45. Kabar Mengejutkan

"Pengadilan mempercepat jadwalnya, dari esok lusa ke besok."

James membaca sekilas surat dari pengadilan tinggi Amerika Serikat yang berlokasi di Washington di tangannya. Surat itu sudah direvisi, sesuai dengan perkataan salah satu polisi yang kemarin malam nyaris menangkap Yessy dan Nadia jika seandainya Mark tidak mendinginkan suasana.

"Bella dan Raven akan hadir. Jam 8 pagi, pengacara akan datang ke rumah dan menjemput kita," sambung lelaki itu.

"Apakah kita akan diborgol?" tanya Nadia, duduk di atas kasur empuk di salah satu perumahan para anggota polisi Washington yang dikhususkan untuk mereka.

James menggangguk. "Sepertinya ini akhir dari perjuangan kita," sahutnya sendu.

"Hei, jangan berucap seperti itu." Agatha menghampiri James dan menepuk bahunya. "Perjuangan belum berakhir jika kita masih bersama."

James menatap sahabatnya itu dan tersenyum.

"Kita tidak akan tidur di kasur empuk di rumah Agatha." Nadia manyun. "Aku akan sangat merindukan kasur itu.

Yessy yang ada di sampingnya menyenggol lengannya, menyebabkan gadis itu menoleh dan melihat senyum memberi semangat yang merekah di bibirnya.

"Kau yang terbaik, Yessy!" Nadia sontak memeluk Yessy karena disemangati. Yessy balas memeluknya, lalu menggelitikinya, menyebabkan mereka tertawa bersama.

Di rumah kecil yang diawasi polisi itu kini ramai dengan suara tawa Nadia. Agatha dan James hanya menarik bibir ke atas, sebelum menoleh kepada Dervin yang berdiri di depan jendela.

Agatha menepuk bahu James, pamit, lalu menghampiri Dervin. Agatha berdiri di sampingnya, melihatnya yang menatap halaman rumah dengan tatapan kosong.

"Ada apa?" tanya Agatha, melihat ekspresi gundah Dervin yang terlihat jelas.

Dervin meliriknya, lalu membuang napas. "Apakah bukti-bukti itu cukup untuk membebaskanku dan memperbaiki nama Kak Dinda? Apakah kau yakin aku tidak dimasukkan ke dalam penjara?"

Agatha tersenyum, lalu mengelus puncak kepalanya. "Bukti-bukti itu cukup dan aku yakin kau tidak akan masuk ke penjara." Ia memasang wajah sendu, mengingat waktunya dengan adik angkatnya tidak lama lagi.

"Itu berarti aku akan berpisah denganmu." Dervin memajukkan mulut. "Aku ingin bersama Kak Dinda, dan juga kau. Kehilangan salah satu dari kalian rasanya .... Hidupku pasti akan berbeda tanpamu." Lelaki itu mengarahkan netranya ke Agatha.

"Tapi, kau bisa menjengukku setiap bulan, bukan? Percayalah, hidupmu tidak akan berubah walau kau kehilanganku." Agatha berucap, menyakinkan.

Dervin menatapnya penuh arti. "Aku sayang padamu."

"Aku juga sayang padamu, Dik." Agatha merentangkan tangannya dan Dervin langsung memeluk badannya. James, Nadia, dan Yessy yang melihat hanya mengembangkan senyum bahagia saat kakak dan adik angkatnya itu berpelukan setelah sekian lama tidak melakukannya-alasan Agatha adalah menjaga diri untuk tetap disegani dan Dervin bukan anak kecil lagi.

Agatha mendorong kepala Dervin dan mengangkatnya. Matanya yang coklat beradu dengan mata kelabu tajam yang kini berlinang air mata.

"Aku akan sangat merindukanmu, Dervin," ucap Agatha, mulai terisak, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. Ia tidak akan melihat mata Asia lelaki itu lagi setiap hari, seperti dulu.

"Aku juga akan sangat merindukanmu, Kak Aga." Panggilan lama Dervin kepada Agatha itu terucap lewat bibirnya, membuat Agatha yang berusaha menahan air matanya menjadi tak kuat dan akhirnya membiarkannya mengalir di pipi.

"Aku tidak bisa berpisah denganmu jika kau memanggilku dengan sebutan Aga," ucap Agatha, serak, lalu menarik Dervin ke pelukannya. Ia menangis di atas kepalanya, sedangkan Dervin tersenyum kecil merasakan air matanya jatuh ke pipinya.

