26. Pengakuan Raven
Dinda tersenyum kecil saat mendengar Franklin yang menghempaskan kemocengnya ke bawah. Lelaki itu pasti marah kepadanya dan dirinya sendiri.
Siapa suruh menguping? batin Dinda, lucu. Dinda segera memegang ponselnya kembali, melihat beberapa pesan dari Dervin yang penasaran kenapa Dinda mendadak mematikan ponsel.
Dinda meminta maaf kepada Dervin. Lalu berbincang-bincang kembali lewat pesan takut Franklin mengupingnya lagi.
Franklin yang sebenarnya menghampiri pintu kamarnya lagi berdecak saat tahu gadis itu menggunakan pesan untuk berkomunikasi. Ia tidak akan bisa melihat pesan yang dikirimkannya kepada Dervin.
Setelah Franklin melangkahkan kaki untuk pergi, Dinda melepas ponselnya. Dervin tak kunjung menjawab pertanyaan yang ditujukannya, membuatnya lelah menatap layar dan memutuskan untuk tidur.
Namun, Dinda tak yakin dirinya bisa tidur malam ini. Perlakuan Leo dan bisik-bisik intelijen lain bergema pelan di gendang telinganya.
Tetapi, Dinda heran pada saat bersamaan. Ke mana Bella saat dirinya diejek dan dimusuhi habis-habisan? Mendadak dia menghilang bak ditelan bumi. Dinda kembali mencurigai gadis itu, tetapi dia bukan dalang di balik semua ini.
Dinda membuang napas. Ia mengeratkan tangan di jaket kainnya. Setelahnya, dia menutup mata. Ia harap bisa tertidur karena depresi esok hari masih membutuhkan energi.
~~~
"Kapan kau melakukan itu, Raven?"
Wajah Raven kini penuh lebam. Agatha benar-benar marah saat tahu lelaki itu berada di rekaman kedua yang diberikan pihak pengebom kepada mereka. Pasalnya, selama tiga hari, mereka semua berada di dalam rumah. Tidak ada yang pergi, berjalan ke luar alih-alih membersihkan halaman, ataupun bermain bersama Nadia, dan entah kenapa rekaman kemunculan Raven yang meletakkan bom itu mendadak datang.
"JAWAB!" Agatha begitu bengis sekarang. Wajahnya sudah mirip dengan tomat. Raven yang ada di cengkeramannya hanya mendesis kesakitan. Agatha ingin menambahkan pukulan lagi sebelum James menghentikannya.
"Agatha, kita tidak boleh memaksanya. Penjahat sejati jika semakin dipaksa, maka mulutnya akan semakin dikunci," katanya, menenangkan, sekaligus menyindir Raven.
"Tapi, perbuatannya sudah keterlaluan. Kalian ingin masuk penjara, hah?" teriak Agatha.
"Namun, bukankah lelaki itu mengaku tidak melakukan apa-apa?" sahut Nadia, berusaha mendinginkan suasana.
"Siapa lagi orang yang mirip dengan Raven jika bukan dirinya sendiri?" Agatha melempar pertanyaan, membuat orang-orang yang ada di dekatnya diam.
"Jawab aku! Kapan kau melakukannya? Tiga hari sebelum pengeboman terjadi kau berada di sini. 24 jam! Jelaskan bagaimana bisa kau ada di sana tepat sebelum bom meledak!"
Raven memberi isyarat agar Agatha melepas cengkeramannya di kerah baju berwarna coklatnya. Agatha melepaskannya setelah membuang napas, menatap nyalang lelaki itu yang kini terduduk lemah di depannya.
"Agatha, aku dipaksa," Ia mulai menjawab, "Mereka berjasa kepadaku dan aku harus menuruti kemauan mereka."
"Aku tidak pernah berniat sedikitpun untuk mengebom masjid. Namun, mereka akan menyiksaku jika aku tidak menurut," sambungnya.
"Siapa mereka? Biar kubunuh mereka malam ini juga." Agatha berjongkok di hadapan Raven dan menjabak rambutnya, menyuruhnya menjawab pertanyaan sambil menatap matanya yang kini menajam setajam mata elang.
"Aku ... tak bisa menyebutkan nama-"
Bugh!
"PERSETAN! Aku menginginkan jawaban yang akurat, bukan jawaban kekanak-kanakan seperti itu!" Agatha kembali memukul Raven untuk yang ke sekian kali. Dirinya ditarik oleh rekan-rekannya saat aksinya tersebut diluncurkan.
"Lebih baik kau jujur, Raven, atau kau yang mati," pinta Yessy yang tidak ingin masalah terus berlanjut. Walaupun pendiam dan tidak peduli, Yessy tidak menyukai perkelahian, apalagi jika itu dilakukan oleh salah satu temannya.
"Sungguh, Yessy!" Raven menyahut, "Aku tak bisa."
"Mengasihaninya. Itu saja yang bisa kau lakukan kepada dia," Agatha berujar. Ia menarik diri dari pegangan James dan Nadia sembari memperhatikan Yessy yang memurungkan wajah.
"Namun, kekerasan tidak akan mengakhiri semuanya." Dervin yang dari tadi bersembunyi karena takut melihat Agatha marah, memunculkan diri dengan perlahan. Agatha menoleh kepada Dervin, dengan mata tetap menajam yang membuat anak itu kembali menyembunyikan diri.
"Maaf jika perkataanku salah," sambungnya di belakang sofa rumah Yessy. Agatha tersadar kalau dirinya begitu menakutkan bagi Dervin, membuatnya menetralkan emosinya, sempat melirik bengis ke arah Raven, lalu berubah tenang. Walaupun begitu, pikirannya masih kacau.
