30. Bom Kotak
Satu rasa penasaran Franklin terbalas. Ia tahu siapa Dervin dan bagaimana wajahnya.
Franklin membatin melihat Dervin. Dia adalah lelaki tampan dengan wajah Asianya. Sepeti Dinda yang cantik walaupun berhijab.
"Agatha, apakah itu yang namanya Dervin?" tanya Franklin, membuat Agatha mengernyit heran.
"Bodoh! Apakah julukan 'kakak' yang terucap lewat mulutnya tidak menyakinkanmu?" sahut Agatha. Frankin hanya mengerjap.
"Dinda punya adik yang tampan," bisik Franklin kepada Agatha. Agatha terkejut mendengarnya. Sebenarnya tidak ada yang membuatnya terkejut, hanya saja jika ada lelaki yang mengagumi lelaki lain biasanya lelaki yang mengagumi tadi akan menjadi lelaki gay.
"Jangan ambigu!" Seakan membaca ekspresi, Franklin segera menyambung. "Aku mengaguminya karena Dinda adalah gadis yang cantik dan adiknya merupakan anak yang gagah. Dinda beruntung memiliki adik sepertinya," sambungnya tak berhenti memuji.
Agatha masih diam dengan pikirannya. Jika Franklin menaruh perasaan kepada Dervin, itu memalukan sekaligus menjijikkan.
"Agatha, aku menemukan sesuatu!" seru Nadia dari dalam sebuah kamar. Agatha tertarik ke dunia nyata, bergegas ke sana diiringi Dervin dan Franklin.
"Apa yang kau temukan?" tanya Agatha setelah sampai di sana.
"Darah." Nadia menunjuk ke bawah, ke tempat di mana darah tergenang.
Agatha berdecak. Ia kira ada sesuatu.
"Memangnya ada apa dengan darah itu?" tanya Dervin, mendekati Nadia serta Yessy yang sibuk memperhatikan darah tersebut yang kini sebagian menempel di tangannya.
"Besi, manis, dan kental. Golongan darah O." Semua orang tak dapat menahan ekspresi jijiknya saat gadis berambut sebahu itu menjilat jari telunjuknya untuk merasakan darah itu.
"Franklin, kau tahu golongan darah Dinda?" tanya Yessy sambil berdiri dan menatap sekitar.
"Y-Ya," jawab Franjlin, berusaha untuk tak muntah akibat perbuatan Yessy. "Sama dengan perkataanmu."
"Itu berarti Dinda dilukai." Pandangan Yessy beralih ke keling yang tergeletak di atas lantai.
Gadis itu menghampirinya dan mengambilnya. "Dinda sempat melawan sebelum akhirnya menyerah." Ia lebih banyak berbicara kali ini.
Tatapan Yessy beralih ke ponsel dengan layar retak yang terletak di atas kasur. Ponselnya masih terlihat bagus, pertanda kalau penghancur ponsel itu bisa diselidiki.
"Akan kubawa ponsel ini ke rumahku. Aku akan menyelidiki siapa yang telah menghancurkannya," kata Yessy.
"Oh, ya, Franklin. Apakah laptop itu berfungsi?" Yessy menunjuk ke arah benda berukuran sedang yang kini ditutup dengan dilipat.
"Ya."
"Ada yang ingin kutunjukkan." Yessy meraba tas ranselnya, mencari flashdisk, lalu menemukannya. "Aku ingin menunjukkan sebuah rekaman kepadamu."
Yessy duduk di depan laptop, menyalakannya, lalu memasang flashdisk-nya. Franklin menghampirinya dan menengok isinya.
"Ini kau saat pergi dari rumah," kata Yessy, mengarahkan panah mouse-nya ke seorang lelaki yang merupakan Franklin. "Setelah mobilmu beranjak, mobil berplat sama dengan mobil kami ini datang dan berhenti di seberang rumahmu."
Franklin memerhatikan rekaman dengan seksama. "Penghuninya tidak keluar. Namun, pada detik selanjutnya mobil itu menghilang dan ada bekas ban berlumpur di depan rumah."
"Jadi, apakah rekaman saat Dinda diculik itu-"
"Ya," potong Yessy, "Rekaman saat kejadian itu dihapus. Seperti rekaman saat Gordon meletakkan bom di masjid."
"Sebenarnya aku sudah mencurigai bekas ban itu. Namun, kurasa itu hanya pengendara yang ingin putar balik. Jadi, aku tidak memedulikannya sampai aku melihat pintu utama yang terbuka," sahut Franklin.
