34. Diludahi
Angin kencang menerpa cepat rumah Yessy. Lampu tembok sudah mati akibat perbuatannya. Malam sudah mulai berganti pagi. Bintang-bintang juga kembali menghilang.
Agatha, James, dan Franklin tertidur di atas sofa ruang tamu. Nadia, Dervin, dan Raven tertidur di kursi meja makan.
Yessy sudah bangun, lebih dahulu dari mereka. Matanya menatap lelah layar komputer di mana peretasannya masih dimuat.
Sejak jam 4 pagi, ia mengutak-atiknya diakibatkan penemuan Agatha di bom kotak, yaitu sebuah SIM Card.
Agatha melepasnya dan Yessy segera menyelidikinya. Sudah beberapa kali ia tidak berhasil melakukannya, membuatnya lelah dan akhirnya memutuskan untuk menyelidikinya keesokan paginya.
Sekarang, di sinilah dia. Duduk sambil menatap jengkel simbol loading di komputer, sebelum Yessy memutuskan untuk bangkit daripada gila akibat duduk terlalu lama di depan benda itu. Ia pun pergi ke dapur, ingin memasak sarapan untuk teman-temannya agar saat melanjutkan penyelidikan dirinya tidak diganggu oleh mereka yang ingin makan pagi.
Yessy keluar dari rumah, hendak mengambil sayur dari kebun kecil di belakang rumahnya. Setelah itu, ia masuk ke dalam setelah sayur yang dipetik dirasa cukup untuk sarapan dan makan siang.
Ia membersihkannya, memotongnya, dan memasaknya. Setelah memasak hampir selama 20 menit, ia menyajikannya.
"Baunya enak, Yessy!" Yessy kaget mendengar suara Nadia di sampingnya. Gadis itu rupanya sudah bangun dan tersenyum cerah seperti biasa, dengan rambut urak-urakan.
"Mau kubantu?" tawar Nadia. Yessy menatap sebentar lauk di atas piring, lalu mengangguk.
Nadia segera mengangkat piring itu, lalu meletakkan ke atas meja makan. Setelah itu, ia mengambil enam piring untuk keenam temannya.
"Terima kasih," ucap Yessy setelah gadis itu meletakkan piring-piringnya. Nadia hanya tersenyum, lalu pergi keluar--ke teras--untuk menikmati pagi.
Setelah menutup makanan-makanan itu dengan kubah baja, Yessy melesat ke kamarnya. Ia ingin mengecek pemuatan komputernya, sudah sampai di mana.
Yessy terpaku beberapa saat ketika melihat pemuatan di komputernya sudah selesai. Namun, bukan itu yang membuatnya terdiam, melainkan lokasi pertama SIM Card yang sejak tadi malam gagal diretasnya.
Yessy segera menghampiri kursi dan duduk. Ia mengarahkan panah mouse-nya untuk melihat lokasi awal SIM Card itu.
Gambar mansion berwarna putih kusam muncul di layarnya. Satu-persatu, Yessy memeriksanya.
Yessy pergi ke ruang tamu, ingin membangunkan Agatha. Agatha sempat menolak untuk bangun sebelum Yessy mengatakan kalau lokasi lama SIM Card berhasil diselidiki.
Mata Agatha langsung terbuka. Ia turun dari sofa, melesat ke kamar Yessy, mengakibatkan Franklin dan James terganggu dan ikut-ikutan bangun.
"Bukankah tadi malam SIM Card itu tak dapat diselidiki?" tanya Agatha setelah melihat isi komputer Yessy.
Yessy mengangkat kedua bahu. "Aku tidak tahu. Mendadak aku berhasil menemukan lokasinya."
"SIM Card ini tersambung dengan sesuatu di lokasi itu. Kurasa memang benar kalau bom kotak ini dikendalikan dari jarak jauh." Yessy mengubah topik.
"Di mana itu?" Tak tertarik, Agatha menanyakan letak lokasi tersebut.
Yessy menekan mouse-nya dan terlihat beberapa foto hutan hijau yang indah. "Hutan hujan Hoh, di Semenanjung Olimpiade, Washington bagian barat," jelasnya.
Agatha terbelalak. "Itu cukup jauh," komentarnya.
"Peletak bom kotak itu pasti ada di sana. Mungkin Dinda juga ada di sana," Yessy berucap, mulai semangat.
Agatha menoleh. "Darimana kau tahu?"
"Bukankah saat Dinda diculik, bomnya diletakkan oleh pengendara berplat sama itu?"
"Bagaimana kau tahu? Rekamannya saja tidak ada," sahut Agatha dengan wajah datar.
"Astaga, aku baru ingat." Yessy menepuk jidatnya. "Aku merasa aneh karena saat Dinda berada di masjid, bom berbentuk kotak ini ada di sana. Saat Dinda sendirian di rumah Franklin, bom itu juga ada di sana."
