17. Pulang

Sejak pagi itu, Dinda hanya menghabiskan waktu bersama Dervin. Mereka melakukan apa yang kakak-beradik biasa lakukan; bermain dan saling menjahili. Satu rumah dikuasai. Agatha, James, Yessy, Raven, maupun Nadia tidak mau menganggu karena sekarang ada jam-jam terakhir Dinda bersama adiknya.

Dinda sangat ingin membawa adiknya untuk pulang. Dia berjanji akan membersihkan namanya dari status buron. Namun, karena Agatha, Dervin terpaksa tidak mau. Tetapi, lelaki itu berjanji akan menemuinya satu bulan sekali, di alun-alun kota, dan mereka bisa menghabiskan waktu seharian untuk melampiaskan rindu.

Dinda berat hati rasanya meninggalkan Dervin. Gadis itu menahan rindu selama belasan tahun. Pertemuan mereka hanya berkisar beberapa hari, tidak sesuai dengan lamanya waktu merindu yang memakan waktu satu dekade lebih. Dinda bisa saja mengulur waktu untuk pulang, tetapi mengingat teman-temannya--lagi-lagi--dia tidak bisa melakukannya.

Dervin juga sama halnya dengan Dinda. Walaupun sama-sama sibuk bermain video game di komputer Yessy, sisi lain pikirannya memikirkan kakaknya. Jika kakaknya kembali, apakah dia bisa menemuinya lagi? Mengingat kakaknya baru bisa bertemu dengannya saat Agatha dan James menculiknya?

Dervin berjanji untuk datang ke alun-alun kota sebulan sekali jika Dinda benar-benar pulang. Namun, apakah kakaknya itu bisa menemuinya? Mengingat kasus pengeboman yang dia selidiki melibatkan kakak angkatnya beserta teman-temannya? Kemungkinan besar saat Dinda menemuinya, ada penguntit, dan dia pasti akan menangkapnya dan membungkamnya, lalu memaksanya untuk buka mulut di mana Deadly berada, di depan intelijen lain. Dan Dervin bukan tipe lelaki yang selamanya bisa diam.

"Aku menang lagi, Bro!" Dinda girang, menarik Dervin ke dunia nyata. Dervin berdecak dan melepas headset-nya.

"Kakak curang!" sahut Dervin, tidak terima dirinya kalah. Dia tidak mau mengakui dari tadi dia hanya bengong memikirkan apakah dia bisa bertemu dengan kakaknya lagi.

"Curang?" Dinda berdecak lucu. "Aku bisa curang sewaktu-waktu. Tapi, yang tadi aku menang karena mobilku lebih cepat melaju daripada mobilmu."

Dervin mencuramkan alis. "Aku tidak menerima kemenangan Kakak. Ayo, kita bertanding lagi!" tantangnya.

"Ayo! Siapa takut?"

Dan sekali lagi, untuk yang kesekian kalinya, mereka bermain game. Dervin bertekad untuk mengalahkan Dinda, tetapi tidak berhasil karena gadis itu begitu lihat memainkan keyboard-nya sehingga mobilnya bisa melewatinya yang tadinya memimpin.

"Menang lagi!" Dinda berdiri, bersorak, sambil mengangkat kedua tangannya. Dervin membuang napas, sepertinya kakaknya sangat sering bermain gim balapan sampai tidak menyisakan satu poin pun untuknya.

"Kali ini aku tidak curang. Jadi, apakah kau menerima kemenanganku sekarang, Dervin?" tanya Dinda sambil duduk lagi kursinya.

Dervin mau tak mau mengangguk.

"Adik pintar," kata Dinda. Dervin menyipitkan matanya, lalu melipat tangan, dan menghela napas.

Melihat adiknya tidak menerima kekalahannya, Dinda menyemangati. Yang disemangati pura-pura semangat, padahal hatinya dongkol karena dia selalu memenangkan permainan itu, saat melawan Agatha, James, atau Raven.

"Ayo, kita bermain game yang lain!" ajak Dinda. Dervin yang mulanya bermuka keruh, kembali bersemangat dan menantang Dinda.

