43. Sadar
Hampir dua jam lamanya ruangan tertutup. Leo dan Zack duduk di kursi yang telah disediakan. Beberapa saat kemudian, pada ahli bedah dan asistennya keluar dari sana. Leo dan Zack sontak berdiri, menanyakan keadaan Dinda, dan salah satu dari mereka menjawabnya.
"Betisnya kami pen, tulangnya retak sedikit karena terkena sesuatu yang tajam. Ia kemungkinan tidak bisa berjalan dengan normal beberapa minggu." Si dokter menjawab. "Kemungkinan juga dia akan mengalami mati rasa dari betis sampai ke jari kaki selama itu."
Leo dan Zack melebarkan mata. "Apakah umurnya masih panjang?" Pertanyaan itu melenceng dari topik, tetapi si dokter tersenyum.
Ia mengangguk. "Gadis itu anak yang kuat. Walaupun jantungnya sempat berhenti berdetak, tetapi dia mampu menarik nyawanya sendiri dari malaikat maut."
Leo dan Zack terbelalak, tetapi kali ini tidak sekhawatir tadi. "Tuhan, terima kasih atas berkahmu."
Dokter dan rekan-rekannya itu hanya menarik sudut bibir ke atas. Mereka pamit dan sempat mengingatkan mereka untuk tidak masuk ke ruangan Dinda agar dia beristirahat dengan obat bius yang masih bekerja.
Leo dan Zack hanya mengangguk. Setelah orang-orang berpakaian biru itu pergi, datanglah Xin yang ngos-ngosan.
"Dinda mana?" tanyanya cepat.
Leo menjawab dengan mata melirik ke kanan.
"Dia baik-baik saja?" tanya Xin lagi.
Zack dan Leo saling pandang, lalu menaikkan bahu.
"Bisa ya, bisa tidak," jawab Leo, "Tulang betisnya sedikit retak, menyebabkan kakinya harus di-pen."
"Di .... Apa!?" Xin kaget.
"Tenanglah." Leo terusik akibat teriakannya. "Dia baik-baik saja."
"Syukurlah kalau begitu."
Setelah itu, Xin menghampiri kaca dan melihat Dinda terbaring di atas kasur dengan sebuah monitor yang menampilkan detak jantungnya. Walaupun buram, Xin menghela napas lega karena tahu Dinda masih hidup.
"Jadi, semua korban sudah ditemukan?" tanya Xin.
"Ya."
"Bagaimana keadaan mereka setelah ditemukan?"
"Saat ditemukan, terdapat luka tusuk di perut Raven, sedangkan Bella, dia tidak apa-apa. Franklin ... terdapat luka bakar di wajahnya. Dinda juga demikian, tapi sedikit, dengan betis yang sudah terpotong setengah." Leo membuang napas.
Xin menatap ke bawah. "Ini karena kita. Semuanya terjadi karena kita. Seandainya saja kita tidak mengusir Dinda, mereka tidak akan terluka."
Leo dan Zack ikut-ikutan menatap ke bawah. "Kau benar." Dan sekali lagi, mereka kembali menyesali diri untuk yang kesekian kali.
~~~
"Bagaimana? Obatnya sudah bekerja?"
Agatha berkali-kali menanyakan itu kepada Dervin setelah beberapa menit yang lalu memakan beberapa pil yang diresepkan dokter untuk menghilangkan nyeri di tubuh dan wajahnya akibat dipukul.
"Kakak kira obatnya langsung bereaksi setelah masuk ke mulut?" Dervin yang kini dapat berbicara dan menetralkan suara seraknya memandang Agatha dengan tatapan datar.
"Aku hanya khawatir kepadamu." Agatha terkekeh. "Aku hanya ingin kau sembuh dan kita kembali ke rumah, lalu memulai semuanya dari awal, jika tidak ditangkap polisi."
"Bisakah?"
"Entahlah."
Agatha mendengus. "Kata Yessy, sesuai permintaan Mark kepada kepolisian, setelah kakakmu dan tiga lainnya ditemukan, kepolisian akan memulai penyelidikan, lalu ke pengadilan setelah kau dan Raven bisa berjalan."
"Aku sudah pasti akan dipenjara. Kau tidak akan ikut denganku," imbuh Agatha, sendu.
