (tahu deh, gue gak pernah lolos masa pdkt sama cewek. tapi gue tetep usaha), sensasinya akan terasa berbeda setelah menginjak jenjang yang lebih happy (diterima dan jadian). Tapi tunggu, daripada kejauhan, mending ada baiknya sebelum melanjutkan kisah gue yang absurd ini kita kenakalan dulu kali, ya? Siapa tahu kita jo--skip.

Okey, maksudnya, siapa tahu kita bisa saling berbagi cerita tentang masa-masa krisis kasih nyonya (KKN) bagi para jomlowan yang kere, gak populer, dan bertampang pas-pasan seperti kalian. *thuglife

Perkenalkan nama gue Redista Kertanegara. Nama panggilan Red. Keren, kan? Unik dan badass. Tapi, entah kenapa teman sekelas memanggil gue dengan sebutan Redokson atau sosis Redi. Padahal gue udah berekspektasi tinggi kalau dengan bermodalkan nama keren, cakep, dan unik bakal mengundang banyak perhatian banyak orang, terutama para cewek-cewek di sekolah. Hancur lebur lah kemegahan ekspektasi gue karena digempur realita. Realita bahwa semua teman sekelas gue hampir memanggil nama gue dengan dua sebutan itu.

"Redista."

Lamunan gue buyar saat mendengar nama normal gue disebut dengan bisikan, tepat di belakang gue duduk saat pelajaran Bahasa Indonesia dimulai beberapa menit lalu.

Gue menoleh, melihat seorang cewek berambut ombre merah fanta di dalam rambut hitamnya. Bergigi behel dan tidak lupa gincu serta bedak tebalnya. Menyengir kuda.

"Pinjem headset."

Cewek di belakang kursi gue ini namanya Gina Febianti. Followers instagram dan teman facebooknya banyak banget. Bisa dibilang anak alay kesambet setan socmed. Dimana ada sosial media, di situ pasti ada namanya, dengan ratusan followers yang tergila-gila dengan kecantikannya kamera ponselnya. Pacarnya banyak. Dan yang lebih horror, dia satu-satunya cewek di kelas yang paling agresif sama anak cowok. Dia gak terlalu pintar, dan sering dapat remedial kalau ulangan. Nasib terakhirnya sama seperti gue.

Gue mendengus, merogoh tas dan mengeluarkan headset dan memberikannya. Dia lantas tersenyum manis, mencolek dagu gue yang buat gue risi.

"REDISTA KERTANEGARA, NGAPAIN KAMU KASIH HEADSET KE GINA! KALIAN BERDUA KE DEPAN!"

Anjir! Belum sempat Gina bilang terima kasih Bu Siti udah terlebih dulu menyela kontras dengan lemparan spidol di meja Gina. Gue terkejut, di detik ke lima gue menyengir kuda. Sementara cewek di belakang gue buru-buru memasang wajah sok polosnya di balik make up tebal di wajahnya. Headset gue masih berada di atas meja Gina, dan itu yang buat gue berdebaran khas seperti takut ditolak cewek ketika acara penembakan.

"Gimana dong, gue males banget urusan sama Bu Siti." bisik Gina cemas.

Mendengar keluhan Gina, gue bergidik tegang. Gak tahu harus pasrah atau memberontak seperti murid badboy pada gurunya. Sorry, gue gak sekurang ajar itu sebagai murid pada guru di kelas.

Di depan kelas Bu Siti udah berkacak pinggang lihat kami berdua yang kini menjadi pusat perhatian teman sekelas. Udah jadi kebiasaan kalau teman sekelas mereka kena bentakan atau marah, mereka pasti mengabadikan adegan memalukan ini dengan masing-masing ponsel keren mereka. Dengan kamera pro-highselfi, zoom, dan jepret! Gambar gue terabadikan.

Sialan emang.

"Malah ngelamun! Kalian gak denger saya bilang maju ke depan!"

"I-iya, Bu." Gina melotot ke arah gue, menarik lengan seragam mendorong gue untuk terlebih dulu berjalan ke depan kelas. Bukan. Bukan ini yang gue mau. Gara-gara cewek ini, gue sendiri yang kena apes. Di pelajaran Bu Siti lagi.