Yessy diam beberapa saat. "Aku sebenarnya bisa meretas CCTV dan mencari rekaman yang dihapus itu. Hanya saja, sepertinya sebelum aku melakukannya, pihak penculik sudah terlebih dahulu mengamankannya sampai peretas sepertiku tidak bisa mendapatkannya," katanya sambil terus mengutak-atik agar menemukan rekaman yang dihapus itu walaupun tahu itu percuma.
"Kalau begitu, kita harus bagaimana?" tanya Franklin. Yessy mengendikkan bahu. "Entahlah. Aku dan yang lain juga bingung."
Franklin membuang napas. Ia mengusap wajahnya sebelum duduk di tepi kasur.
"Kira-kira, apakah kau bisa menyelidiki rekaman yang dihapus itu?" tanya Franklin, berharap.
"Aku tidak tahu," jawab Yessy.
Lagi-lagi Franklin membuang napas.
"Sebenarnya kau siapanya?" tanya Agatha yang sejak tadi memperhatikan Franklin yang gelisah sendiri karena belum mendapatkan kabar baik dari Dinda. "Kau rela diusir oleh pemimpinmu hanya untuk Dinda."
"Sahabat," jawab Franklin, "Dia teman pertamaku di sekolah dulu."
Mendengar kata "sekolah", Dervin mengangkat kepala. "Apa maksudmu? Kakakku pernah bersekolah di sini? Atau ... kau bersekolah di Indonesia dan bertemu kakakku?"
"Dinda pernah bersekolah di Amerika. 2 tahun sekolah menengah, 4 tahun sekolah militer, dan 3 tahun praktek lapangan di akademi militer Amerika Serikat," Setelah mengangguk, Franklin menjawab.
Dervin terbelalak. "Militer?"
Franklin mengangguk lagi.
"Aku baru tahu Kakak alumni militer." Sebuah senyum kecil terukir di bibir. "Itu keren."
"Karena kekerenannya itulah Dinda dipinang menjadi intelijen di IIS. Terlebih tak banyak pasukan militer berhijab sepertinya, yang memiliki nilai latihan melebihi rata-rata, membuat Sir Thomas yang merupakan atasan Elite merekrutnya, " sahut Franklin, ikut tersenyum mengenang cerita Dinda yang diceritakannya setelah tak bertemu sekian lama akibat beda sekolah beberapa tahun yang lalu.
"Kakakmu itu hebat, Dervin," puji Franklin, "Kau harus bangga memiliki dia di dalam hidupmu."
"Aku memang sudah bangga sejak dulu," sahut Dervin. Senyumannya semakin lebar mendengar Franklin memuji kakaknya itu.
Melihat Dervin tersenyum membuat Agatha, Nadia, dan Yessy yang melihat senang. Pasalnya, seharian ia murung karena mengenang tangisan Dinda di telepon dan penculikan itu.
Namun, tak berlangsung lama saat teriakan James yang memanggil Yessy untuk menemuinya terdengar. Yessy meninggalkan komputer, Nadia mengikuti, sedangkan yang lain berdiam di dalam kamar dan saling pandang.
Yessy pergi ke belakang rumah, di mana James dan Raven berdiri sambil memperhatikan sesuatu di bawah jendela dapur.
"Ada apa?" tanyanya setelah sampai. James menunjuk ke sebuah kartu yang bersembunyi di balik panjangnya rumput.
Yessy segera mengambilnya. "Kenapa tidak diambil?" tanyanya sambil membersihkan benda tipis kecil itu dari kotornya tanah.
"Sebenarnya aku ingin mengambilnya, tapi ...." James menjedanya sambil menatap tak jauh dari kartu tadi berada.
Yessy menatap ke arah yang dia tatap. Ia terbelalak melihat sebuah kotak, dengan timer di atasnya, sedang aktif dan menghitung mundur waktu meledaknya.
"Matikan! Matikan!" teriak Yessy, panik. James mengambil kotak itu dan bersama Raven, ia berusaha mematikan timer-nya. Agatha, Dervin, dan Franklin yang mendengar teriakan Yessy sontak langsung pergi ke mana suara berasal. Setelah sampai, mereka terkejut melihat sebuah kotak mirip dengan kotak cincin ber-timer--menandakan kalau kotak itu adalah bom--ada di tangan mereka.
Agatha langsung ikut mematikannya. Mereka berusaha mematikan benda itu untuk tidak meledak. Waktunya hanya 10 detik. Jika mereka tidak berhasil, mereka akan mati akibat ledakannya.
