46. Tidak Jadi Berpisah

Never Letting Go - Tim McHorris

Dinda dibuat kalut oleh berita yang Nadia sampaikan kepadanya beberapa menit yang lalu. Sekarang Franklin sudah pergi ke ruangan di mana Dervin sedang ditangani sesuai permintaannya yang sebenarnya ingin dirinya sendiri yang pergi ke sana.

Dinda benar-benar tidak bisa diam di dalam kamar rumah sakitnya. Ada Xin dan Kimberly yang menemani dan menenangkannya, tetapi ia tidak bisa tenang.

Pikirannya kalut. Firasatnya lama-kelamaan makin kuat. Ada apa dengannya hari ini? Dinda mendadak takut dengan waktu.

Keringat dinginnya tak berhenti mengalir saat tak menemukan Franklin, bersama Leo dan Zack yang ikut pergi, belum kembali. Ia benar-benar khawatir dengan kondisi adiknya, ia ingin melihatnya secara langsung.

Dinda menatap selang infusnya yang masih menempel di punggung tangan. Ia melirik Kimberly dan Xin yang masih menenangkannya.

Dinda harus menemukan cara agar ia bisa menemui adiknya. Apapun caranya, walaupun mungkin nyawanya yang menjadi taruhan.

"Xin, bisakah kau memberikanku minuman di toko?" tanya Dinda, membuat Xin mengerjapkan mata dan mengernyit.

"Minuman? Botol airmu masih terisi setengah dan kenapa kau ingin minuman?" tanya Xin, tidak menyetujui begitu saja seakan tahu kalau Dinda ingin pergi ke ruangan Dervin.

"Aku ... bosan minum air putih. Aku mau minum susu." Dinda pura-pura mencuramkan alis, sehingga dirinya dianggap sedang marah kepada Xin.

"Tapi, kau tidak boleh-"

"Aku akan memaafkanmu jika mau membelikanku susu," potong Dinda. Xin tidak dapat menolak permintaan dan imbalan itu kali ini, ia memang harus mendapatkan maaf dari Dinda.

"Baiklah, aku akan ke sana. Kimberly, jaga Dinda!" suruh Xin sebelum beranjak. Kimberly mengangguk dengan Dinda yang mendengus kasar karena baru menyadari ada satu orang lagi yang harus ia kelabui.

"Kim, aku mau buang air. Bisakah kau menemaniku ke toilet?" Dinda menunjuk ke sebuah bilik kecil di dalam ruangannya.

"Tentu saja!" Kimberly langsung menyanggupinya. Dinda pun turun dari kasur dan pura-pura pergi ke arah bilik tersebut dengan Kimberly di belakangnya.

Setelah berada di depan pintu bilik, ia berbalik dan mendorong Kimberly. Dinda segera mencabut selang infusnya, sempat bergumam meminta maaf, lalu secepatnya pergi ke luar ruangan.

Kimberly yang masih mencerna keadaan seketika sadar dibuatnya. Dinda tidak ingin buang air, dia ingin kabur dari ruangannya.

"Dinda, tunggu!" teriak Kimberly setelah Dinda berhasil keluar. Dia langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, mengingat-ingat ke mana Franklin pergi, lalu menuju ke salah satu arah; kiri.

Untunglah jalur itu berlawanan arah dengan jalur Xin yang baru kembali dengan susu kemasan di tangannya. Ia masuk ke ruangan, menatap sejenak beberapa tetesan darah di lantai, lalu ditabrak Kimberly yang ingin menyusul Dinda.

"Ada apa? Mana Dinda?" Xin baru menyadari kalau Dinda tidak ada di atas kasurnya.

"Jangan banyak bicara! Bantu aku mencarinya!" Kimberly menarik tangan Xin dan mengajaknya keluar. Mereka langsung berpencar dan berlari kecil menyusuri koridor.

Mengetahui langkah kaki seseorang yang dikenalnya membuat Dinda sedikit-sedikit bersembunyi dan sedikit-sedikit berjalan kembali. Seandainya kakinya tidak di-pen, ia pasti berlari saat ini, tidak peduli kakinya akan patah dan akibatnya akan fatal.

