7. Kejutan Dari Musuh

Di tengah hutan, berdirilah sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Bau tanah tercium menenangkan karena bercampur dengan air hujan yang sempat turun. Rumah itu gelap, tidak ada lampu yang menerangi. Hanya bulan dari rimbunnya daun pohon yang terkadang berayun pelan diterpa angin.

Di dalam sana, Dinda terduduk tidak sadarkan diri. Tangannya diikat di sebuah tiang penyangga rumah dengan lampu tembok yang menerpa badannya dari atas. Walaupun begitu, cahaya dari lampu tembok itu tidak dapat mengalahkan sebagian kegelapan yang ada di dalam ruangan. Cahayanya hanya menerpa badan lemah Dinda dan sedikit lantai di bawahnya.

Mata Dinda bergerak samar. Dia sudah sadar dari pingsannya. Perlahan-lahan, Dinda membuka matanya. Pandangannya buram, berkunang, karena bau menyengat sapu tangan yang masih membekas di wajahnya.

"Kepalaku ...." Dinda mendesis. Kepalanya terasa berat dan berputar, dan rasanya Dinda ingin pingsan lagi. Tak lama kemudian, rasa pusingnya reda. Matanya bisa melihat dengan jelas walaupun masih agak buram diiringi denyutan ringan di kepala.

"Di mana aku?" pikirnya sambil menoleh pelan ke sana-sini. Hanya ada suasana temaram di depannya. Dinda mendongak dan mendapati sebuah lampu tembok yang sedang bersinar kecil. Lampu itu hanya meneranginya dan beberapa sentimeter lantai dari tempatnya terduduk.

Dinda mengingat-ingat bagaimana bisa dia sampai ke situ. Ia melebarkan mata saat tahu dia sedang diculik.

Dinda seketika panik karena takut. Orang-orang berbandana tadi pasti membawanya dan .... Di mana mereka sekarang?

Dinda berusaha menggerakkan tangan, tetapi terikat. Dinda berusaha melepaskannya sampai terdengar bunyi langkah seseorang dari sebuah arah.

Dinda seketika diam. Ia menajamkan pendengarannya dan siap bertindak jika ada sesuatu yang terjadi. Namun, yang terjadi hanyalah lampu temboknya mati. Dinda kaget, berdecak kesal, karena sekarang yang ada di sekelilingnya hanya kegelapan.

Beberapa saat kemudian, deru napas seseorang terdengar. Napas Dinda mulai tidak beraturan. Semakin lama, deru napas itu semakin mendekat. Dinda menunduk, berusaha untuk tidak takut, tetapi entah kenapa hari ini tubuhnya bergetar hebat dan membuatnya tidak dapat menahannya.

"Aku mengantuk. Kapan selesainya?"

Dinda melebarkan mata dan mendongak. Rasanya tadi dia mendengar suara seorang perempuan. Serak dan setengah berbisik. Dinda rasa ada seseorang di dalam ruangan yang sepertinya tidak jahat.

Ruangan hening beberapa saat sebelum sebuah senter menyala dan mengarah kepada Dinda. Dinda langsung menyipitkan mata karena matanya yang tidak siap mendapat cahaya dan menunduk untuk menghindarinya.

"Dinda Fatimah. Huh, intelijen IIS yang ikut menjadi korban di pengeboman masjid." Dinda melebarkan mata lagi. Kali ini suara laki-laki.

Dinda mendongak pelan. "Si-Siapa kalian?" tanyanya lirih. "B-Bagaimana kalian tahu denganku, pekerjaanku, dan statusku di kasus itu?" lanjutnya.

Dinda memperhatikan wajah lelaki samar yang berada di belakang senter. Ia berusaha mengenalinya, tetapi terangnya senter membuat matanya kurang jelas melihat.

Lampu ruangan yang kali ini memiliki watt lebih kuat dari senter itu menyala. Dinda sontak menunduk karena matanya dan kembali mendongak setelah dirasa indra penglihatannya siap menerima cahaya.

Dinda kaget bukan kepalang. Agatha, Nadia, Yessy, dan James berdiri di depannya, dengan Raven yang ada di belakangnya. Dan melihat ada sebuah bandana yang masing-masing mengikat leher Agatha dan James membuat Dinda tahu kalau merekalah yang telah menyekapnya. Bandana itu membuatnya berang dan ingin segera meninju wajah mereka.

