33. Dendam

Kata-kata itu bergema di telinganya sejenak. "A-Apa maksudmu?"

"Jangan pura-pura tidak tahu, Dinda," jawab Bella, "Ayahku mati gara-gara kalian!"

Dinda mencuramkan alis. Selama di IIS, menangkap pelaku kejahatan selalu memakan korban. Namun, tak ada satupun orang atau pria paruh baya yang mati, jikalau mati mereka pasti ditembak oleh tim kawan sendiri.

Dinda berusaha mengingat. Ingatannya mungkin buyar lagi setelah pipinya dipukul keling.

"Pura-pura tidak ingat," sindir Bella yang menegakkan tubuhnya dan mengelus kelingnya.

Dinda mendongak. "Sungguh, aku tidak tahu apa maksudmu. Selama aku bekerja sebagai intelijen, tidak ada satupun orang yang kubunuh, tak terkecuali ayahmu." Atau aku pernah membunuhnya hanya saja tidak mengetahui identitasnya? batin Dinda.

Bella memutar malas dua bola matanya. "Akui saja!" suruhnya, "Tidak hanya ada kita di sini."

Semakin Bella berkata, semakin Dinda bingung. Ia tidak pernah membunuh seseorang dan kali ini apa maksudnya kalau tidak hanya ada mereka berdua di dalam ruangan itu?

"Tetap diam, huh?" Bella kembali membungkukkan badannya dan menatap mata Dinda yang bergerak bingung.

Bella melepas kelingnya dan melemparkannya ke sembarang arah. Kelingnya tidak jatuh, tidak juga membentur tembok, dan suara langkah terdengar sehabis itu.

Kali ini Dinda tahu apa maksud dari perkataan Bella. Ada seseorang yang sedari tadi bersembunyi sehingga membuatnya beranggapan kalau hanya ada ia dan Bella di dalam ruangan.

"Mark?" Dinda terbelalak. Di tangannya, keling tergenggam, membuat Dinda beringsut mundur takut kalau dia akan memukulnya.

"Tidak hanya Mark, Dinda." Dinda menoleh kepada Bella. "Heidi juga ada di sini," sambungnya tersenyum miring.

Heidi keluar dari kegelapan ruangan dan menghampiri Bella. Ia menatap Dinda, dingin, membuat Dinda menunduk karena takut diakibatkan mereka semua adalah bawahan Gordon.

"Jika kau tidak mau salah satu dari kami menyakiti adikmu, maka akui kesalahanmu!" suruh Bella, "Aku masih memberimu kesempatan. Jadi, jujurlah atau kami menyakiti adikmu!"

"Bella, dari tadi aku tidak paham dengan perkataanmu. Aku tidak pernah membunuh siapapun, apalagi ayahmu yang sama sekali tidak kukenal," sahut Dinda, "Aku tahu jika menangkap pelaku kejahatan selalu memakan korban jiwa. Namun, aku tidak pernah membunuh siapapun. Demi Tuhan!"

"Huh, tetap membawa nama Tuhan walaupun tahu telah bersalah."

Mendengar itu, Dinda mencuramkan alis. "Aku benar-benar tidak tahu apa maksudmu!"

Bella mengangkat tinjunya untuk memukul Dinda kembali. Dinda memalingkan wajah, takut, pukulan yang tadi saja sakitnya belum hilang.

"Jujur!" suruh Bella sambil mencengkeram kerah baju Dinda, memberi kesempatan untuk menjawab sebelum tinjunya melayang ke wajahnya.

"Bella, aku tidak tahu." Hilang kesabaran, Bella meninju Dinda, membuatnya berteriak keras merasakan sakit dan panas di pipinya, lagi.

"Jangan buang tenagamu untuk memukulnya. Teroris tidak akan buka mulut sebelum kau menceritakan kejadiannya," saran Mark. Bella meliriknya lewat ekor mata, lalu balik menatap Dinda yang menunduk.

"Aku akan menceritakannya agar kau ingat." Bella kembali mengangkat kepala Dinda dan menyuruhnya untuk menatapnya.

"8 tahun yang lalu ...."

Bella begitu senang karena berhasil menembus perguruan tinggi militer yang selama ini ingin dimasukinya. Karena senang, ayah dan ibunya, serta kakaknya yang merupakan seorang pilot, mengadakan pesta besar di mansion. Mereka mengundang begitu banyak orang, bahkan kenalan sang ayah, Gordon Brown.

Malam itu, Bella mengenakan gaun yang telah disiapkan ayahnya. Begitu cantik, berwarna hijau terang didominasi warna emas di pinggir gaun. Ayahnya begitu puas saat mengetahui anak sulungnya itu menyukainya. Bella memeluknya erat, berterima kasih karena telah membelikannya gaun tersebut.

