22. Suruhan Bella
"F-Franklin?" Dinda melepaskan cengkeramannya. Dia mundur beberapa langkah dengan tangan memegang mata, menyembunyikan luka lebamnya.
"Dinda? Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Franklin, kaget. Ia tidak menyangka Dinda yang menabraknya karena sebelumnya dia beranggapan itu hanyalah pencuri.
"Ada apa dengan matamu?"
Dinda ingin membungkam mulut Franklin agar tak banyak bertanya lagi. Ia membenci keadaannya saat ini.
Sesaat Dinda merasa sebuah cairan mengalir dari kepala depannya. Dinda ingin memeriksanya, tetapi mobil yang tadi dilewatinya sudah keluar dari gang buntu itu.
"Kepalamu!" pekik Franklin saat cairan itu merebes keluar dari dalaman hijab Dinda.
Dinda menempelkan telunjuknya ke bibir. Sejenak terdengar suara stt dari sana, menyuruh Franklin diam, dan setelah diam, Dinda langsung menarik lengan bajunya untuk kembali secepatnya ke apartemen.
Franklin ingin bertanya lebih banyak, tetapi membungkam mulut saat sebuah mobil yang kelihatannya mengikuti Dinda-dan sekarang mengikuti dirinya juga-melesat ke arah mereka.
Terlihat dua orang yang kini berang akan perlakukan Dinda sedang melepas bandananya. Mereka ada di dalam mobil itu dengan salah satu menginjak gas untuk menyamakan posisinya dengan Dinda dan Franklin yang masih berlari.
Saat mereka membuka jendela dan menodongkan pistol, Dinda dan Franklin berhenti berlari, membuat si penodong menyuruh rekannya untuk mundur dengan kata-kata kasar yang terus keluar dari mulutnya.
Franklin ingin bertanya lagi, tetapi Dinda menariknya untuk menjauhi mobil itu selagi belum mundur. Namun, tidaklah lama, karena mendadak ia menyandung sesuatu yang membuatnya jatuh terjerembab ke aspal trotoar.
Franklin bergegas membantunya bangkit. Kali ini, ia bisa melihat wajah Dinda. Mata kanannya lebam dan darah mengalir pelan dari kepala. Franklin hanya bisa terbelalak.
"Apa yang kaulakukan tadi? Bagaimana bisa matamu lebam? Kenapa dengan kepalamu? Siapa yang telah melakukannya?" tanyanya beruntut. Dinda menjawabnya dengan napas tersengal akibat lelah berlari.
Franklin mengedarkan pandangnya ke semua arah. Ia tidak menemukan tempat bersembunyi. Dia menoleh lagi kepada Dinda, menatapnya yang menahan darah dengan tangan untuk keluar lebih banyak. Ia menoleh lagi ke arah mobil, benda itu sudah mundur.
Franklin mendirikan Dinda dan merangkulnya. Ia akan mengamankan gadis itu terlebih dahulu sebelum membekuk mereka. Ia mendudukkan Dinda di tangga sebuah apartemen, menyuruhnya bersembunyi di antara banyaknya tanaman berpot. Dinda menatapnya, bertanya lewat matanya, tetapi Franklin menyakinkan kalau ia bisa melawan mereka.
Dan setelah Dinda bersembunyi untuk mengobati dirinya sendiri, Franklin membalik badan dan menghampiri mobil yang berjalan itu.
Penodong tadi mulai menyiapkan pistolnya saat mengetahui Franklin mendekati mereka lewat spion. Setelah Franklin berada di depan kaca mobil, ia menodongkan senjatanya, tetapi Franklin malah mengambilnya dan membuka paksa pintu mobil sebelum mengeluarkannya.
Franklin baru saja mengarahkan moncong pistol ke lelaki itu saat rekannya-si supir-ikut menodongkan pistolnya ke arahnya. Franklin meliriknya lewat ekor mata, lalu beralih kepada si lelaki yang menatapnya nyalang. Senyum miring terukir di bibirnya, tetapi Franklin meremehkan.
"Kau berurusan dengan orang yang salah, Bung," kata Franklin. Ia melempar pistolnya ke si supir, kena di mata, karena tidak peduli, Franklin memanfaatkan kelengahan rekannya yang sedang melebarkan mata tidak percaya menatap si supir yang kesakitan.
Ia memukulnya, memelintirnya, dan menodongkan pisau lipat yang sedari tadi tersimpan rapi di dalam mantelnya. Si supir dengan tangan satunya yang menahan sakit di mata mendapat kesempatan untuk menebak Franklin karena posisi lelaki itu sedang membelakangi.
Lelaki tadi tidak menyerah begitu saja, ia memberontak. Dipukulnya wajah Franklin dengan kepala belakang, membuat Franklin meringis dan melepaskan kuncian lengannya untuk memegangi hidung.
Dor!