"Ada yang menyebut namaku?"
Yessy dan Agatha menoleh kepada Franklin yang mengucek-ucek mata. Di belakangnya, James membuka mulutnya dengan lebar sampai-sampai lalat bisa masuk untuk bersarang.
"Akhirnya kalian sudah bangun. Coba lihat ini!" ajak Agatha kepada dua lelaki itu. Franklin dan James saling lirik, lalu menghampiri komputer Yessy dan memperhatikan isinya.
"Dia menemukan lokasi awal SIM Card sebelum diletakkan di belakang rumah Franklin," sambung Agatha.
"Benarkah?" tanya Franklin, "Di mana?"
"Hutan hujan Hoh."
Franklin dan James kaget. "Hutan hujan Hoh? Di Washington?" tanya Franklin.
Agatha mengangguk.
"Itu sangat jauh," keluh James, "Pohon-pohon hutannya sangat besar dan jalannya becek jika hujan."
Franklin mengiyakan perkataan James.
"Namun, lokasi SIM Card yang dikendalikan dari jarak jauh itu berada di sana," sahut Agatha.
"Jadi, apakah benar kalau bom itu dikendalikan dari jauh?" Franklin melebarkan mata. Agatha kembali mengangguk.
"Seseorang yang tersambung ke SIM Card ada di dalam sana, di sebuah mansion berwarna putih." Yessy memaparkan informasi yang kembali didapatnya. Pembicaraan Agatha, James, dan Franklin terputus.
"Mansion siapa itu?" tanya Franklin.
"Aku tidak tahu. Kelihatannya tidak didiami," jawab Yessy.
"Apakah ada CCTV?" tanya Agatha.
"Biar kuperiksa."
Mencoba meretas babgian dalam beberapa menit, Yessy akhirnya mendapatkan hasil kalau ia tidak menemukannya.
"Tidak ada CCTV di sana." Yessy membuang napas.
"Apakah SIM Card itu tersambung ke ponsel? Atau komputer?" tanya James. Yessy kembali mengutak-atik komputer.
"Tersambung ... ya. Hanya saja aku tidak tahu ke komputer siapa," kata Yessy setelah menyelidiki ketersambungan SIM Card itu.
"Kenapa kita malah menyelidiki SIM Card? Bukankah Dinda yang menghilang?" James membuat semua orang tersadar.
"Tidak, kita juga menyelidiki Dinda," sahut Yessy, "Bom kotak ini sama dengan bom kotak di masjid. Kurasa peletak bom ini ada kaitannya dengan Dinda."
"Maksudmu, SIM Card ini terhubung ke-"
"Pelaku," potong Yessy.
"Sekarang aku tahu, apa arti dari kalimat di kartu itu," gumam James. Yessy yang tidak acuh mencoba menyelidiki sidik jari di ponsel Dinda yang kemarin tidak bisa dilakukannya.
Hasilnya keluar setelah beberapa menit. Yessy memerhatikan hasilnya, perlahan melebarkan mata, dan yang lain hanya bingung mengapa dia bertingkah seperti itu.
"Ternyata benar dugaan kita," katanya, "Dinda memang diculik Mark."
~~~
Cairan merah kembali mengaliri mulut Dinda sekali lagi. Namun, kali ini tidak sekental biasanya karena bercampur air liur. Wajah Dinda pucat dan membiru akibat dipukul. Lengan bajunya yang digulung sampai siku menunjukkan lengan tangannya yang disayat.
Kesakitannya ditertawakan oleh rekan-rekan Bella. Dari tadi mereka menyoraki Bella yang memukul Dinda berkali-kali untuk melukainya lagi.
Bak di pertarungan tinju, Bella mengangkat tangan, pura-pura menyerah. Kelakukannya itu hanya mendapat desahan tidak terima rekan-rekannya.
Bella menoleh kepada Dinda yang menunduk. Ia mengangkat kepalanya, pelan, lalu membuka mulutnya.
"2 gigimu patah karenaku." Dinda menurunkan wajahnya saat Bella tertawa. "Apakah itu sakit?"
Dinda tidak mau kenjawab.
"Pukulanmu membuatnya tuli, Bella!" Sorakan temannya itu disambut tawa oleh beberapa orang.
"Saraf pendengarannya sudah putus akibatmu!" Bella ikut-ikutan tertawa mendengarnya.
"Itu tidak masuk akal." Bella mengedip. "Aku hanya memukulnya di wajah dan perut berkali-kali." Bella menoleh lagi kepada Dinda.
"Dinda," panggil Bella. Hanya ada suara napasnya yang pendek.
"Hei, kau dengar aku?" Semua rekan-rekan Bella saling pandang, lalu membuka lebar-lebar indra penglihatan mereka.
