4. Si Kepang Dua

Hari sudah beranjak sore. Biasanya tak banyak pekerjaan yang dikerjakan oleh intelijen Elite pada saat seperti ini. Sebagian sudah pulang, beristirahat, lalu kembali jam 7 malam, bekerja lagi sampai jam 1 pagi. Yang tidak pulang, bisa menyelesaikan pekerjaannya agar pada saat malam mereka bisa tidur dengan nyenyak--atau berkumpul bersama keluarganya, makan malam bersama.

Jam-jam sepi seperti ini sudah saatnya beraksi. Jalan-jalan malam ditiadakan. Saatnya bekerja lembur mengusut kasus pengeboman. Dinda, Zack, Xin, dan tiga lainnya sudah siap.

Namun, sebelumnya Xin harus membeli piza dulu. Kalau tidak, mereka semua akan terganggu dengan dirinya yang menginginkan makanan bundar tersebut.

Setelah urusan per-piza-an itu selesai, barulah penyelidikan dimulai, di kantor.

"Presensi!"

"Dinda Fatimah hadir."

"Franklin Daurdedale hadir."

"Xin Lee Goya hadir!"

"Kimberly Merry hadir."

'Zacka Francisco hadir.'

"Dan aku, Leodan Jackson ... hadir." Leo mengakhiri perpresensian anggotanya, memastikan mereka semua hadir, dan lebih utamanya, siap.

"Kalian sudah siap?" tanya Leo, memandang serius semua orang yang duduk di depannya.

"Apakah kami terlihat tidak siap?" sahut Kimberly yang memain-mainkan pulpennya. Leo memutar malas bola matanya. Gadis itu selalu menyahutnya, tidak peduli jika mereka sedang berbicara serius.

Xin menyenggol lengan Kimberly. Kimberly menatap tajam ke arahnya, lalu kembali menatap Leo.

"Ayo kita mulai!" Leo kembali mengakhiri percakapan. Sekarang, mereka berada di sebuah ruangan khusus, di dalam ruangan Peregryne juga, tetapi hanya untuk membahas kasus-kasus yang harus mereka tangani.

Sekali tepukan, lampu ruangan mati. Seluruh tembok terbuka—sisi kanan mengeluarkan berbagai persenjataan yang telah disediakan IIS, sisi kiri mengeluarkan beberapa komputer untuk peretasan dan pencarian informasi, sisi atas mengeluarkan sebuah proyektor, dan sisi belakang--dekat dengan pintu, mengeluarkan mesin pembuat kopi.

Sisi depan yang mulanya bertembok hitam, berubah menjadi putih. Itu untuk memudahkan proyektor menampilkan gambar di dinding, tidak perlu menggunakan layar proyektor yang sedikit-sedikit digulung, sedikit-sedikit ditarik agar memanjang. Lagipula, lampunya sudah mati. Proyektor akan dengan mudah menampilkan gambar meski hanya di dinding.

Cahara remang biru bercampur putih dari proyektor menerpa wajah-wajah para anggota Peregryne itu. Semua muka seketika menjadi serius.

Gambar Islamic Cultural Center of New York terlihat di depan. Leo langsung memulainya.

"Islamic Cultural Center of New York merupakan masjid pertama di New York. Terdiri dari sekolah, perpustakaan, museum, ruang kuliah, dan juga tempat beribadah. Berlokasi di 1711 Third Avenue. Jauh dari kantor, tapi kekuatan bom yang telah meledak di sana sampai ke sini. Sekarang, satu dari lima fasilitas tersebut sudah roboh, dan pelakunya masih dalam pencarian polisi.

"Pengeboman terjadi kira-kira 15 menit setelah Dinda pergi. Kita tiba di sana tepat 1 menit setelah bom itu meledak. Kalian sudah lihat bangunan masjidnya setelah dibom, 'kan?" Leo membuang napas. "Rusak."

Dinda menunduk.

"Sebelum kejadian, kau berada di sana." Dinda kembali menatap Leo. "Apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan, Dinda?"

Dinda menggigit bibir. "Seseorang. Tapi, aku tidak yakin."

Leo mengernyit. Yang lain menatapnya, dengan tanda tanya di kepala.

"Sebelumnya, dia terlihat seperti preman dengan rambut hitam tak beraturan. Dia mencurigakan karena memakai bandana saat beribadah, padahal jelas sekali ada larangan dilarang mengenakan penutup wajah." Dinda mengingat ciri-ciri khas lelaki yang ditemuinya tadi siang. "Saat pengeboman terjadi, dia menolong seorang nenek. Kukira dia orang jahat--atau pelakunya, tapi jika itu dia, tidak mungkin dia menolong seorang nenek. Seharusnya dia melarikan diri saat itu."

"Kau mengingat ciri-ciri wajahnya?" Kimberly bertanya.

"Hanya mata," jawab Dinda. "Mata berwarna kelabu, mirip denganku."

"Itu berarti dia orang Asia," sahut Xin. "Warna mata orang Asia asli dominan kelabu daripada coklat. Seperti matamu."