Untuk yang pertama kali Dinda dapat bersembunyi dengan sempurna tanpa ketahuan. Padahal, Xin berada beberapa meter darinya, tetapi karena ia dapat menyembunyikan tongkat kruknya, gadis itu langsung berlalu dan pergi ke koridor sebelah.

Dinda mengelus dada dan kembali berjalan. Namun, darah yang merembes dari punggung tangannya akibat dilepas mendadak dari infus membuat beberapa perawat yang melihatnya curiga.

Beberapa di antara mereka menghampiri dan menanyakan darimana ia mendapat luka seperti itu. Dinda yang sudah tahu ini akan terjadi langsung menjawab kalau ia ingin mengambil perban untuk menghentikan pendarahan akibat digigit burung beo peliharaan seorang pasien-yang sebenarnya tidak ada yang membawanya.

Mereka akhirnya mengawal Dinda sampai ke ruangan di mana tangannya itu diobati dan ditutup dengan perban. Setelah itu, Dinda dibebaskan dan ia kembali berjalan ke ruang ICU setelah menanyakan keberadaannya kepada salah satu perawat yang tidak menaruh curiga kepadanya.

Dinda langsung ke sana setelah diberi arahan. Ia menaiki lift, lalu pergi ke lantai yang diinginkan bersama sekelompok orang yang tetap tidak menaruh curiga kalau ia adalah pasien yang kabur.

Setelah sampai, Dinda keluar. Ia berhenti sejenak melihat Deadly berdiri tak jauh di depannya.

Dinda langsung mengambil anggapan kalau mereka sedang menunggu Dervin. Di belakang mereka, ruangan yang kelihatanya penuh dengan dokter-dokter itu pasti adalah ruangan Dervin.

Dinda bergegas mendekati mereka. Ia sempat dipelototi oleh Franklin yang tidak dibiarkan masuk ke dalam ruangan.

"Di-Dinda!?" panggilnya, sedikit keras, "Apa yang kau lakukan di sini? Mana Kim dan Xin? Mana kantong infusmu? Dan ... kau mencabutnya!?" tanyanya, beruntut.

"Aku ingin melihat keadaan Dervin. Aku baik-baik saja tanpa kantong in-"

Dinda terhuyung sedikit ke depan diakibatkan kepalanya pusing. Ia baru mengingat kalau efek dari selang infus yang dicabut adalah kepala berputar seperti sedang naik komidi putar.

"Baik-baik apanya!?" Franklin masih belum dapat menurunkan kenyaringan suaranya. "Ayo, kita kembali dan meminta perawat untuk memasang infusmu lagi. Kau masih memerlukannya," Franklin kemudian berucap lembut, sadar dengan suaranya yang baru saja melengking.

"Tidak mau!" tolak Dinda. Ia menoleh kepada Agatha yang menatap ke bawah dengan Nadia di sampingnya. "Mana Dervin? Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya?" Dinda mulai melayangkan pertanyaannya kepada lelaki itu.

Agatha tidak menjawab. Matanya tetap terbelalak dan tak mengerjap, menbuat Dinda tahu seberapa parah keadaan yang telah terjadi.

Dinda menghampiri jendela kaca dan melihat isi ruangannya. Di mana, Dervin masih ditangani oleh para medis yang kelihatannya sedang berusaha menarik nyawanya.

Dinda tak dapat berkata-kata. Matanya berair dengan cepat sebelum mengalir turun ke pipinya.

"Ini salahku," ucap Agatha, gemetar, "Maafkan aku."

Dinda sontak menoleh. "Ada apa? Kenapa kau minta maaf?" tanyanya, menarik-narik lengan baju oranyenya yang biasa dipakai oleh narapidana.

"Maafkan aku." Agatha menoleh kepada Dinda dengan mata tak jauh berbeda dari mata Dinda. "Maafkan aku."

Dinda dibuat bingung dengan kelakuan Agatha. Ia langsung kaget mendengar pintu ruangan di buka, menyebabkan semua orang mengerubungi para medis dan meminta jawaban mereka.

"Dia sudah sadar, tetapi kami tidak tahu pasti." Semua orang melebarkan mata. "Semua tergantung kepadanya. Jika dia mau bertahan, maka dia akan tetap hidup."

"Apa yang terjadi kepadanya?" tanya Dinda yang menerobos sekumpulan orang itu.

