31. Percakapan Kecil Teman Lama II
Mobil itu berjalan selama 4 jam menuju ke sebuah mansion di tengah hutan berwarna putih. Warna kuning dari cat dan hijau dari daun-daun yang merambat naik mendominasi tempat yang besar nan luas tersebut.
Dikelilingi pohon-pohon besar sehingga tak ada satupun orang yang mengetahui keberadaan itu. Jalan untuk akses ke sana pun tersembunyi, hanya orang terpilih yang dapat memasukinya.
Mobil van hitam itu terparkir di garasi yang berada di sayap kanan rumah. Di sana, mobil lain terparkir, memiliki plat yang sama dengan plat milik Deadly.
Setelah parkir, penghuninya keluar. Ia tidak menuju ke ruangan utama, tetapi pergi ke sebuah ruangan bawah tanah di mana hanya ia, anak buahnya, dan suruhannya saja yang boleh masuk ke sana, tak terkecuali ibu dan kakaknya yang merupakan keluarganya.
Dengan rambut bergelombang coklat, ia menapak anggun diiringi salah satu rekannya yang sudah lama menunggunya. Ruangan itu terdiri dari beberapa ruangan lain, beberapa gelap dan hanya sedikit dari mereka yang lampu dalamnya menyala.
Setelah melewati jendela salah satu ruangan, ia membuka pintu yang ada di sampingnya. Ia masuk, melangkah maju, lalu berhenti untuk memerhatikan seseorang yang terikat di kursi.
Ia belum sadarkan diri akibat empat buah pukulan baseball di kepala depan dan belakang. Di hidung dan dahinya, terdapat bekas darah mengering akibat itu semua.
Wajahnya masih normal. Hanya ada lebam di mata kanannya.
Gadis itu terduduk di bawah sorot lampu. Menunduk, seakan-akan berusaha menyembunyikan wajahnya dari gadis berambut coklat itu.
Dia menghampiri gadis itu dan mengangkat kepalanya. Mata gadis bernama Dinda itu masih tertutup rapat.
"Apa yang kita lakukan sekarang, Bella?" tanya orang yang tadi mengiringinya. Kepala gadis itu menoleh, lalu menurunkan lagi kepala Dinda dan menyibak rambutnya.
"Karena dia belum sadar, maka aku akan menyadarkannya ... nanti. Sekarang, cek lokasi bom kotak yang kuletakkan di samping rumah Franklin, agar kita tahu di mana rumah kedua Agatha," jawabnya, menyuruh.
Orang itu mengangguk. "Perintahmu akan kami laksanakan." Ia pun membungkukkan badan dengan hormat dan berlalu dari dalam ruangan.
Karena orang itu menutup pintu dengan kasar sehingga tercipta bunyi yang keras, mata Dinda berkedip samar. Ia meringis karena saat sadar, kepalanya sangat pusing dan berat.
Bella menoleh kepada Dinda. Ia tersenyum miring, pergi ke kegelapan ruangan, bersembunyi sambil memperhatikan Dinda yang akan sadar.
Dinda berusaha menghilangkan pusing dengan meringis berkali-kali dan mengerjapkan mata. Mereda, ia mendongak saat tahu sedang berada di atas kursi di mana kursi tersebut ada di atas lantai marmer putih yang bersih.
Netranya menangkap sebuah ruangan persegi panjang dengan jendela di depannya. Di depan jendela itu, sebuah lorong kecil yang entah menuju ke mana terlihat.
Sebuah lampu menyala dan hanya menyorot dirinya. Temaram membuat matanya tak dapat menangkap lebih banyak keadaan ruangan.
Beberapa menit terdiam, Dinda menyadari kalau dirinya diikat. Ia berusaha melepaskan diri, tetapi tak bisa karena tangan, badan, dan kakinya sudah diikat kuat di kursi kayu itu. Lagi-lagi tali tambang.
"Sudah selesai tidur siangnya, Dinda?"
Dinda yang mulanya fokus ke tali yang mengikatnya langsung menoleh ke sana-sini. Ia menyapu sisi ruangan, berusaha menemukan wujud suara, sempat bergidik karena takut itu adalah penjahat.
"Ah, aku sudah tahu jawabannya." Suara itu ada lagi. Dinda mengerutkan dahi, merasa suara itu mirip dengan suara Bella.
"Kau sudah bangun dari tidurmu," lanjutnya. Dinda masih menyapu isi ruangan, berusaha untuk menemukan pemilik suara.
"Siapa kau?" tanyanya, lirih.
"Menurutmu?" Tak menjawab, dia malah balik melempar pertanyaan.
Dinda sejenak dibuat penasaran siapa pemilik suara. Suara itu mirip dengan Bella dan tidak mungkin Bella-lah yang sedang berbicara dengannya sekarang.