"Aku tahu kau takut denganku, Dervin. Aku sudah tidak marah, keluarlah dari persembunyianmu!" suruhnya mutlak. Dervin keluar sambil menghela napas lega saat melihat Agatha tidak semengerikan tadi.
"Karena Raven, kakakmu diusir dari rumah. Maafkan aku." Agatha kembali meminta maaf.
"Ini adalah kesalahan kita, jadi maafkan kami," sahut Nadia sambil menyatukan kedua tangannya, memohon kepada Dervin. Beberapa waktu yang lalu, saat mereka sibuk menginterogasi Raven, terdengar ponsel Dervin berbunyi, dan setelah diangkat, mereka mendengar isak tangis seorang perempuan yang akhirnya suaranya dapat dideteksi oleh pendengaran-suara Dinda.
Dervin tak tahu menjawab apa. Ia sebenarnya marah kepada Raven akibat perbuatannya. Namun, mengingat dirinya masih muda dan tak bisa bela diri membuatnya hanya terdiam. Saat Dinda mencurahkan isi hatinya, Dervin tak sadar air matanya keluar.
Mereka semua saat itu mendengar perkataan Dinda. Di mana dia terisak, menangis kencang, sesengukan, sampai akhirnya tenang sebelum menutup teleponnya karena ada urusan-katanya.
Tangisan Dinda membuat mereka sedih. Hati mereka tersayat, sekaligus kecewa dengan Raven yang akhirnya mengaku kalau dialah yang melakukannya.
Agatha sempat bertanya kenapa dia melakukannya. Raven menjawab disuruh, tetapi karena Agatha tak pernah puas dengan satu jawaban, ia menyakitinya.
Lelaki itu yakin kalau Raven menyembunyikan sesuatu darinya dan yang lain. Akhirnya, Agatha meminta Dervin untuk mematikan ponsel agar acara menyakitinya tidak terganggu.
Namun, pada akhirnya ia berhenti saat tahu adiknya takut melihat dan mendengarnya marah. Agatha menetralkan emosi, menjadi tenang, walau masih ada api yang membara di kedua bola matanya.
"Aku tak dapat memaafkan kalian semua," sahut Dervin setelah suara jangkrik berbunyi, "Salah satu dari kalian membuat kakakku menangis dan aku tidak dapat memaafkannya." Perpohonan lebat yang mengelilingi rumah Yessy membuat beberapa hewan malam mengetahui percakapan mereka.
Semua orang murung. Mereka melayangkan tatapan kesal kepada Raven yang masih meringis memegangi luka lebamnya.
Dervin hanya mendengkus melihatnya. Entah bagaimana bisa dia yang meletakkan bom di masjid. Hanya saja, syukurlah dia langsung mengaku. Agatha pasti akan memperpanjang urusan jika lelaki itu tidak mengaku.
~~~
"Kerja yang bagus, Mark."
Gordon menatap senang kepada Mark yang menunduk. Pria itu senang dirinya berhasil lolos dari tuduhan IIS, tetapi mukanya berbanding terbalik dengan Mark.
"Mark merupakan ahlinya," puji Heidi yang berada di samping Gordon. Ia menikmati segelas sampanye untuk merayakan keberhasilan mereka.
"Namun, aku kasihan kepada dia." Suara berat milik Mark menginterupsi mereka. "Kita mengkambinghitamkannya. Apakah tidak mengapa?"
"Bukankah kau dengar sendiri kalau dia bisa menjamin dirinya selamat?" tanya Gordon setelah meneguk sampai habis gelas kecil berisi sampanyenya.
Mark membuang napas. "Walaupun begitu, aku khawatir dengannya."
"Ah, jika dia tidak menyebarkan identitas kita maka kita tidak perlu khawatir," sahut Heidi sambil memegangi kepalanya yang mulai pusing.
"Huh, kalian." Mark menggerutu. Gerutuannya itu hanya disahut erangan.
Luar dari ruangan itu-di lift-Bella menyesap sebatang rokoknya. Latihan keras yang dilakukannya menjadi-jadi karena mendapat kabar bahwa dua suruhannya masih belum bisa menangkap Dinda. Gadis itu keluar di lantai satu. Suasana hotel masih ramai akan pengunjung yang terkadang ke mini bar dan keluar untuk jajan.
Bella mematikan rokoknya dengan remasan tangan saat keluar dari sana. Ia pergi ke mini bar, memesan satu kue kecil berbentuk segitiga, dan segelas jus.
Tak seperti Gordon, Mark, atau Heidi yang merupakan 'atasan'-nya, Bella lebih suka mengisi perutnya dengan makanan nonakhohol. Mabuk hanya akan membuang waktu dan tenaga yang selama ini diisinya setiap hari. Jika dua suruhannya itu bisa mendapatkan Dinda, maka ia akan segera menyakitinya setelah gadis itu berada di dekatnya. Ia tak boleh membuang-buang tenaganya akibatnya.
Dalam hati, ia senang saat mendengar kabar kalau Dinda menampar Leo. Karenanya, gadis itu diejek habis-habisan oleh intelijen-intelijen lain. Mendengarnya dihukum membuat Bella semakin senang. Namun, ia tak dapat terlalu senang, adiknya pasti sedang menyusun rencana untuk membantunya membersihkan nama kakaknya.
Adiknya. Dervin Santasa. Akhirnya Bella tahu siapa dia. Ia harap bisa melumpuhkannya, mengingat tujuannya setelah mengetahui isi buku harian Dinda dulu.
~~~
Hola!:D
Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)
Terima kasih sudah membaca dan menunggu! Cu next time!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top