Dervin mengerjapkan mata. "Jika seandainya Kakak dipenjara, aku dan Kak Dinda akan senantiasa menjenguk Kakak satu bulan sekali."
Agatha tersenyum. "Kau tidak perlu melakukannya."
"Kau kakakku. Kakak angkatku. Kau sudah menjagaku sampai ...."
Dervin terdiam. "Bagaimana kabar Kak Dinda?"
"Yessy sedang ke sana. Dia sudah ditemukan. Tapi, melihat banyaknya petugas medis yang Yessy temukan sebelum kembali kepadaku untuk melapor membuatku berfirasat buruk. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi kepada kakakmu," jawab lelaki itu.
Dervin kembali diam. Ia tidak tahu harus menyahut apa.
"Kuharap kakakku baik-baik saja," ucapnya kemudian. Agatha mengenggam tangan Dervin dan menyemangatinya, dengan naluri penyemangat seorang kakak yang kental di dalam dirinya.
Tepat saat itu, pintu ruangan terbuka. Agatha dan Dervin menoleh bersamaan ke seorang gadis berambut sebahu yang berlari kecil menghampiri mereka.
"Bagaimana? Ada kabar baik?" tanya Agatha setelah gadis itu berada di sampingnya.
Yessy mengarahkan telapak tangannya ke depan. "Biarkan aku bernapas dulu."
Agatha dan Dervin saling pandang. Entah apa yang terjadi sampai-sampai Yessy berlari layaknya dikejar anjing liar di sebuah jalan yang sepi.
Beberapa menit kemudian, Yessy buka mulut. "Ada kabar baik dan kabar buruk."
Mendengar kata "baik", Agatha dan Dervin menghela napas lega. Namun, mendengar kata-kata selanjutnya, mereka berdua mengerutkan dahi.
"Kabar baik atau kabar buruk dulu?" tanya Yessy setelah duduk di kursi satunya, yang berada di samping Dervin dan Agatha
Agatha menoleh kepada Dervin. Ia mempersilakan anak itu untuk menjawab, membuat Dervin dilema.
Dervin ingin memilih kabar baik, tetapi takut mendengar kabar buruk. Jika dia memilih kabar buruk, maka dia tidak akan mau mendengar kabar baik karena sudah tahu kabar buruk itu sedang dirasakan Dinda, walaupun kabar baik itu sebenarnya dapat menenangkannya.
"Kabar baik." Akhirnya, Dervin memilih. Yessy menarik napas, lalu menyahutnya.
"Kabar baiknya, walaupun sempat mengalami mati suri, Dinda berhasil bertahan. Kabar buruknya ...." Yessy menghentikan ucapannya dan melirik Dervin, yang kini wajahnya berusaha untuk tenang dan saking berusahanya membuat wajahnya aneh dilihat-antara menahan diri untuk buang air kecil atau mata berair seperti habis kelilipan.
"Jangan panik atau berteriak," Yessy memohon. Dervin mengangguk setelah berdecak karena penantiannya akan kabar buruk kakaknya terjeda.
"Kabar buruknya, tulang betis Dinda retak, membuatnya harus di-pen dan tidak bisa berjalan normal beberapa minggu." Dervin melebarkan mata. Yessy menunduk agar tidak melihat matanya yang mulai dilapisi air.
"Kakakku cacat?" tanyanya setengah berteriak.
"Di-pen bukan berarti kaki Dinda dipotong, Dervin." Agatha menenangkan. "Itu hanya sejenis ... seperti tongkat ukuran mini yang dipasangkan ke tulang yang retak, lalu menahan tulang itu untuk retak semakin parah dan akhirnya patah."
Dervin ngilu mendengarnya. "Apakah tidak parah jika di-pen?"
"Tergantung tulangnya, retak atau patah," Yessy menjawab.
"Aku jadi merasa bersalah," sahut Dervin.
"Ini bukan salahmu. Ini salah jalang dari anak bajingan yang telah mengaktifkan bom atau apalah benda yang dapat meledak itu." Agatha memaki, membuat Yessy menoleh kepadanya dengan Dervin yang melebarkan mata--sebenarnya tidak menyukai dua kata makian itu.
"Agatha, perkataanmu." Yessy mengingatkan.