"Kalian ...." Dinda menggeram. "Apa yang kalian inginkan dariku?" tanyanya sambil berusaha melepaskan diri.

Agatha mematikan senternya dan tersenyum miring kepada Dinda. "Tidak ada."

"Kumohon jangan membuat kesabaranku habis, Agatha," sahut Dinda berapi-api. "Lepaskan aku! Akan kuberikan apa saja yang kau inginkan."

Lelaki berambut coklat itu hanya terkekeh, membuat Dinda muak dan berteriak, "APA YANG LUCU, HAH!?"

"Kau," jawab Agatha. "Seharusnya kau senang di sini, diikat tanpa disakiti sama sekali."

"Aku lebih baik disakiti sekarang daripada nanti. Lepaskan aku! Jika aku sudah lepas dari ikatan ini, aku akan menghajarmu," ancam Dinda. Agatha dan yang lain saling pandang, lalu tersenyum geli.

Dinda melebarkan mata saat ancamannya tidak berpengaruh.

"Ancaman yang bagus," puji James. "Kau tidak akan bisa bebas dari ikatan itu."

Dinda melebarkan mata. Ia masih berusaha melepaskan diri untuk membuktikan kalau lelaki itu salah. Namun, perlahan ia menyadari kalau lelaki tinggi itu benar. Itu membuatnya menyerah, mengingat IIS hanya mengajarkan cara melepaskan diri dari borgol, sedangkan yang mengikatnya adalah tali tambang.

"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" tanya Dinda dengan mata berair. Kemarahannya perlahan meluap karena putus asa.

"Kami sudah bilang tidak ada," jawab Yessy, datar.

"Jika tidak ada, lepaskan aku," pinta Dinda dengan nada memohon.

"Belum waktunya," sahut Nadia. Senyum lebarnya membuat Dinda kembali muak.

"Argh! Aku mengantuk. Aku pergi dulu." Yessy mendadak kesal dan berlalu diiringi tatapan teman-temannya. Dalam hati Dinda bertanya-tanya, ada apa dengan gadis berambut pirang itu.

Semua orang saling tatap. Ekspresi mereka berubah kesal. Mereka berbicara lewat isyarat mata. James mendadak mengangguk dan pergi ke luar dari ruangan itu.

"Aneh," gumam Dinda. Agatha dan Nadia langsung menoleh kepadanya. Dinda pura-pura membuang wajah. Mereka menyipitkan mata, lalu berubah seperti semula.

"Tinggalkan dia!" suruh Agatha sambil berbalik. Nadia dan Raven mengangguk dan mulai beranjak.

"Hei, hei, ada apa dengan kalian? Tadi kalian meremehkanku dan sekarang kalian-"

Raven menutup pintu ruangan dan seketika semua lampu mati.

"AGATHA!!" panggil Dinda keras. Dinda menghela napas putus asa. Kegelapan kembali menyelimutinya, membuat Dinda hilang harapan untuk bebas.

Lampu tembok kembali menyala. Seseorang telah menyalakannya. Dinda tidak ingin mendongak. Siapapun dia, dia tidak akan membebaskan Dinda.

Dinda tetap menunduk walaupun orang itu mengambil lampu temboknya dan meletakkannya di depannya. Orang itu duduk di depannya, memperhatikannya, dan Dinda hanya diam.

"Din-"

Dinda mengangkat kaki kanannya dan mengayunkannya ke wajah orang itu. Satu buah tendangan mengenai wajahnya dan orang itu mencium lantai. Ingin membuat jera, Dinda menekan tengkuknya dengan betisnya. Orang itu hanya bisa telungkup pasrah sambil meringis kesakitan.

Untunglah kakinya tidak diikat.

"Lepaskan aku! Aku tidak akan melaporkan kalian atau apa pun. Aku akan pulang dan menyakinkan mereka kalau bukan kalian yang menculikku. Aku berjanji." Dinda berujar penuh penekanan kepada orang tersebut. Semua yang dikatakannya akan ia tepati jika dia mau membebaskannya.

"Angkat kakimu dulu. Aku akan melepaskanmu," sahutnya cempreng. Tidak percaya, Dinda semakin menguatkan tekanan betisnya di tengkuknya.

"Seandainya kau berbohong, apa yang harus kulakukan untuk menghukummu?" tanya Dinda, dingin.

