23. Tamparan

"Baiklah. Kita sudah menemukan beberapa orang yang bisa dijuluki tangan kanan Gordon."

Leo menginterupsi rekan-rekannya yang berbisik-bisik karena mendadak saat jam istirahat, Zack memberitahu kalau Leo meminta mereka untuk berkumpul.

Karena beberapa orang masih lapar, maka mereka memakan makanannya di dalam ruang penyelidikan. Sebenarnya tidak boleh, tetapi mau bagaimana lagi saat lambung meraung-raung minta diberi jatah.

Lampu mati dan proyektor menyala.

"Gadis bernama Heidi Ryen dan lelaki yang ditemukan Dinda kemarin sore, Mark Wetterson," sambung Leo setelah menepuk tangannya.

"Zack berusaha mencari lelaki satunya, tetapi komputernya error lagi." Dia membuang napas. "Setiap kali Zack berusaha menyelidikinya, komputer kembali error dan akhirnya lelaki itu masuk ke daftar hitam kasus ini."

Daftar hitam adalah daftar bagi tersangka yang susah dicari, diselidiki, dan ditangkap. Tidak jarang saat di dalam penyelidikan, Peregryne memasukkan tersangka ke dalam daftar hitam. Untuk berjaga-jaga jika seandainya tersangka yang diselidiki tidak terbukti sebagai pelaku. Tersangka dalam daftar itu bisa dicari lagi dan jika tidak bisa, terpaksa meminta bantuan dari tim Master atau atasan.

"Beralih kepada Heidi Ryen dan Mark Wetterson." Gambar proyektor berubah. "Heidi berumur 26 tahun, sedangkan Mark 29 tahun. Pernah dicap tersangka di sebuah perampokan bank, tetapi diloloskan dengan hukuman. Sudah lama menjadi tangan kanan dan istri 'palsu'-nya Gordon. Semua dapat diketahui saat pelantikan walikota beberapa tahun silam, di mana Heidi hadir sebagai istrinya dan Mark hadir dengan sengaja menjadi pengawalnya."

"Gordon memiliki istri sah sebelumnya. Karena istrinya itu dinyatakan tak bisa hamil oleh kedokteran, maka dia menceraikannya. Setelah bekerja, dia bermain wanita dan menghambur-hamburkan uang. Karena itulah dia melakukan korupsi, karena semua uangnya habis untuk mereka."

"Saat Gordon tidak mempunyai uang lagi, wanita-wanita itu pergi, kecuali Heidi. Demi kebaikan gadis itu, agar tak diejek 'jalang' oleh orang-orang terdekat Gordon, Gordon menjadikannya tangan kanan saja, hanya saja mesra kepadanya."

"Dan saat dia melalukan korupsi, gadis itu tidak melaporkannya, bahkan rekannya, Mark, juga begitu."

"Karena itulah, aku dan Zack yang beberapa waktu lalu menyelidikinya menyimpulkan kalau mereka memang memiliki hubungan dengan Gordon." Perjelasan Leo berakhir.

"Namun, Dinda ...." Dinda melebarkan mata mendengar namanya disebut. "Gordon tak ada kaitannya dengan pengeboman itu. Itu murni perbuatan Deadly."

Bak petir di siang hari, Dinda kaget. "Apa maksudmu?"

"Mungkin di komputer Yessy, dia memiliki bukti. Tapi, kau ... jika kau tahu Gordon pelakunya maka tunjukkan bukti itu kepada kami," sahut Leo.

Wajah Dinda perlahan memerah. "Apakah ruangan rahasia di hotel itu tidak cukup untuk menjadi bukti?"

"Mana pikiranmu?" Leo menyahut, "Tak bisakah kau berpikir kalau kita harus memiliki bukti yang lengkap untuk menangkapnya?"

Pertanyaan demi pertanyaan dilempar. Dinda mencuramkan alis tidak terima. "Mana buktinya kalau Deadly pelakunya?" Gantian ia bertanya.

Leo meminta Zack untuk menyambung proyektor dari bluetooth ke komputernya. Setelah tersambung, dia memutar sebuah rekaman berlokasikan di masjid, dan terlihat Raven sedang masuk ke sana beberapa menit sebelum azan berkumandang.

Aneh. Kotak cincin yang sebelumnya ada di atas lantai sudah tidak ada. Dan rekaman itu berwaktukan siang, sedangkan rekaman sebenarnya, peletakkan bom yang sebenarnya berwaktukan malam.

