42. Ditemukan

Yessy memalingkan wajah. Ia tidak peduli dengan pertanyaan dari dua gadis itu. "Saat kami terluka, kalian datang." Namun, James menjawabnya dengan dingin.

Kimberly dan Xin menatap ke bawah.

"Apa yang kalian ingin lakukan di sini?" tanya James setelah mereka tak menyahut.

"Menanyakan kabar kalian dan Dervin," jawab Kimberly.

"Kenapa mendadak kalian menjadi perhatian seperti ini?" tanya Yessy, melirik tanpa menggerakkan kepala, "Kurasa beberapa hari yang lalu kalian membencinya dan kakaknya."

Kimberly dan Xin terdiam lagi. Perkataan Yessy membuat sebuah kejadian yang lalu terputar di kepala. Di mana, Kimberly mengemasi barang Dinda di dalam kopernya yang berisi foto-foto adik dan keluarganya, serta beberapa berkas penting. Sedangkan Xin mengemasi koper Franklin karena dapat menebak kalau lelaki itu akan mengikuti Dinda.

"Kenapa kalian berubah?" Suara Yessy menginterupsi. "Jika kalian ke sini untuk minta maaf, lebih baik kalian pergi. Dervin tidak akan pernah memaafkan orang yang telah membuat Dinda menangis."

Yessy kembali menunduk. James yang tadinya terduduk tegak mulai menyandarkan kepalanya lagi ke bahu gadis itu.

Kimberly dan Xin saling pandang. Mereka lalu menoleh kepada Agatha yang menggeram karena keributan kecil mereka.

"Kenapa kalian begitu ribut, Yessy?" tanyanya serak, setengah berbisik, tetapi masih dapat didengar dari jarak beberapa meter.

"Jangan salahkan kami. Salahkan saja teman-teman intelijen Dinda yang berubah itu," sahut Yessy. Agatha membuka matanya perlahan, lalu menatap beberapa derajat ke depan, melihat dua gadis yang merupakan salah satu dari musuhnya berdiri menatapnya.

"Kenapa kalian ke sini?" Pertanyaan itu terlempar. "Tidak ada Dinda di sini. Lebih baik kalian pulang ke New York, kami bisa mengurus teman yang kalian anggap musuh itu."

Agatha bangkit dari tidurnya sambil memegangi lengannya yang nyeri. Hati Kimberly dan Xin sesak mendengarnya.

"Dervin baik-baik saja. Pergilah!" Bak mengusir, Agatha menyuruh, membuat Kimberly dan Xin menatapnya tak mau.

"Kami ke sini dengan damai, tidak membawa borgol untuk menangkap kalian. Tetapi, apakah ini yang seharusnya kami dapatkan? Perlakuan kalian ini?" Xin menahan Kimberly untuk maju menghampiri Agatha.

Agatha berdecak. Ia tersenyum kecil. "Kalian pantas mendapatkannya. Dinda diusir tanpa alasan yang jelas, maka kalian juga harus mendapatkannya," sahutnya.

Kimberly yang memberontak di genggaman Xin perlahan diam. Raut wajahnya berubah, ia menjadi menyesal, lalu melepaskan tangan Xin dari tubuhnya perlahan.

Setelah itu, suara kaca pecah dari dalam ruangan Dervin terdengar. Semua orang sontak mendongak dan terbangun, termasuk Yessy dan James yang ingin tidur, serta Nadia yang tertidur pulas.

Agatha perlahan bangkit dan masuk ke ruangan Dervin tanpa meminta izin kepada dokter dulu. Yessy dan James ada di belakangnya, dengan Nadia yang menatap Kimberly dan Xin, seolah bertanya-tanya sejak kapan mereka berdiri di depannya.

Agatha berhenti sesaat melihat pecahan vas bunga bening di lantai. Ia mendongak, memeriksa keadaan Dervin, dan ternyata dia sudah sadar.

Dia ingin seseorang menemuinya, karena itulah ia menepis vas kaca di atas nakas. Berteriak memanggil tidak mungkin dilakukan karena hidung dipasangi suatu alat yang tersambung ke sebuah tabung.

"Ada apa, Dervin? Kau butuh bantuan?" tanya Agatha, menghampiri dan berdiri di sampingnya.

Dervin berusaha mengumpulkan suara untuk menjawab, dan sementara itu, ia memakai bahasa tubuh.

Dervin menggeleng.