Karena mundur, tembakan yang melesat dari si supir meleset. Si supir sempat menatap garang rekannya yang malah memberontak, membuatnya tak bisa membidik kepala Franklin karena hidungnya terluka.
Franklin mendongak saat mendengar ledakan. Beruntung, ia selamat dengan darah mengucur dari hidungnya.
Dinda yang sibuk mengambil beberapa daun dari tanaman berpot terkejut mendengar ledakan pistol. Ia mengintip Franklin, memperhatikannya yang sibuk menyeka hidungnya, sedangkan lelaki yang menjadi lawannya bersiap untuk meninju mukanya.
"Franklin! Di depanmu!" Karena teriakan Dinda, beberapa jendela apartemen yang mulanya gelap, menyala. Terdengar kegaduhan dari penghuninya, mereka ketakutan mendengar suara ledakan pistol dan teriakannya itu.
Melihat beberapa orang sudah mulai keluar dari tempat tinggal mereka, lelaki itu masuk ke mobil. Disuruhnya rekannya melaju dan tak menunggu waktu lama mereka pergi dari sana.
Tak peduli, Franklin menghampiri Dinda. Kini, gadis itu dibantu penghuni apartemen pemilik tanaman tadi.
"Nak, apa yang terjadi kepada kalian?" tanya wanita berumur kepala empat itu.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya harap Anda tetap tenang," jawab Franklin, "Dinda, ayo! Biar aku mengobatimu di apartemen."
Dinda mengangguk pelan. Ia berterima kasih kepada wanita yang telah memberikan bantuannya walaupun sedikit. Franklin kembali merangkulnya dan membantunya berjalan, setelah pamit ke wanita tadi dan suaminya.
Sesampainya di apartemen, Franklin mendudukkan Dinda di sofa ruang keluarga. Ia melesat ke dapur, mengambil kotak P3K, lalu kembali ke sana dan bergegas mengobati Dinda.
Luka lebam di mata Dinda diobati, tetapi Franklin bingung untuk mengobati kepalanya. Tidak mungkin ia menyuruh Dinda untuk membukanya. Dinda benar-benar menyembunyikan kepalanya dari lawan jenis.
Dinda tahu arti dari tatapan matanya. Karena ia tidak mau lukanya terbuka-agar darah tak merebes semakin banyak, terpaksa ia melepas hijabnya dan dalamannya sampai rambutnya yang keriting terlihat.
Franklin sempat terlena melihat rambut Dinda. Namun, Dinda mencuramkan alis dan berdehem, membuat lelaki itu segera mengobati luka di kepala Dinda.
Lukanya tidak besar. Sepertinya tercipta karena dipukul sesuatu. "Siapa yang telah memukulmu? Orang-orang itu?" Dinda hanya mengangguk menjawab pertanyaan Franklin.
"Bedebah!" umpat Franklin. Ia kembali mengambil antiseptik dan menumpahkan sebagian cairannya ke atas kasa.
Dinda hanya diam. Sampai pertanyaan Franklin yang selanjutnya terdengar. "Kenapa malam-malam kau pergi ke luar, Dinda?"
Dinda enggan untuk menyahut. "Kau sendiri?"
Mendengar Dinda melempar pertanyaan yang sama kepada dirinya, Franklin mendongak. "Aku mencarimu. Kau tidak ada di kamar saat aku ingin-"
"Tunggu, apa yang kaulakukan di kamarku?" tanya Dinda. Franklin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, malu menjawa kalau ia ingin mengambil ponselnya dan menyelidikinya.
"Apa kau ingin melakukan sesuatu yang aku benci, huh?" tanya Dinda lagi. Pikirannya ambigu. Franklin sontak menggeleng.
"Ti-Tidak. Aku hanya ingin mengecek keberadaanmu karena tadi aku mendengar pintu terbuka dan tertutup sendiri. Aku bahkan mengecek keberadaan yang lain," sahut Franklin, "Aku takut itu hantu atau penjahat. Maafkan aku."
Dinda mendengus, lalu menutupi rambutnya dengan hijabnya. "Kau membuat pikiranku melayang ke mana-mana."
Franklin terkekeh, lalu meminta maaf kembali.
"Aku memaafkanmu."
Setelah itu, Franklin mengobati hidungnya sendiri sebelum Dinda menginterupsi.
"Jangan beritahu yang lain kalau aku mendapat luka ini dari orang itu ya?" pinta Dinda. Franklin menoleh sebentar, lalu mengangguk saat tahu Dinda tak mau teman-temannya cemas.
"Kau bisa mengandalkanku."
Dinda tersenyum lega. Setelah merasa kakinya sudah baikan, Dinda pun pamit pergi ke atas untuk beristirahat.
~~~
"ASTAGA! DINDA, ADA APA DENGAN MATAMU!?"