Raven meletakkan bom itu satu langkah dari bom pertama. Bom itu berbentuk kotak, kali ini dia meletakkan di bawah karpet sajadah yang biasa direntangkan sebelum jamaah datang ke masjid.

"Tidak. Itu bukan dia," gumam Dinda saat wajah Raven terlihat jelas di sana.

Leo dan yang lain menoleh kepada Dinda. "Bukan Gordon, tapi Raven."

"Ta-Tapi, bukankah kotak cincin itu sudah ada di sana sebelum lelaki itu masuk?" tunjuk Dinda ke dinding.

"Efek kamera," sahut Leo.

Dinda mengerutkan alis. "Aku yakin kotak itu diletakkan Gordon, bukan Raven."

"Dinda, itu Raven. Apakah matamu bermasalah setelah tanganmu memukul dirimu sendiri?" tanya Leo.

"Deadly bukan pelakunya!" Dinda memukul meja. "Yessy mempunyai rekaman yang sebenarnya, tapi rekaman itu dihapus dan-"

Brak!

"Kenapa kau sangat suka membela mereka, hah?" Leo emosi. "Rekamannya saja tidak ada. Katamu sudah diambil. Apa maksudmu kalau kau punya bukti? Kau mau kami meminta Deadly untuk ke sini dan menunjukkan rekaman aslinya?"

"Oh, aku tahu. Kau membela adikmu agar dia tidak ditangkap, benar bukan!?"

"DIAM!"

Semua orang sontak berdiri dari kursinya. Franklin menghampiri Dinda, menenangkannya, karena jika Dinda marah dan Leo ikut-ikutan marah, akan terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan.

"Aku membela Deadly karena Deadly memang tidak bersalah. Aku tahu rekamannya tidak ada, tapi kita bisa mencari bukti lain," kata Dinda sambil berusaha mengendalikan diri, "Jangan membawa adikku ke dalam kasus ini. Dia tidak ada hubungannya dengan mereka."

"Justru karena itulah, Dinda," sahut Leo dengan lengan digenggam oleh Zack, "Agatha bisa membohongimu dan menjadikan adikmu itu sebagai umpan. Kau memercayai kebohongannya karena adikmu ikut-ikutan mendukungnya."

"Tutup mulutmu!" tunjuk Dinda, "Aku tidak suka adikku dituduh yang bukan-bukan."

Tidak peduli, Leo menyahut, "Adikmu pernah melakukan kasus kriminal. Semua orang yang ada di tempat Agatha merupakan pelaku krimi-"

"Mereka korban. Dervin dan Agatha juga," potong Dinda.

"Kau memercayai kebohongan mereka yang itu?"

"Mereka tidak berbohong. TIDAK BERBOHONG!"

Dinda sudah ingin menghampiri Leo karena tak ada benda yang bisa dilemparkan kepadanya. Franklin menahannya dan menenangkannya. "Sabar, Dinda. sabar."

Dinda tidak menyahut. Ia menatap lurus netra Leo yang masih bisa menutup api kemarahannya.

"Aku membela kebenaran."

"Huh. Kau mulai menyukai kata-kata kepahlawanan itu," ejek Leo. Dinda tak dapat mengendalikan diri, dia menarik paksa tangannya dari Franklin dan menghampiri lelaki itu sebelum menamparnya.

Kimberly, Xin, Zack, dan Franklin melebarkan mata. Leo mengelus pipinya yang memanas, menatap Dinda dengan tatapan penuh amarah, lalu mendorong gadis itu untuk menyingkir dan pergi ke luar sambil terisak.

Kimberly dan Xin menatap tidak percaya Dinda. Mereka menyusul Zack untuk mengikuti Leo karena ikut marah karena perbuatannya.

Dinda seketika sadar akan perlakuannya. Ditatapnya Franklin yang berdiri tidak percaya di tempat.

Ia duduk di kursi sambil menyesali perbuatannya. Tadinya dia hanya tidak terima adiknya dibawa-bawa. Namun, Leo memanasinya, entah sengaja atau tidak. Itu membuatnya tak dapat menahan diri lagi.

"Tuhan, apa yang terjadi kepadaku?" gumamnya sambil menjatuhkan kepala ke lipatan lengannya. Perlahan, dirinya terisak di depan Franklin yang ada di sampingnya. Franklin kasihan melihatnya. Dinda pasti benar-benar tak bisa mengendalikan diri karena perbuatan Leo.

