41. Penyesalan

Suasana begitu ramai sekarang. Mansion yang dulunya berdiri kokoh kini roboh. Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi di sana. Semua orang bersedih karena anak pemilik rumah juga ikut-ikutan tertimpa bangunan itu bersama ketiga temannya.

Tak menunggu pagi, Mark dan semua temannya bergotong-royong mengangkat reruntuhan. Mereka bertekad menyelamatkan Bella, Raven, dan dua musuh yang kini mereka panggil teman.

Nadia dan Yessy dipersilakan untuk ke rumah sakit, menyusul Agatha dan dua lainnya. Mereka sempat keberatan, tetapi karena khawatir dengan Dervin, mereka pun ke sana, diantar oleh polisi.

Kali ini, polisi membebaskan mereka, sesuai permintaan Mark. Tak mau buang waktu, ia mengakui kejahatannya, kejahatan teman-temannya, dan semuanya, tetapi ia berharap polisi tidak memenjarakan mereka sebelum menemukan Bella dan yang lainnya.

Polisi menyanggupi. Akhirnya, mereka membantu Mark dan yang lain. Yessy dan Nadia sudah sampai di rumah sakit. Mereka bergegas masuk ke sana, sempat bertanya di mana ruangan para temannya, dan orang yang ditanya hanya menjawab terbata-bata akibat mengenal Yessy dan Nadia.

Yessy dan Nadia bergegas ke ruangan itu. Mereka menaiki lift, menggigit bibir, khawatir dengan keadaan teman-temannya. Terlebih Dervin, yang ditembak dua kali di punggung. Anak itu tidak begitu kebal dengan peluru, akan berbahaya jika dia tidak bisa bertahan.

Nadia dan Yessy berharap ketiga temannya bertahan. Selama ini, mereka selalu bersama. Raven? Persetan dengan Raven, dia bukan teman Yessy dan Nadia lagi. Pengkhianat itu telah mendapatkan karmanya.

Setelah pintu lift terbuka, mereka berhambur keluar. Mereka bertanya kepada perawat dan dokter yang lalu-lalang di koridor untuk mendapatkan lokasi spesifik.

Setelah mendapat jawaban yang diinginkan, mereka pergi ke sana. Mereka berhenti saat melihat seseorang, di mana Agatha duduk di depan sebuah ruangan dengan lengan sudah diperban dan sambil memegang kepalanya.

Tidak ada tanda-tanda kalau lelaki itu merasakan sakit di tubuhnya. Namun, Yessy dan Nadia bisa melihat kalau lelaki itu mengerang dan menangis.

Yessy dan Nadia, bergegas menghampirinya.

"Agatha," panggil Nadia. Agatha mendongak pelan dan menatap dua gadis itu dengan mata sembab.

"Ada apa?" tanya Yessy yang melebarkan mata.

Agatha menghapus air matanya. Ia berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata sebelum mengatakan apa yang terjadi.

"Katakan kepada kami. Ada apa, Agatha!?" Nadia mendesak, membuat Agatha gagal menahan air matanya dan kembali menunduk sambil memegang kepalanya.

"Aku tidak tahu. Aku merasa bersalah," jawab Agatha dengan suara parau, "James dan Dervin, mereka selamat. Hanya saja ... hanya saja, Dervin ... dia .... Aku merasa sangat bersalah."

Agatha menarik rambutnya dan menangis keras. Nadia duduk di sampingnya memeluknya, dan membujuknya dengan lembut-bujukan yang baru pertama kali dikeluarkannya.

"Agatha, apa yang terjadi? Kau seharusnya senang karena James serta Dervin selamat," sahutnya. Agatha perlahan meredakan tangisnya.

" Ada apa? Katakan saja. Kau tidak bersalah di sini. Ini salah Bella dan si pengkhianat itu," sambung Nadia.

"Aku tahu aku tidak bersalah. Tapi, Dervin ... aku merasa begitu bersalah kepadanya." Agatha menyahut, kembali menghapus air matanya.

"Ada apa dengan dia sebenarnya? Sehingga kau merasa begitu bersalah sekarang?" tanya Yessy, penasaran. Agatha menenangkan diri, lalu mendongak, menatap mereka berdua bergantian, dan menjawab.

"Akibat dua peluru yang mengenai tubuhnya, dengan salah satu bersarang di punggungnya, membuat Dervin mungkin tidak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama. Kata dokter detak jantungnya lemah, aku takut dia pergi."

