48. Benci
Setelah diantar ke kamar, Dinda duduk di atas kasurnya. Ia membiarkan Franklin merapikan isi tas kainnya yang besar di atas meja, lalu setelah itu, lelaki itu menghampirinya dan menyodorkan dua pil serta sebotol air.
"Makan obat." Lelaki itu mengingatkan.
Dinda tidak menyahut apa-apa. Ia mengambil dua pil itu, lalu meminumnya bersamaan dengan air.
Setelah itu, ia menyerahkan botol tadi ke tangan Franklin. Ia menatap ke bawah, kosong, membuat Franklin sedih.
"Dinda, aku tahu bagaimana perasaanmu. Namun, kumohon jangan seperti ini terus. Kau boleh marah, kau bisa melampiaskannya dan menghancurkan semua benda yang ada di sekitarmu, tetapi melihatmu diam seperti ini membuatku ikut bersedih," kata Franklin, berharap wajah Dinda bergerak samar.
Namun, tidak ada apapun. Gadis itu seakan sudah tuli, tidak ada tanda-tanda wajahnya bergerak untuk merespon.
Rasanya dada Franklin seperti ditimpa sebuah benda berat yang mengakibatkan detaknya melambat. Menyadari kalau hanya ada dia di dalam kamar membuatnya pamit untuk keluar karena Dinda tidak menyukai seorang lawan jenis berada di dalam kamarnya dalam kurun waktu yang lama.
"Jika kau memerlukanku, kau tahu di mana aku," ujar Franklin sebelum menutup pintu kamar. Lagi dan lagi, tidak ada respon emosional dari Dinda, membuat lelaki itu membuang napas dan menutup pintunya.
Franklin tidak beranjak setelah itu. Ia menguping kamar Dinda. Ia harap gadis itu menangis, tetapi sepertinya Dinda benar-benar tak dapat berekspresi lagi.
Lelaki itu melangkahkan kaki dan turun ke bawah. Mendengar suara langkah yang menjauh membuat mata Dinda bergerak samar, perlahan berair, dan air matanya turun.
Tidak ada apapun yang keluar dari mulutnya, bahkan isakannya. Hati Dinda kembali sesak, begitu sesak dan rasanya seperti diremas.
Air matanya jatuh ke atas tangan yang tergeletak di paha. Namun, walaupun begitu, gadis itu tidak menunjukkan ekspresi apapun yang membuatnya menangis.
Angin berhembus kencang di luar. Beberapa saat kemudian, hujan pun turun, membuat Dinda berbaring di atas kasurnya dan menarik selimut, ingin beristirahat karena kedinginan dan lelah menangis.
~~~
Keesokan harinya, Dinda kembali melakukan rutinitas seperti biasanya. Namun, tidak secepat dulu karena kini kakinya di-pen. Wajahnya juga masih menunjukkan ekspresi yang sama--datar. Walaupun teman-temannya berusaha untuk membuatnya mengeluarkan raut emosionalnya, Dinda tidak peduli.
Kata Leo, Thomas sudah menyiapkan imbalan untuk mereka yang telah berhasil memenjarakan Deadly--walaupun sebenarnya Deadly-lah yang menyerahkan diri. Semua orang tampak tak ingin menanggapi, menerima imbalan dari Thomas tidak menyenangkan jika Dinda tidak ikut senang.
Selama di perjalanan ke IIS, Dinda hanya diam membisu layaknya patung. Ia tidak bergerak sedikitpun, membuat semua orang sedih dan juga menyesal karena pernah melakukan sesuatu yang tidak baik kepada gadis itu.
Sesampainya di IIS, mereka keluar dari mobil. Beberapa intelijen menyanjung mereka sesaat, sebelum diam melihat Dinda yang lalu berjalan dengan tongkat kruknya untuk masuk ke dalam gedung.
Rekan-rekannya langsung mengekori. Mereka masuk ke dalam, membuat semua orang terinterupsi dan melebarkan mata melihat kondisi Dinda.
Dinda berjalan sambil menatap ke bawah. Beberapa intelijen yang pernah mengejeknya kini memasang wajah bersalah. Mereka sudah mendengar kalau Bella dipenjara dan adik Dinda yang dikatakan teroris itu meninggal. Itu membuat mereka menyesal pernah mengejeknya sebagai Gadis Teroris, padahal yang teroris di IIS adalah Bella.
Walaupun menatap ke bawah, tidak ada yang berani menghalangi jalan Dinda. Kecuali setelah keluar dari lift, Dinda dan teman-temannya dihadang oleh tim Zero yang kini dipimpin oleh pemimpin dadakan yang direkrut mendadak oleh atasan Master.