Ia menoleh ke sana dan ke sini berusaha menemukan wujud suara sekali lagi. Namun, tak berhasil karena suasana temaram di dalam ruangan dan matanya yang bukan mata kucing.
"Kau tidak perlu mencariku. Aku akan memunculkan diriku sendiri."
"Kalau begitu, tunjukkan dirimu sekarang! Jangan menjadi pengecut yang hanya bersembunyi di dalam kegelapan!" suruh Dinda, lantang setelah suaranya serak sejenak.
Tidak ada jawaban. Dinda tersenyum miring. "Kau penakut rupanya."
"Kau boleh mengejekku sepuas hatimu, Dinda." Langkah terdengar dari sisi kanan Dinda. Dinda menoleh ke sana, terbelalak melihat siapa pemilik langkah dan suara yang kini wajahnya terlihat.
"Tapi, kau harus sadar kalau sekarang kau tidak bisa apa-apa," sambung Bella, melayangkan senyuman miringnya kepada Dinda.
Bibir Dinda bergetar. Ia tak tahu harus mengatakan apa saat Bella-lah yang dari tadi berbicara dengannya. Dinda gugup, ia tidak berani menatapnya. Bella pasti akan marah kepadanya akibat telah menyebutnya penakut dan pengecut.
"Hei, kenapa kau diam?" tanya Bella yang kini berada di depannya. Dinda menunduk, menyembunyikan wajah takutnya, sebelum gadis itu mengangkatnya dengan lembut.
"Apakah kau takut aku marah karena perkataanmu?" tanyanya. Dinda hanya mengangguk kecil.
"Tenanglah." Bella menepuk-nepuk bahunya. "Kau adalah temanku. Aku tidak mungkin marah kepada temanku."
Dinda bukannya lega, malah semakin merasa takut kepada Bella. "Kenapa kau mendadak berubah? Dulu kau memusuhiku dan sekarang kau menemaniku."
"Karena kau temanku," jawab Bella, berdiri tegak dan memasukkan tangan ke dalam saku jaketnya.
"Ka-Kalau begitu, kau pasti bisa melepaskan tali-tali ini dari tubuhku, 'kan? Kenapa saat aku diculik, kau ada di sini?"
"Kau tidak diculik Dinda. Kau diundang. Malam lusa kakakku berulang tahun. Aku ingin mengundangmu untuk makan malam bersama," Bella menjawab lagi, "Melepaskanmu? Ah, nanti saja. Saat perayaan ulang tahun kakakku dilaksanakan."
"Tapi, Frankin mencariku. Mark membawaku ke sini tanpa memberitahunya," sahut Dinda.
"Apakah aku peduli?" Bella yang sedari tadi melangkah untuk memutari kursi Dinda, berhenti.
"Tadi, kau bilang ...."
Dinda langsung diam saat tahu kalau Bella merupakan gadis yang pandai berkata manis. Ia kembali ketakutan.
"Apa yang ingin kaulakukan kepadaku?" tanya Dinda, berusaha menyembunyikan ekspresi takutnya.
Bella mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Jangan berbohong! Aku tahu kau ingin menyakitiku, 'kan?" sahut Dinda.
"Sungguh, apa maksudmu?" Bella kini menghadapkan tubuh ke arahnya.
"Mark dan rekannya yang satunya memukulku dengan tongkat baseball. Mereka pasti telah membawaku ke sini untuk bertemu denganmu," jawab Dinda, "Mereka tidak mungkin membawaku ke sini tanpa disuruh. Mereka membawaku ke sini agar kau menyakitiku." Ingatan Dinda yang tadinya buyar, mulai menguat.
"Apa yang ingin kaulakukan kepadaku? Jawab aku!" suruh Dinda, lantang. Bella yang tadinya bingung, perlahan mengubah wajahnya menjadi dingin.
"Beraninya kau berteriak kepadaku." Belle menatap Dinda yang kini wajah ketakutannya tak dapat disembunyikan lagi.
"Seakan-akan, aku ini adalah ANAK BUAHMU!!!" Bella mendorong kepada Dinda sampai membentur sandaran kursi.
Dinda meringis. Kepalanya sakit dan pusing lagi.
"Seharusnya kau bersyukur karena tadi aku menahan diriku untuk memukulmu. Namun, kau benar-benar menginginkan diriku marah ya?" sambung Bella.
"Jika kau sebenarnya ingin memukulku, kenapa kau menunda waktu? Aku tahu kau membenciku. Kata-kata manismu itu tidak berguna kau keluarkan untukku."
"DIAM!!!"