Seseorang berkacamata dengan tanda pengenal di dadanya itu membuang napas. "Anak itu tertembak di dada. Kesempatannya ingin hidup sangat sedikit."

Dinda menoleh kepada Agatha, membiarkan sekumpulan orang itu pergi dari hadapannya. Ia menghampirinya, menatapnya tidak percaya, lalu melayangkan tangannya ke pipinya.

"Apa yang terjadi sampai-sampai peluru baru menembus dadanya, huh? APA YANG TERJADI!?" teriak Dinda.

Agatha masih bergeming dengan posisinya. Matanya sudah berair akibat ditampar Dinda, tetapi ia dapat menahan sakitnya.

"Maafkan aku." Dinda menggelengkan kepala dan langsung berbalik, lalu masuk ke dalam ruangan Dervin. James dan Yessy yang sempat menghentikannya dapat ia terobos sampai mereka tidak berani menghentikannya lagi.

Dinda terdiam di tempat menyaksikan monitor yang menampilkan detak jantungnya itu menyala di samping Dervin. Adiknya menoleh pelan ke pintu ruangan yang terdengar terbuka, lalu menemukan kakaknya berdiri dengan air mata di pipinya.

Dervin tersenyum. Ia memanggilnya dengan masker napas di wajahnya. Dinda menghampirinya sambil terus menatapnya. Hanya terdengar suara napasnya yang tidak beraturan-akibat lari dan juga menangis sejenak melihat Dervin terbaring lemah di hadapannya.

"Jangan menangis," pinta Dervin, lalu mengenggam tangan Dinda.

Dinda menggeleng. "Aku tidak bisa menahan tangisku jika melihatmu seperti ini, Dervin," sahutnya.

Dervin mengangkat tangannya perlahan, lalu membelai pipi kakaknya dan menghapus air matanya.

Di belakang Dinda, Yessy masuk dan menarik tirai ke kanan agar Agatha serta yang lain yang tidak berani masuk dapat melihat Dervin lewat sana. Setelah itu, gadis itu berdiri di samping jendela dan menatap Dinda dan Dervin, memberi akses teman-temannya yang berada di luar melihat Dervin melalui jendela kaca yang buram.

"Bertahanlah. Peluru di dada bukanlah apa-apa jika luka di hatiku semakin lebar akibat kematianmu," pinta Dinda, langsung ke inti. Air matanya tak berhenti mengalir, mengakibatkan alirannya mengalir ke tangan Dervin dan membuatnya tersenyum sekali lagi.

"Jika aku mati, itu berarti aku tidak perlu lagi khawatir dengan kak Agatha. Aku bisa bersama dengan kalian berdua di waktu yang sama." Dinda melebarkan mata mendengar ucapannya.

"Kau mau mati?"

Dervin melunturkan senyumnya. "Jika keadaanku sudah seperti ini, tidak mungkin aku bisa bertahan hidup," jawabnya pelan.

"Tidak, kumohon jangan tinggalkan aku!" Dinda mengenggam erat tangan Dervin dan menciumnya dengan air mata semakin deras keluar. "Aku sudah mencarimu bertahun-tahun, kesepian bertahun-tahun, dan setelah menemukanmu, kenapa kau malah ingin pergi, hah? Aku tidak mau kehilangan lagi."

Yang lain menatap ke arah monitor. Detak jantung Dervin perlahan berubah menjadi lambat.

"Aku bertahan untukmu. Seharusnya kau juga melakukan itu. Kenapa kau ingin pergi? Aku tidak siap kehilanganmu lagi," sambung Dinda. Dervin tak henti-hentinya tersenyum mendengarnya, walaupun rasa berdenyut membuat dadanya sakit dan lukanya kembali bereaksi.

"Kakak."

"Dervin, kumohon. Bertahanlah! Aku tidak mau menangis lagi karena merindukanmu."

"Kakak, dengar-"

"Dervin, kumohon. Ku-"

"Kakak!" sela Dervin, membuat Dinda menatapnya dengan mata masih berair.

"Aku tidak bisa bertahan, kau tahu? Aku harus pergi. Jika kau memaksaku, m-maka aku akan terus tersiksa di sini." Dervin menatap Dinda dengan mata sendu. "Aku sudah ditembak di punggung, sekarang di dada. Aku pantas untuk mati. Ini kehendak Tuhan, kau ingat?"

