3. Lain Isyarat, Lain Jawaban

Ledakan bergema. Ketenangan jamaah berubah menjadi kekacauan. Debu langsung menggumpal dan menghalangi jalan semua orang yang berusaha menyelamatkan diri. Tak terkecuali Dinda yang terpental agak jauh dengan isi tasnya yang kembali tercecer.

Rasa panas terasa membakar lengannya. Ledakan itu terjadi tak jauh di sampingnya. Radarnya begitu kuat sampai-sampai mengenai kulit Dinda. Tak memedulikannya, gadis itu meraih ranselnya lagi dan memasukkan mukenanya ke dalam sana.

Dinda baru saja ingin berlari, tetapi tak jadi saat sebuah tiang penyangga masjid jatuh di depannya. Dua tiang lain terlihat akan menyusul. Dinda tanpa pikir panjang menyelamatkan orang lain yang nyawanya sedang terancam.

Satu tiang sudah roboh. Kekuatan ledakan bom tadi benar-benar melebihi batas. Bangunan itu seketika akan hancur dan tak dapat berdiri tegak. Dinda harus cepat menyelamatkan orang lain dan dirinya sendiri.

"Aduh!"

Dinda oleng dan jatuh ke samping saat seseorang menabraknya dengan keras. Seorang lelaki ber-hoodie kulit berwarna gelap langsung berhenti berlari dan menyuruh seorang nenek yang tadi dilindunginya berlari terlebih dahulu ke luar. Setelah itu, ia membungkuk dan menyodorkan tangannya. Dinda menoleh kepadanya, lalu lelaki itu seketika kaget.

Dinda melebarkan mata. Lelaki itu langsung menarik tangannya. Ia berlari meninggalkan Dinda. Dinda ingin menyusulnya, tetapi mengingat tiang ketiga akan menyusul untuk roboh membuatnya menepis keinginan dan berlari ke luar dari sana.

Dinda berlari bersama jamaah-jamaah lain. Tiang ketiga sudah mulai jatuh ke depan dan Dinda harus mempercepat lajunya. Jika ia terlambat, tiang itu akan menutupi pintu masuk yang sekaligus menjadi salah satu pintu keluarnya. Bangunan akan roboh dan menimpanya, lalu melukainya.

Sekali hentakan, Dinda melompat dan menggulingkan diri untuk ke luar. Tiang yang berada tepat beberapa sentimeter di atasnya berhasil jatuh dan menutup pintu utama masjid. Dinda berhasil keluar dari sana, tetapi terus berguling sampai tak sadar dirinya sudah mencapai tangga. Ia memekik tertahan saat ujung anak-anak tangga itu menghantam tubuhnya, sebelum akhirnya digantikan dengan hantaman keras di halaman masjid yang dilapisi aspal.

Dinda bangkit, ditolong beberapa jamaah perempuan di dekatnya. Ia memegangi dadanya yang nyeri akibat menghantam ujung anak tangga berkali-kali.

Kepalanya seketika pusing. Dinda memejamkan mata, berusaha mengendalikan diri. Kemudian ia menatap ke arah masjid yang telah tidak terlihat sempurna lagi. Matanya berkaca-kaca.

Siapapun pelakunya, dia telah menghancurkan tempat beribadah agamanya. Dinda tidak akan memaafkannya jika pelaku tersebut ada di depannya. Ia harap IIS segera menangani kasus ini, mengingat intelijen Elite sepertinya cocok untuk mengurus kasus ini.

"Dinda!"

Dinda sontak terkejut merasakan tepukan di bahunya. Kimberly membalik badannya dan memeluknya yang lusuh karena debu. Di belakangnya, tampak Franklin, Xin, Zack, dan Leo berlari dengan wajah cemas. Mereka menghampirinya, membawanya ke mobil, sekaligus menanyakan keadaannya.

Leo mendadak berhenti dan meraba sakunya. Ponselnya bergetar dan membuat keempat rekannya berhenti di tempat. Mereka menatapnya yang mengangkat panggilan dengan wajah tegang. Beberapa saat kemudian, Leo melebarkan mata, lalu mengubahnya menjadi dingin dan mengangguk, sebelum akhirnya mematikan telepon sepihak.