Pesta berlangsung cukup lama malam itu. Grup band kesukaan Bella dan teman-teman perempuannya disewa oleh ayahnya, membuat pesta itu semakin meriah. Tidak ada yang tahu, dua buah mobil berisi terparkir diam-diam di depan rumah mereka. Saat itu, semua orang berada di dalam, tidak ada yang di luar, termasuk satpam dan sekuriti.

Para penghuninya yang saat itu merupakan buronan negara keluar dari sana. Masing-masing dari mereka memegang senjata api dan sebagiannya bom.

Mereka menatap sejenak rumah Bella, lalu berpencar menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama di sayap kanan, masuk lewat jendela kamar yang berhasil dibuka, kelompok dua di sayap kiri, masuk lewat laboratorium kecil milik ayah Bella. Sedangkan kelompok tiga lewat depan. Mereka bersembunyi sejenak di samping pintu rumah sebelum masuk dan mengacaukan pesta.

Semua orang yang saat itu berbahagia seketika ketakutan. Mereka tiarap saat mendengar peluru senapan diledakkan.

Bella saat itu bersama teman-temannya. Ia tidak tahu di mana ayah, ibu, dan kakaknya berada. Ia merangkak pelan ke belakang, lalu bangkit dan berlari, tetapi dirinya ditodongi senapan oleh kelompok dua saat ingin melarikan diri.

Rumahnya sudah dikepung oleh orang-orang berbandana itu. Mengetahui Bella merupakan anak dari incaran mereka membuat penodong tadi menangkapnya. Ia membawanya ke ruang tamu, di mana semua orang ada di sana. Teriakan Bella yang berusaha membebaskan diri terdengar oleh ayahnya.

"Jika kau ingin anakmu selamat, maka keluarlah dari persembunyianmu, Johny!" teriak orang yang menangkap Bella. Bella ada di kuncian lengannya, ditodongi pisau kue di leher.

"Ayah, tolong aku!" teriak Bella. Ia menangis ketakutan, tak mengingat lagi bela diri yang akademi militernya ajarkan kepadanya.

Ayahnya yang saat itu bersembunyi, keluar saat anak bungsunya berteriak. Ia berdiri di tengah-tengah orang-orang yang tiarap, tak takut dengan todongan senapan yang orang-orang misterius itu arahkan kepadanya.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Johny kepada pria yang merupakan pemimpin dari kelompok-kelompok itu.

"Uang tebusan," jawabannya singkat. Johny menoleh kepada anak bungsunya yang tiarap tak jauh di sampingnya, lalu menyuruhnya untuk pergi ke brankas uangnya di ruangan kerjanya.

Anak bungsunya itu sempat menolak. Namun, melihat adiknya menangis dengan pisau kue tertodong di leher membuatnya bergegas ke atas untuk pergi ke ruangan kerja ayahnya.

Ia kembali dengan satu karung penuh uang. Ia menyerahkannya kepada ayahnya, lalu Johny mengambilnya dan memberikannya kepada pemimpin mereka.

Setelah terletak sempurna di lantai, anak buah dari pemimpin itu memeriksanya. Dengan tiga rekannya, mereka menghitung uang, takut kurang dan Johny membohongi mereka.

"Lebih dari yang kita inginkan, Azhar!" seru salah satu anak buahnya dengan logat Arab yang kental.

Pemimpin mereka yang bernama Azhar itu tersenyum senang. Ia melepaskan Bella, mendorongnya sampai terjatuh, lalu merangkul senjatanya, dan mentitahkan untuk mundur.

Johny memeluk Bella yang masih menangis takut. Ia dan yang lain menghela napas lega karena setelah mendapat uang, Azhar pergi.

Namun, rasa lega itu hanya sementara. Azhar tak puas mendapatkan uang dan mengarahkan moncong senapannya ke arah Johny, melesatkan satu peluru yang kemudian bersarang di dadanya, nyaris mengenai kepala Bella yang ada di pelukannya.

"A-Ayah?" Mengetahui kalau pelukan ayahnya menguat ditambah suara pekikan kecilnya membuat Bella melepas pelukannya. Ia menatap ayahnya yang terbelalak menahan sakit di dada yang akhirnya Bella ketahui kalau ayahnya tertembak.

"AYAH!"

Azhar segera melarikan diri dan melempar bom tak jauh dari tempat Bella dan ayahnya berada. Semua orang panik berhamburan, berusaha menghindari benda itu.

DHUARRR!!!

Ledakan itu mengenai punggung Johny. Ia terpental, melindungi anaknya dari ledakan, tetapi itu membuat hidungnya mengeluarkan darah akibat radar panas yang dihasilkan benda tersebut.

Bella merangkul ayahnya yang sekarat. Air turun dengan deras dari matanya, mengenai wajah Johny yang sekarat. Karena sakit di dada, dia tak bisa mengucapkan kata perpisahan. Tepat setelah membelai pipi anak sulungnya, ia menghembuskan napas terakhirnya.