"Butuh dokter? Aku akan memanggilnya," tanya Agatha lagi, sambil memperhatikan kantong infus yang tergantung di sebuah tiang kecil beroda empat.

Dervin kembali menggeleng.

"Kakak," sahut Dervin, dengan suara serak dan sedikit suara yang terkumpul.

Agatha mengerjapkan mata, tidak mengerti.

"Kak Dinda." Dervin menoleh ke sana dan ke sini, mencari sosok kakaknya itu. Agatha mendengkus, lalu mengelus kepala Dervin, menyebabkan anak itu menatapnya penuh harap.

"Dia belum ditemukan," kata Agatha, "Aku tahu ini berat bagimu. Tapi, yakinlah kalau Dinda akan selamat."

Dervin menghela napas panjang. "Kak Dinda."

Agatha hanya menunduk dalam mendengar Dervin memanggil kakaknya lagi. Yessy, James, dan Nadia, serta Kimberly dan Xin yang ikut masuk, hanya menatapnya, iba.

~~~

12 jam setelah bom itu meledak, tim penggali-tak dapat mendatangkan mobil-mobil berat untuk mengangkat bangunan karena jalan yang sempit-berhasil menemukan seorang lelaki dengan rambut coklat bergelombangnya yang kotor dengan tanah. Beberapa jam kemudian, lelaki lain yang diketahui bernama Franklin Daurdedale juga ditemukan tak jauh dari lelaki tadi berada.

Tersisa dua orang yang mereka cari. Bersama tim Mark yang tetap membantu dan melawan kantuk, beserta Leo dan Zack yang mengangkat retakan tembok, mereka mencari Bella dan Dinda.

Franklin dan Raven di bawa ke rumah sakit. Setelah sampai, suasana rumah sakit sontak menjadi ramai. Bak mayat, kulit dua lelaki itu pucat tak berdarah. Beruntunglah mereka dapat diselamatkan dalam keadaan nadi masih berdenyut pelan.

Franklin sempat sadar saat sampai di sana. Pandangannya buram-jelas, membuatnya mengedip beberapa kali sekaligus mengendalikan pusing. Lalu, ia masuk ke sebuah ruangan. Benda kecil yang tajam menusuk kulit tangannya, membuat pandangan Franklin buram, sebelum alat bantu napas menempel di hidungnya dan membuatnya dunianya menjadi gelap.

Saat itu, Kimberly dan Xin yang mengetahui kalau rekannya telah ditemukan langsung pergi ke sana. Mereka melihat Franklin dari kaca buram depan ruangannya, terbaring lemah dengan sekujur tubuh kotor oleh tanah, bahkan bau tembok dan tanahnya sendiri sempat menyebar di koridor untuk sementara.

Tim medis mulai melakukan aksinya. Mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya, memeriksa bagian lain, lalu mengobatinya, dan menghentikan serta membersihkan darah yang keluar.

Satu jam pun berlalu. Akhirnya, luka terbuka ringan di lengan Franklin sudah dijahit dengan sempurna.

Tim medis itu keluar dari ruangan. Mereka berhenti sejenak melihat dua gadis yang tampaknya mengenal lelaki yang baru saja mereka tangani.

"Ada apa, Nak? Kalian kenal dia?" tanya salah satu di antara mereka.

Kimberly dan Xin mengangguk.

"Apakah dia baik-baik saja?" tanya Xin, cemas.

Si penanya tadi tersenyum. "Dia baik-baik saja."

Kimberly dan Xin menghela napas lega.

"Namun, kalian belum boleh menjenguknya. Dia harus beristirahat untuk sekarang."

Dua gadis itu kembali mengangguk.

Lelaki itu, serta rekan-rekannya, pamit untuk pergi. Kimberly dan Xin kembali menatap ke dalam melalui kaca, melihat Franklin yang terbaring lemah.

Mereka mendadak merindukan Dinda. Mereka ingin minta maaf. Mereka janji tidak akan mengulangi perbuatan mereka. Namun, dia tidak ada di rumah sakit, dia masih dicari.

Kimberly menoleh kepada Xin. Temannya itu juga merasakan perasaan yang dirasakannya. Matanya sudah berair dan siap menumpahkan air mata penyesalannya. Kimberly hanya membuang napas melihatnya.

"Kita tunggu Franklin sadar, di sini," kata Kimberly. Xin mengangguk, lalu duduk di kursi tunggu yang terbuat dari logam itu.

