8. Sisi Lain Deadly
"Sejak kapan kau tidur di sini, Dervin?" tanya Dinda setelah masuk ke kamar Dervin yang berdekatan dengan ruang keluarga. Dari perkataan Dervin beberapa waktu yang lalu, rumah berbahankan kayu itu memiliki cukup banyak ruangan walaupun berbentuk kecil. Diantaranya kamar Agatha, Yessy dan Nadia, James dan Raven, dan kamar adiknya. Sisanya; ruang keluarga, ruang tamu, dapur, toilet, kamar mandi, ruang makan, dan ruangannya Deadly tersebar di sisi lain rumah.
"Entahlah. Mungkin 11 atau 10 tahun yang lalu, setelah kita berpisah di bandara," jawab Dervin sambil menyalakan lampunya. Kamar Dervin sangat lebar, nyaris dipenuhi rak bukunya.
Melihat rak buku, Dinda mengernyit. "Darimana kau mendapatkan rak buku itu? Dan buku-buku tebal ini?" tanya Dinda sambil menghampiri benda tersebut. Ia mengelus pelan buku-buku tebal yang tersusun rapi di sana, membaca satu-persatu judulnya, sebelum berakhir kaget karena ada buku pelajaran.
"Kau bersekolah di Amerika?" tanya Dinda sambil membuka buku itu. Buku itu penuh dengan tulisan Dervin-Dinda dapat mengenalinya-dan simbol "A+".
Dervin hanya berdehem, mengiyakan.
"Keren." Dinda kagum. "Siapa yang menyekolahkanmu? Agatha?"
"Ya, dan orang tuanya." Dervin menghampiri nakas dan membuka lacinya, mengeluarkan selembar foto.
"Ini mereka," kata Dervin sambil menyodorkan foto yang sudah menguning itu kepada Dinda. Dinda menoleh dan memperhatikan foto tersebut, tertegun melihat sepasang suami-istri dan anaknya berfoto bersama.
"Mereka bekerja di sebuah organisasi rahasia. Mereka bertugas menyelamatkan orang-orang yang nyawanya terancam. Orang tua Agatha bahkan menyelamatkan sekitar seribu anak-anak yang akan dijual sebagai budak. Dan ... kematianku hari itu hanyalah berita palsu karena sebenarnya aku sedang disiksa," Dervin menjelaskan.
"Disiksa?" tanya Dinda setengah berteriak, "Siapa yang menyiksamu? Biar Kakak yang-"
"Semuanya sudah terlambat." Dervin menghela napas sambil meletakkan foto itu kembali. "Orang yang menjadi otak atas perdagangan itu mendadak bunuh diri dan polisi entah kenapa menuduh ayah Agatha dengan bukti yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dia."
"Dulunya dia orang baik, Kakak. Karena ayahnya meninggal dan ibunya bunuh diri diakibatkan depresi, Agatha meneror orang-orang yang menjadi dalang atas kematian mereka sampai akhirnya dijuluki teroris oleh semua orang." Dervin menutup laci nakas dan menoleh kepada Dinda yang mengerjapkan mata tidak percaya.
"Dia menahan rasa sedihnya bertahun-tahun, dan hanya akulah yang berada di sampingnya untuk menyemangatinya." Dervin duduk di atas kasurnya dan berbaring. Dia menoleh kepada Dinda yang masih merenungi perkataan adiknya, terkejut dan tidak percaya Agatha memiliki masa lalu yang suram.
"Ayo, tidur!" ajak Dervin, "Aku sudah mengantuk."
Dinda sadar dari lamunan. Ia mengangguk dan duduk di tepi kasur sebelum merebahkan diri di samping Dervin.
Mereka berdua memejamkan mata. Dinda sempat membuka matanya kembali untuk memikirkan perkataan Dervin yang rasanya tidak mungkin terjadi. Agatha Nasuthion bukanlah anak pedofilia. Siapa yang akan menyangka itu hanya tuduhan palsu dan kenapa IIS tidak menyelidikinya terlebih dahulu?
Dinda akhirnya memejamkan mata. Ia mengantuk dan tidak dapat melanjutkan renungannya.
~~~
Kicauan burung terdengar merdu di luar rumah. Suasana alam begitu menenangkan pagi ini. Sejuk dan sedikit dingin. Di dapur sudah gaduh dengan suara Nadia dan Yessy, sedangkan yang lain tampaknya belum bangun.
Dinda memakai baju pemberian Dervin kepadanya. Entah bagaimana dia tahu ukuran bajunya. Namun, Dinda tidak peduli. Ia mengenakannya dan diiringi tatapan puas dari Dervin.
"Kakak cantik sekali dengan baju itu," puji Dervin. Dinda yang sibuk memperhatikan penampilannya-kemeja putih dengan celana kain berwarna biru-berdecak malu dengan pipi merona.