Bu Siti Nurhalizah. Bukan penyanyi asal Negeri Jiran, ya. Guru wanita ini memang seharusnya menjadi guru favorit karena mengajar pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi, bukan masalah pelajarannya, guru ini selalu menyebalkan jika memberi tugas. Tapi jangan salah, Bu Siti merupakan penulis produktif. Entah berapa kali dia menerbitkan buku, tapi gue belum pernah baca satupun karya dia. Karena gue gak terlalu suka baca buku fiksi sejarah yang selalu ditulis beliau.

Setelah kami berdiri di depan kelas, Bu Siti menatap kami mengintimidasi. Gina di samping gue terus-terusan meringis ketakutan ke depan teman-temannya di seberang kami berdiri. Gue sih cuma nunduk, sesekali liat teman-teman cowok cekikikan ambil foto gue dari jarak jauh. Tanpa sadar gue mengacungkan jari tengah ke arah mereka. Sialnya mereka malah tertawa tanpa suara.

"Jadi, kalian berdua emang awal niat masuk kelas saya cuma main-main? Enak ya, saya capek-capek menerangkan materi, tanpa minum, tanpa duduk, tanpa bacaan, hanya untuk membekali ilmu pada kalian. Dan apa yang kalian lakukan barusan? Mendengarkan musik? Terus apa yang kalian dapat saat saya mengajar? Saya dibayar, lho. Orangtua kalian yang mati-matian banting-tulang bayar spp buat kalian dapet ilmu. Supaya kalian bisa menaikan derajat mereka. Bisa tidak kalian menghargai saya, lebih tepatnya, jasa orangtua kalian?"

Hening. Gue menunduk, diikuti Gina, membenarkan perkataan Bu Siti. Semua teman sekelas ikut merenung, menyimak.

"Ini berlaku untuk semuanya, ya. Kalian jangan pernah menyia-nyiakan waktu belajar di kelas. Okey, saya gak bakal melanjutkan soal itu untuk sekarang." Beliau menatap kami, gue dan Gina bergiliran. "Saya gak bakal ngasih hukuman yang berat-berat."

Mendengar ucapan Bu Siti, Gina menyikut lengan gue, berbisik, "Headset lo yang salah. Harusnya dia yang dihukum."

"Hukumannya, buat tiga puisi yang ditujukan untuk Ibu, Ayah, dan guru kalian. Masing-masing satu puisi."

Gue melengos panjang. Puisi? Sastra yang paling mentok ada di pikiran gue. Gue menggaruk kepala keberatan, pusing. Kenapa harus puisi? Gak tugas atau rangkuman? Atau yang lebih ekstreem lari di lapangan? Puisi? Anjir, gue bingung sekaligus geram melihat teman sekelas bersorak menertawakan, lebih tepatnya merasa puas dengan hukuman kami.

"Puisi ya, hehe.. Kenapa gak yang lain ya, Bu?" di samping gue, Gina mengangkat tangan, bertanya kikuk. Mungkin dia sama keberatannya dengan gue.

"Kalau kalian menawar, Ibu tambah jadi sepuluh puisi untuk masing-masing tema. Gimana? Puisi itu mudah. Dari pada capek-capek ngerjain tugas bejibun, ya gak?"

"Bener Bu...!!!"

Gue mengangguk paham. Karena gue punya rencana untuk mencari puisi di Goo--

"Jangan copas dari web, harus murni buat sendiri."

Fuck. Bu Siti tahu banget apa yang gue pikirkan. Gina berdecak pelan, menghentakkan kakinya kesal tanpa suara.

"Ya udah, puisi. Dikumpulkan minggu depan ya."

Jancuk!

Di samping gue, Gina terkejut sambil merengek tidak terima, "Minggu depan?! Ih Bu, puisi itu susah--"

"Mudah, Gina. Anggap aja kalian buat status di fb suka pake caption. Kamu kan suka tuh, nyomot quote-quote dari penulis hebat di postingan instagram? Pasti kamu bisa lah buat quote puisi sendiri."

