35. Pergi ke Washington
Bella berjalan gontai di lorong ruangan. Perkataan Dinda membuat hatinya bergejolak. Ada kemarahan di dalam sana. Akibatnya, Bella berhenti dan bersandar lemah di tembok polos sebelah kirinya.
Bella ingin menangis akibat perkataannya. Ia langsung mengingat ayahnya. Dia mengingat kembali kejadian malam itu. Malam yang seharusnya menjadi malam paling membahagiakannya itu menjadi malam paling menyakitkan.
Ayahnya dibunuh tepat di hadapannya. Semua itu karena pria itu. Bella segera menghapus air mata yang kembali keluar dari matanya. Ia bergegas pergi dari sana sebelum akhirnya seseorang menghentikannya.
"Ada apa?" tanyanya tanpa berbalik, menyembunyikan wajah bercampur kemarahan dan kesedihannya itu.
"Deadly sudah menemukan lokasi kita. Apakah rencananya masih sama?" tanya lelaki yang kemarin datang dengan rambut klimisnya.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Bella melempar pertanyaan yang sama.
Si lelaki diam sesaat. "Maksudku tentang Dinda. Apa yang akan kita lakukan kepadanya? Apakah kita akan menjualnya seperti rencanamu dulu? Sebelum Deadly datang dan menyelamatkannya?"
Gantian Bella yang diam. "Sir Gordon bilang kalau gadis itu sudah tidak berguna. Namun, ia tetap memberiku uang sebagai imbalan karena telah bekerjasama," jawabnya, "Kurasa kita perlu mengubah rencananya."
"Jadi, kapan?" tanya lelaki itu. Bella meliriknya.
"Suruh semua orang untuk ke ruangan sekarang!" titahnya.
"Baik!" Lelaki itu membungkuk hormat dan berlalu dari belakang Bella. Bella kembali berjalan, ingin pergi ke dalam rumahnya.
Memiliki mansion, penuh dengan perabotan mahal, dan miniatur khas Yunani di dalamnya tidak membuat Bella bersemangat. Ruang tengah tempat ayahnya tertembak kini hanyalah sebuah ruangan kosong penuh dengan alat perbaikan rumah.
Bertahun-tahun sejak kejadian itu, reruntuhan rumah di atas lantai tidak diperbaiki. Sampai sekarang, keluarganya membiarkannya, karena walaupun diperbaiki, masa lalu pahit itu tidak akan sirna dari ingatan.
Saat ingin berjalan ke kamarnya-menunggu rekan-rekannya, ia sempat menoleh ke dapur. Di mana, ibunya dan kakak laki-lakinya sedang sarapan setelah tadi pagi makanan gosong akibat ditinggal sebentar oleh pelayan.
Keriput di wajah ibunya, dengan ekspresi rindu kepada suaminya membuat hati Bella tersayat untuk ke sekian kali. Kakaknya masih mengambil cuti saat kemarin ibunya divonis terkena stroke ringan. Hanya dia yang dapat menemani ibunya, sedangkan Bella yang ingin malah disuruh untuk fokus saja ke pekerjaannya di IIS.
Bella menghampiri ibunya. Ia duduk di sampingnya, memperhatikan tangannya yang menggenggam erat foto suaminya. Bella menatap kakaknya yang memasang ekspresi sedih. Bella mengelus pelan tangan ibunya dan mencium pipinya.
"Bella," panggil lelaki klimis yang tadi menemuinya, "Kami sudah siap."
Setelah menoleh, Bella memberi isyarat untuk menyuruh mereka pergi terlebih dulu ke kamarnya. Mereka yang berjumlahkan banyak itu membuat perhatian kakak Bella teralihkan.
"Aku tidak tahu kau memiliki rekan kerja yang banyak ... sekali," kata kakaknya.
"Namanya intelijen, Kakak," sahut Bella, menaikkan bahu.
"Maksudku, mereka berbeda dari rekan intelijenmu yang beberapa hari lalu datang ke sini." Kakaknya menatap dalam mata Bella.
"Kakak kira rekanku hanya mereka, huh?" tanya Bella, "Aku mempunyai rekan yang lebih banyak dari itu."
Kakaknya menghela napas. "Rekanmu sesama ilmuwan?"
Bella mengangguk. Kakaknya memang orang yang suka bertanya. Ilmuwan yang dikatakan bukan pekerjaannya. Ia menyembunyikan pekerjaan keduanya, dengan nama itu.