Sementara itu, di tempat lain, kembali ditemukan seorang gadis dengan rambut coklatnya yang terikat dari reruntuhan mansion. Leo segera dapat mengidentifikasi wajahnya-Bella dengan bekas darah mengalir dari hidungnya.

Tinggal Dinda, dan itu membuat Leo cemas. Ia langsung meningkatkan tenaganya lagi untuk mengangkat reruntuhan lain. Bella dimasukkan ke dalam ambulans dan melesat ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian, mobil itu kembali, menunggu korban terakhir, yaitu Dinda.

Saat mengangkat reruntuhan, Leo sempat meneteskan air mata. Ia teringat perlakuannya kepada Dinda beberapa hari yang lalu. Dia mengusirnya, seakan-akan Dinda adalah gadis hina. Sekarang, ia begitu menyesal, sangat menyesal kepada gadis itu.

Leo terhenti saat melihat sepatu bagian kiri, masih dipakai, terlihat saat ia, Zack, dan dua rekan Mark mengangkat reruntuhan. Leo segera berteriak, "Ada kaki!" dan itu membuat semua orang berhambur ke arah mereka dan menolong keempat lelaki itu untuk mengangkat lebih banyak tembok.

Namun, mereka terhenti. Sebuah logam, tajam di sisi bawah dan atasnya, mirip dengan alat untuk memotong besi dan benda-benda keras lainnya, berada di atas betis kaki itu. Benda itu memisahkan betis si pemilik dengan lututnya-setengah alias terkoyak, membuat beberapa orang berteriak histeris dan terbelalak.

Beberapa mengangkat benda logam itu dengan hati-hati agar tidak melukai orang-orang dan diri mereka sendiri. Kali ini, mereka tahu apa yang terjadi-logam tajam yang tipis itu telah memotong setengah sebuah kaki.

Darah terlihat tergenang di bawahnya, membuat Leo dan yang lain bergegas mengangkat reruntuhan-reruntuhan yang lain. Perasaan Leo mulai menjadi tidak enak mengingat Dinda adalah korban terakhir.

Akhirnya mereka tahu siapa pemilik betis yang terpotong itu. Dinda Fatimah dengan kulit pucat, bergeming telungkup, dengan mulut menyentuh cairan merahnya sendiri.

Leo dan Zack tidak berdaya. Mereka tidak membantu yang lain, yang berusaha mengangkat Dinda dari sana dan membawanya ke ambulans beserta betisnya yang memperlihatkan daging dan tulangnya.

Zack segera menyadarkan Leo untuk pergi ke rumah sakit, mengikuti Dinda. Leo langsung beranjak ke mobilnya, kali ini tidak menahan air matanya untuk jatuh, lalu melaju, mengiringi ambulans yang mengantar Dinda.

Di dalam sana, Dinda diperiksa. Betisnya tadi ditutupi selimut, menyembunyikan luka koyaknya yang parah dari orang-orang yang melihat.

Mereka membuka matanya dan melihat mata Dinda sedikit meredup. Tangannya diraba, denyut nadi dirasa, dan lemah.

Setelah sampai di rumah sakit, para perawat yang berpengalaman itu mengeluarkan Dinda dari ambulans dan memasukkan ke rumah sakit. Yang lain mengantarkan Dinda ke ruang operasi, salah satu yang tinggal meminta agar Dinda ditangani oleh ahli bedah.

Permintaannya dikabulkan. Setelah dipanggil, tiga dokter bedah keluar dari ruangannya. Mereka bergegas mengikuti orang itu ke tempat Dinda berada. Leo dan Zack yang ingin masuk bersama mereka ditahan.

"Sampai operasi selesai, kalian tidak boleh masuk," ujar orang yang menahannya. Leo yang terisak sempat marah kepadanya, tetapi Zack segera menenangkan dan mengatakan dalam bahasa isyarat kalau semua ini demi Dinda.

Leo berangsur tenang. Tetapi, air matanya keluar dengan deras setelah itu. Tidak ada kata yang dapat mendeskripsikan keadaannya selain menyesal. Zack hanya mengelus bahunya, menenangkannya, padahal ia juga menangis mengingat Dinda diusir dari apartemen.

~~~

Hola!:D

Maafkan kalau banyak typo. Habis tamat saya revisi, insyaallah.

Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)

Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Cu next time!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top