"Kau boleh memenjarakanku atau membunuhku. Kak Agatha dan yang lain tidak akan menghalangimu," jawabnya. Dinda melebarkan mata saat orang itu memanggil Agatha dengan sebutan "kakak". Apakah orang itu adiknya? Pikirnya.

"Baiklah, aku akan melepaskanmu." Dinda mendadak penasaran. Ia ingin melihat wajah adik Agatha itu. Akhirnya, ia melepaskannya. Orang itu bangkit dan mencodongkan tubuh ke arah tempat tali mengikat tangan Dinda sebelum menjulurkan tangannya untuk melepaskan simpul tali itu.

Tidak lama kemudian, tali itu melonggar. Dinda menarik tangannya perlahan, lalu dengan cekatan menghentikan lelaki itu dan menggengam keras lengannya.

"Dengar! Terima kasih sudah melepaskanku. Sekarang, beri aku arahan untuk keluar dari sini. Aku akan memberimu uang sebagai tanda terima kasih," bisik Dinda. Rasa penasarannya menghilang seketika.

"Aku tidak perlu uang. Aku sudah hidup berkecukupan sekarang," sahut orang itu.

"Baiklah kalau itu maumu." Dinda melepas genggamannya. "Beri aku arahan. Sekarang!"

Orang itu, bukannya memberitahu dia jalan keluar dari sana, malah mengambil lampu tembok yang terletak tak jauh di belakangnya dan mengambil tangan Dinda untuk mengenggamnya. Dinda sempat menarik tangannya, tetapi orang itu mengambilnya kembali.

"Genggam ini! Arahkan ke wajahku! Setelah itu, aku akan memberitahumu jalan keluar dari sini," suruhnya.

"Nak, aku buru-buru. Tak bisakah ka-"

"Genggam ini! Arahkan ke wajahku! Setelah itu, aku akan memberitahumu jalan keluar dari sini." Orang itu melepas tangan Dinda sambil mengulangi perkataannya. Dinda mendengus enggan. Namun, ia harus secepatnya pergi dari situ.

"Baiklah, terserahmu." Dinda mengendikkan bahu. Perlahan, Dinda mengangkat lampu temboknya dan mengarahkan cahayanya ke wajah orang itu. Dinda yang mulanya memasang wajah datar, berubah. Orang itu hanya menatap Dinda, dengan kelereng tajam berwarna kelabunya yang sempat membuat Dinda terjaga semalaman.

"Kau ... Kau 'kan ...."

Kali ini, Dinda bisa melihat wajah lelaki itu. Dan sebuah tanda lahir di lehernya yang tak dilindungi bandana membuat mata Dinda berair.

"Masih ingat dengan aku, Kakak?" tanya lelaki itu. Dinda tak dapat menjawabnya. Air matanya langsung tumpah. Ia meletakkan lampu temboknya dan memeluk adiknya yang ternyata masih hidup.

"Dervin." Dinda tidak menyangka lelaki yang ditemuinya di masjid merupakan adiknya, Dervin Santasa yang telah yakin tewas di sungai Michigan. Barang bukti berupa sweater ditemukan di sana, penuh darah dan setelah diselidiki, itu darah Dervin. Bagaimana bisa lelaki itu masih hidup?

"Jika kau masih hidup, kenapa kau tidak pulang?" tanya Dinda sambil terisak. Dervin menatap ke bawah.

"Karena ayah Agatha dituduh sebagai pedofilia, Agatha tidak mengizinkanku pulang ke Indonesia. Saat itu, polisi mencari mereka karena tuduhan palsu dari seseorang," jawab Dervin. Dinda melepas pelukannya dan menatap Dervin.

"Kau tahu akibat dari perbuatanmu, Derv?" tanya Dinda lantang, "Ibu stroke karena memikirkanmu. Papa meninggal setelah Ibu meninggal. Aku? Aku terpaksa mengembara ke Amerika karena tidak ada rumah lagi di Indonesia."

Dervin mendongak. "I-Ibu meninggal?" tanya Dervin tidak percaya. Matanya seketika berair saat tahu seseorang yang telah melahirkannya pergi.

Dinda hanya menatapnya. Dervin menunduk, lalu menutup wajahnya, dan menangis.

"Maafkan aku. Aku hanya ingin menyelamatkan Agatha yang telah menyelamatkan nyawaku," kata Dervin, menyesal.