Yessy dan Nadia kaget. "Kau tidak meracau, 'kan? Dervin anak yang kuat. Dia-"

"Nadia," potong Agatha, malas, "Itulah yang membuatku menangis."

"Tapi, dia masuh hidup, 'kan?" Mulut Nadia bercerocos.

"Nadia!"

"Ma-Maaf," pinta Nadia saat Agatha berteriak, memperingatkannya.

"Tidak mengapa, Agatha. Yakinlah kalau dia bisa bertahan." Yessy menyambung. "Aku yakin dia tetap bertahan. Kau juga seharusnya begitu."

Agatha mengangguk pelan. Dirinya mulai tenang perlahan.

"Apakah kami bisa menjenguknya?" tanya Yessy, menatap ke ruangan yang ada di belakang Agatha. Terlihat seseorang berbaring di sana, di atas kasur rumah sakit, dengan alat di sekujur tubuhnya. Tidak jelas siapa karena kaca yang digunakan merupakan kaca buram, tetapi Yessy yakin itu adalah Dervin.

"Dokter tidak memperbolehkan. Karena itulah aku di luar," jawab Agatha dengan suara normalnya.

"James?" Gantian Nadia bertanya.

"Dia sedang diobati. Aku tidak tahu dia dibawa ke mana karena sibuk menyesal dan menangis." Agatha menghela napas.

Nadia mengelus pelan bahunya, membuat Agatha menoleh dan menatapnya yang cemas.

"Bagaimana dengan Dinda dan Franklin?"

"Kami tidak tahu. Tim kepolisian dan petugas yang bekerja pada hal-hal menyelamatkan orang dari reruntuhan sedang berusaha mencari mereka."

Agatha kembali menghela napas.

"Aku juga merasa bersalah kepada Dinda, karena tidak melindungi Dervin."

"Sudah, Agatha. Jangan dipikirkan," pinta Yessy, "Dinda tidak akan marah kepadamu. Ia akan marah kepada Bella dan Raven."

