19. Percakapan Kecil Teman Lama
Pagi beranjak. Dinda duduk di atas kursi makannya. Sejak kejadian tadi malam, Leo tidak berbicara atau sekedar menyapanya. Itu membuat Dinda hanya bisa membuang napas, tahu kenapa lelaki pengidap dwarfisme itu tidak acuh kepadanya.
"Ngomong-ngomong, bolehkan aku bertanya?" Dinda membuka percakapan, membuat semua orang menoleh dan menatapnya, menunggu pertanyaan Dinda.
"Bagaimana Bella tahu lokasiku?" tanya Dinda.
"Aku hanya menyuruh Vyper dan Phitaboris untuk menyelidiki keberadaanmu. Tetapi, entah bagaimana gadis itu tahu kami tidak menemukan apapun, dan dia pun ikut menyelidiki keberadaanmu diam-diam dan mengetahui lokasimu," jawab Leo, panjang lebar.
"Itu tidak masuk akal," sahut Dinda, "Phitaboris juga adalah tim Master dan mereka tidak menemukan apapun. Sedangkan Bella dan timnya .... Bagaimana bisa? Apakah kalian tidak mencari tahu?"
"Tidak ada waktu." Franklin menyahut, "Kami terlanjur khawatir denganmu, lalu kami mengkoordinasikan dengan Vyper serta Phitaboris untuk pergi ke rumah Deadly sekaligus menyelamatkanmu."
Dinda diam. Ia menatap ke bawah. Tidak masuk akal Bella mengetahui lokasinya. Timnya memang dikenal handal mencari orang hilang, tetapi Phitaboris yang juga memiliki peretas handal di timnya malah tidak menemukan apa-apa.
"Sudah selesai bengongnya, Dinda? Kita akan berangkat ke kantor 5 menit lagi." Leo bangkit dari duduknya. Ia bergegas ke kamarnya, mengambil jaketnya, sedangkan Dinda buru-buru menghabiskan roti tawar dengan goreng telur di atasnya saat melihat piring teman-temannya sudah kosong.
Setelah itu, ia beranjak ke wastafel, mencuci sampai bersih piringnya itu, lalu ke kamar untuk mengambil ransel sebelum akhirnya keluar dan masuk ke mobil Franklin.
Tak menunggu waktu lama, mesin dihidupkan. Lalu berbaur dengan mobil lain di jalan raya.
Setelah beberapa menit berlalu, mereka sampai di kantor IIS. Dinda keluar dari mobil, berjalan ke arah gedung, di bawah tatapan tidak percaya semua orang yang tidak menyangka Dinda bisa ditemukan.
Kabar Dinda diculik menyebar dari mulut ke mulut. Dan kabar lain kalau lokasi Dinda tidak dapat ditemukan juga sempat menjadi perbincangan di IIS.
Beberapa orang yang sebenarnya tidak Dinda kenal menyapanya. Dinda hanya membalas dengan senyuman, heran entah kenapa mereka semua gembira menatapnya.
Setelah berada di lantai 8, mereka bergegas ke ruangan. Mereka masuk, meletakkan peralatan di tempat masing-masing, lalu duduk.
"Tidak melanjutkan penyelidikan Deadly?" tanya Dinda.
"Tidak," jawab Leo, "Kami tahu dia pelakunya. Dan juga lokasinya. Namun, karena tadi malam, kurasa mereka sudah berpindah tempat dan kita harus mencarinya lagi."
"Untuk sekarang, kami ingin merehatkan diri. Sudah beberapa hari kami bekerja ekstra tanpamu dan itu membuat kami kelelahan," sambungnya.
"Ngomong-ngomong tentang pelaku, bukan Deadly yang melakukannya," sahut Dinda. Leo dan yang lain menoleh kepadanya.
"Mereka teroris. Mulut mereka tidak bisa dipercaya," sahut Leo.
"Mereka punya bukti." Dinda tak mau kalah.
"Tetapi mereka tidak ada di sini."
"Tapi, aku tahu siapa pelakunya."
Semua orang terdiam. Dada Dinda naik turun akibat beradu mulut dengan Leo. Leo hanya menyipitkan mata, lalu bangkit dan menghampirinya, menyuruhnya menunjukkan bukti.
Dinda menggigit bibir. Ia tidak tahu bagaimana caranya mencari rekaman yang dihapus. Zack bisa saja melakukannya, tetapi mengingat beberapa hari yang lalu rekaman di komputer Yessy menghilang membuatnya mengurungkan niat.
"Aku tidak punya bukti. Tetapi, aku berani bersumpah kalau bukan Deadly pelakunya," kata Dinda, jujur. Leo membuang napas, lalu melipat tangan.
"Siapa pelaku sebenarnya?" tanya Leo.
"Gordon Brown."