Dinda mengangguk, membenarkan anggapan Xin.

"Kalau begitu, dia berasal dari Asia." Leo menginterupsi. "Kita hanya perlu mencari yang lain."

Hening.

"Zack, Xin, retas CCTV di masjid! Perhatikan bagian luar, dalam, sisi kanan, kiri, depan, belakang, di mana pun CCTV itu berada!" suruh Leo setelah beberapa detik terbuang percuma. "Cari orang-orang yang terlihat mencurigakan sebelum dan sesudah kejadian. Setelah itu, selidiki mereka!"

"Dinda, Frank, catat apapun yang telah mereka temukan. Setelah itu, berdiskusilah!" Dinda dan Franklin mengangguk. Mereka langsung mengeluarkan buku dan pulpen dari dalam laci meja.

"Dan aku?" tanya Kimberly.

Leo menghela napas. "Buatkan aku kopi." Leo bangkit dari duduknya dan menuju ke arah pintu keluar. "Setelah aku kembali dari toilet, kopi itu harus ada di depan kursiku."

"Apa? Kenapa aku? Kau 'kan bisa membuatnya sendiri?" sahut Kimberly, tak terima. Langkah Leo terhenti. Ia membalik badannya, menatap datar gadis itu.

"Pokoknya buatan aku kopi. Jika tidak, kau tahu sendiri akibatnya." Leo melanjutkan langkahnya, membuka pintu, lalu keluar. Kimberly memendam amarah di tempat. Ia bangkit, lalu menuju ke arah mesin pembuat kopi dengan langkah dihentak-hentakkan.

"Sabar," ejek Xin di belakangnya. Gadis itu tersenyum sambil memakan potongan pizanya.

"Xin!" teriak Kim, berusaha menahan permainan fisiknya.

"Maaf." Xin terkekeh. Kimberly tidak bisa diajak bercanda jika mood-nya sedang memburuk.

Kimberly mendengkus. Ia beralih fokus ke mesin pembuat kopinya daripada meladeni Xin yang terkekeh.

Xin kemudian menatap layar komputernya. Zack berhasil meretas kamera pengawas masjid dan saatnya membagi tugas--mencari sesuatu yang mencurigakan di sekitar sana.

Dinda dan Franklin yang tidak ada pekerjaan hanya diam menatap mereka. Xin dan Zack merupakan ahlinya jika disuruh meretas ataupun menyelidiki seorang tersangka.

Mereka hanya akan menulis jika dua peretas handal itu menemukan sesuatu.

Zack mengetik di ponselnya, lalu membunyikannya. '5 detik setelah Dinda sampai di sana, seseorang yang tadi dia curigai datang.'

Dinda melebarkan mata. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Zack.

Zack mengetik lagi. 'Dia tidak membawa apapun. Saat di dalam pun dia tidak melakukan apa-apa, hanya ke tempat ... aku tidak tahu namanya--di sayap kiri bangunan, lalu kembali ke aula utama masjid beberapa detik setelah ibadah dimulai.'

Dinda memperhatikan rekaman CCTV yang menunjukkan pergerakan lelaki itu. Benar kata Zack, dia tidak melakukan apa pun selain berjalan, berhenti, dan berjalan lagi.

"Kurasa dia bukan pelakunya." Xin mengambil alih pembicaraan. "Dia tidak menuju ke titik di mana bom meledak. Dia membelakanginya, dan Dinda berdiri beberapa meter di belakang dia."

"Jadi, dia tidak melakukan apa pun selama berada di dalam masjid. Hanya beraktivitas seperti orang lain dan ikut menjadi korban pada pengeboman itu." Xin menarik kesimpulan. Zack mengangguk, menyetujui kesimpulan Xin.

Zack kembali memperhatikan CCTV-nya sambil mengetik tanpa menoleh ke arah layar ponselnya.

'Pengeboman ini terjadi dengan halus. Pelakunya bermain secara tenang. Kita tidak dapat mengidentifikasi pelakunya di antara banyaknya orang. Entah dia berbaur atau bersembunyi di suatu tempat di dalam masjid ... aku tidak bisa menemukannya.'

"Lagipula siapa yang menyuruhmu untuk mencari pelakunya? Bukankah kita hanya mencari orang-orang yang terlihat mencurigakan?" tanya Kimberly yang telah selesai membuat secangkir kopinya. Ia meletakkannya di depan kursi Leo dan menatap Zack.

Zack mendengkus. 'Diamlah! Fokus saja dengan kopimu.'

Kimberly melotot dan mencuramkan alis. Ia mendudukkan diri dengan kasar di atas kursinya, lalu mengomel. "Entah mimpi apa aku semalam. Hari ini aku benar-benar sial!"

Dinda dan yang lain mendengarnya. Kimberly tidak suka ia tidak mendapat jatah saat semua rekannya sibuk berkonsentrasi. Sederhananya, ia ingin membantu.