Bella meraung-raung memanggilnya. Ia berteriak sekeras-kerasnya agar ayahnya kembali membuka mata.

Azhar dan kelompoknya tertawa senang saat keluar dari rumah Bella. Namun, tak berlangsung lama saat mereka melihat sekumpulan mobil polisi sudah mengepung mereka.

Sempat melawan, tetapi tak lama. Azhar dan semua anak buahnya ditangkap. Mereka diadili dengan Bella, kakaknya, dan ibunya sebagai saksi. Setelah hakim menjatuhkan hukuman, Bella berteriak marah kepada Azhar, nyaris terjadi baku hantam di antara mereka jika saja kakaknya tidak melerai.

Sejak saat itu, Bella tak menyukai seorang Islam. Jika ada mereka di sekitarnya, ia akan berusaha membuatnya dibenci oleh semua orang, akibat keyakinan Azhar yang sama persis dengan itu.

"Kalian teroris," tutup Bella, "Kalian membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah."

Sekarang, Dinda tahu apa maksud dari perkataan Bella. Bella membenci keyakinannya, menganggapnya merupakan keyakinan teroris yang melukai dan membunuh orang-orang tanpa alasan yang jelas.

Azhar pasti sengaja menggunakan nama keyakinannya untuk menjatuhkannya. Ia menjelekkannya agar dunia tahu kalau Islam adalah agama yang berbahaya.

"Aku membencimu karena itu, Dinda." Bella tersenyum miring. "Karena itulah aku menghampirimu yang saat itu juga masuk ke perguruan tinggi militer, untuk berkenalan, mengetahui kelemahanmu, dan menjatuhkanmu."

"Bella, aku tidak seperti yang kau-"

"Apa?" potong Bella, "Karena ayahku mati, maka aku menjadi seperti sekarang. Bawahan seorang koruptor yang merakit bom."

"Pengeboman itu direncanakan olehku. Rekaman Sir Gordon dihapus oleh suruhanku, digantikan dengan rekaman Raven."

"Karena itu, Leo menjadikan Deadly pelaku. Kau marah dan untunglah saat itu, rekanku mendengarnya. Mendengar berita itu membuatku mencetuskan julukan baru untukmu, yaitu Gadis Teroris. Kau suka, 'kan?" Bella tertawa.

"Kau sudah sinting, Bella!" Dinda mengertakkan gigi.

"Aku lebih baik menjadi sinting daripada menjadi seperti kau, Dinda. Gadis pembela teroris," sahut Bella.

"Aku menyesal mengenalmu!" teriak Dinda.

"Salahmu!" ejek Bella. Ia menepuk bahu Mark yang mengangguk sembari menyiapkan tinjunya.

"Heidi, ikut aku! Biarkan Mark dan rekan-rekannya berurusan dengan Dinda," ajak Bella.

"Padahal aku ingin melihatnya dianiaya," tolak gadis berambut emas itu.

"Ayo, Heidi! Melihatnya dilukai hanya membuang-buang waktumu." Bella menarik tangan Heidi dan keluar dari ruangan. Heidi pun terpaksa memgikutinya, sempat melempar senyum kepada Dinda yang kini tubuhnya bergetar luar biasa.

Dinda mendongak saat tubuh Mark menghalangi pandangannya. Lelaki dengan tatapan dinginnya itu menatapnya sampai rekan-rekan yang Bella sebutkan tadi muncul mengelilingi Dinda.

Dinda menoleh, lalu menunduk. Namun, rambut belakangnya dijabak oleh Mark sebelum pukulan keling kembali menghantam wajahnya.

Tak sempat memalingkan wajah saat pukulan kedua mengenai wajahnya, membuat kursi yang diduduki Dinda jatuh ke belakang. Ia terbaring, mendapat tendangan beberapa kali di kepala dan injakan di tubuhnya.

Dinda tak henti-hentinya berteriak. Ia pun menangis kesakitan. Beberapa kali posisi kursinya diperbaiki dan jatuh lagi akibat dipukul Mark, menyebabkan darah tak berhenti mengucur dari hidung dan mulutnya.

Terakhir, setelah memperbaiki posisi kursi kembali, Mark meninju muka Dinda. Dinda tak dapat sadar lagi karena kesakitan dan membiarkan kepalanya menunduk walaupun nanti lehernya pegal.

Setelah memastikan kalau gadis itu sudah pingsan, Mark dan yang lainnya pergi. Sebagian disuruh tetap tinggal di dalam ruangan takut Dinda pura-pura tidak sadarkan diri.

~~~

Hola!:D

Maafkan kalau banyak typo. Habis tamat saya revisi, insyaallah.

Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)

Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Cu next time!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top