Semua orang kaget.
"Apa!? Tidak mungkin!" Kimberly menyahut. "Dia pembentuk IIS, mantan wakil walikota, dan-"
"Koruptor dengan kasus korupsi paling besar di benua Amerika," potong Dinda, "Siapa yang akan menyangka setelah jabatannya dicabut itu, dia malah mengebom masjid?"
Dinda memandang satu per satu teman-temannya. Ia mendongak, menatap Leo yang masih tidak percaya dengan perkataan Dinda.
"Aku tidak percaya dengan itu." Leo menolak mentah-mentah pernyataan Dinda. "Darimana kau tahu kalau dia pelakunya? Deadly?"
"Ya! Dan aku melihatnya langsung dari cuplikan CCTV masjid yang dihapus," jawab yang ditanya.
"Cuplikan yang dihapus?" Kimberly ikut bersuara.
Dinda mengangguk. "Pihak pengebom telah lebih dahulu menghapus rekaman itu sebelum kita menyelidikinya. Dan setelah aku diculik dan Yessy menemukannya, rekaman itu diambil kembali."
"Zack tidak mungkin bisa menemukannya lagi. Deadly juga sama. Tapi, yang pasti, 10 atau 11 jam sebelum bom meledak, lelaki itu berada di sana, meletakkan bom berbentuk kotak cincin pernikahan yang sebelumnya timer-nya diatur sehingga bom meledak saat salat berakhir."
"Seakan tahu, Gordon memanfaatkan Nadia yang bermain-main di teras masjid sebagai pelaku. Padahal jika dilihat, dia tidak masuk, James hanya ada di parkiran, sedangkan Agatha, Yessy, dan Raven berada di minimarket dengan orang yang kalian panggil Derby berada 10 meter di depanku."
"Dan di waktu-waktu sebelumnya, mereka tidak ada di sana. Bahkan dari dua hari sebelum pengeboman, tidak ada tanda-tanda Deadly pergi ke sana. Alih-alih masuk untuk meletakkan bom."
"Siapa yang ingin mengambil kotak cincin pernikahan yang memiliki penempel di dasarnya sehingga saat orang-orang ingin mengambilnya, mereka tidak bisa?"
Dinda mengakhiri penjelasannya. Dia mengatakan semuanya dalam satu hentakan napas. Semua orang yang mendengar hanya diam dibuatnya. Mereka tertegun karena Deadly mengetahui lebih banyak hal ketimbang mereka.
"Apakah Deadly yang menyelidiki semua itu?" tanya Xin, tak dapat berkedip karena penjelasan Dinda.
Dinda hanya mengangguk dengan dada naik-turun.
'Itu ... hebat.' Ponsel Zack berbunyi. 'Sepertinya aku harus belajar meretas kepada Yessy, jika bisa.'
"Jika kalian ingin menangkap mereka, berpikirlah dulu. Untuk kasus lain, silakan, tapi untuk kasus ini--aku tidak menyangka aku akan mengatakan ini--tidak," kata Dinda sambil menatap Leo, "Deadly harus kita kembalikan ke status tersangka. Kita harus menyelidiki Gordon Brown, siapa saja yang menjadi tangan kanannya, dan siapa orang-orang yang terlibat."
Leo yang tidak dapat berpikir karena penjelasan Dinda tadi hanya bisa mengerang kecil. "Baiklah. Deadly kali ini kubebaskan. Aku akan menyuruh Zack untuk mencari tahu di mana Gordon saat pengeboman atau sebelum pengeboman terjadi. Tapi, jika perkataanmu tidak benar, maka mau tidak mau kita harus menangkap Dealdy. Termasuk Derby yang merupakan adikmu itu," sahut Leo, "Kita impas."
Dinda mengangguk. Akhirnya, Deadly bebas dari status pelaku, karena memang mereka bukan pelaku.
Leo pun pergi dari samping Dinda. Setelah berbicara singkat dengan Zack lewat bahasa isyarat, mereka pergi ke ruangan penyelidikan.
~~~
Dinda sedang berjalan di koridor lantai 12. Jam istirahat tidak membuat perutnya lapar. Ia ingin menemui Bella, mengajaknya berbicara empat mata. Dia rasa bertanya kepada Leo kenapa Bella bisa mengetahui lokasinya hanya membuang-buang waktu. Dinda harus berbicara kepada orangnya langsung.
Semua penghuni lantai 12 menatap bingung Dinda. Pasalnya, jarang ada intelijen Elite pergi ke wilayah Master. Jika pergi, siap-siap saja direndahkan. Tetapi, Dinda sudah kebal direndahkan, jadi dia tenang-tenang saja.
Setelah sampai di depan sebuah ruangan, Dinda mengetuk pintunya. Ia yakin masih ada orang di sana, mengingat anggota tim Master bernamakan Zero itu tidak ditemuinya selama perjalananya.