Franklin ingin mengelus kepala Dinda untuk menenangkannya. Namun, Dinda akan marah jika ia menyentuhnya dan hanya akan menyebabkan kesedihannya bertambah. Franklin pun mengurungkan. Ia duduk di samping Dinda, mengetuk meja, dan Dinda mendengarnya, hanya saja memilih untuk diam.

~~~

Dinda sedang dalam perjalanan pulang. Mobil Franklin tiba-tiba mogok dan ia memutuskan untuk berjalan. Mobilnya itu dititip sementara di IIS. Sekarang, ia berjalan bersama Franklin, sedangkan yang lain memutuskan untuk naik bus karena mendadak menjauhi Dinda akibat perbuatannya tadi siang.

Saat ingin keluar dari kantor, beberapa intelijen berbisik-bisik tengangnya. Ternyata, teriakannya sampai didengar ke luar ruangan. Pasti salah satu dari intelijen yang lewat di depan ruangan sempat masuk dan menguping pembicaraan mereka. Bahkan, Maximmo tak tampak ramah kali ini.

Dinda merutuki dirinya. Kenapa ia menampar Leo? Sekarang lihat! Semua orang mendadak memusuhinya. Tak jarang ada yang memanggilnya dengan Anak Jalang padahal sebelumnya tidak ada, kecuali Bella dan rekan-rekannya.

Semua itu membayangi pikiran Dinda. Ia kembali tertekan. Ia takut di-bully. Semoga saja pemberitaan tentangnya tidak menjadi-jadi.

"Ada apa, Dinda?" tanya Franklin. Itu adalah pertanyaannya ketiganya saat perjalanan.

Dinda menggeleng. "Tidak ada apa-apa."

"Kau tertekan," sahutnya, "Dari tadi wajahmu pucat dan-"

"Sungguh, aku baik-baik saja," potong Dinda. Pikirannya benar-benar kacau, membuat nada bicaranya meninggi.

Dinda memeluk badannya. Pikirannya tidak bisa ditenangkan. Orang-orang yang berbisik-bisik tadi menatapnya sinis. Dinda tidak menyukai tatapan itu, ia tidak ingat kapan terakhir kali sekumpulan massa menatapnya seperti itu.

Franklin diam. Ia tidak tahu harus menyahut apa. Menenangkan perempuan sebenarnya merupakan keahliannya, tetapi mengingat Dinda tak bisa diajak berkata-kata dan dipegang saat marah membuat keahliannya itu menghilang.

"Aku tahu. Kau cemas denganku," sambung Dinda setelah melirik Franklin dan mengetahui bahasa wajahnya, "Maaf jika aku telah membuatmu begitu."

"Sebenarnya tidak mengapa," Franklin menyahut cepat, "Setelah pulang, rendam kakimu dengan air hangat, dan ... aku akan memberikanmu cokelat."

Franklin berjalan cepat mendahului Dinda untuk pergi ke sebuah minimarket. Dinda berhenti, menatapnya, tak sampai satu menit lelaki itu kembali sambil membawa sebatang cokelat.

"Kau tidak perlu repot-repot membelikannya," tolak Dinda saat Franklin menyodorkan cokelat itu.

"Ambillah!"

"Tidak."

Karena tak mau, Franklin meraih tangan Dinda. Dinda menariknya sebelum lelaki itu menyentuhnya dan berlari agar Franklin tak memberikan cokelat itu kepadanya.

"Hei! Ini cokelatmu!" teriak Franklin yang menyusul. Dinda semakin mempercepat lajunya, tetapi karena Franklin lebih gesit darinya, ia berhasil meraih lengannya.

"Ini cokelatmu." Franklin menaruh batang cokelat itu ke saku jaket kain Dinda. Dinda membuang napas, putus asa, lalu mengendik pasrah.

Franklin terkekeh kecil sebelum mengajak gadis itu untuk berjalan kembali.

Dinda bersyukur di saat-saat seperti ini Franklin setia menemaninya. Kelihatannya ia benar-benar menatap di lain sisi saat perbuatan luar kendalinya itu terjadi.

~~~

Hola!:D

Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)

(BeBaN oNlInE sAnGaT mEnYeNaNgKaN)

Terima kasih sudah membaca dan menunggu. See you next part!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top