28. Menolak

Ponsel yang menempel di telinga perlahan jatuh karena genggaman Dervin yang melonggar. Lelaki itu merasa jantungnya berhenti berdetak saat Franklin mengatakan kalau Dinda diculik.

Agatha dengan sigap mengambil ponselnya sebelum menyentuh permukaan bumi. Ia menempelkan ponselnya itu ke telinganya, sempat melirik Dervin yang berdiri diam dengan wajah pucat, lalu menyahut Franklin.

"Apa maksudmu?" tanyanya, padahal jelas jawabannya baru saja dipaparkan Franklin beberapa menit yang lalu.

"Kenapa sekarang kau begitu pikun, Agatha? Dinda diculik!" Franklin mengulang salah satu kalimatnya.

"Bagaimana bisa? Siapa yang menculiknya?" tanyanya lagi, masih tidak percaya.

"Aku tidak tahu. Saat aku datang, dia hilang bak ditelan bumi."

Dervin menoleh kepada Agatha.

"Apakah ada petunjuk? Atau sebuah benda mencurigakan yang ada tiba-tiba?"

"Tidak ada."

Agatha membuang napas. Harus ia akui dirinya cemas saat ini.

Menoleh kepada Dervin, kekhawatiran anak itu tidak dapat disembunyikan lagi.

"Apakah rekan-rekanmu tahu tentang hal ini?" tanya Agatha lagi.

"Ti-Tidak," jawab Franklin setelah hening beberapa detik, membuat Agatha menghela napas lega.

"Apakah itu berarti kita akan menyelidiki keberadaan Kak Dinda?" tanya Dervin. Suaranya parau karena berusaha untuk tidak cemas.

Agatha tampak memikirkan perkataannya. Sejak dulu, IIS adalah musuhnya, membuatnya tak ingin bekerjasama dengan Franklin untuk mencari Dinda.

Namun, Agatha juga memikirkan dari sisi lain. Franklin adalah saksi pertama menghilangnya Dinda. Mereka membutuhkan informasi darinya. Toh, dia tidak memberitahu yang lain.

"Tapi, aku berencana ingin memberitahu teman-temanku. Kuharap mereka mau, jadi kami menyelidiki keberadaan Dinda."

Harapan Dervin seketika pupus setelah tercipta dalam waktu kurang dari semenit.

"Kalau begitu, kabari teman-temanmu dulu. Kami akan bertindak terlebih dahulu untuk berjaga-jaga jika mereka tidak mau membantumu," sahut Agatha.

Dervin kembali mengarahkan netra basahnya kepada Agatha.

"Apakah tidak mengapa?"

"Tidak mengapa."

Setelah mengucapkan terima kasih yang begitu banyak kepada Agatha, panggilan dimatikan sepihak.

"Kita akan mencari Kak Dinda?" Dervin kembali menanyakan pertanyaan yang tidak sempat Agatha jawab.

Agatha hanya mengangguk.

Mata Dervin yang sudah basah menjadi lebih basah saat air mata keluar dari sana. Ia memeluk Agatha, menangis di dadanya karena takut kakaknya kesakitan dan terluka.

Agatha hanya megelus pelan rambut Dervin. Ia juga sama khawatirnya dengan Dervin.

"Ayo, kita beritahu yang lain!" ajak Dervin setelah melepas pelukannya dan menarik tangannya. Agatha mengangguk sekilas, lalu mengikuti anak itu untuk masuk ke dalam rumah.

Di ruang keluarga tempat di mana semua orang sedang berkumpul, Agatha memberitahu mereka. Tak cepat orang-orang menerima keputusannya, James dan Yessy sempat menolak.

"Bekerjasana dengan intelijen-intelijen tak punya hati itu? Aku tidak mau," tolak Yessy.

"Ini demi Dinda dan untuk Dervin. Apakah kalian ingin Dinda terluka dan Dervin menangis karenanya?" bujuk Agatha.

