52. Bertemu Dervin

Hari kelima Dinda di rumah sakit. Gadis itu masih tak mau makan dan minum. Seperti tidak jera beberapa kali diberi obat penenang untuk diberi minum. Hanya saja, walaupun tahan tidak membuka suara berhari-hari, gadis itu tetap tidur tepat waktu.

Itulah kelebihannya.

Namun, apakah selang dapat membantunya pulih? Tidak. Justru kondisi Dinda semakin menurun, bahkan dokter memperkirakan jika gadis itu masih tidak berubah, kemungkinan dia tidak akan bertahan hidup lebih lama.

Semua orang sudah berada di puncak kesedihannya. Kimberly dan Xin tidak lagi memasakkan Dinda bubur, kesal sekaligus sedih karena setiap mereka membuatnya, Dinda selalu tidak menghabiskannya alih-alih memakannya.

Leo frustasi, membuatnya demam dan dirawat Zack di apartemen. Lelaki itu setiap malam memikirkan perlakuannya saat mengusir Dinda hari itu dan menolak membantu Franklin mencarinya yang diculik.

Sedangkan Franklin tetap menemani Dinda, apapun yang terjadi. Dia tidak mau berbicara atau tidak mau menatapnya tidak mengapa. Franklin hanya ingin gadis itu tetap baik-baik saja.

Walaupun hanya diam bak mayat, Dinda sebenarnya 'hidup' di dalam. Ia berpikir, merasakan sesaknya dada akibat mengenang kembali adik dan keluarganya. Namun, ia sudah tidak bisa mengekspresikannya seperti dulu. Seakan-akan semua saraf tubuhnya sudah putus.

Tidak ada yang Dinda pikirkan selain Dervin. Selain itu, ia memikirkan cara untuk membunuh dirinya lagi. Kematian Dervin membuatnya tidak bisa mengingat hukum agamanya. Lagipula tujuan hidupnya sudah pergi.

Di puncak kesedihan, rekan-rekannya hanya dapat meminta ke kepercayaan mereka agar Dinda diberi pencerahan jiwa. Mereka berdoa setiap malam, didengar Dinda, tetapi gadis itu tidak peduli. Dinda berharap Tuhan lebih mengabulkan permintaannya-bertemu dengan Dervin. Lebih baik permintaan mereka diubah menjadi yang lain, mendoakannya adalah hal yang sia-sia.

Hingga suatu malam, Franklin dan Kimberly duduk di sampingnya. Jam menunjukkan pukul 10 malam lewat lima menit. Sesuai jadwal, Dinda menutup matanya, tidur. Dua orang yang ada di sampingnya akan menjaganya, walaupun beberapa malam ini mereka ditemukan tertidur di pinggiran kasurnya.

Seperti halnya saat tidur, semua pandangan menjadi gelap. Saat dirasa tubuh sudah kehilangan kontrol geraknya, mimpi pun dimulai.

Mimpi buruk di bandara berpuluh tahun silam kembali menghantui Dinda. Tak kuat melihatnya lebih banyak, Dinda memaksa matanya untuk terbuka walaupun berakhir sedikit kejang dan tubuhnya dirasa tak dapat bergerak.

Setelah matanya terbuka sempurna, gadis itu mendadak heran. Ia terbaring di atas kasur dengan seluruh penjuru berwarna putih bersih tanpa warna lain.

Dinda juga melihat kalau selang infus di tangannya sudah menghilang. Franklin dan Kimberly entah berada di mana, ia sendirian di ruangan-atau dunia serba putih itu.

Dinda tidak terlalu menghiraukannya. Ia merilekskan diri di kasurnya. Ia bisa bertahan di dunia putih itu selama-lamanya. Mungkin dunia itulah yang akan mengakhiri hidupnya-entah bagaimana.

Namun, untuk yang pertama kalinya gadis itu melebarkan mata karena mendengarkan sesuatu. Sebelumnya, apapun yang orang-orang katakan kepadanya, suara apapun yang ditangkap telinganya, tidak Dinda hiraukan kecuali senandung kecil yang mengisi pendengarannya sesaat.

Dinda menoleh ke kanan dan ke kiri karena mengenali senandung itu. Ia turun dari kasurnya, berjalan pelan ke asal suara dengan tongkat kruk, mulai berprasangka kalau tidak hanya ada di dunia putih itu.

Perlahan, aroma bunga entah darimana tercium. Begitu wangi, membuai Dinda, sampai-sampai gadis itu tidak sadar dirinya menjatuhkan diri ke belakang.

Sebelum badannya menyentuh bumi, beberapa bunga tumbuh dan menahan tubuhnya. Setelah itu, dari tempat bunga-bunga itu keluar, munculah rumput-rumput kecil yang kemudian menyebar sejauh mata memandang.