Aga merupakan panggilan kesayangan mendiang orang tua Agatha kepada Agatha saat masih hidup. Saat itu, Dervin yang masih kecil hanya mengetahui namanya yang Aga, tidak tahu kalau nama sebenarnya adalah Agatha.

Mendengar panggilan itu membuat Agatha menangis. Ia merindukan ayah dan ibunya, dan sekarang ia akan merindukan seorang anak yang sudah dianggapnya sebagai adik.

Agatha menghapus air matanya saat dirasa air matanya sudah cukup dikeluarkan. Ia mengangkat kepala Dervin, melihat wajahnya yang penuh dengan air matanya dan air mata Agatha sendiri. Ditatapnya mata Dervin begitu dalam, memutar semua kejadian di masa lalu saat ia pertama kali bertemu Dervin sampai sekarang. Jika diceritakan, membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikannya.

"Jangan nakal saat bersama Dinda ya," pintanya, tersenyum.

Dervin terkekeh. "Baiklah, Kakak!"

Dan sekali lagi, Agatha memeluk Dervin. Ia membenamkan wajahnya ke rambut anak itu, berusaha meninggalkan bekas sebelum keesokan hari mereka akan dipisahkan dengan jeruji besi.

~~~

Keesokan harinya, Dinda sedang memakan buburnya dengan lahap. Di sampingnya, Franklin duduk dan mengobati luka di lengannya dan juga lengan Dinda. Luka itu mulai menjadi kering dan mungkin beberapa hari lagi akan menutup sempurna. Oleh karena itu, Franklin senantiasa mengeceknya, takut luka di lengannya dan lengan Dinda bermasalah.

Hanya ada Franklin di dalam ruangan. Tidak tanpa alasan, Dinda yang menginginkannya. Ia tidak mau melakukan apa-apa jika ada orang lain selain Franklin di dalam ruangannya. Ia menyinggung rekan-rekan intelijennya yang menjenguknya dari luar ruangan.

Semua itu dilakukan untuk memberikan mereka pelajaran. Setiap mereka masuk, Dinda selalu memasang wajah dingin yang setiap kali ditatap rasanya si penatap ingin cepat-cepat pergi dari dalam sana.

Karena Franklin sudah sembuh, jadi Dinda tidak memerlukan mereka lagi untuk menjaganya. Lagipula, tensi darahnya sudah beberapa kali diperiksa naik-turun saat dicek akibat empat temannya itu.

Dinda sangat ingin memutus pertemanannya dengan mereka yang telah mengusirnya dari apartemen. Namun, Dinda mengingat jasa mereka di masa lalu dan rasanya kurang adil jika dia melakukan itu.

Dinda adalah tipe pemaaf, dia sebenarnya sudah memaafkan keempat rekan kerjanya itu. Hanya saja, ia ingin memberikan pelajaran agar mereka jera bertingkah semena-mena kepadanya atau orang lain yang padahal membela yang benar.

Ia lalu tertarik ke dunia nyata setelah melamun cukup lama. Ia memakan kembali buburnya, walaupun sempat menggeram dan mengeluh karena rasanya hambar-membuatnya ingin memuntahkannya, tetapi syarat sembuh adalah perut terisi, juga makanannya gratis, sayang kalau tidak dihabiskan.

"Ada apa? Dari tadi kau melamun," tanya Franklin setelah menutup lengannya dengan perban baru yang dibelinya.

Dinda mengangkat kedua bahu. "Entahlah." Pikirannya melayang ke percakapannya dengan Dervin kemarin sore.

"Aku tidak ingin berpisah dari Kak Agatha. Namun, aku juga tidak mau berpisah denganmu," katanya saat itu.

Karena hanya berdua, Dinda menyahut, "Tapi, Kakak tidak mau kau masuk penjara, Dervin."

"Aku tahu. Aku juga tidak mau masuk penjara, tapi aku tidak mau berpisah dengan Kak Agatha yang selama ini mengurusku."

Dinda harus akui dirinya mendadak gundah setelah Dervin mengucapkan itu. Bahkan sampai saat ini, walaupun pikirannya sibuk memikirkan rekan-rekannya, di lain sisi ia memikirkan perkataan Dervin itu. Walaupun sebenarnya tidak ada yang aneh.

"Kau kelihatannya gundah. Ada apa?" tanya Franklin. Ia siap menjadi pendengar dan penjaga rahasia jika Dinda mau memaparkan apa yang sedang membuatnya gundah.