"Tapi, itu berarti kita membeberkan lokasi kita kepada IIS. Mereka akan menangkap, menghukum, dan memenjarakan kita," sahut James.

"Bukankah Yessy dapat menutupi lokasinya? Aku tahu, memang benar kalau IIS dapat mengetahui siapa saja orang-orang yang mencari tahu sesuatu yang sedang mereka selidiki. Tapi, bukankah itu tidak bisa dijadikan alasan karena Yessy dapat menyembunyikan identitas dan lokasi kita?"

Yessy tampak berpikir dan merenungi perkataannya.

"Aku tahu kita bisa. Lagipula, teman-teman Dinda saat ini sedang naik pitam karenanya. Peluang untuk bekerjasama diam-diam bersama mereka begitu tipis." Agatha menyatukan telunjuk dan ibu jari.

"Aku harap kalian mau. Aku tahu rasanya dilukai," sambung Dervin, penuh harap. Mendengar perkataan Dervin yang memelas itu, hati Yessy dan James tergerak untuk membantu.

"Namun, resikonya begitu besar, Agatha." James memberi peringatan.

"Jangan pedulikan penjara, borgol, atau apapun yang selama ini dapat menghentikan kita! Kita fokus kepada Dinda, cari lokasinya, cari dalang dan orang-orang yang mencurigakan, lalu selidiki, dan kita beri dia pelajaran." Agatha memukul telapak tangannya sendiri dengan tangan satunya yang mengepal.

Setelah itu, pasangan itu setuju untuk membantu. Tak menunggu Nadia dan Raven pulang, mereka segera mulai mencari Dinda.