Melihat Dervin menangis membuat Dinda sedih lagi. "Jangan menangis, Dervin. Ibu dan Papa bilang, seandainya kau masih hidup dan aku atau kau saling bertemu, mereka ingin menyampaikan kalau mereka sangat sayang kepadamu."

"Apapun alasanmu tidak bisa pulang ke Indonesia akan mereka hargai walaupun mereka sudah mati." Dinda menenangkan Dervin, menghapus air matanya. Dervin mendongak dan menatap kakaknya.

"Maafkan aku. Aku benar-benar menyesal." pinta Dervin lagi. Dinda tersenyum dan mengangguk. Ia kembali memeluknya dengan erat, menenangkannya yang sesengukan saat tahu orang tuanya sudah meninggal.

Lampu mendadak menyala dan ....

"KEJUTAN!!!"

Teriakan Agatha dan yang lain mengagetkan Dinda. Dervin hanya tersenyum dan menatap mereka.

"Terima kasih sudah membawanya ke sini, Kak Agatha," ucap Dervin sambil melerai dekapan kakaknya. Dinda teringat lagi dengan sebutan Dervin kepada Agatha.

"Kakak?" tanya Dinda, "Kenapa kau menyebut Agatha 'Kakak'?" Matanya menatap penuh selidik.

"Karena selama di Amerika, dia menjagaku seperti Kakak menjagaku waktu kecil," jawab Dervin sambil menghapus air matanya.

"Menjagamu?" Dinda mengernyit. "Pengebom masjid yang tidak berotak ini menjagamu?"

Senyum Agatha luntur. "Kami peneror murahan jika mengebom masjid, dan kemarin siang itu bukan kami."

"Mungkin teman-temanmu sempat meretas CCTV dan menemukan Nadia serta James ada di sana. Padahal, mereka hanya menemani Dervin untuk pergi ke masjid karena selama ini dia beribadah di rumah," sambung Agatha. Dinda masih tidak memercayainya dan menatap selidik Agatha.

"Masih banyak kelompok teroris selain kami, Kakak. Berhentilah menuduh Agatha!" pinta Dervin. Dinda menoleh kepadanya, lalu membuang napas, tidak mengangguk dan juga tidak mengiyakan karena masih tidak memercayai perkataan Agatha.

"Apakah kau masih menginginkan arahan untukmu keluar dari sini, Kak Dinda?" tanya Dervin, berdiri, dan membantu Dinda untuk bangkit.

"Tidak jadi. Melihatmu masih hidup membuatku mendadak tidak ingin pergi,"  jawab Dinda sambil tersenyum.

"Baguslah. Ada yang menemani Dervin," sahut Nadia, "Setiap malam, dia selalu tidur sendirian."

"Ngomong-ngomong tentang tidur, bisakah kita tidur sekarang?" tanya Yessy yang rupanya kembali lagi.

Semua orang saling pandang, lalu mengangguk.

"Nadia, ayo!" ajak Yessy setelah mendapat anggukan. Nadia segera mengikutinya sambil meloncat-loncat tidak jelas.

"Sekarang jam berapa, sih, sampai-sampai Yessy kelihatannya mengantuk?" Dinda memperhatikan mereka yang disusul James dan Raven untuk ke kamarnya.

"3 pagi," jawab Agatha, "Dervin, ajak kakakmu tidur di kamar! Dia pasti kelelahan."

Dervin mengangguk. Ia segera menarik tangan kakaknya dan melesat melewati Agatha.

Dinda sempat berhenti untuk menatapnya. Beberapa detik kemudian, ucapan terima kasih terucap di bibirnya.

Agatha hanya berdehem. Dinda langsung berlalu untuk mengikuti adiknya.

Dalam hati Agatha senang. Lewat sebuah pengeboman yang entah siapa yang melakukannya, Dinda dan Dervin bisa dipertemukan, sesuai keinginan adik angkatnya itu.

Sedangkan di waktu yang sama, teman-teman Dinda panik. Dinda diculik, membuat mereka segera melapor kepada Thomas untuk meminta bantuan dari tim lain.

~~~

Hola!:D

Apakah ada kesan, pesan, kritik, atau saran? Share aja di kolom komentar, sementara tangan saya masih memiliki jari:D

Terima kasih sudah menunggu dan membaca! Cu next time!^O^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top