"Kemarin sore, Dervin bilang kepadaku kalau dia tidak mau berpisah dari Agatha, tapi juga tidak mau berpisah denganku. Kurasa itu normal karena Agatha pernah mengurusnya, menggantikanku yang merupakan kakaknya yang mencarinya bertahun-tahun di Amerika." Dinda mulai mengungkapkan perasaannya setelah melihat ekspresi Franklin yang dapat dipercayai. "Namun, entah kenapa karena itu aku gundah dan merasakan sesuatu yang tidak dapat kujelaskan. Seperti sesak dan kepala depan berat, bahkan aku dapat mendengar detak jantungku berbunyi di telinga walau keadaan ruangan ramai dengan suara AC."

"Aku juga merasakan firasat bak seorang peramal yang meramal adikku keesokan hari. Seperti ... akan terjadi sesuatu yang tidak baik hari ini." Dinda menghela napas. "Aku benar-benar jarang memiliki firasat, tapi kali ini, firasatku benar-benar sangat kuat kalau akan terjadi sesuatu hari ini."

Franklin mengelus dagu, lalu tersenyum. "Tenanglah, tidak akan ada yang terjadi. Mungkin kau terlalu cemas karena adikmu dan Deadly akan diadili hari ini dan kau tidak datang."

"Tidak. Lebih dari itu," sergah Dinda. Ia menatap Franklin. "Aku tidak bisa tenang karena firasat yang semakin kuat di dalam diriku itu."

Franklin terdiam. Melihat keseriusan wajah temannya itu membuatnya ikut-ikutan bingung. Firasat apa yang sedang Dinda rasakan sekarang? Franklin bertanya lagi agar tahu gambaran spesifiknya seperti apa.

"Apa yang kau rasakan dari firasatmu itu? Dan apa yang akan terjadi?"

"Aku bukan peramal. Kuharap ini tidak terjadi." Dinda menarik napas. "Kematian. Aku merasakan kematian setelah percakapanku dengan Dervin kemarin sore. Seakan-akan, akan ada seseorang yang mati hari ini. Orang yang kukenal, tapi tidak tahu siapa. Kuharap bukan adikku."

Sejenak Franklin terkejut mendengar firasat Dinda yang di luar ekspetasinya itu. Namun, ia kembali mendatarkan wajah dan berpikir serta membatin apakah dosis obat yang diminum gadis itu sudah habis sehingga ia mulai memikirkan yang bukan-bukan.

Suara pintu yang dibuka dengan keras disertai teriakan seseorang membuat Dinda dan Franklin kaget. Mereka menatap Nadia yang berlari ke arah mereka dengan tangan diborgol serta air mata di pipinya.

"Dinda, Dervin ... dia ...."

"Ada apa?" Dinda tidak dapat menahan matanya untuk melebar. "Ada apa dengan adikku!?"

"Dia ... dia ditembak!"

Franklin langsung bangkit dan mendorong lengan Nadia. "Jangan membuatnya panik! Dia masih dalam proses penyembuhan."

"Aku tidak berniat membuatnya panik, tapi kabar seperti ini sudah pasti akan membuat panik, 'kan? Aku hanya ingin mengabari Dinda saja," sahut Nadia.

"Kenapa adikku bisa ditembak? Di mana dia?" tanya Dinda, setengah berteriak, menghentikan perdebatan mulut mereka yang tidak berguna.

"Tidak tahu. Dia berada di ruang ICU. Para dokter sedang memeriksanya. Setelah hakim menjatuhkan hukuman kepada kami, anak itu ditembak dan jatuh dari kursinya, lalu tidak sadarkan diri," jawab Nadia.

"Bagaimana bisa!?" teriak Dinda, "Apakah kalian tidak melindunginya, hah!?"

"Kami sudah nelindunginya. Bahkan, beberapa menit sebelum sidang dimulai, Agatha menyuruh dua orang polisi untuk menjaga Dervin." Nadia mulai ketakutan.

Dinda kalut. Ia takut. Adiknya ditembak yang jika dia tidak dapat bertahan maka ia akan kehilangannya. Maka dari itu, ia menatap Franklin dengan tatapan memohon agar lelaki itu mau mengabulkan permintaannya.

"Franklin, periksa keadaan Dervin sekarang juga!"

~~~

Hola!:D

Maafkan kalau banyak typo. Habis tamat saya revisi, insyaallah.

Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)

Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Cu next time!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top