"Aku ingin bicara kepadamu." Dinda tidak peduli. Menjawab dan diam sama saja, sama-sama dipukul ujung-ujungnya.
"Tentang Dervin." Dinda segera mendongak dengan susah payah.
"Kami semua sepakat untuk tidak menyakiti adikmu," ujar Bella, "Tapi, dengan satu syarat." Dinda yang lega menjadi tidak tenang kembali.
Bella mengambil sodoran kertas dari salah satu bawahannya dan menunjukkan kepada Dinda.
"Tanda tangani surat ini!" sambung Bella. Karena penglihatannya masih berkunang, membuat Dinda tak tahu ingin menjawab apa.
Namun, ia khawatir kalau tidak menandatangani, Bella akan mengapa-apakannya adiknya. Ia akan melukainya lebih parah dari luka yang sekarang dirasakannya.
Dinda akhirnya mengangguk samar. "Le ... pas."
Bella tersenyum. Ia memberi kode tangan, menyuruh salah satu rekannya untuk melepaskan tangan kanan Dinda dari tali.
Salah seorang rekannya pun melepaskannya. Dinda menerima sodoran pulpen dan menatap kertas yang penuh tulisan di depannya itu.
Dinda membaca judul dari tulisan-tulisan itu. Salah satu katanya bertuliskan "pengunduran diri". Dinda yang masih tenang sebenarnya kaget luar biasa. Bella memberikan kepadanya surat pengunduran diri yang jika ditandatanganinya, ia akan dikeluarkan dari IIS.
Dinda melirik Bella yang masih setia menyodorkan kertas itu kepadanya. Pikiran Dinda berubah 180 derajat, dari mulanya pasrah menjadi marah.
Dinda melayangkan ujung pulpennya untuk menggores wajah Bella. Kena, membuat Bella melepas kertas yang disodorkannya dan mundur. Seluruh rekannya bangkit dan menghampiri Dinda dengan ekspresi marah. Bella segera menghentikan mereka, lalu menoleh kepada Dinda dengan luka gores di pipinya.
"Kau ... melukaiku." Bella terkekeh dan menghampirinya. "Sungguh bera-"
Dinda muak mendengar suara lembutnya. Ia mengumpulkan liur bercampur darah di mulutnya, meludahkannya, dan mengenai wajah Bella, membuat semua orang yang melihat terbelalak di tempat.
"Aku muak, Bella," kata Dinda, "Kau menyodorkan surat pengunduran diri atas namaku padahal aku tidak pernah melakukan sesuatu yang membuatmu keluar dari IIS!"
Teriakan Dinda bergema kecil di dalam ruangan. "Jika kau ingin aku keluar dari IIS, maka bilang saja!"
Bella meraba lendir merah di wajahnya itu. Ia memandanginya yang ada di tangannya, lalu menatap Dinda dengan tatapan yang selama ini tak pernah Dinda lihat-tatapan pembunuh.
"Kau tahu resiko apa yang akan kaudapat atas perlakuanmu ini?" tanya Bella. Dinda hanya diam, mempersilakan gadis itu saja yang menjawabnya.
Bella menggantungkan kertasnya di depan matanya, ia merobek kertas itu, dan mengambil paksa rokok temannya dan membakar salah satunya.
"Salah satu dari kalian akan menjadi seperti ini," jawabnya sambil menunjukkan dua kertas sobekan dengan salah satu yang terbakar itu kepada Dinda.
"Kau tahu resiko apa yang akan kaudapat jika kau melakukannya kepada adikku?" Dinda balik bertanya. Bella menggeram tak suka.
"Keluargamu akan menyesal karena telah melahirkanmu." Bella tak dapat berkata apa-apa saat kalimat itu meluncur lewat mulut Dinda. Tak ingin menangis, Bella menyuruh semua rekannya untuk memukul Dinda sampai ia menghentikannya.
Mereka pun menuruti. Sambil menyeka ludah Dinda di wajahnya, Bella mendengar teriakannya dengan api membara di kedua matanya.
Setelah itu, ia menghentikannya. Ditatapnya Dinda yang kembali tidak berdaya seperti tadi.
"Kau mengatakan sesuatu yang salah, Dinda," kata Bella, "Kau pantas mendapatkannya."
Bella mengangkat tinjunya, memukulnya di dada, membuat Dinda tak dapat bernapas untuk sementara, lalu Bella meninggalkannya.
Dinda yang kesusahan berusaha menghirup oksigen yang terasa menipis. Pukulan Bella begitu kuat di dadanya, membuat pandangannya kabur, sebelum gelap mengisi penglihatan dan ia kembali tertunduk.
~~~
Aku tak ahu harus mengetik apa.
Terima kasih sudah menunggu dan membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top