"Ada apa?" tanya Xin. Leo menatap mereka semua bergantian.

"Sir Thomas meminta kita berkumpul di ruangannya."

~~~

"Ah! Pelan-pelan, Xin!" Dinda memekik kesakitan saat gadis berdarah Tionghoa itu mengoleskan es batu dari teh dinginnya ke lengannya yang tadi terbakar. Luka bakar jelas tergambar di sana, tidak terlalu besar, tetapi siapapun yang mendapatkannya akan merasa perih dan nyeri.

"Tahan sedikit!" suruh Xin. Dinda meringis saat Xin mengoleskan es batunya lagi di tengah-tengah ributnya suara mesin mobil.

"Selesai!" Xin menghela napas lega. Dinda membuang napas, lalu menarik tangannya dan meniup lengannya.

"Lukanya serius, Xin?" tanya Franklin yang sedang mengemudikan mobil.

"Tidak," jawab Xin. "Hanya lepuh dan kemerahan. Sepertinya perih jika disentuh," lanjutnya sambil melirik lengan Dinda.

Franklin menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu." Ia membelokkan mobil ke arah kiri.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kalian tahu kalau ada ledakan bom di masjid?" tanya Dinda, heran. IIS merupakan gedung yang dibuat dengan pengedap suara sehingga tak ada bunyi apapun di luar gedung yang terdengar, tak terkecuali bom.

"Apakah kau mengira IIS bisa memendam bunyi selamanya?" sahut Leo. "Ledakan itu begitu kuat. Mungkin tadi kantor sempat bergetar saking kuatnya," jawabnya.

Dinda mengerutkan dahi. "Tapi, bagaimana kalian bisa tahu kalau ledakan itu dari masjid?" tanyanya.

Zack mengetik di ponselnya, lalu sebuah suara hasil ketikannya menjawab pertanyaan Dinda.

'Aku memperkirakan gelombang radiasinya, lalu menghitung jaraknya, dan mencocokkan koordinat. Setelah itu, aku menemukan di mana ledakan itu berasal, yaitu dari Islamic Center.'

Dinda melebarkan mata. Walaupun lelaki itu tidak bisa bicara, tetapi ia bisa memperkirakan sebuah ledakan sejauh satu kilometer dengan otaknya yang cerdas.

"Sebelumnya kami tidak percaya, tapi mengingat kau beribadah di sana membuat kami buru-buru pergi ke masjid untuk menyelamatkanmu," sambung Kimberly. Zack menatapnya tajam. Bukan kami yang ingin diucapkan Kimberly, melainkan aku, alias dirinya sendiri yang tidak mengerti dengan bahasa isyarat tangannya beberapa waktu yang lalu.

Dinda diam, suasana berubah hening, dan suara mesin kembali mengambil alih.

Beberapa saat kemudian, mereka semua sampai di kantor. Dinda dan yang lainnya keluar dari mobil, berjalan cepat ke ruangan mereka yang terletak di lantai 8.

Setelah memasuki lift dan keluar lagi di lantai yang diinginkan, mereka semua melesat. Mereka masuk ke dalam ruangan, mengambil jas hitam di dalam loker, lalu mengenakannya diiringi kepulan bedak milik Kimberly. Dinda meletakkan tas berisi mukenanya, papan luncurnya, lalu memakai jasnya. Setelah memasang dasi, Dinda mengancingkan jas, sebelum memperhatikan diri lewat pantulan cermin di lokernya.

"Ayo!" Suara Leo terdengar. Dinda dan yang lainnya mengangguk, lalu menutup lokernya masing-masing dan keluar lagi. Kantor Thomas berada tepat satu lantai di atasnya. Mereka harus menaiki lift sekali lagi.

Di dalam lift, mereka diam. Yang ada hanyalah siulan Franklin yang berusaha untuk tenang. Bertemu dengan Thomas merupakan sesuatu yang sangat dia hindari. Pasalnya dia pernah melakukan sebuah kesalahan kepadanya di masa lalu, yaitu melukainya.