Dinda takjub, terlebih beberapa pohon rindang mulai keluar dari bumi dan tumbuh dengan cepat. Di atasnya, langit tercipta, berwarna biru nyaris tanpa awan, disertai matahari yang tidak panas dan burung-burung cantik di angkasa.

Jauh di depannya, gunung terlihat. Gunung khas dan familier di ingatannya, sampai akhirnya ia tahu di mana dia sekarang.

Desa tempat ia dilahirkan, di Indonesia.

Dinda berdecak kecil karena ia begitu merindukan suasana kampung halamannya. Walaupun terkadang saat-saat menikmati itu dihalangi dengan ejekan Anak Jalang saat kecil, Dinda tetap dapat menikmatinya sembari memakan kue kleponnya.

Senandung yang sempat Dinda lupakan tadi kembali terdengar. Dinda bangkit, kali ini ia mendapat kekuatan entah darimana, lalu mencari pencipta senandung yang merdu di telinga itu, sampai akhirnya menemukan seseorang.

Tidak, bukan seseorang. Dua orang. Satu duduk di atas tikar bambunya, memakai hijab berwarna merah muda dengan baju berwarna senada-lebih muda. Berusia 35 tahun, beberapa keriput tergambar di wajahnya, tetapi senyumnya berhasil membuat Dinda menutup mulutnya dan menangis haru.

Wanita paruh baya itu bersama seorang pria yang Dinda kenal. Pria itu terbaring di pangkuannya, mesra sekali, dengan jari si wanita yang merupakan istrinya mengelus pelan rambut hitamnya.

Dinda kenal mereka, ia benar-benar sangat mengenal mereka. Dua orang tercinta yang paling dirindukannya selama ini; ibu dan Papanya.

Dinda baru saja hendak mendekati mereka untuk memeluk, tetapi ia dihentikan oleh seseorang. Dinda menoleh cepat ke arahnya, melebarkan mata melihat wajahnya, wajah yang beberapa hari lalu pucat dan dimakamkan di Washington, kini ceria dan lebih terang.

"Hai, Kakak!" sapa Dervin, membuat Dinda langsung menangis keras dan memeluk adiknya. Ia meluapkan semua kerinduannya kepada anak itu, semua masalah dan beban yang dirasakannya langsung terangkat setelah itu.

Panggilan Dervin, isakannya, membuat ibu dan Papanya menoleh ke arah mereka dan tersenyum. Papa bangkit, lalu menghampiri mereka berdua, mengajak Dervin untuk membawa kakaknya ke atas tikar, lalu duduk di sana bersama.

Dinda tidak mau melepas pelukannya. Saat duduk pun, pelukannya tak terlepas. Ibu dan Papanya saling pandang dengan senyum tak meluntur sedetik pun. Mereka mendekatkan diri, memeluk dan menarik mereka ke dalam pelukan, membuat Dinda merasakan kehangatan keluarga yang selama ini sangat ingin ia rasakan.

"Ibu, Papa, Dervin." Dinda masih menangis deras di dalam pelukan keluarganya. Pelukan yang ia harapkan itu sudah dia rasakan sekarang.

Mereka melerai pelukan Dinda. Ibu Dinda menangkup pipi anak tertuanya, lalu menghapus air matanya dan mencium kedua keningnya.

"Ibu rindu kepadamu," kata ibunya. Dinda kembali menangis karena mendengar suara ibunya setelah sekian lama terpisah alam.

"Papa juga." Papa menyambung percakapan dan menangkup pipi Dinda.

"Apalagi aku," sahut Dervin, menerobos dan memeluk kakaknya. Dinda mengangkat tangannya dan membalas pelukannya, sekaligus membelai rambutnya yang kini halus sehalus sutra.

"Aku ... aku lebih merindukan kalian," ucap Dinda, sesengukan, "Kalian meninggalkanku, bertahun-tahun, membuatku tidak ingat lagi apa itu keluarga dan bagaimana rasanya pelukan hangat itu."

"Kami tahu. Sekarang, kau senang melihat kami, 'kan?" tanya Papa.

Dinda mengangguk. Ia menenggelamkan wajah ke kepala Dervin, sebelum mengangkat kepala dan melerai pelukannya.

"Kakak tidak sendiri. Ada kami," kata Dervin setelah Dinda melepas pelukannya.

"Omong kosong." Dinda membatin. Ia tahu persis rasanya kehilangan, ditinggal sendirian oleh orang-orang tersayang, membuatnya segera memurungkan wajah tak suka mendengar perkataan Dervin.

