6. Dinda Diculik!?

Beberapa jam setelah itu, Leo memutuskan untuk mengakhiri penyelidikan. Mereka sudah tahu banyak tentang Deadly. Berbagai kasus lama diretas, diusut, agar tahu siapa saja yang paling aktif meneror. Setelah terkumpul, mereka menyalinnya ke komputer dan mengemasi kembali berkas Deadly dari Vyper.

Sekarang sudah jam 8 malam. Mereka naik ke mobil Franklin untuk pulang. Rencana mentraktir piza dan burger-nya dihapus dari pikiran. Jika ada kasus baru, pikiran yang lain melayang entah ke mana.

Tidak ada percakapan. Hanya ada suara ting dari ponsel Kimberly, pertanda pesan masuk. Kimberly tidak memedulikannya. Ia lelah dan ingin beristirahat secepat mungkin.

Akhirnya, mereka sampai di apartemen. Xin dan Zack bergegas ke dapur untuk memasak, sedangkan yang lain beristirahat dan mandi.

Selesai makan malam, mereka mengerjakan pekerjaan masing-masing. Franklin dan Leo sibuk main catur dengan Zack sebagai penonton, Xin dan Kimberly bermain ponsel di kursi meja makan, sedangkan Dinda pergi ke kamarnya untuk beristirahat.

Dinda menyalakan lampu kamar dan merebahkan diri ke atas kasur. Dia mendengus lelah. Seharian dirinya lembur ditambah ledakan bom. Tanpa pikir panjang dia memejamkan mata.

Namun, ia membuka kembali matanya saat wajah lelaki yang ditemuinya mencuat. Pikirannya penuh dengan lelaki itu. Siapa dia? Kenapa dia lari saat melihat wajahnya? Semenakutkan itukah wajahnya setelah lulus dari akademi militer 4 tahun yang lalu? Apakah dia penjahat yang tahu ia seorang intelijen?

Tetapi, ada satu hal dari semua itu yang membuatnya tidak habis pikir. Mata kelabunya. Setahu Dinda, jarang ada mata berwarna kelabu di Amerika. Matanya selain warnanya sama, cukup mirip pula dengan miliknya.

Entah kenapa Dinda mengingat Dervin. Mata itu membuatnya rindu. Tunggu dulu, apakah lelaki itu Dervin? Ah, tidak mungkin, pikirnya.

"Dervin sudah dipastikan tewas di sungai. Tidak mungkin dia masih hidup." Dinda mulai berbicara sendiri.

Setelah itu, Dinda bangkit dan berdiri. Ia mengganti pakaiannya sembari memikirkan lelaki itu. Tadi siang adalah pertemuan pertama mereka. Tetapi, entah kenapa Dinda merasa memiliki ikatan yang kuat dengan dia.

Apakah ... dia jodohnya?

"Kumat, kumat ...." Dinda merutuki diri sendiri. "Lebih baik aku mengambil cuti esok hari daripada otakku tidak waras seperti saat ini."

Setelah mengganti baju, Dinda duduk di atas kasurnya tanpa berniat membaringkan diri lagi. Setelah pikirannya dipenuhi lelaki itu, mendadak beralih kepada Dervin, dan itu membuatnya sedih.

Jika anak itu masih hidup, dia mungkin telah berumur 18 tahun. Seandainya saja dia masih ada, Dinda akan membiayai kuliahnya di Amerika. Dinda tidak keberatan melepas pekerjaannya untuk menjaganya. Sayangnya, dia pergi sebelum semua itu terwujud.