"Terima kasih," ucapnya sambil memperbaiki jilbabnya berwarna kelabu. Dervin terkekeh, lalu menarik tangan Dinda untuk pergi ke ruang makan-sarapan.
Setelah keluar, bau masakan tercium dari dapur. Perut Dinda dan Dervin seketika berbunyi, membuat mereka bergegas ke sana untuk makan pagi.
Tepat setelah mereka keluar, Agatha keluar dari kamar mandi. Penampilannya berubah dari kepala sampai ujung kaki. Di luar, dia selalu mengenakan jaket kulit, kaos hitam, dan celana berwarna senada. Sekarang, dia memakan kaos berwarna terang dengan celana pendek selutut berwarna putih, membuat siapapun yang melihatnya tidak percaya kalau lelaki dingin itu bisa memakai pakaian yang santai.
"Selamat pagi, Kak Agatha," sapa Dervin setelah sampai di dapur. Di samping dapur, kamar mandi terletak. Agatha mendongak dari kegiatan mengeringkan rambut menggunakan handuknya. Ia tersenyum kecil sebelum melunturkannya lagi sambil berlalu ke meja makan.
"Selamat pagi, Kak Yessy, Kak Nadia!" Tak lupa Dervin menyapa Yessy dan Nadia yang masih sibuk memasak dan menyiapkan makanan.
"Selamat pagi juga," balas Nadia. Yessy hanya berdehem sambil mengangkat beberapa piring makan untuk diantar ke atas meja.
"Biar kubantu." James yang baru saja datang ke dapur bergegas membantu Yessy, sedangkan Raven yang tadi bersamanya pergi ke kamar mandi.
Dinda tak dapat berkedip melihat mereka semua. Sisi lain Deadly tampak di depannya. Ingin rasanya Dinda merekam mereka jika saja tasnya tidak menghilang. Ah, Dinda baru ingat dengan tasnya.
"Mana tasku?" tanya Dinda kepada Agatha yang masih sibuk mengeringkan rambut. Agatha mendongak dan melirik Nadia yang masih bersenandung ria sambil memasak.
Dinda beralih kepada Nadia. "Nadia, mana tasku?" tanyanya. Seingatnya, kemarin malam dia membawa tas ranselnya bekerja.
"Tas?" Nadia mendongak. "Oh! Di kamarku. Cari saja di sana."
Dinda langsung melesat pergi ke kamar Nadia. Dervin mengikuti takut Dinda malah memasuki kamar yang salah.
Dinda sampai ke kamar Nadia dengan arahan Dervin. Kamarnya begitu rapi dan bersih.
"Tasku!" Tak lama mencari, Dinda bersorak senang melihat tasnya tergantung di salah satu sisi kamar. Ia mendekatinya dan meraihnya, sebelum membukanya untuk memperhatikan isinya, memastikan tidak ada yang kurang.
"Isinya lengkap. Dompet, headset, pulpen, dan ... bungkus-bungkus permenku tidak ada?" kata Dinda dengan alis mencuram.
"Nadia mungkin sudah menghabiskannya. Gadis itu menyukai permen," sahut Dervin, "Aku akan menggantinya."
"Tidak usah." Dinda menutup tasnya dan menggendongnya. Terlihat kesal, tetapi juga terlihat mengikhlaskannya.
Dervin terkekeh kecil. Sudah lama dia tidak melihat kakaknya kesal.
"Dervin!" Suara Agatha terdengar. Dervin maupun Dinda langsung bergegas ke ruang makan tempat Agatha duduk dengan beberapa lauk pauk di atas meja.
"Ayo, sarapan!" ajaknya setelah mereka berdua sampai. Dervin mengangguk, sedangkan Dinda langsung melesat ke kursi makan dan mengambil makanannya.
Dinda terinterupsi oleh suara Nadia yang sedang mengarahkan pisau makan kepada Agatha. Dia ingin melemparnya, membuat pupil Dinda mengecil dan ia berteriak berusaha menghentikan, tetapi terlambat.
Agatha dengan tenang menghindari lemparan pisau Nadia dengan memiringkan diri. Alhasil, pisau itu mengenai bagian depan kursinya, tepat di samping kepalanya.
Nadia mendengus sambil mendudukkan diri dengan kasar. Sasarannya melenceng dan itu membuatnya kesal. Sedangkan Dinda masih berdiri dengan jantung berdegup kencang. Ia menoleh dengan mata melotot kepada Nadia.
"Bidikan yang bagus, Nadia." Agatha bukannya marah, malah tersenyum kecil memuji Nadia.
"Bagus? Apakah kau mencoba untuk membunuh dirimu sendiri, Bodoh?" tanya Dinda setengah marah.
"Aku hanya mengajari Nadia cara melempar pisau ke arah yang tepat." Agatha mengambil pisau yang menancap di kursi makannya dan memakainya untuk membelah roti isinya.