Dervin tak dapat menahan tangis harunya karena bujukan Agatha yang berhasil. Agatha mengusap air matanya, memeluknya, lalu bergabung bersama Yessy dan James yang sibuk mencari Dinda.

~~~

"Angkatlah, Leo. Angkatlah ...."

Franklin kesal karena lagi-lagi panggilan ke sepuluh yang disambungkanmya kepada Leo tidak diangkat. Ia sudah ingin menghempaskan ponselnya ke lantai akibat kalut, tetapi percuma saja karena ponsel itu adalah satu-satunya alat yang dapat membantunya sekarang.

Setelah mondar-mandir lebih dari dua lusin akibat telepon yang tak tersambung, ponselnya bergetar. Franklin buru-buru mengambilnya di atas meja ruang tamu, mengangkatnya, dan baru saja ingin berucap, Leo sudah mendahului.

"Apa!?" tanyanya judes.

Franklin sempat menjauhkan telepon dari telinganya yang berdengung akibat sapaan pedas Leo kepadanya.

"Tak bisakah kau berbicara seperti biasa saja, Leo?" tanya Franklin sambil menggosok-gosok telinganya guna menghilangnya dengungan yang tercipta di sana.

Mendengus, Leo menjawab. "Tidak untuk kali ini."

"Baiklah, terserahmu," sahut Franklin, "Kau harus membantuku."

"Membantu apa?" tanyanya, tetap mempertahankan kejudesannya.

"Astaga, bisakah kau tidak judes ke ponsel? telingaku berdengung," pinta Franklin, setengah berteriak.

"Langsung ke inti atau aku akan mematikan telepon," ancam Leo.

Tak mau telepon mati, Franklin buru-buru menyahut. "Baiklah, baiklah. Aku akan langsung ke inti."

"Dinda diculik, Leo."

Tak terdengar ada sahutan setelah Franklin mengucapkan itu. Hanya beberapa detik saja, setelah itu dia menjawab.

"Lalu? Apa urusannya dengan kami?" tanya Leo.

Franklin merasa gelap untuk sesaat. "Apa maksudmu? Dinda diculik dan kenapa kau malah menanyakan itu?"

"Apa urusannya denganku dan yang lain?" Leo melempar pertanyaan. "Hari itu dia diculik oleh Deadly. Kenapa tidak bertanya kepada mereka saja?"

"Kalian tega! Dinda adalah salah satu anggota kita dan dia merupakan orang berpengaruh di tim kita. Tanpa dia, kita pasti-"

"Sudah menjadi tim Master," potong Leo, "Aku tidak peduli dengan perjuangannya jika akhirnya dia tetap membela teroris. Mungkin suatu hari nanti dia akan memberontak di IIS."

Franklin terkejut. "Kenapa kau beranggapan seperti itu? Dinda ikut mengucapkan sumpah sehidup semati agar tidak memberontak. 4 tahun lamanya dia menepati sumpah itu dan kau malah tidak memercayainya yang melakukan satu kesalahan saja."

"Kau pikir semua manusia di muka bumi ini harus dimaafkan hanya karena kebaikan mereka lebih banyak dari kejahatannya!?" Leo berteriak di seberang sana.

"Apakah kau pernah membaca al-Kitab, Leo!?" Franklin ikut emosi karena Leo begitu teguh dalam pendiriannya.

"Sudahlah! Aku beritahukan sekali lagi aku tidak peduli! Jika Dinda terluka atau mati, aku tidak ikut campur!" sahut Leo. "Jika kau meneleponku lagi, aku akan menulis surat pemecatan untukmu. Sekali lagi aku katakan, AKU TIDAK PEDULI!"

"BAIKLAH, TERSERAHMU!!!"

Franklin mematikan telepon dan menghempaskannya dengan tenaga sedang ke atas meja. Ia mengacak-acak rambutnya, frustasi, sambil bersedih karena Leo yang selama ini Dinda patuhi sudah mulai membencinya hanya karena satu tamparan kecil.

Jika Leo sudah berbicara, maka yang lain akan mengikuti. Franklin entah kenapa ingin berhenti bekerja saja dan mencari pekerjaan lain bersama Dinda jika dia mau mengikutinya.

Namanya sudah jelek akibat gadis itu. Namun, Franklin tidak mau terlalu memikirkannya, Dinda saja hilang karena keteledorannya.

Diraihnya ponsel lagi dan menelepon kembali Dervin. Setelah suara beep, beep, beep berbunyi sekitar 2 kali, telepon diangkat.

"Ya?"

"Dervin, aku mau bicara dengan Agatha," pintanya dengan suara lemah. Tak terdengar sahutan, pertanda pemilik ponsel memberikannya kepada orang yang ingin Franklin bicarai.

Deheman kecil terdengar kecil di ponselnya. Franklin langsung membuka mulutnya untuk berbicara.

"Teman-temanku tidak ikut menyelidiki keberadaan Dinda," lapornya.

"Kenapa?" Terdengar suara Agatha yang kaget.

"Mereka masih benci kepadanya," jawab Franklin, jujur.

Agatha terdengar membuang napas. "Baiklah. Itu berarti kami tidak perlu khawatir peretasan kami diganggu oleh mereka. Terima kasih telah memberitahu."

"Tidak masalah. Ngomong-ngomong, bolehkah aku berbicara dengan Dervin lagi?" tanya Franklin.

"Dervin!"

Suara Dervin terdengar. "Ada apa, Franklin?"

"Maafkan aku atas keteledoran yang kubuat sampai kakakmu diculik." Franklin menunduk.

Dervin diam. "Aku tidak bisa memaafkanmu untuk sekarang. Aku marah kepada Raven dan juga kau yang telah lalai menjaga kakakku, padahal kau juga ikut diusir dengannya."

"Aku sudah mengetahui kedekatan kalian sejak lama. Mengetahui dia diculik karena orang yang dekat dengannya lalai membuatku membencimu."

Mata Franklin berair. "Dervin, kumohon maafkan aku."

"Tidak untuk sekarang," sahut Dervin, sendu.

Harapan Franklin pupus. Setelah itu ia pamit untuk menutup telepon sebelum menutupnya yang disambung buangan napas.

Franklin merutuki dirinya. Ia menunduk dan memegang kepalanya, menyesal karena tidak memaksa Dinda untuk ikut dengannya.

~~~

Hola!:D

Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)

Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Cu next time!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top