39. Panik

Mata Dinda berair dengan cepat. Matanya berlinang, mulai tumpah mengaliri pipi. Ia mengangkat wajah Dervin dari bahunya. Dia sedang kesakitan akibat melindunginya.

Dinda menggeleng. Bukan Dervin yang tertembak. Ia yakin kalau peluru itu meleset. Dervin pasti hanya mendapatkan luka gores di lengannya.

Dinda mengarahkan mata kepada Bella yang menurunkan pistolnya. Sekarang, ia tahu apa yang telah terjadi.

Bella ingin menembaknya, tetapi Dervin melindunginya. Hasilnya, adiknyalah yang mendapat sasaran peluru dari Bella.

"K-Kau baik-baik saja, 'kan?" tanya Dinda, dengan nada khawatir.

"Tidak." Dervin tak dapat menahan tubuhnya untuk jatuh.

Dinda menahannya, memeluknya, sembari melepas salah satu lengan jaketnya untuk melihat lukanya. Setelahnya, ia dapat melihatnya, dua buah luka tembak di punggung.

Dinda mendongak, menatap Bella kembali. Gadis itu tampak di antara senang dan tidak percaya.

Dinda menoleh ke belakang, ke arah Raven. Lelaki itu berdiri dengan pisau lipat di tangan.

Keadaan kembali seperti semula saat Mark mengunci leher Franklin dengan lengannya. Agatha dan James yang tak dapat menghindar juga merasakan hal yang sama.

"Habisi dia, Bella!" teriak Mark, menyandarkan Bella yang sedari tadi termenung. Bella sontak tertarik di dunia nyata dan mengarahkan moncong senjatanya kepada Dinda.

Ada raut takut dan tidak yakin tergambar di wajah Bella. Tangannya bergetar kecil mengarahkan senjatanya kepada Dinda.

Dinda hanya memerhatikan kelakuannya walaupun ditarik untuk menjauh dari Dervin. Dirinya ditodongi pisau lipat oleh Raven, tetapi Dinda tak merasa takut sedikitpun. Malah, Dinda melayangkan sikutnya ke dada lelaki itu dan memukulnya, lalu mengambil pisau lipatnya dan berusaha untuk membebaskan teman-temannya, dan itu berhasil, hanya saja pisau lipatnya direbut oleh lawannya.

Karena kebal akibat dipukul dengan keling, Dinda tidak memedulikan sakit di tubuhnya lagi. Beberapa kali Bella melayangkan peluru kepadanya, tetapi selalu meleset.

Karena Franklin terlepas, ia membantu Dinda. James berusaha mengobati Agatha yang kesakitan akibat dilukai.

Mereka bisa melawan Raven, Mark, dan yang lain. Karena tembakan Bella yang meleset dari Dinda ataupun Franklin, tembakannya mengenai rekan-rekannya sendiri, menyebabkan mereka tumbang sebelum Dinda dan Franklin melumpuhkannya.

Beberapa saat kemudian, peluru pistol Bella habis. Ia mencari pistol lain, membuat Dinda mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahannya kepada gadis itu.

Namun, tak lama. Dervin terbaring di depannya dengan darah tergenang di samping badannya.

Dinda rasa melampiaskan kemarahan kepada Bella tidak ada gunanya. Ia harus membantu Dervin, mengobatinya, sempat bilang kepada Franklin untuk melindunginya jika masih kuat.

Franklin menyanggupi. Dinda pun merangkul Dervin yang masih tidak berdaya, masuk ke dalam ruangan, dan menguncinya.

"Kakak ... sakit," keluh Dervin. Ia mulai terisak saat Dinda menghapus darah dari sumbernya. Jaket kain milik Dinda yang dilepas melilit kuat di badannya, berusaha menghentikan pendarahan. Dinda menatap Dervin yang menangis karena kesakitan.

"Dervin, bertahanlah! Kau akan baik-baik saja," pinta Dinda. Dervin menggeleng. "Sakit ...."

Tidak ada yang keluar dari mulut Dervin setelahnya. Ia berusaha untuk tetap sadar saat rasa sakit di punggungnya membuat detak jantungnya bekerja dengan ekstra.

Dinda meraba kantong celana Dervin, berharap ada senjata. Ia menemukan pisau lipat yang terselip di celananya, lalu bersyukur.

"Tetaplah di sini. Jika ada apa-apa ...." Dinda menoleh ke sana-sini. "Kau masih bisa berjalan? Atau berteriak?"

Dervin mengangguk kecil.

"Jika ada apa-apa, lakukan itu! Aku akan segera datang untuk membantumu." Dinda menyakinkan. "Aku akan mencari jalan keluar. Kau ke sini dengan mobil, 'kan? Aku akan membawamu ke rumah sakit."