Pintu lift terbuka. Enam orang anggota tim Elite bernama Peregryne itu melesat ke ruangan atasannya. Derap langkah bergema di koridor yang sepi. Setelah beberapa lama berlari, mereka sampai. Dinda dan teman-temannya memeriksa penampilan, Thomas merupakan orang yang rapi dan dia akan menatap tajam anggota intelijen Elite yang tidak berpakaian rapi.

Leo menarik napas, lalu membuka pintu ruangan dan masuk ke dalam sana.

Leo dan timnya berdiri di depan sebuah meja. Di belakang benda tersebut, pria berbadan tegap nan kekar membelakangi mereka sambil bersandar di tepi meja.

"Selamat siang, Sir Thomas," sapa Leo.

"Selamat siang," sahutnya. Berat, dingin, dan berwibawa. Leo dan kelima rekannya tak sadar meneguk ludah.

Pria itu membalik badannya. Tangannya yang kekar dimasukkan ke dalam kantong celana. Rambutnya yang mirip duri landak yang mulai memutih disisir rapi ke belakang. Luka gores panjang di bagian kelopak mata kanan membuat Franklin menatap ke arah lain karena mengingat kelakuannya dahulu kala.

"Kalian datang tepat waktu," sambungnya. Thomas menatap mereka semua bergantian, memperhatikan penampilan mereka dengan mata setajam elang, sebelum tersenyum puas saat melihat mereka berpakaian rapi.

Tidak ada yang menyahut.

"Kurasa kalian sudah tahu apa yang akan kubahas hari ini." Thomas duduk di kursinya, sebelum mempersilakan keenam intelijen Elite itu untuk duduk juga.

"Bom meledak tepat 15 menit setelah jam istirahat. Aku ingin kalian mencari tahu siapa dalang di balik pengeboman itu dan menangkapnya, lalu membawanya ke pihak berwajib tanpa membocorkan nama kantor kita." Tanpa basa-basi, Thomas memulainya.

"Apakah kalian bisa melakukannya?" tanya Thomas kepada semua orang yang ada di sana.

"Kami bisa melakukannya," jawab Leo tegas, mewakili jawaban rekan-rekannya. Thomas menatap pemimpin Peregryne itu dengan tatapan selidik. Leo balas menatapnya dengan tatapan yakin.

"Baiklah kalau begitu," kata Thomas. "Jika kalian membutuhkan bantuan, kalian bisa menghubungiku, atau bekerjasama dengan tim Vyper yang sedang menganggur."

Leo dan semua orang yang mendengarnya terbelalak. Vyper merupakan tim Elite paling berbahaya, dan dia adalah salah satu saingan berat Peregryne.

"Kuharap saat bekerja, kau tidak melempar pisau ke orang yang salah, Franklin." Thomas melayangkan tatapan tajamnya kepada Franklin. Franklin menunduk, merutuki atasannya yang masih mengingat kejadian itu.

Kimberly dan Xin terkekeh kecil tak jauh di sampingnya. Wajah Franklin seketika berubah masam.

"Silakan pergi!" suruh Thomas, kembali berdiri dan menatap ke jendela yang terletak di belakang kursinya. Leo mengangguk hormat, lalu mengajak rekan-rekannya berdiri, sebelum akhirnya keluar bergantian dan menutup pintu.

"Kalian menyebalkan," ujar Franklin kepada Kimberly dan Xin setelah keluar dari sana.

Kimberly dan Xin terkekeh lagi. "Maaf, kami tidak dapat menahannya," kata Xin sambil berjalan.

"Lain kali jika kalian hanya ingin menertawakan Frank, lebih baik kalian tidak usah ikut kami ke kantor Sir Thomas lagi," omel Leo.

"Hei, Pendek! Siapa yang berbicara denganmu?" Kimberly menyahut lelaki itu. Leo meliriknya, lalu membuang napas dan melanjutkan langkahnya dalam diam.

Kimberly menyeringai kecil. Sedangkan Dinda, Franklin, Xin, dan Zack menatapnya ngeri.

"Kim tidak ada tandingannya," bisik Xin pelan. Dinda yang ada di sampingnya mendengarnya, tetapi memilih untuk tidak mengacuhkan.