"Aku ke atas dulu ya." Bella pamit setelah tak ada lagi perbincangan. "Jika aku membiarkan orang sebanyak itu berada di kamarku, mereka akan membuatnya seperti kapal pecah."
Kakaknya terkekeh. "Baiklah, silakan."
Bella bangkit dan mencium pipi ibu lagi. Ia berlalu dari dapur, pergi ke atas, ke kamarnya yang luas sehingga dapat dibuatkan kolam renang.
Benar katanya. Mereka begitu ribut, sampai-sampai suara mereka terdengar dari jarak beberapa meter saja.
Setelah Bella masuk ke kamar, suasana seketika hening. Mereka duduk di tempat masing-masing, tidak seribut tadi, karena tahu Bella akan marah jika mereka ribut di dalam kamarnya.
"Ada apa memanggil kami mendadak, Bella?" tanya salah satu dari mereka. Bella duduk di sofa tunggal yang menghadap ke arah mereka semua.
"Kita akan membuat rencana baru karena Deadly sudah mengetahui keberadaan kita," jawab Bella.
Mereka kaget saat mendengar itu. "Bagaimana bisa?"
"Entahlah." Bella menyembunyikan fakta kalau dialah yang menyebarkan lokasi ponselnya yang tersambung dengan SIM Card agar mendapatkan Dervin. "Karena itulah aku memanggil kalian ke sini."
"Baiklah, kami siap membuat rencana bersamamu," ujar salah satu rekannya. Mereka semua mengangguk, sudah siap juga.
Bella tersenyum kecil mendengarnya. Tak berselang lama, mereka mulai membuat berdiskusi.
~~~
"Baiklah, kita sudah sepakat akan ke Washington nanti sore, agak malam. Masih ada yang tidak setuju?"
Agatha duduk di kursi makan bersama yang lain, menatap satu-persatu diri mereka. Mereka tampak berpikir setelah berpikir berkali-kali sebelumnya, menimbang keputusan apakah mereka pergi ke Washington atau tidak. Jika ya, nomor plat palsu akan mereka tempelkan ke plat mobil. Jika tidak, tetap berdiam di rumah.
Mereka saling pandang. Tidak ada yang membuat mereka khawatir, kecuali polisi yang berjaga di perbatasan Washington akibat pembunuh berantai yang kemarin lusa dikabarkan kabur dari penjara.
Mereka juga mengenal Deadly. Mereka pernah berurusan dengan polisi-polisi itu sebelum kabur dan bersembunyi di New York.
"Masih khawatir dengan polisi-polisi itu, huh?" tanya Agatha setelah tidak ada satupun orang yang menjawabnya.
Mereka mengangguk.
"Aku yang akan mengemudikan mobil. Kita akan melaju sampai ke hutan Hoh, lalu bersembunyi di jalan yang Yessy temukan untuk akses ke mansion itu. Akan kupastikan kita selamat dari mereka." Agatha menyakinkan.
"Aku tidak mau masuk penjara sebelum melihat kakakku," kata Dervin.
"Aku juga tidak mau kehilangan pekerjaanku jika dipenjara," sambung Franklin.
"Percayalah kepadaku." Agatha menatap menyakinkan. "Kita akan selamat."
Dervin dan Franklin saling pandang, lalu mengangguk.
"Baiklah, kami setuju."
Dan setelah itu, mereka mengemas barang. Sore menjelang malam nanti, mereka akan berangkat dari New York ke Washington.
Pistol berisi dipersiapkan. Tiga senapan juga dibawa untuk berjaga-jaga.
Pisau lipat terselip di masing-masing celana. Mereka menyiapkan jaket kain dan kulit mereka, seperti biasa.
Di saat-saat seperti itu, Franklin ngeri sendiri. Jaket mereka benar-benar mirip dengan foto dari berkas Deadly milik Vyper, mengingatkan anggapannya kepada Deadly sebelum bertemu dan mengenal mereka lebih jauh.
Walaupun akan berangkat nanti, tapi Agatha dan yang lain telah bersiap. Mereka mengisi perut dengan makanan takut saat ke Washington, mereka malah disekap dan tidak dapat atau diberi makanan.
Nadia melepas kawat berdirinya dari tongkat baseball-nya, sesuai dengan permintaan Agatha agar tidak melukai siapapun selama mencari Dinda di mansion.