Dinda mendadak mendapatkan sebuah ide.

"Kim, mau menggantikanku?" tawar Dinda. Kebetulan, ia kelelahan. Siang tadi, tenaganya sudah terkumpul. Namun, karena ledakan dan tubuhnya yang menghantam keras aspal halaman masjid membuat staminanya turun.

Kimberly sontak menoleh. "Sungguh?" Matanya berbinar.

Dinda menaikkan alisnya.

"Kau serius, Dinda?" Pertanyaan itu tidak datang dari Kimberly, tetapi dari Franklin. Selain menghindari Thomas, dia juga menghindari Kimberly. Gadis itu akan mendadak centil dan berusaha mencuri perhatiannya jika bekerja bersamanya. Untunglah Leo pengertian, dia hanya bekerja dengan Dinda, walaupun kadang-kadang bersama gadis itu juga.

Dinda terkekeh geli melihat respons Franklin. Dia keberatan, dan ia tahu itu. Dinda mengiyakan, beralasan kalau ia sangat mengantuk. Franklin berdehem kecil menyahutnya, tahu kalau ia sengaja melakukan itu. Daripada Kimberly tidak ada pekerjaan yang nantinya akan membuat mereka semua rusuh.

"Ah, terima kasih!" Kimberly girang. Akhirnya, ia mendapat pekerjaan. Bonus; bekerja bersama Franklin. Ia akan berusaha mengalihkan perhatiannya kepadanya, kalau bisa, mengingat Franklin seorang lelaki dingin yang mencair jika di dekat Dinda.

Dinda duduk di bangku lain, mempersilakan Kimberly duduk di dekat Franklin dan bekerja bersamanya.

Kimberly duduk di sampingnya. Franklin meliriknya sebentar, lalu mendengkus kasar.

Tepat saat itu, Leo kembali dari toilet. Ia menuju dan duduk di kursinya, sebelum menyeruput kopi panasnya yang terasa pas di lidah.

"Sudah menemukan sesuatu?" tanyanya.

"Orang yang dicurigai Dinda," sahut Xin.

"Yang lain?"

'Semua orang terlihat mencurigakan. Dalam, luar, sama saja.'

Leo mengangguk-angguk. "Kalau begitu, teruskan!" Zack dan Xin mengangguk.

Leo menoleh kepada Kimberly yang duduk di sebelah Franklin. Melihat sebuah buku dan sebuah pulpen tergenggam di tangannya membuat ia mengernyit.

"Aku tidak memberimu tugas, Kimberly," katanya dengan tatapan beralih ke wajah gadis itu.

Kimberly yang sibuk menatap Franklin menoleh dengan wajah datar. "Memangnya kenapa?" tanyanya judes.

Leo melebarkan mata mendengar sahutannya. "Aku hanya bertanya," sahutnya dengan alis mencuram.

"Sudah, sudah. Aku yang menyuruhnya untuk menggantikanku." Dinda menengahi. Leo menoleh kepadanya, mengernyit kembali.

"Kenapa?" tanya lelaki itu.

"Aku mengantuk."

Leo mendengus. "Kau tahu apa maksud dari pertanyaan itu, 'kan?" katanya setengah berbisik.

Dinda berusaha menahan tawa akibat perkataannya barusan. Sebenarnya, Leo tidak ingin Kimberly mendapat jatah karena ia ingin menghabiskan waktu dengan gadis itu. Dia judes, galak, dan menyahut semua perkataannya, tetapi Leo malah tertarik kepadanya. Dan itulah maksud dari pertanyaannya; kenapa Dinda memisahkan Kimberly darinya?

Leo membuang napas. "Baiklah. Silakan saja." Akhirnya ia menyerah. Melihat Kimberly yang kelihatannya tidak mau beranjak dari kursi membuatnya tak sampai hati menyuruhnya kembali duduk di sampingnya.

"Aku mengerti," bisik Dinda. Leo membuang napas. Dia mengendikkan bahu dan menyeruput kopi kembali.

Beralih kepada Xin dan Zack. Mereka suntuk karena tak ada hal-hal yang mencurigakan. Semua kamera pengawas sudah diperiksa. Kecuali satu, kamera pengawas sisi kanan masjid yang masih memerlukan waktu agar berhasil diretas.

Akhirnya, CCTV itu berhasil diretas. Zack tanpa basa-basi membukanya. Ia dan Xin memerhatikan rekamannya, mempercepatnya dari malam sampai ke pagi, sampai ke titik di mana bom meledak.

Dan mereka menemukan sesuatu. Seorang gadis dengan rambut dikepang dua yang asyik bermain di teras masjid sebelum pengeboman terjadi.

Dia ....

"Nadia Emerald."

~~~

~~~

Hola:D

2 hari tidak ada kabar. Sekolah online sudah dimulai:)

Apakah ada kesan, pesan, kritik, atau saran? Share aja di kolom komentar, saya bukan buaya, kok(:

Terima kasih sudah menunggu dan membaca. Cu next time!!!^O^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top