Yessy dan Dervin sudah terlebih dahulu menjauh dan bersembunyi. Nadia malah senang melihat yang lain panik karena takut bom meledak.
Bom beralih dari satu tangan ke tangan yang lain. Mereka berusaha menghentikannya bergantian, bahkan Franklin pun ikut-ikutan.
Waktunya terus berkurang dan menyisakan 3 detik. Agatha yang memegang kotak itu langsung melemparnya menjauh dari mereka dan berbalik sambil menutup telinganya.
Yang lain juga demikian. Setelah lewat dari 3 detik, entah kenapa tidak terjadi apa-apa.
Agatha dan yang lain membalik badan dengan perlahan. Yessy dan Dervin keluar dari persembunyian.
Nadia mendekati kotak itu dan mengambilnya. Waktunya berhenti, tepat satu detik sebelum semua nomor timer menjadi nol.
"Timer-nya berhenti sendiri!" sorak Nadia, senang. Agatha dan yang lain hanya mengerutkan dahi.
"Bagaimana bisa?" tanya James yang langsung mendekati Nadia untuk melihat timer kotak itu lebih dekat.
Nadia mengendikkan bahu. Ia menghampiri Agatha dan menyerahkan kotak itu kepadanya.
Beberapa detik setelah Agatha menyambutnya, timer mati. Kotak itu tidak jadi meledak.
"Sudah mati?" tanya Raven. Agatha mengangguk.
"Apakah tidak akan menyala lagi?" tanya Yessy yang berjalan takut menghampiri mereka, diiringi Dervin dengan wajah pucat.
"Sepertinya tidak," jawab Agatha. Yessy dan Dervin mengelus dada.
Yessy mengambil kembali kartu tebal plastik yang tadi terlepas dari tangannya. Kartu biasa, tidak bertuliskan, tetapi permukaannya sedikit tidak rata.
"Franklin, apakah kau mengecek sisi rumahmu kemarin?" tanya Agatha.
"Tidak." Franklin mengeleng.
"Pantas saja," sahut Agatha, "Sepertinya pemilik mobil berplat sama itu yang meletakkan ini dan juga kartu itu." Agatha melirik Yessy yang masih meraba permukaan kartu takut ada sesuatu yang janggal.
"Sepertinya dia juga adalah teroris," sambungnya.
Yang lain tampak membenarkan anggapan Agatha itu. Siapa lagi orang yang meletakkan bom di luar dapur kalau bukan teroris?
"Yessy, simpan ini! Ayo, kita selidiki semuanya di rumahmu," suruh Agatha sambil menyodorkan kotak itu kepda Yessy.
"AGATHA!!!" Agatha langsung menarik tangannya lagi saat mengingat kalau Yessy takut dengan bom. Ia pun menitipkannya kepada James yang menerimanya dengan tangan gemetar, lalu pergi ke depan tempat mobil terletak.
"Franklin, mau ikut kami?" tawar Agatha sebelum mereka pergi. Mereka rasa ponsel Dinda, kartu kosong, dan kotak bom itu sudah cukup untuk mereka.
"Bolehkah?" tanya Franklin. Agatha menaikkan dua kali kedua alis.
Franklin tanpa pikir panjang ikut. Ia mengambil ponsel, dompet, dan mantelnya sebelum masuk ke dalam mobil.
Ini baru pertama kalinya Frankin naik mobil dengan teroris. Namun, kali ini ia tidak terlalu mempersoalkannya.
Tak menunggu waktu lama, mobil beranjak. Mereka pergi dari depan rumah Franklin dengan mobil yang sama berhenti tak jauh di belakang mereka.
Ia sudah berada di sana untuk memastikan kalau mereka telah mengambil bom itu. Melihat mereka membawanya membuatnya senang.
Si supir mengambil ponselnya dan menekan beberapa digit angka. Ia mengatur sebuah timer.
Setelah selesai, ia memulai perhitungan timer. 48 untuk jam, 60 untuk menit, dan 60 untuk detik.
Angka-angka itu berubah seiring berjalannya waktu. Kini, ia melebarkan senyum.
Timer itu tersambung dengan kotak bom tersebut. Tanpa sepengetahuan Deadly, benda itu kembali aktif dan berhitung mundur dan akan meledak pada jam 10 malam esok lusa, membuat si pengatur tertawa lepas dan memajukan mobilnya karena puas.
Ia berbelok, berjalan ke arah berlawanan. Ia akan kembali ke tempatnya karena berhasil menjalankan salah satu tugasnya.
~~~
Hola!:D
Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)
Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Cu next time!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top