"Aku mendengar batinmu, Kakak." Dervin tersenyum, membuat Dinda mendongak dan menatapnya tidak percaya. "Aku sudah mati. Aku tahu apapun yang kau pikirkan."

"Jangan sebut 'mati' untuk sekali ini saja," pinta Dinda, memori kelam masa lalunya kembali muncul di kepala.

"Kami tidak mati, Nak. Kami hidup, di pikiranmu dan hatimu." Dinda menoleh kepada ibunya.

"Ah, Papa tidak pernah merasa menyesal menikahi ibumu. Dia motivator terbaik," sahut Papa, membuat Dinda dan Dervin tertawa dengan ibunya yang tersipu malu. "Namun, apa yang dikatakan ibumu itu benar, Fatim. Kami hidup, di pikiranmu dan hatimu."

Dinda merindukan panggilan kesayangan Papanya itu kepadanya. "Tapi, bagaimana bisa?" Dinda sebenarnya tidak terlalu paham apa maksud mereka, mungkin karena terlalu kebanyakan bengong.

"Seperti halnya foto." Papa mulai menjelaskan. "Siapapun yang ada di dalam foto terlihat hidup meski sebenarnya dia sudah mati."

Dinda, Dervin, dan ibunya menyimaknya.

"Sama halnya dengan pikiran dan hatimu." Papa menatap Dinda. "Jika mereka mati, maka kami mati. Jika mereka hidup, maka kami hidup."

"Percayalah, Fatim, itu nyata! Kau hanya perlu mengubah dirimu, menjalankan pikiranmu, menormalkan kata hatimu agar tidak selalu memohon kepada Tuhan untuk mencabut nyawamu."

Dinda menatap ke bawah.

"Kami tidak mati, kau tahu? Jika pikiran dan hatimu hidup, maka kami akan hidup. Kau akan dapat merasakan keberadaan kami lewat dua itu." Papa menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya, membuat Dinda tersenyum.

"Jika kau ingin kami hidup, maka hidupkan dirimu dulu. Kami memang tidak hidup di dunia, tetapi kami hidup di dalam dirimu." Ibunya mengelus pipi Dinda. "Jujur saja, melihatmu berusaha membunuh diri membuat Ibu begitu sedih. Kau benar-benar sangat ingin membunuh kami yang hidup di dalam dirimu."

"Ah, tidak. Itu hanya ketidaksengajaan," sahut Dinda, cepat. Ia mengenggam tangan ibunya agar wanita itu tidak memurungkan wajahnya. "Aku janji tidak akan melakukan hal merugikan itu lagi. Aku akan menjaga Ibu, Dervin, dan Papa untuk tetap hidup di dalam diriku."

Ibu tersenyum. Ia menoleh kepada suaminya.

"Sudah selesai berbincang dan melampiaskan rindu? Sekarang giliranku." Dinda, ibu, dan Papanya tidak dapat menyembunyikan tawa mendengar perkataan Dervin. Melepas belaian pipinya, Dinda menatap Dervin yang menatapnya penuh arti.

"Aku sudah tahu kalau Kakak bukan kakak kandungku. Namun, aku tetap sayang kepada Kakak, apapun yang terjadi," kata anak itu, membuat hari Dinda terenguh dan menghangat perlahan.

"Hari itu kau ingin tahu hidupku setekah diculik, bukan? Jika kau sembuh, pergilah ke penjara. Agatha akan menceritakan semuanya, dari A sampai Z." Topik dengan cepat berubah, membuat Dinda berdecak dan mengangguk. Ia tidak terlalu memedulikan kisah hidup Dervin yang itu, tetapi ia kembali penasaran akibat diingatkan.

Setelahnya, Dervin menarik tangan Dinda. Mereka bermain kejar-kejaran, dengan ibu dan Papanya yang ikut serta.

Beberapa saat kemudian, mereka berdua terbaring di pangkuan sang ibu. Dinda terlelap akibat buaian lembutnya, lalu membuka mata kembali saat suara ribut AC membangunkannya.

Dinda membuang napas saat tahu itu hanyalah mimpi. Namun, ia sangat bersyukur karena dapat bertemu keluarganya walapun hanya di alam mimpi.

Saat itulah Dinda baru dapat merasakan yang namanya lapar. Gadis itu mengerang kecil memegang perutnya, lalu menoleh kepada Franklin yang menatapnya dengan Kimberly masih tertidur di sampingnya.

Dinda menatapnya dengan mata yang tidak sayu lagi. Matanya hidup, dirinya perlahan hidup.

Dinda kembali membuang napas dan meneguk ludah. Setelah itu, bibirnya terbuka, mengucapkan sesuatu yang membuat Franklin terbelalak tidak percaya.

"Aku mau makan."

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top