"Tidak adakah cara lain selain itu?" Dinda bertanya lagi. Ia duduk di kursinya dengan mata masih melotot.
"Ada, tapi cara yang barusan lebih efektif bagi Nadia daripada memakai papan sasaran," jawab Agatha sambil mengunyah makanannya. Dinda menghela napas kesal. Ia lalu menyantap makanannya sambil menormalkan detak jantungnya dan menghapus keringat dingin di dahinya karena tadi dirinya sempat tegang akibat perbuatan Nadia.
Nadia bukannya meminta maaf, malah langsung memakan makanannya. Dinda mendengus menatapnya, membatin, "Pantas saja dia masuk ke rumah sakit jiwa."
~~~
Setelah kejadian pagi tadi, Dinda menjadi tidak berani berdekatan dengan Nadia. Kecuali yang lain, yang malah menemaninya walaupun sedikit lagi dilukai. Seperti beberapa jam yang lalu, Nadia menyalakan sebuah kembang api di dalam kamarnya. Yessy yang saat itu ada bersamanya dengan tenang mengambil kembang api itu dan membuangnya ke luar, sebelum akhirnya kembang api itu melesat ke angkasa dan meledak.
Nadia juga sedikit lagi membelah kepala James dan Raven. Ia melempar sebuah gerigi besi tipis yang biasanya dipakai untuk membelah kayu. Dia menganggapnya boomerang. Untunglah mereka bisa menghindar.
Orang-orang yang selalu bersama Nadia sudah sangat berpengalaman. Jika Nadia berulah, mereka tahu harus melakukan apa.
Satu yang membuat Dinda tertegun; Nadia tidak berani menganggu Dervin. Walaupun semua orang menjadi imbas keisengannya yang bisa memakan korban jiwa, tetapi dia sangat menjaga Dervin. Agatha bilang kalau Nadia trauma mencelakai seorang anak, dan sepertinya karena trauma itulah Nadia tidak berani mengganggunya. Nadia sangat melindunginya, bahkan jika ada satu kata kasar saja terlempar kepada Dervin, Nadia akan marah kepada orang itu.
Hari sudah beranjak sore. Dinda mendengus bosan di belakang rumah. Ia berencana untuk menelepon teman-temannya, memberitahu kalau dia baik-baik saja. Tetapi Yessy menyembunyikan ponselnya, takut lokasi ponselnya diselidiki saat Dinda menelepon.
Di sampingnya, Dervin duduk. Segelas jus jeruk tergenggam di tangannya. Ia duduk di kursi sebelah Dinda. Dinda meminum jusnya, lalu membuang napas, dan menatap kosong ke depan.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa hilang di bandara hari itu?" tanya Dinda sambil meminum kembali jusnya.
Dervin mendengus. "Ceritanya panjang. Aku tidak mau menangis mengenangnya."
Dinda menoleh kepada Dervin yang memasang wajah sedih. "Kalau begitu, kau bisa mengulur waktu. Aku ingin tahu selama kau di Amerika, apa saja yang telah terjadi kepadamu."
"Baiklah," sahut Dervin. Dinda tersenyum kecil sambil mendekatkan tangannya kepada tangan Dervin, ingin mengenggamnya.
"Tumben memegang tanganku, Kakak?" tanya Dervin setelah Dinda memegang tangannya dan mengelusnya pelan.
"'Nggak boleh?" tanya Dinda sambil tersenyum. Dervin terkekeh kecil, lalu balas mengenggam tangan kakaknya yang kini lebih kecil dari tangannya.
"Logat Indonesiamu masih kental," kata Dervin, manyun, "Logatku ... sudah nyaris mirip dengan Amerika."
"Tidak mengapa. Nanti, setelah aku mengurusmu dan membebaskanmu dari status buron, kita akan pulang ke Indonesia. Lalu, kita akan kembali ke Amerika dan aku akan menyekolahkanmu." Dinda mengelus pelan kepala Dervin.
"Aku tidak perlu sekolah, Kakak. Jika ada Kakak di sini, aku akan otomatis menjadi anak yang pintar," tolak Dervin sambil tersenyum.
"Tapi, sayang sekali nilai A plus-mu terbengkalai," sahut Dinda, "Uangku cukup untuk membiayaimu. Tenang saja."
"Baiklah jika itu maumu." Dervin menyerah. Dinda tersenyum senang dan balik mengenggam tangan Dervin lagi, sambil menikmati sang surya yang perlahan tenggelam ke barat.
Tak jauh dari sana, Agatha berdiri. Entah sudah berapa kali ia tersenyum hari ini, senang melihat Dervin bersatu lagi dengan Dinda.
~~~
Hola!:D
Sedikit:)
Apakah ada kesan, pesan, kritik, atau saran? Share aja di kolom komentar. Saya bukan Nadia yang akan marah besar jika ada komentar:V
Terima kasih sudah menunggu dan membaca! Cu next part!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top