Mereka semua masuk ke dalam lift. Setelah pintunya tertutup, lift tersebut turun ke bawah. Kurang dari satu menit, pintu lift terbuka kembali. Keenam orang itu kembali berjalan ke luar dengan santai.

"Ngomong-ngomong, kita belum makan siang," kata Kimberly sambil melepas jas dan dasinya. Setelah tahu kalau ada bom meledak, mereka yang baru saja ingin menyuapkan makan siang langsung berlari pergi dari IIS, khawatir dengan Dinda.

"Waktu istirahat masih lama. Bagaimana kalau setelah ini kita ke kantin?" usul Franklin setelah melirik jam tangannya. Tersisa banyak menit untuk mereka melanjutkan istirahat.

"Aku setuju!" sahut Dinda. Leo, Xin, dan Zack hanya mengangguk, juga menyetujui usul Franklin.

Maka setelah melepas jas dan dasi, mereka bergegas ke kantin kantor. Dan seperti biasanya, Dinda membawa nasi goreng.

"Nasi goreng lagi?" tebak Kimberly sambil memperhatikan kotak bekal Dinda yang baru saja dikeluarkannya.

Dinda tersenyum. "Persis seperti perkataanmu," jawabnya. Ia berjalan ke luar, menyusul yang lain.

"Apa kau tidak bosan dengan makanan itu?" tanya Kimberly yang berjalan beriringan dengannya.

Dinda menggeleng.

Kimberly mencuramkan alisnya. "Bukankah kau bisa memasak yang lain? Rendang, soto, atau bakso?" tanyanya.

Dinda tak menyangka gadis itu menginginkan makanan khas negaranya itu. "Bahannya mahal. Aku tidak ingin menyia-nyiakan uangku," jawabnya. Kimberly hanya membulatkan mulut.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau bertanya seperti itu?" Giliran Dinda bertanya. Ia dan gadis itu sudah sampai di kantin dan mereka duduk di meja tempat Xin, Zack, dan Franklin sedang makan.

"Aku menginginkannya," jawab Kimberly. "Makanan negaramu itu membuatku jatuh cinta pada kecapan pertama." Ia memain-mainkan tangannya, serta melagukan perkataannya.

Dinda terkekeh. "Lain waktu. Jika gaji dari kantor sudah keluar, aku akan membuatkannya untukmu." Dinda duduk di kursinya dan membuka tutup bekalnya. Mata Kimberly langsung berbinar. Tanpa basa-basi, ia memeluk Dinda yang sedang menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Terima kasih!" ucapnya. Dinda yang kaget tersedak nasi dan buru-buru melepas tangan Kimberly, sebelum meraih kaleng soda milik Zack dan meminumnya sampai tandas.

Dinda menghela napas lega karena berhasil lolos dari tanda-tanda kecil kematian. Namun, melihat sekaleng soda di tangannya membuatnya merasa bersalah dan menatap Zack yang mendatarkan wajahnya.

"Akan kuganti!" kata Kimberly tiba-tiba. Dia melesat ke arah mesin minuman kantin. Dinda melirik Zack yang masih menatapnya kesal. Gadis itu terkekeh kecil, lalu mengeluarkan jari telunjuk dan tengahnya dari tangannya yang terkepal--peace.

Kimberly datang dengan soda pengganti. Zack berterima kasih lewat bahasa isyarat tangannya.

"Ah, kau bisa mengganti uangku besok atau lusa," balas Kimberly. Zack mendengus. Lain isyarat, lain jawaban.

"Menyebalkan!" gerutu Zack dalam hati.

~~~

IIS: Singkatan dari International Intelligence of Samuel

~~~

Hola!:D

Apakah ada kesan, pesan, kritik, atau saran? Tulis aja di kolom komentar, 'nggak akan saya gigit, kok:)

Kenapa cepat update? Satu, karena semangat. Dua, karena ada 4 beban hidup:D

Terima kasih sudah membaca! CU next time!!!^O^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top