Dinda mendongak, menatap teman-teman Bella itu. Setelah saling menyenggol, salah satu dari mereka mengucapkan bela sungkawa atas kematian Dervin dan permintaan maaf karena telah berusaha menjatuhkannya. Mereka juga menyampaikan perasaan hati mereka setelah tahu kalau Bella yang merupakan pemimpin Zero merupakan dalang dari pengeboman masjid dan anak buah Gordon, si koruptor. Mereka marah, memaki Bella saat beritanya muncul di televisi, lalu meminta atasan Master untuk memecatnya secara tidak terhormat.
Dinda tidak menunjukkan ekspresi apapun, membuat mereka benar-benar merasa bersalah. Dinda menunduk, melangkahkan diri, tidak meminta mereka untuk memberinya jalan karena mereka terlebih dahulu menyingkir untuknya.
"Dinda mendengarnya. Namun, untuk sekarang, dia tidak dapat mengabulkan permintaan kalian." Leo menepuk-nepuk bahu pemimpin Zero itu. Dia hanya mengangguk, mengerti, lalu membiarkan Leo pergi untuk menyusul Dinda.
Masuk ke dalam kantor, Dinda sempat berhenti. Ia mendongak dan menatap meja kerjanya, lalu membuang napas malas dan menghampirinya.
Dinda duduk di kursinya, lalu menyalakan komputernya. Setelah itu, ia duduk diam dengan pandangan mata ke wallpaper komputer bergambar pemandangan kota Sulawesi di malam hari.
Melihat itu membuat semua rekannya kembali bersedih untuk yang ke sekian kali. Mereka lalu pergi ke meja masing-masing, menggantikan Dinda membuat esai yang biasanya menjadi pekerjaan gadis itu setelah misi selesai, lalu pergi keluar saat Thomas mengirimkan anak buahnya ke ruangan mereka dan meminta mereka semua untuk berkumpul di ruangannya.
Menyanggupi, mereka pun pergi. Thomas jarang menyuruh mereka untuk ke kantornya setelah misi, membuat mereka langsung ke sana takut ada sesuatu yang ingin Thomas sampaikan.
Sesampainya di sana, mereka menatap Thomas yang duduk di kursinya. Dia mempersilakan mereka untuk duduk di sofa yang berada di depan mejanya, lalu mulai berbicara.
"Lagi-lagi kalian berhasil mengerjakan misi. Aku senang mendengar Deadly dipenjara, tetapi geram karena salah satu intelijen yang aku rekrut dari perguruan tinggi militer Amerika Utara berkhianat kepada IIS." Thomas membuang napas. "Imbalan kali ini akan lebih dua kali lipat dari sebelumnya. Jangan berterima kasih! Aku memberinya karena kalian pantas menerimanya." Ia pun menarik laci mejanya dan mengambil 6 amplop berisi uang untuk diletakkan di atas meja.
"Oh, ya. Melihat misi sulit selevel Master yang baru saja kalian selesai membuatku berpikir untuk meningkatkan pangkat kalian." Thomas mengambil sebuah berkas dan membukanya, lalu menyerahkannya kepada Leo yang mengambilnya. "Jika kalian bisa menyelesaikan satu misi dari Master lagi, kalian akan naik pangkat."
Leo dan yang lain--kecuali Dinda--senang bukan kepalang. Berada di pangkat Master adalah cita-cita semua intelijen karena pada pangkat itu, mereka bisa bepergian ke luar Amerika Serikat dan menyelidiki masalah kejahatan di negeri orang.
Melihat Dinda tidak merespon membuat Thomas mengernyit. Ia pun menyuruh semua orang untuk keluar karena ada sesuatu yang pribadi yang ingin ia katakan kepada Dinda, serta ia ingin menanyakan keadaannya yang kini membisu.
Leo dan yang lain menoleh kepada Dinda. Gadis itu tidak merespons, membuat Leo langsung menyuruh Franklin untuk tetap berada di dalam, menemani Dinda sekaligus menghormati keinginan atasannya itu.
Thomas tidak terlalu keberatan. Ia memperbolehkan Franklin untuk tetap di dalam ruangan bersama Dinda, setelah Leo meminta izin kepadanya.
Setelah mereka keluar, barulah Thomas buka mulut.