"Dengar, kau pantas mendapatkan semua yang pantas kau dapatkan. Kau pantas diejek Anak Jalang, Gadis Teroris, dan lainnya," sahut Bella, "Mereka pantas memukulimu dan pantas diberi hukuman. Kau juga-"
"Bagaimana kau mengetahui semua itu?" potong Dinda, "Kau tidak ada di IIS selama aku diejek seperti itu." Pertanyaan bodoh yang seharusnya bisa Dinda jawab itu terlempar otomatis dari mulutnya.
"Pertanyaan bodoh macam apa itu?" tanya Bella, terkekeh, "Kau tahu sendiri jawabannya, 'kan? Kalau aku mempunyai rekan sejalan yang memguntitmu setiap saat dan memberitahukan keadaanmu kepadaku?"
Jawaban yang ada di pikiran Dinda sama dengan jawaban Bella. Selama ini, selain Franklin yang selalu membuntutinya, ia tidak sadar rekan Bella juga ikut-ikutan.
"Baru tahu, huh?" Bella tertawa.
Dinda mencuramkan alis. "Aku sudah tahu sejak lama."
Bella hanya tersenyum, meremehkan.
Tepat saat itu, seorang lelaki berambut klimis datang dan masuk ke ruangan. Melihat Dinda dan Bella menatapnya membuatnya menunduk, mundur karena tidak mau mencampuri urusan mereka.
"Apa apa?" Pertanyaan Bella itu membuatnya berhenti mundur. Ia maju, menghampiri Bella, menunjukkan isi tabletnya, dan Bella tersenyum.
"Bagus. Lacak dia! Pastikan bom yang mereka bawa masih menyala!" suruhnya. Lelaki itu mengangguk, lalu menatap Dinda yang menatapnya dan menatap Bella bergantian.
"Sudah bangun ternyata," ujarnya sambil menatap Dinda dengan dingin.
"Sudah. Pergilah dari sini!" suruh Bella. Lelaki itu pergi dari tempatnya, membuka pintu, dan keluar.
Dalam hati Dinda membatin, lelaki itu begitu patuh kepada Bella. Seakan-akan Bella adalah pemimpinnya. Jika gadis itu memang benar pemimpin mereka, itu membahayakan. Tidak akan ada satupun anak buahnya yang dapat Dinda mohonkan untuk melepasnya.
Bella menatap Dinda yang menatap dirinya. Mereka terdiam cukup lama, saling menatap tajam, sebelum Bella buka mulut.
"Kau tahu rumah siapa yang akan dia lacak?" tanyanya.
Dinda diam, mempersilakannya untuk menjawabnya sendiri. "Itu bukan urusanku," sahutnya.
"Kau pasti tertarik karena adikmu ada di rumah yang akan anak buahku lacak itu," sahut Bella, tersenyum penuh kemenangan. Dinda langsung melebarkan mata dan memberontak.
"Apa yang ingin kaulakukan kepadanya, hah?" tanyanya berusaha melepaskan diri.
"Menyakitinya," jawab Bella tanpa merasa bersalah.
Dinda berhenti memberontak karena kaget. "A-Apa?"
"Kami berhasil menemukan rumah kedua Deadly. Adikmu pasti ada di sana, dia adalah targetku selanjutnya." Bella menerangkan jawabannya. "Aku akan menyakitinya seperti aku menyakiti dirimu, nanti. Jika kau merasakannya, maka kau tidak akan pernah mau adikmu terluka."
Bella mengelus pelan pipi Dinda. "Kau hanya perlu mengingatkan Dervin-mu itu untuk dipenjara. Ia tidak akan disakiti, kelompok Peregryne agar mendapat imbalan karena berhasil memenjarakannya."
"Tidak! Penjara bukan tempat untuk orang-orang tertuduh seperti Dervin!" tolak Dinda.
"Jika kau semakin melawan, maka adikmu akan merasakan sakit yang lebih parah darimu." Bella tersenyum miring.
Dinda tak dapat menyahutnya. Matanya basah menahan tangis.
"Kumohon jangan apa-apakan dia, Bella." Tak peduli, Bella berbalik dan meninggalkannya.
"Aku sudah bilang dia targetku. Lagipula ini demi kebaikanmu dan Peregryne," sahutnya.
"Bella, kumohon!" Dinda berteriak saat Bella meninggalkannya. Gadis itu tidak peduli, ia keluar dari ruangan.
Dinda menunduk lemah. Ia berusaha melepaskan diri lagi, entah berhasil atau tidak. Dia ingin mencegah Bella untuk menyakiti adiknya. Biarkan dia saja yang dilukai, kalau perlu dibunuh sekalian, daripada Dervin merasakan apa yang ia rasakan.
~~~
Hola!:D
30 parts, waktu satu bulan lebih, dan belum tamat (huhuT_T)
Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)
Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Cu next time!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top