Dinda segera beranjak setelah itu. Ia sempat memotong kain jaketnya dan mengobati lengannya.

Namun, Dervin menghentikannya. Ia tampak ingin berbicara, membuat Dinda mempertajam pendengarannya karena suara pistol kembali mengisi koridor.

"Apakah kita akan selamat, Kakak?" tanyanya lirih. Dengan peluh dingin di wajah, Dervin mendesis.

Entah sudah ke berapa kali hatinya sesak mendengar suaranya. "Kita akan selamat. Aku janji."

Dervin menatap Dinda penuh harap, berharap kakaknya dapat menepati janjinya. Dinda hanya menatap penuh arti netranya yang mulai redup.

"Aku takut Kakak pergi," sahut Dervin, menguatkan genggamannya.

"Percayalah. Kita akan baik-baik saja."

Setelah itu, Dervin pun melepas tangannya dari Dinda. Dirasa adiknya sudah berhasil diyakinkan, Dinda berdiri dan keluar dengan pisau lipat di tangan.

Setelah keluar, Franklin sudah tidak berdaya dan dipukuli oleh Raven. Bella kini sudah bangkit dan melayangkan tembakan kepada James sehingga lelaki itu tidak dapat mengobati Agatha lebih banyak lagi.

Bella menatap Dinda dengan tatapan membunuh. Dinda menghampirinya tanpa basa-basi dengan Bella menodongkan pistolnya dan memasang kuda-kuda jika Dinda akan memukulnya.

Dinda tidak keberatan untuk melukai seseorang kali ini. Ia menghindari lesatan peluru dari Bella, melukai tangannya, menangkis pukulan dari Raven, lalu kembali melawan Bella.

Walaupun beberapa kali dipukul, Dinda masih bisa melawan. Seakan-akan ada singa di dalam dirinya, yang selama ini tertidur pulas sebelum akhirnya bangun dan berteriak marah.

Akibat fokus yang teralihkan, Dinda tidak tahu kalau Raven mengetahui ada Dervin di ruangannya. Raven rasa ia dapat menghabisinya sementara Dinda lengah. Ia pun masuk ke sana, tetapi sempat dihentikan Agatha. Dia tahu ada Dervin di sana, membuatnya dapat menebak apa yang ingin Raven lakukan.

Namun, Agatha hanya dapat menahannya sementara. Tenaga yang terus berkurang membuat pegangannya mudah dilepas.

Setelah itu, Raven masuk ke sana. Terlihat Dervin bersandar di meja, berusaha untuk tetap sadar, dan membuka mata saat mengetahui ada seseorang yang masuk ke ruangan.

Dervin menatap takut Raven yang menyeringai. Ia beringsut mundur, tetapi tak bisa. Raven segera meraihnya dan menjabak rambutnya. Ia terkekeh kecil, lalu melayangkan tinju ke wajahnya, memberi luka dan warna baru di wajahnya.

Dervin berteriak agar kakaknya datang dan menolongnya. Dinda sempat mendengar, tetapi saat ingin mundur, Bella menahannya dan memukulnya.

Tak hanya Bella, rekan-rekannya juga menyakiti Dinda. Mereka berhasil sekali lagi membuat Franklin menyerah, menahan James untuk mengobati Agatha, dan sekarang menyakitinya.

Karena tak dapat menolong, Yessy yang mendengar teriakan Dervin bergegas ke dalam ruangan. Ia dapat berkamuflase, membuat musuh-musuhnya tak dapat mengetahui keberadaannya, dan segera masuk untuk menyelamatkan Dervin.

Yessy melihat Dervin terbaring di atas meja, menahan tangan Raven yang memegang kaca. Lelaki itu akan menusukkan kacanya itu ke tubuh Dervin, lalu menariknya, sehingga luka terbuka tercipta setelahnya.

Yessy menarik Raven dan berusaha melawannya. Namun, ia hanya berpengalaman di bidang peretasan, membuatnya dapat dikalahkan oleh Raven.

Raven sempat bermain-main dengannya-menjabak rambut, membenturkan dengan keras kepalanya ke tembok, dan meninju wajahnya. Itu membuat Dervin berusaha untuk menghentikannya agar Yessy yang kembali diselimuti trauma selamat.

Namun, Raven tahu kalau adik Dinda itu menghampirinya dengan cara menyeret diri. Ia membalik badan, meninggalkan Yessy, lalu menarik lengan Dervin untuk bangkit sebelum mendorongnya kembali ke meja.

"Menyerahlah, Dervin. Kau tidak ada gunanya di dunia ini," suruh Raven sambil kembali berusaha menusukkan pecahan kacanya ke tubuh Dervin.