Gue menyengir, melirik Gina yang barusaja mendapat sindiran keras dari Bu Siti soal postingannya di socmed. Sedetik kemudian gue berpikir, membuat puisi itu gak ada mudahnya sama sekali. Mungkin memang mudah, mudah banget bikin pusing!

***

Jam istirahat gue lebih memilih memanfaatkannya buat nyari inspirasi menulis puisi. Di dalam kelas, bersama kicauan teman-teman cewek yang sibuk bergosip ria, gue berusaha untuk menumbuhkan rangkaian kata puisi.

Puisi? Entah lah, yang pertama, dulu gue pernah nyoba buat puisi saat tugas Bahasa Indonesia. Dan puisi itu hasil comotan gue dari google. Bukan hasil pemikiran gue sendiri. Dan yang ke dua, puisi buat modus ke satu cewek, temen sekelas, cewek paling antik, unik, dan menarik. Namanya--

"Redokson! Nih anak masih aja mikirin puisi. Minta aja bikinin ke Sarah. Punya Gina aja dia jabanin."

Gue berdecak. Minta buatin puisi sama cewek itu sama aja bohong! Dia aja pernah tahu, kalau puisi yang gue kirim buat dia itu karya Khahlil Gibran, bukan buatan gue. Dan di saat itu pula, gue gak berani pasang caption atau embel-embel lainnya di postingan socmed gue gara-gara pernah ketahuan sama tuh cewek.

"Cuk, bantu gue apa! Kasih gue solusi."

Budin. Nama sebenarnya Shihabuddin. Sohib gue sekaligus teman satu SMP dan SMA gue yang kebetulan ditakdirkan sekelas dan satu meja ini malah ngetawain gue. Refleks, gue menjitak kepalanya sebal. Dan menyebalkannya dia malah semakin ketawa keras.

"Puas?"

Gue mendengua jengah, melirik ke arah pintu kelas yang semula kosong tiba-tiba muncul seorang cewek. Penampilannya emang masih kayak bocah kelas sepuluh. Kacamata yang dia pakai berbentuk kotak, gak ngikutin trend kids zaman now. Omongannya kadang sarkatis, tapi selalu menyimpulkan fakta.

Namanya Sarah Zahrani. Dia pintar, cerdas, kritis, tapi pemalas. Dia malas menampilkan kepintarannya pada orang lain. Dan alhasil, dia jarang mendapat juara kelas. Karena, kalian juga tahu, sebagain besar guru akan menilai murid dari keaktifan siswa di kelas, salah satunya penjilat perhatian guru. Dan dia malas kalau harus bermanja-manja jika berinteraksi dengan guru.

Sarah tersenyum, senyuman yang buat gue meleleh seperti melihat Emma Watson yang berperan sebagai Hermione Granger di film Harry Potter. Bedanya, mungkin di sini gue gak bakal terlihat keren seperti Harry, malah merujuk pada karakter Ron Weasley. Matanya yang indah menyimpan nirwana melirik ke arah Gina yang kini mencoba berbagai liptint yang ditawarkan teman semejanya tepat di belakang meja gue. Belum sempat gue mengalihkan pandangan gue ke arah lain, mata gue bersinggungan dengan tatapan dia.

Anjir! Dia natap gue! Berjalan ke arah meja gue tanpa ekspresi. Nah, itu dia yang buat dia menarik. Gue gak tahu kapan dia ngerasa atau berekspresi beda kalau sama anak cowok. Seperti berita gosip yang gue dengar dari Gina. Gimana gak dengar, cewek pesolek itu mejanya di belakang gue.

"Red, gimana tugas puisi? Beres?"

Dia nanya ke gue! Anjing! Jantung gue mulai error. "Belum, gue gak bisa."

"Si Redokson dari tadi mikir gak ada hasil, Sar, kasihan dia. Ajarin."

Gue berdecak. Si Budin emang jagonya bikin malu gue .

Sarah ber-oh ria. Tersenyum, "Ya udah, gue ajarin, mau?"

Gue menggeleng. "Gak. Gak usah. Nanti juga inspirasi datang sendiri."