Sedangkan Dervin, ia berdiri di luar rumah saat semua orang tengah bersiap. Entah kenapa ia mulai merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan hatinya. Seakan-akan, akan ada kematian. Dervin berharap itu tidak terjadi, semua orang yang terlibat dalam penyelamatan ini tidak ada yang mati.
~~~
Bola api besar yang tadinya berada di langit mulai merangkak turun menuju peristirahatan. Agatha memegang setir dan melaju di jalanan yang sedikit ramai. Perjalanan ke Washington memakan waktu kurang lebih empat jam. Mereka memutuskan untuk berangkat agak malam, saat fisik dan mental mereka sudah siap.
Tidak ada percakapan selama di perjalanan. Semua orang sibuk berpikir. Apakah kali ini mereka bisa selamat atau tidak? Apakah kali ini mereka berakhir di penjara? Dihukum dengan hukuman seberat-beratnya?
Dari tadi Yessy mengutak-atik laptopnya. Ia melihat-lihat keamanan yang ada di mansion itu. Walaupun di gambar yang ditunjukkan komputernya beberapa jam yang lalu menunjukkan kalau bangunan itu sepi, nyatanya bangunan itu berpengalaman lengkap. Di sana, Yessy menemukan sebuah laboratorium bawah tanah, di bawah garasi.
Laboratorium itu menguatkan kata-kata dalam kartu. Rumah itu besar, berada di hutan Hoh, tak terjamah akibat banyak tumbuhan merambat di sekitarnya, dan terdapat laboratorium.
Mengetahui itu, mereka semua langsung tahu di mana Dinda berada. Di sana, di mansion besar di tengah hutan itu.
Pemilik mansion itu masih Yessy cari tahu. Selain kamera CCTV yang tidak dapat diretas, identitas pemilik juga tak dapat diketahui, membuat Yessy terkadang pusing akibat lelah dan harus mengistirahatkan matanya dari radiasi laptop.
Setelah hampir 4 jam di perjalanan, malam juga sudah beranjak semakin larut, Agatha datang ke Washington. Benar saja, ada beberapa mobil polisi di perbatasan Washington, beberapa melirik mobil Agatha yang terus maju.
Mobil Agatha berhenti saat seorang pria berseragam lengkap menghalangi jalannya. Belum sempat pria itu mengetuk pintu kaca mobilnya, Agatha sudah terlebih dahulu menekan gas dan pergi dengan cepat masuk ke kota.
Melihat mobil yang kabur tersebut membuat empat polisi mengejar dengan dua mobil. Agatha melirik kaca spion, menahan James yang ingin menembak, dan mengingatkannya akan rencana mereka yang sebenarnya.
Hutan Hoh berada di Semenanjung Olimpiade. Itu berarti terletak di Washington bagian barat. Maka dari itu, Agatha memacu kecepatan mobilnya, bergerak dengan zig-zag, menghindari beberapa peluru yang diluncurkan para polisi.
Tak peduli dengan lampu merah, Agatha melaju. Terkadang melakukan drift untuk menghindari kecelakaan atau berbelok.
Sampai akhirnya, saking lajunya mobil Agatha, di tambah kamuflase-nya yang sempurna dengan deretan mobil lain di parkiran minimarket, membuat polisi-polisi itu kebingungan. Mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke pos sembari melapor kepada pemimpin mereka.
Agatha hanya bisa tersenyum miring melihat mereka pergi. Yang lain ikut-ikutan senang karena bebas dari borgol.
Setelah itu, mereka bergegas keluar dari parkiran. Mereka pergi ke hutan Hoh, untunglah setelah sampai di jalan di mana akses ke mansion itu tidak becek membuat Agatha langsung masuk ke sana.
Becek tidak, berbatu iya. Gelap dan batang pohonnya besar-besar.
Memakan waktu setengah jam untuk dapat menemukan mansion. Agatha dan yang lain sempat takjub dengan bangunanya yang mewah, dihiasi warna kuning layaknya emas di beberapa bagian, dan didominasi warna hijau dari tanaman yang merambat.
Setelah menghentikan mobil, mereka keluar. Mereka menyelipkan pistol di pinggang bersama dengan pisau lipat, tak lupa bandana yang menutupi wajah mereka-tak terkecuali Franklin dan Dervin.
James dan Raven mengenggam senapan laras panjangnya. Yessy segera beraksi, mematikan pengaman, dan setelah berhasil, ia memberi isyarat.
~~~
Hola!:D
Maafkan kalau banyak typo. Habis tamat saya revisi, insyaallah.
Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)
Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Cu next time!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top