Langkah terdengar dan pintu terbuka. Dinda menatap orang yang telah membukakan pintu itu, dan untunglah dia.
"Aku mau berbicara denganmu," Tanpa dititah, Dinda berbicara.
Bella yang ada di depannya hanya tertawa kecil, lalu menyahut, "Entah sudah berapa tahun aku tidak mendengar kata-kata itu."
"Aku tidak mau basa-basi. Aku ingin menikmati jam istirahatku."
"Ah, baiklah. Masuklah kalau begitu."
Bella mempersilakan Dinda untuk masuk. Dinda pun masuk, menatap ruangannya yang rapi dengan peralatan canggih ala tim Master, dan jangan lupakan beberapa orang yang sedang menatapnya.
"Luna, buatkan dua cangkir kopi!" suruh Bella ke salah satu rekannya. Yang lain menatap dingin Dinda, tidak ada satupun dari mereka yang menyukai gadis itu.
"Buat saja sendiri!" Gadis dengan tampilan modisnya itu menolak. Bella mendengus, lalu menyuruh Dinda untuk duduk di atas sofa dan menunggu kopinya datang.
"Tidak usah repot-repot, Bella. Aku ke sini hanya ingin berbicara denganmu ... empat mata," sela Dinda.
Bella menghentikan langkahnya, lalu memiringkan kepala.
"Jika tidak keberatan," sambung Dinda saat tahu kenapa Bella melakukan itu.
Bella tersenyum. Dia menyuruh rekan-rekannya untuk pergi ke luar sementara agar Dinda bisa membicarakan sesuatu kepadanya. Mereka sempat menolak, tetapi karena Bella merupakan pemimpin tim, mereka terpaksa.
Sebelum keluar, masing-masing dari mereka melayangkan tatapan sinis kepada Dinda. Dinda menaikkan kedua alisnya, tidak peduli.
Setelah mereka keluar, Bella duduk di sofanya setelah mengambil dua cangkir kopi hangat yang siap dinikmati. Dia menyodorkannya kepada Dinda, lemah lembut, tetapi Dinda tidak boleh terhipnotis dengan perbuatannya karena gadis itu begitu pandai menyembunyikan perilakunya yang sebenarnya.
"Jadi, ada apa?" tanyanya sambil menyeruput kopi susunya.
"Kata Leo, kemarin kau ke ruangan kami dan bilang kau menemukan lokasiku," jawab Dinda, "Bagaimana kau bisa menemukanku? Phitaboris juga tim Master dan memiliki peretas handal, tapi kenapa mereka tidak menemukan sesuatu?"
Bella meletakkan cangkirnya ke atas meja. "Sidik jari saja tidak cukup untuk mencari orang, Dinda. Kau perlu suaranya," jawab Bella.
"Suara? Kau mendapatkan suaraku dari mana?" tanyanya lagi, curiga.
"Waktu di asrama. Suaramu masih mirip sampai saat ini."
Dinda manggut-manggut.
"Harus aku akui, mendengarmu diculik membuatku hampa. Karena tidak ada orang yang kuejek Anak Jalang selama beberapa hari." Bella terkekeh.
Dinda menatapnya, datar. "Jika itu tujuanmu untuk mencariku, lebih baik sejak awal aku melawan Gozalez dan rekan-rekannya itu."
Bella tertawa, lalu meminta maaf. "Tapi, sungguh. Kau temanku. Tidak mengenakkan jika aku tidak membalas budi baikmu di masa lalu," sahutnya.
"Terserah." Dinda menanggapi sambil meminum minumannya. Dia kesal sekaligus kaget karena mendengar Bella menyebutnya "teman" setelah sekian lama memusuhinya dan menyembunyikannya dengan senyuman. Namun, Dinda segera mendatarkan wajah karena Bella bisa membaca ekspresi. Dan ia cukup bersyukur karena bahasa wajahnya menunjukkan kalau dia tidak peduli, padahal tadi melihatnya.
Tak lama kemudian, percakapan berakhir. Bukan karena telah mendapatkan informasi bagus, tetapi karena rekan-rekan Bella masuk bergantian untuk mengambil sesuatu sambil menatapnya sinis, tidak suka ada dirinya di situ.
Dinda pun kembali ke lantai 8 untuk mengambil bekalnya, lalu pergi ke lantai 1 untuk makan siang.
~~~
Dwarfisme: Tubuh pendek akibat kondisi genetik atau medis, tidak bisa tumbuh walaupun umur terus bertambah.
~~~
Hola!:D
Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau masalah kepenulisan? Share aja di kolom komentar:D
Terima kasih sudah membaca dan menunggu. Sampai jumpa di part selanjutnya!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top