Dinda membuang napas. Ia pun merebahkan diri. Setelah mengambil posisi yang sempurna, Dinda memejamkan mata. Dalam hitungan menit, ia terlelap tanpa memedulikan keramaian jalan di luar jendela.

~~~

Dinda pucat di hari kerjanya. Bukan apa-apa, kurang tidur. Setiap matanya terpejam, wajah Dervin akan muncul dengan senyuman. Ia terpaksa membuka matanya dan berjaga beberapa menit, sebelum akhirnya tidak dapat tidur.

Untunglah ia bisa menyembunyikannya. Seandainya tidak, mungkin dia sedang berada di rumah sendirian, disuruh istirahat.

Lagipula, masih ada tenaga dari sarapannya. Mungkin ia bisa terjaga beberapa jam.

"Oh, ya, aku mau bertanya. Apakah TKP boleh diselidiki oleh kita?" tanya Kimberly tiba-tiba. Yang lain--yang masih merapikan mejanya, menoleh.

"Polisi saja tidak mengenal instansi kita. Mana bisa," sahut Dinda. "Orang asing."

"Astaga, aku baru ingat." Kimberly menepuk jidatnya sendiri. "Siapa tahu saja ada tongkat baseball Nadia di sana. Mungkin bisa dijadikan barang bukti."

"Jika dia membawanya, mungkin sekarang polisi sedang mencari Deadly," sahut Xin sambil memainkan ponselnya. "Mencurigakan membawa baseball berlilitkan kawat berduri ke masjid. Dia pasti sudah dilaporkan oleh warga setempat."

"Jika dia tidak membawanya?" tanya Kimberly.

"Rambut dan pakaian seksinya gantinya." Xin menoleh. "Tapi, entah kenapa tidak ada yang melaporkan itu."

"Mungkin kaum adam menyukai tubuhnya," sahut Leo, terkekeh sambil melepas jaketnya.

Semua orang hanya mendengkus. Mereka lalu fokus ke pekerjaan masing-masing.

Dengan cepat, pagi berubah menjadi sore. Rekan-rekan Dinda berencana untuk bekerja lembur lagi. Sayangnya, Dinda tidak. Karena kurang tidur, kepalanya kembali pusing, dan Leo serta Franklin menyarankannya untuk pulang terlebih dahulu.

Itu berarti Dinda akan melanjutkan pekerjaannya nanti sampai jam 1 pagi. Dinda tidak mau, tetapi dia sudah tidak tahan. Dinda pun pulang. Dia diantarkan oleh Franklin yang setelah sampai di rumah langsung membuatkannya bubur dan menyiapkan obatnya.

Setelah Franklin kembali ke kantor, barulah ia menyantap bubur buatannya dan setelah habis, memakan obatnya sebelum dilanjutkan tidur. Setelah bangun, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam kurang 15 menit.

Dinda tidak beribadah. Sepertinya pusing yang dirasakannya karena datang bulan dan kelelahan. Untunglah sudah sedikit reda. Dinda pun memutuskan mandi untuk kembali lagi ke tempat kerja.

Setelah itu, ia membawa bekal bubur dan obatnya, serta sebuah pisau lipat di lipatan atas celananya untuk berjaga-jaga. Dia keluar dan menghentikan sebuah taksi sebelum akhirnya pergi ke kantor IIS. Tak memakan waktu lama, dia sampai. Dinda membayar ongkosnya, keluar, lalu menjumpai rekan-rekannya yang akan pulang.

"Mana Zack?" tanya Dinda setelah menyadari satu rekannya tidak ikut bersama mereka.

"Masih di dalam," jawab Kimberly setelah menguap.

Dinda mengernyit. "Apa yang dilakukannya?"

"Membereskan ruangan." Franklin ganti menjawab. Dinda hanya membulatkan mulut dan pamit pergi untuk bekerja.

"Dinda, kau bisa bekerja sendirian?" tanya Franklin setengah berteriak, menginterupsinya.

Dinda berhenti berlari dan mengangguk sambil menatapnya.

Franklin menatapnya selidik. Dinda kembali mengangguk untuk menyakinkannya.

"Jaga dirimu baik-baik!" suruh Franklin pada akhirnya. Dinda mengeluarkan jari jempolnya sebelum berlari lagi untuk masuk ke kantor.

Kantor tidak terlalu sepi. Cukup banyak yang mengambil waktu kerja sampai jam 1 pagi. Kebanyakan laki-laki. Ada perempuan juga, tetapi Dinda tidak tahu siapa mereka.

Dinda menekan tombol lift. Pintu lift terbuka setelahnya. Dinda baru saja ingin melangkah, tetapi tak jadi saat melihat seorang gadis yang dikenalnya ada di depannya. Gadis itu tersenyum dan Dinda membalasnya sekilas.