"Aku turut berduka atas meninggalnya adikmu. Aku pernah menganggapnya sebagai Derby, adik Agatha, tetapi setelah tahu kalau dia adalah korban kejahatan Bella membuatku begitu menyesal," kata Thomas, "Maafkan aku juga yang hari itu memberimu hukuman. Padahal saat itu, kau membela kebenaran dan tidak mungkin kau melanggar sumpahmu."
Dinda mendongak. Kali ini, ia merespons.
"Gadis itu memang membingungkan. Aku pernah berbincang-bincang mengenai Bella dengan atasannya, tetapi-"
"Jika Anda tahu dia bertindak aneh, kenapa kalian tidak menghentikannya untuk membunuh adikku?" potong Dinda, dengan nada datar.
Thomas menatap Dinda, terkejut sekaligus tidak percaya intelijen itu memotong perkataanya, serta topik yang melenceng jauh dari topik yang mereka bahas.
"Jika Anda tahu aku membela kebenaran, kenapa Anda memberikanku hukuman?" tanya Dinda lagi, dengan mata berair berusaha menahan tangis.
Thomas dibuat diam oleh Dinda. Gadis itu kini meneteskan air matanya di depannya.
"Aku tahu adikku bukan penjahat. Aku tahu," ucapnya gemetar, "Jika dia bersalah, dia adalah penjahat, aku tidak akan membelanya. Aku lebih baik gantung diri karena menyesal memiliki adik sepertinya."
Isakan Dinda terdengar. Thomas menggeleng, kemudian berbicara untuk mendinginkan suasana. "Aku tahu, dan aku menyesal. Kumohon maafkan-"
"Tidak," potong Dinda lagi, "Anda kira kesalahan Anda hanya itu? Apakah Anda tidak sadar malam itu Anda hampir menghimpitku ke tembok dengan mata berkabut?"
Dinda tidak lagi memanggil Thomas dengan panggilan "Sir" yang seharusnya wajib dipanggil untuk atasan. Thomas diam, sadar dengan perbuatannya yang satu itu, dengan Franklin yang melotot.
"Dinda-"
"Aku muak! Aku muak dengan semuanya!" Dinda menutup kedua telinganya. "Aku benci Anda, aku benci teman-temanku, aku benci semua orang!!!"
Teriakan Dinda bergema di dalam ruangan dan bunyinya terdengar sampai ke luar. Leo dan yang lain yang sedang menguping mengerjap tak percaya dengan hati ditusuk akibat mendengar teriakannya.
Dinda lalu menangis, sangat keras. Setelah itu, Franklin menghampirinya dan mengajaknya untuk pergi dari dalam kantor sebelum Thomas kembali menghukumnya karena memotong perkataannya tiga kali.
Thomas sebenarnya tidak memiliki niat seperti itu. Ia hanya menatap tidak percaya Dinda, pria itu sedih melihat kondisinya.
Thomas hanya mengangguk saya Franklin pamit dan membawa Dinda untuk keluar. Dinda berhasil menghentikan tangisnya setelah pintu dibuka dan melihat teman-temannya kaget karena ketahuan menguping.
Dinda hanya memalingkan wajah. Ia melepas dekapan Franklin, lalu berlalu dengan cepat ke lift, dan masuk ke sana, disusul mereka.
Kali ini, ia mengubah warna wajahnya. Dari pucat seperti tak berdarah ke merah seperti buah tomat.
Alis Dinda mencuram, matanya menyipit. Ia pergi ke ruangan Peregryne dan duduk di kursinya, sebelum membenamkan wajah ke lipatan lengannya dan menyembunyikan ekspresinya.
Saat mereka ingin bertanya, Dinda segera berteriak, "Tinggalkan aku!". Itu membuat Leo, Franklin, serta tiga lainnya saling pandang dan mengikuti kemauannya.
Setelah duduk di kursi masing-masing, isakan Dinda yang keras terdengar. Gadis itu menangis, terkadang menghentakkan kaki kanannya ke atas lantai dengan keras, lalu terisak lagi.
Yang lain hanya dapat diam. Franklin yang ada di samping Dinda berusaha menenangkannya, tetapi teriakan Dinda yang bersuara sama membuatnya menepis keinginannya.
Tak lama setelah itu, Dinda diam. Franklin segera memeriksanya takut dia tidak sadarkan diri, tetapi merasakan kalau hidungnya masih menghembuskan napas pertanda hanya tidur membuatnya lega dan menatap rekan-rekannya dengan senyuman, menenangkan mereka.
~~~
Aaa! Daku sangat sibuk bulan ini!~T
Kalau ada kesalahan, komen aja ya:D Slow respon, tapi pasti dibalas:))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top