"Aku sudah tidak dapat menahannya lagi," sahut Agatha.
"Sudah. Aku tidak keberatan." Dervin segera menghentikan perdebatan mulut mereka. Ia menoleh ke kantong infusnya dan mendapati isinya hanya tinggal beberapa mililiter.
"Kak Agatha, kantong infusku mau habis," lapor Dervin. Agatha dan Yessy menoleh ke benda tersebut dan saling pandang.
"Siapa?" tanya Agatha.
"Aku saja," jawab Yessy.
Yessy bangkit lagi dari duduknya dan beranjak ke luar. Setelah beberapa saat, ia kembali dengan salah satu perawat yang membawa kantong infus baru.
"Sudah minum obat?" tanya perawat itu, dengan logat khas Britania-nya yang kental. Dervin mengangguk.
"Sudah merasakan efeknya?" tanyanya lagi.
Dervin menatap ke atas. "Hanya mengantuk."
Perawat itu tersenyum. "Kalau begitu, tidurlah." Ia pun telah selesai memasangkan kantong infus yang baru. "Anda?" Ia menunjuk Agatha.
"Mulai baikan. Luka tembaknya sudah tidak nyeri lagi," jawab Agatha saat tahu apa makna dari pertanyaan itu.
"Temanmu yang satunya? Di mana dia?"
"Dia sedang memeriksakan tekanan darahnya ditemani teman perempuannya." Agatha menunjuk Yessy yang tersenyum kikuk.
"Baiklah, kalau ada apa-apa, kalian bisa menekan bel itu." Si perawat beralih menunjuk ke sebuah sakelar yang dikhususkan untuk memanggil perawat untuk dimintai bantuan.
Agatha memutar malas bola matanya, sedangkan Yessy tersenyum malu melihat perawat wanita itu mendatarkan wajah karena mengingat Yessy malah datang menemuinya padahal ia bisa datang sendiri saat bel ditekan.
"Terima kasih atas arahannya," ucap Agatha. Si perawat membungkukkan diri dan melangkah pergi untuk ke luar.
"Nah, Yessy." Agatha tersenyum palsu. "Jika kita butuh bantuan, kita harus menekan bel itu. Jadi, kau tidak perlu ke luar untuk mencari perawat."
Yessy terkekeh kecil. "Aku tahu. Maafkan aku."
Dervin ikut-ikutan terkekeh melihat ekspresi Agatha yang berkali-kali lupa kalau bel di sebelah kasurnya--tepatnya di atas nakasnya--berguna untuk memanggil perawat. Jadi, tidak perlu menyuruh seseorang untuk ke luar dan mencari perawat yang hanya akan menghabiskan waktu.
"Dasar aku!"
~~~
Kali ini, tiga orang telah bangun dari ketidaksadaran mereka. Mereka bangun dengan cara masing-masing-Bella dengan menangis, Raven dengan berteriak, dan Franklin meringis.
Semua bangun kecuali salah satu di antara mereka--Dinda. Itu membuat Leo, Zack, serta Xin cemas. Seharusnya dia sudah bangun dari obat biusnya.
Kini, mereka bertiga diperkenankan masuk ke dalam kamar tempat Dinda terbaring. Leo dan Xin duduk, sedangkan Zack berdiri dan menatap temannya yang kini wajahnya terdapat beberapa luka lebam yang sudah diobati.
Xin tidak berani menggenggam tangan Dinda. Ia merasa bersalah atas perlakuannya. Leo dan Zack juga demikian. Selain karena lawan jenis, mereka merasakan hal yang sama.
Beberapa saat kemudian, jari tangannya tiba-tiba bergerak. Xin dan yang lain melihatnya dan sontak menoleh kepada Dinda. Gadis itu mulai menggerakkan mata di balik kelopaknya yang masih bersatu. Alisnya mencuram, hidungnya kembang-kempis, pertanda dia sudah mulai sadar dari tidurnya.
Dinda pun membuka matanya, menetralkan rasa pusing menyengat akibat menatap lampu, dan menoleh kepada ketiga rekannya yang sejenak berusaha dikenalinya.
~~~
Hola!:D
Maafkan kalau banyak typo. Habis tamat saya revisi, insyaallah.
Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)
Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Cu next time!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top