Dia Bella Porchia. Teman sekamarnya di akademi. Gadis itu membenci Dinda dan memusuhinya. Jika tidak ada dia, mungkin Dinda sudah berada di pangkat Master.

"Sudah lama tidak bertemu, Dinda," sapa Bella. Di sampingnya, dua gadis lain berdiri, tersenyum mengejek kepada Dinda. Dinda hanya membuang napas, tidak ingin menanggapi.

Pintu lift kembali terbuka. Dinda melesat tanpa mengucapkan sepatah katapun untuk Bella.

"Kurasa Anak Jalang itu akhir-akhir ini tuli," kata teman Bella setelah dia menjauh. Setelah pintu lift tertutup, barulah Dinda menoleh dengan wajah merah padam karena mendengar perkataannya.

Anak Jalang merupakan panggilan Bella untuknya. Dia menyebarkannya kepada teman-temannya sehingga mereka ikut-ikutan mengejeknya. Tadi, dia hanya pura-pura tidak ingin memanggilnya dengan panggilan itu. Dia ingin memakainya, tetapi kasihan kepada Dinda. Dinda sudah tahu kelakuannya.

Dinda tidak peduli. Selama bumi belum dibelah dan gunung-gunung belum rata dengan tanah, dia tidak akan menggubrisnya.

Dinda hendak berjalan lagi saat tubuh kekar nan besar menjulang tinggi di depannya.

"Astaghfirullah, Sir Thomas! Anda mengejutkanku," seru Dinda sambil memundurkan langkahnya beberapa langkah dari Thomas yang ternyata tadi berdiri di depannya. Tadi dia berhenti karena Bella, sekarang karena Thomas yang entah kenapa berdiri di depannya.

Thomas terkekeh. "Maaf. Aku hanya iseng," sahutnya berat. Dinda tersenyum kecil.

"Apakah kau bekerja sendirian, Dinda?" Dinda yang baru saja ingin beranjak terhenti di tempat.

"Apa maksud Anda?" tanyanya dengan mata menyipit. Thomas mendengkus, lalu perlahan mendekatinya dengan Dinda yang mundur ke belakang.

Dinda meneguk ludah dengan susah payah. Apa yang sedang atasannya itu lakukan? Dinda ingin mengambil pisau lipatnya karena takut. Namun, entah kenapa tangannya kaku, tak bisa digerakkan.

Tepat pada saat itu, Zack keluar dari ruangan. Ia mengunci pintu dengan kunci dan berbalik. Ia berhenti melangkah melihat Thomas yang sedang maju untuk menghimpit Dinda ke tembok. Apa pun yang dia sedang lakukan, ada yang tidak beres.

"Sir-"

"Jawab pertanyaanku! Apakah kau bekerja sendirian?" Thomas kembali bertanya. Langkahnya berhenti dengan Dinda yang juga ikut berhenti.

Dinda merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Thomas. Dia ingin Dinda sendirian, dan jika ia sendirian, apa yang akan dilakukannya?

Suara dentuman langkah terdengar tak jauh dari tempat mereka berdiri. Itu Zack, dengan bahasa isyarat tangannya yang berarti; "Aku bekerja bersamanya.".

Thomas yang menoleh dan melihat isyaratnya hanya mengangguk-angguk. Dia menatap Dinda sekilas sebelum beranjak pergi ke lift untuk naik ke atas.

Dinda menghela napas lega. Ia segera menghampiri Zack dan berterima kasih kepadanya.

'Aku tahu apa yang dipikirkannya. Dia ingin berduaan denganmu di dalam ruang kerja kita. Dan itu berbahaya mengingat hanya kau satu-satunya perempuan yang bekerja di sana. Jadi, biar aku menunggu dan menemanimu asalkan tidak terjadi apa-apa.' Dinda menatap Zack penuh rasa bersalah. Karenanya, dia tidak jadi beristirahat dan terpaksa menemaninya.

Dinda bergegas bekerja setelah masuk ke dalam ruangan ditunggu Zack yang asyik bermain game di komputernya. Kurang dari 3 jam, ia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, membuat Zack melongo melihat tumpukan jurnal dan berlembar-lembar kertas cetak ada di atas meja.

Dinda tanpa basa-basi mengemasi barangnya. Pekerjaannya sudah selesai dan saatnya pulang. Semua orang bisa pulang cepat asalkan semua pekerjaan mereka telah selesai.

Di tengah perjalanan, tidak ada percakapan. Mereka memilih jalan kaki karena tidak ada satupun taksi atau bus yang melintas di halte depan kantor. Dinda yang pendiam, Zack yang bisu, membuat mereka suntuk sendiri. Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk membuka percakapan.