Agatha mengangguk pelan. Ia pun meminta sebotol air putih dan Yessy melesat ke toko kecil yang disediakan rumah sakit di masing-masing lantai.

~~~

Leo bangun saat ponselnya berdering nyaring. Ia sempat menggeram kesal dan nyaris melemparkan ponselnya itu ke lantai. Tidurnya terganggu, padahal masih tengah malam. Sambil mengucek mata, ia melihat layar ponselnya, di mana salah satu intelijen kenalannya, yang sekarang berada di Washington, meneleponnya.

Jarang sekali temannya itu menelepon, membuat Leo mengangkatnya. Karena berteman sejak lama, Leo sempat melemparkan makian karena telah membangunkannya.

Ia menyimak perkataan intelijen itu yang kini sedang fokus menyelesaikan misi bersama rekan-rekannya, setelahnya. Temannya itu langsung ke inti, membuat Leo sempat menanyakan apakah dia tidak sedang mabuk atau di bawah pengaruh minuman keras, dan dia menjawab tidak.

"Aku bersumpah, Leo. Sekarang, karena aku menyamar menjadi polisi demi misi, aku tahu apa yang terjadi. Dinda dan Franklin ditimpa reruntuhan mansion Bella."

Leo terdiam, sebelum akhirnya menjawab, "Bagaimana bisa mereka ada di sana?"

"Itulah yang berusaha kuselidiki. Kudengar kalau rekan Bella bernama Mark Watterson menculik Dinda, lalu membawanya ke dalam mansion, menyiksanya entah karena motif apa, sebelum Franklin dan Deadly datang untuk menyelamatkannya, lalu bom yang Bella buat aktif entah kenapa, membuat bangunan itu roboh dan menimpa mereka."

Leo diam. Ia teringat dengan perkataan Franklin lewat telepon di mana dia ingin meminta bantuannya untuk mencari Dinda.

Apakah penculikan Dinda oleh Mark itulah yang dimaksud Franklin?

"A-Apakah kami boleh ke sana?" tanya Leo.

"Perjalanan dari New York ke Washington memakan waktu 4 jam, kau ingat? Sekarang jam 1 dini hari."

"Aku tidak peduli." Suara Leo bergetar. "Kami akan ke sana. Terima kasih sudah memberi kabar."

Leo memutus sambungan sebelum lawan bicaranya menyahut. Ia bergegas mengambil mantel, kunci mobil, lalu membangunkan Xin, Kimberly, dan Zack.

"Ada apa, Leo? Sekarang masih tengah malam," ujar Xin yang membukakan pintu, sebelum ditarik paksa untuk turun ke bawah, bergabung dengan yang lain.

"Masih ingat dengan perkataanku kalau Franklin membutuhkan kita untuk mencari Dinda?" tanya Leo setelah semua orang berada di ruang tengah.

Kimberly mencuramkan alis. "Aku tidak ingin membahas mereka lagi. Aku ingin ti-"

"Mereka ditimpa reruntuhan sekarang," potong Leo.

Semua orang tak dapat menahan keterkejutan mereka. "Bagaimana bisa?"

Leo pun menceritakan semua yang didengarnya dari temannya. Mereka menyimak, kaget, dan mendadak khawatir.

"Kita harus ke sana. Harus!" kata Kimberly yang disambut anggukan.

"Kalau begitu, persiapkan diri kalian! Aku akan memanaskan mobil terlebih dahulu dan kita akan berangkat ke Washington." Leo melesat keluar setelah membuka pintu dan masuk ke mobil.

Kimberly, Xin, dan Zack langsung mengambil mantel mereka. Mereka juga membawa senjata, berjaga-jaga ada perompak atau preman yang akan mengikuti mobil mereka untuk melucuti uang.

Setelah mengunci pintu apartemen, mereka bergegas ke mobil. Leo yang sudah mendapat lokasi di mana Dinda dan Franklin berada lewat temannya langsung melaju ke sana.

Udara dingin tidak dipedulikan karena mantel berbulu mereka. Tidak ada yang berbicara, mereka masing-masing menyesali perbuatan diri karena tidak membantu Franklin.

Terlebih Dinda, teman yang mereka usir. Dia hanya melayangkan tamparan kecil di pipi, tetapi mereka membalasnya dengan balasan yang sangat tidak sepadan.

Mereka menyadari perbuatan mereka, setelah tahu kalau Dinda dan Franklin terluka.

Mereka menyesal. Begitu menyesal. Mata mereka berlinang karena mengingat perlakuan meeka yang seperti orang jahat.

Karena hening dan radio pun dimatikan, maka perjalanan menjadi cepat. Leo melaju ke hutan Hoh, sempat tak tahu di mana jalan masuk ke mansion, tetapi melihat bekas beberapa ban mobil membuat Leo mengikutinya dan masuk ke dalam lewat sebuah jalan.

Akhirnya, setelah setengah jam melewati jalanan setapak dan berbatu, mereka sampai di mansion.

Leo dan yang lain hanya melebarkan mata. Reruntuhan itu lebih dari ekspetasi mereka.

~~~

Hari sudah mulai beranjak pagi. Agatha yang kelelahan-akibat menangis dan melawan rekan-rekan Bella-tertidur pulas. Ia terbaring di kursi tunggu ruangan. Di sampingnya, Nadia duduk sambil menunduk, mendengkur nyaman tanpa memedulikan lehernya yang pegal.

Yessy menyiapkan obat James. Di bahunya, kepala James bertengger nyaman. Ia sudah bangun sejak tadi, tertidur beberapa jam di kursinya. Namun, ia masih ingin tidur, membuatnya menyandarkan kepala ke bahu Yessy yang tak henti bergerak untuk menyiapkan obatnya.

"Ini. Makan," suruh Yessy. James mengangkat kepalanya dari bahu Yessy, menerima sodoran tangannya, lalu meminum obat yang diambilnya dari sana, sembari menelan air agar obatnya cepat masuk ke dalam tubuh.

Yessy tersenyum kecil saat James kembali menyandarkan kepalanya ke bahunya. Setelah meminum sedikit air dari botolnya, Yessy menguap, mengantuk karena sedari tadi ia menjaga Agatha, Nadia, dan James.

Belum sempat menutup mata, Yessy dan James terinterupsi dengan suara langkah. Langkah-langkah itu mengarah ke ruangan di mana Dervin berada. Yessy dan James mendongak, menatap si empunya. Mereka menyipitkan mata, memasang wajah datar, saat tahu mereka merupakan rekan Dinda yang mengusir Dinda hari itu.

Kimberly dan Xin berhenti untuk menatap mereka. Kali ini, mereka memasang wajah bersalah dan menanyakan keadaan mereka, serta Agatha dan Nadia.

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top