Kimberly dan Xin berteriak bersamaan setelah Dinda memunculkan diri di dapur. Dinda terlambat bangun-disengaja agar mereka tidak panik melihat wajahnya-hanya bisa mendengkus.
"Tersandung saat ke dapur tadi malam," jawab Dinda sambil berjalan pincang.
"Hati-hati makanya." Xin menghampiri Dinda dan membantunya berjalan ke kursi makan. "Kalau matamu buta nanti bagaimana?" omelnya.
Dinda tersenyum kecil. "Mataku baik-baik saja. Jangan khawatir," katanya menyakinkan.
"Ngomong-ngomong, matamu kena apa? Kurasa tidak ada barang dapur yang terjatuh setelah aku membereskannya kemarin," tanya Kimberly sambil melanjutkan acara makan rotinya yang sempat terjeda.
Dinda bingung ingin menjawab apa. Kalau sendok atau garpu, mereka pasti kaget bukan kepalang karena biasanya luka akibat benda-benda itu lebih parah dari luka di matanya.
"Aku jatuh dengan tangan terkepal. Tanganku mengenai laci dekat lemari makanan dan kepalan tanganku mengenai mata," Alhasil, Dinda menjawab asal. Kimberly dan yang lain yang menunduk, mendongak, menganggap tidak masuk akal jawaban Dinda.
"Ceroboh," sahut Leo. Dinda hanya ter-haha-hihi tidak jelas sebelum menyantap makanannya saat semua orang melayangkan tatapan datar kepadanya.
Franklin hanya tersenyum geli melihat reaksi Dinda yang mengemukakan alasan yang tak bisa diterima nalar.
Setelah makan, Dinda pergi ke kamar mandi. Lalu mengganti baju dan menyusul yang lain ke tempat mobil terparkir.
Singkat waktu, Dinda dan yang sudah sampai. Mereka pergi ke ruangan, lalu menyelidiki Gordon lagi.
Terakhir kata Xin, Gordon menaiki mobil berjenis sport mewah. Dia mengelilingi permukiman Kips Bay beberapa saat, lalu berhenti di sebuah apartemen dan menemui temannya.
Dinda mengerutkan dahi. Untuk apa ada acara kelilinh-keliling? Apakah susah memarkirkan mobil sport ke tepi?
"Tak jelas," komentar Dinda setelah mendengar pernyataan Xin itu. Tidak ada yang mendengar, semua sibuk melebarkan kuping untuk menyimak penjelasan Xin lebih lanjut.
Dan tepat saat itu Dinda ingat dengan salah satu lelaki yang memilki wajah sama dengan orang yang Zack selidiki di InterContinental willard. Dinda pun memberitahu Zack tentang itu, mengungkapkan ciri-ciri kepada Kimberly yang dapat menggambar wajah sesuai deskripsi kata, dan setelah gambarannya selesai, Zack menyelidikinya, dengan alasan Dinda menemukannya saat perjalanan pulang dari kantor.
Sedangkan di tempat lain, di waktu bersamaan, seorang gadis memarahi dua rekannya yang gagal menculik target mereka. Ia mengeluarkan kata-kata kotornya, melampiaskan permainan fisik ke sasak pasir di depannya dengan rekan-rekannya yang menunduk bersalah.
"Apa yang akan dikatakan Sir Gordon kepada kita? Kita membutuhkan dia untuk dijual," omelnya marah. Meraka tetap menunduk sambil memaki diri dalam hati.
"Dinda, Dinda. Kau gadis yang berani," Perkataanya beralih, "Kau berhasil melukai rekanku."
"Kami akan membawa Dinda seperti keinginanmu. Maafkan kami untuk sekali ini saja," pinta salah satu di antara lelaki-lekaki itu.
Gadis itu hanya berdehen, tak bisa bilang kalau ia memaafkan mereka. Akhirnya, dia menyuruh mereka pergi dari hadapannya dengan suara lantang dan setelah pergi, hanya gadis itu yang ada di ruangan berbentuk kubus itu.
"Tidak. Aku tidak kalah. Akan kudaptkan gadis itu. Aku janji. Aku janji. AKU JANJI!!!" Gadis itu berteriak kembali sambil memukul sasak pasirnya. Ia kembali dikuasai emosi dan memilih melampiaskannya ke sana. Di sasak itu, tertempel sebuah foto. Foto gadis dengan hijabnya, pakaian resmi sebuah sekolah menengah pertama, tersenyum kecil ke arahnya.
Dialah Dinda dan gadis itu adalah Bella. Bella memiliki dendam dengannya. Ia harap, dia mendapatkannya, menyiksanya, kalau bisa memusnahkan dia dari bumi. Dan adiknya yang dikabarkan masih hidup akan mendapatkan hal yang sama, sesuai janjinya beberapa tahun silam.
~~~
Hola!:D
Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:)
Terima kasih sudah membaca! Cu next part!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top