"Ini kehendakmu, bukan kehendak Tuhan!" Dinda berteriak. "Kumohon jangan pergi. Jangan tinggalkan aku lagi. Kumohon!!!"

"Kenapa Kakak benar-benar takut sendirian? Ada Franklin, dia bisa menemanimu."

"Dia bukan orang seistimewa dirimu," Dinda berkata, lirih. "Aku ingin kau tetap di sini. Jangan pergi."

Dervin tak dapat menahan air matanya keluar. "Aku harus, tugasku sudah selesai."

"Kau tidak punya tugas. Akulah yang mempunyai tugas untuk menahanmu pergi lagi," sahut Dinda.

"Biarkan aku pergi. Aku lelah disiksa di .... Ah, Ibu dan Papa. Aku melihat mereka" Dervin menoleh kepada Dinda. "Aku tidak bisa bertahan, Kakak. Aku tidak bisa menuruti keinginanmu. Maafkan aku."

"Tidak, Dervin. Tidak." Dinda menangis keras. Genggamannya semakin menguat, seakan-akan itulah cara untuk menahan malaikat maut mencabut nyawa adiknya.

Dervin hanya menatap dalam kakaknya itu. Ia juga merasakan hal yang sama, tidak mau pergi, tetapi ia tidak akan bisa bertahan karena peluru yang bersarang di dadanya.

"Kau ingin aku tetap bertahan 'kan, Kakak? Kumohon kabulkan permintaanku," ucap Dervin, membuat Dinda kembali menatapnya.

"Bacakan aku 2 kalimat syahadat, tiga kali," pinta Dervin, "Aku akan mengikutimu. Aku akan bertahan untukmu."

Dinda dapat melihat cahaya dari langit menerangi Dervin yang berjuang untuk bertahan-padahal ia berbohong agar kakaknya tidak menangis lagi. Dinda mengangguk cepat, lalu mengelus kepalanya dan mendekatkan mulutnya ke telinga agar kalimat yang ia lafalkan dapat didengar oleh Dervin.

"Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah."

Tiga kali Dinda mengucapkan, Dervin berusaha mengikutinya. Air mata anak itu tak henti mengalir saat rasa sakit di dadanya menjadi-jadi dan beberapa bagian tubuhnya mulai mati rasa.

Ucapan pertama, ia berhasil mengikutinya. Ucapan kedua, ia mulai tidak dapat mengatakannya dan menggunakan isyarat mata untuk membaca kalimat yang akan menjadi kalimat latin terakhir yang ia ucapkan di dunia.

Setelah selesai, Dinda menatap Dervin. Pandangan Dervin sudah redup, membuatnya mulai berpikir yang bukan-bukan kalau adiknya membohonginya.

"Maaf dan terima kasih, Kakak." Dinda menggeleng pelan. Dervin membohonginya. "Aku tidak dapat bertahan, tapi aku senang kau berhenti menangis."

Dinda menggeleng. "Aku janji kita akan berjumpa lain kali. Aku akan selalu berada di sampingmu, di samping Kak Agatha, dan semua orang yang telah menyayangiku," sambung Dervin, "Maafkan aku jika aku pernah membuat hatimu sakit. Aku ingin mati dengan tenang. Jangan rindukan aku. Cukup doakan aku saja dan aku akan selalu berada di sampingmu"

Dinda menatap mata Dervin mulai menutup. "K-Kakak," panggilnya, membuat Dinda kembali menangis dengan mata tak mengerjap.

Dinda semakin melebarkan mata melihat kelereng tajam warna kelabu yang dilihatnya di masjid hari itu sudah redup. Air matanya sudah lama jatuh ke wajah adiknya yang sudah mulai tak berdarah. "Aku sayang Kakak." Dan berakhir sudah. Seluruh kesakitan yang tadi sempat Dervin rasakan, sekarang terangkat beriringan dengan nyawanya.

Suara beep panjang dari monitor membuat Dinda menangis lebih deras. Dervin pergi, tepat di hadapannya, dan membohonginya.

~~~

Hola!:D

Maafkan kalau banyak typo. Habis tamat saya revisi, insyaallah.

Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)

Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Cu next time!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top