"Ngomong-ngomong, bagaimana penyelidikan tadi sore?" tanya Dinda.

'Aku dan Xin menyelidiki di mana Deadly berada pada saat pengeboman. Mereka berada di tempat yang berbeda, membuat kami berpikir kembali kalau Deadly-lah pelakunya,' jawab Zack—ponselnya—sambil meminum minuman kalengnya sebelum melanjutkan. 'Agatha, Yessy, dan Raven ada di sebuah minimarket, membeli sayuran dan beberapa bumbu masak. Sedangkan James di halaman masjid dan Nadia di teras masjid.'

'Lelaki yang kaulihat tidak mirip dengan James. Dia sendiri menunggu di sebuah mobil berplat palsu.' Zack meneguk kembali minumannya sampai habis.

"Jadi, mereka bukan pelakunya?" tanya Dinda lagi. Zack melempar kaleng sodanya ke tempat sampah dan mengangguk.

Dinda membulatkan mulutnya. Suasana beralih menjadi hening kembali. Karena keheningannya, suara langkah di belakang terdengar. Dinda sontak berhenti dan menoleh ke belakang, membuat Zack ikut-ikutan berhenti dan menatap ke arah yang dia tatap.

Mata Dinda menyisir seluruh area di mana langkah tadi berbunyi. Tidak ada apa-apa. Dinda yakin mendengar suara orang melangkah ke arahnya. Mungkin hanya halusinasinya.

Dinda menatap Zack dan tersenyum yang berarti semuanya baik-baik saja. Zack menghela napas lega dan mengajaknya kembali berjalan.

Belum sempat berjalan, sebuah tangan berbalutkan sapu tangan menutup kuat mulut dan hidung Dinda dengan tangan satunya mencekik leher memakai lengan.

Dinda termundur dan sempat berteriak kencang kepada Zack. Zack yang mendengarnya sontak menoleh dan melihat Dinda sedang berusaha melepaskan diri dari seorang lelaki.

"ZACK!!!" teriaknya sambil berusaha menghindari sapu tangan itu.

Zack tanpa basa-basi menghampiri lelaki itu untuk memukulnya, tetapi satu lelaki lain menghadangnya dan Zack mau tak mau harus melawannya.

Dinda mencakar-cakar lengan orang yang menyekapnya itu. Ia harap cakarannya membuahkan hasil dan dia melepaskannya. Namun, sepertinya tidak. Bukannya lepas, sapu tangan berbau menyengat itu semakin kuat menempel sehingga tak ada satu partikel pun oksigen yang masuk ke hidung dan mulutnya. Dan itu membuatnya melemah seiring berjalannya waktu.

Zack masih berusaha melawan orang yang tadi menghadangnya. Kemampuan bela dirinya tidak mampu mengalahkan lelaki itu. Tendangan telak di dada membuat Zack mundur sambil meringis. Ia tidak dapat melawannya, dia terlalu kuat.

Dinda masih berusaha melepaskan sapu tangan tadi dari wajahnya. Tak disadari, dia menangis karena takut. Perlahan, tenaganya habis dan lelaki itu membawanya mundur perlahan. Sebuah mobil berhenti di sampingnya dan lelaki serta satu temannya yang tadi melawan Zack bergegas masuk ke sana.

Dinda berusaha melepaskan diri saat ia ingin dimasukkan ke sana. Tetapi bau menyengat tadi membuat matanya berat dan tenaganya hilang. Dinda tak dapat menahan diri untuk terus terjaga. Perlahan, ia limbung, lalu pingsan, dan lelaki itu langsung menggendongnya dan memasukkannya ke dalam mobil.

Setelah mereka bertiga masuk, Zack bangkit dengan tangan memegang dada. Ia berusaha mengejar mobil mereka yang melaju. Ia langsung menuju ke apartemen karena tak dapat mengejar, menggedor-gedor pintunya dan keluarlah Leo dengan ekspresi malas.

"Ada apa ribut-ribut?" tanyanya dengan mata menyipit. Zack berbicara menggunakan bahasa isyarat tangannya dengan wajah panik.

Leo yang mulanya tenang berubah cemas. Dia mengerti arti bahasa isyaratnya.

"Dinda diculik!?"

~~~

Hola!:D

Apakah ada kesan, pesan, kritik, atau saran? Share aja di kolom komentar, selama ikon komentar masih ada di bawah:)

Terima kasih sudah membaca. See you next part!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top