Dervin hanya menatap Raven. Ia berusaha menahan tangannya yang sedikit lagi akan mengantarkan pecahan kaca itu ke dadanya.

Yessy yang tidak memedulikan rasa sakit kembali menariknya. Kali ini, ia berusaha untuk menghindari pukulan Raven dan memancingnya untuk menjauh dari Dervin.

Sementara itu, Dervin berusaha mencari senjata agar Raven tidak kembali menyakiti Yessy dan dirinya. Pencariannya tak beralih saat Yessy didorong kuat di mana di sana tadi Dinda terduduk dengan tangan diikat.

"Kau gadis yang tangguh, Yessy. Pantas saja James menyukaimu." Raven tertawa. Tangannya yang berada di leher Yessy perlahan mencekiknya.

Yessy berusaha melepaskannya, juga menghirup oksigen yang terasa menipis. Yessy segera mengambil pisau lipatnya setelah teringat dan menusukkannya ke perut Raven.

Cekikan di lehernya membuat Yessy melorotkan diri di depan Raven. Raven yang dapat mehahan sakit tusuknya menyeringai dan kembali mencekik leher Yessy.

"James ...."

"Panggilah dia selama kau masih hidup, Yessy!"

Dervin yang sibuk berkasak-kusuk berhasil menemukan sesuatu yang dapat dikatakan merupakan senjata; barbel yang digunakan Franklin untuk memecahkan kaca. Ia menghampiri Raven dengan langkah terseok-seok, mengangkat barbelnya tinggi-tinggi, dan memukulkannya ke kepala Raven.

Cekikan kembali melonggar akibatnya. Raven meringis sesaat, sebelum oleng ke samping dan terbaring dengan keadaan tidak sadarkan diri.

Yessy bersandar lelah di tembok. Nyawanya kembali dapat ditarik karena Dervin menyelamatkannya.

Tepat saat itu, semua lampu tiba-tiba menjadi merah. Bella yang mengunci leher Dinda dengan lengannya sontak menoleh kepada Mark, bertanya lewat tatapan mata.

Mark tampak berdiri dengan raut panik sejenak. Ia bergegas kembali ke ruangan CCTV-nya, menyelidiki apa yang telah terjadi, dan terkejut karena kelalaiannya.

Ia telah meninggalkan ruangan itu dengan tergesa-gesa, sampai tak menyadari bom yang dirakit Bella di sebuah ruangan menyala.

Entah apa yang ia tekan di keyboard sebelum keluar. Mark berusaha menghentikannya, dan setelah rekannya datang, ia memberitahu kalau mereka sedang dalam bahaya.

Rekannya itu masuk kembali ke laboratorium. Ia berteriak, meminta semua orang untuk keluar dari laboratorium karena sebuah bom akan meledak.

Bella seketika tahu bom apa yang dimaksud. Bom dengan kekuatan 300 ledakan, campuran dari mesiu dan zat-zat mudah meledak yang lain, dan dirakit untuk mengebom sejumlah daerah di Amerika Utara karena dirinya berurusan dengan gangster di sana.

Mendengar bom akan meledak membuat rekan-rekan Bella berhenti melakukan aksinya. Mereka keluar, menjauh dari mansion, bersembunyi, dan berharap Tuhan masih memberikannya nyawa untuk hidup keesokan hari.

Bella melepaskan Dinda dan pergi ke ruangan di mana bom tersebut berada. Ia akan menghentikannya walaupun tahu kalau dia sedang berhadapan dengan bahaya.

Dinda bangkit dan pergi ke ruangan. Dilihatnya Yessy yang membantu Dervin untuk berjalan ke luar ruangan.

Franklin berhasil melepaskan Nadia. Ia dan gadis itu membantu Agatha dan James, lalu pergi ke luar.

Dinda ingin ikut mereka, tetapi melihat samar Bella berjalan ke arah yang berlawanan membuatnya berhenti.

"Dinda, ayo, cepat!" teriak Franklin di tengah-tengah suara kepanikan semua orang. Teriakannya membuat Agatha dan yang lain berhenti dan menatapnya.

Pikiran Dinda kalut. Ia ingin mencegah Bella untuk menghampiri di tempat bom berasal. Tetapi, ia sama saja menantang diri. Bom itu bisa meledak kapan saja, membunuhnya, dan membuat jiwanya melayang sia-sia.

Namun, ia juga tidak ingin Bella meninggal akibat bom yang kiranya buatannya sendiri itu. Dinda ingin menyelamatkannya, keluar bersama-sama, dan tetap hidup keesokan hari.

"Apa yang harus kulakukan!?"

~~~

Hola!:D

Maafkan kalau banyak typo. Habis tamat saya revisi, insyaallah.

Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)

Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Cu next time!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top