Enak aja gue jatohin harga diri sendiri. Di samping gue, Budin mendengus sebal, fokus ke layar ponsel di genggamannya.

"Kalau gitu, bagus deh. Oh, iya, gue mau tanya soal hardisk, nih." Tuh cewek mulai berekspresi serius. "Kalau misalnya hardisk eksternal rusak, caranya gimana biar datanya bisa balik lagi."

Sengaja, gue ikut serius menatap dia. "Datanya?"

Sarah mengangguk penuh kepastian.

Gue berdeham, "Masa lalu tidak akan bisa terulang kembali."

Mendengar jawaban gue tawa Budin langsung pecah. Gue yang awalnya mau ngasih tahu, entahlah, langsung gagal fokus sama ekspresi wajah serius Sarah yang buat gue itu lucu.

"Lucu, Red. Gue serius dan lo malah main-main. Okey, emang, masa lalu gak bakalan bisa terulang kembali. Gak bener lo mah, Red. Duh.. Hardisk gue.."

"Bisa, sih. Tergantung seberapa parahnya kerusakan hardisk lo." jawab gue menghentikan tawa.

Sarah menatap gue intens, "Benar? Bisa balik lagi?"

"Bisa. Masih gak percaya, noh tanya Pak Aris, guru TI. Kalo mau tanya yang macem-macem, kan ada google. Simpel, kan?"

Sarah berdecak, "Buat apa punya temen yang tahu serba komputer kayak lo di kelas, kalau gue lebih dulu nanya sama google. Mana yang lebih simple? Dan lebih menghargai?"

Gue menelan ludah. Tertohok. Mulut pedas Sarah emang bener-bener lumayan buat jadi pelajaran. "Ya udah, gue minta maaf."

Tuh cewek ngangguk, "Kalo emang datanya bisa balik lagi, gue bakal servis. Makasih, Red."

"Sama-sama." Dia berbalik menjauh dari meja gue ke arah temen-temen cewek di belakang meja gue tepatnya di pojok kelas. Biasa, nonton Gina promosi gincu temennya.

"Tega ya lo, orang udah serius nanya, eh malah gak bener. Sengklek emang." Budin tertawa, sebelum akhirnya menjauh saat gue mengacungkan kepalan tangan ke arahnya. "Santai Boss, inspirasi gak bakal datang kalo lo emosi begini."

Gue mengacak rambut, kesal. Kertas di buku masih kosong tanpa coretan. Okey, gue bakal mulai dengan menulis puisi buat Ibu dulu.

Begitu banyak..

Banyak apanya? Banyak cinta? Kasih sayang? Pengorbanan? Masakan?

Lembutnya kasih sayangmu seperti sehelai..

Sehelai apa? Kain? Bulu? Bulu apa? Bulu hidung? Bulu dada? Bulu anjing? Kucing? Babi?

Gue bener-bener gak bisa! Gue nyerah!

"Allahu akbar! Gue nyerah!"

Budin terkekeh, "Udah dibilangin minta bikinin sama Sarah atau ajarin, eh lo nya jual mahal. Yang susah kan lo sendiri."

Gue meringis, melirik ke belakang tepatnya meja Gina. Di sana ada secarik kertas. Di balik kesibukan teman-teman cewek terhadap promosi gincu, diam-diam gue menarik kertas itu dan membacanya.

Puisi untuk Ibu karya Gina Febianti.

Gue menyengir sinis, tulisannya aja gue tahu, ini tulisan Sarah.

"Anjir, si Gina udah start aja, gue belum."

Entah gue dapet ide darimana atau harga mati cogan gue runtuh, gue refleks merogoh ponsel, mengetik chat personal pada Sarah.

Red : Sar, bantu gue buat puisi dong.

Sarah : Sip! Kapan?

Gue bersorak ria, melirik Sarah yang kini ikut menoleh ke arah gue. Anjir, speechless.

"Gak usah nge chat kalau emang kita satu ruangan, Redokson!"

Mendengar teriakan sekaligus jawaban dari Sarah, gue hanya bisa tertawa lepas mengangkat tangan pertanda damai.

"Sorry, Sar. Keep calm and love you!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top