"Kali ini aku akan mengalahkanmu, Kakak," ucapnya.

"Buktikan kalau bisa." Dinda kembali meremehkan. Dervin berdecih, lalu memulai permainan barunya, dengan satunya tersambung ke komputer Yessy yang lain, dan komputer itulah yang sedang Dinda utak-atik.

~~~

Sekarang sudah tengah malam. Semua orang memperbolehkan Dinda untuk pulang. Dervin yang akan mengantarnya. Mereka memilih waktu yang tepat untuk memulangkan Dinda tanpa diketahui siapa yang telah mengantarnya.

Dibalik kata "boleh", Dervin tidak mengizinkan. Dia ingin kakaknya tetap di rumah Deadly dan bersama lagi seperti beberapa hari yang lalu. Tetapi, lagi-lagi, dia harus mengizinkannya. Toh, Dinda juga telah berjanji akan ke alun-alun kota di tanggal-tanggal yang telah ditentukan, tanpa penguntit sebagai jaminan.

Yessy mengembalikan ponsel Dinda yang disembunyikannya. Dinda mengambilnya, lalu mengeceknya, dan sebuah nomor terketik di kotak panggilan, membuatnya mendongak dan menatapnya, ingin meminta jawaban.

"Itu nomorku, Kakak." Bukan Yessy yang menjawab, tetapi Dervin. "Jika Kakak ada waktu, Kakak bisa meneleponku," sambungnya, berharap.

Mata Dinda berbinar. "Aku baru saja ingin menanyakan nomor teleponmu. Terima kasih!" ucapnya senang. Dervin hanya mengangguk.

"Sudah jam 1 pagi. Pulanglah! Sebelum teman-temanmu bangun dari tidurnya," suruh Agatha, menilik jam ruang keluarga. Entah kenapa kali ini suaranya memberat menyuruh gadis itu untuk pergi.

Dinda mengecek tas ranselnya, memastikan tidak ada yang kurang, dan sepertinya semuanya telah lengkap--termasuk permen Dinda yang diganti Nadia.

"Baiklah." Dinda mendongak. "Aku akan pulang."

Semua orang hanya merespon dengan kepala menunduk. Mereka sudah mulai akrab dengan Dinda, walaupun sebelumnya bermusuhan, tetapi setelah bertemu dengan Dervin dan dia juga tidak memberitahu kelompoknya kalau dia ada di rumah Deadly, membuat mereka seketika ingin berteman lebih akrab lagi.

Melihat respon mereka, terutama Nadia yang mulai terisak, Dinda memurungkan wajah. Dia menghampiri Nadia, mengangkat dan menangkup wajahnya, dan memperhatikan matanya yang berkaca-kaca.

"Kita tidak akan lama berpisah. Jangan sedih," bisik Dinda. Nadia menggeleng, membuat tangkupan Dinda terlepas, dan gadis itu memeluknya.

Semua orang langsung mendongak, menatap Nadia yang menangis di bahu Dinda. Dinda hanya diam mendengar isakannya, sedih saat gadis keterbelakangan mental itu tidak mau dirinya pergi.

"Sudah, Nadia. Dinda harus pergi." Yessy menarik perlahan Nadia untuk melepas pelukannya. Nadia melonggarkan pelukannya, lalu balik memeluk Yessy dan menumpahkan air matanya di bajunya.

Hati Dinda sesak. Dia tidak suka melihat seseorang menangis karena harus berpisah dengannya. Dan sepertinya, yang lain juga merasakan perasaan yang sama. Sepertinya tidak ada yang mau Dinda pulang.

Dinda baru saja ingin mengucapkan permohonan maaf, tetapi Agatha telah berbicara mendahuluinya. "Pergi saja! Kami tidak ingin mendengar kata-kata perpisahanmu."

Itu membuat Dinda menunduk. Ia pun berbalik tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi dan mulai berjalan meninggalkan mereka. Dervin yang ada di depannya meraih bahunya, mengelus pelan, sembari mengajaknya keluar.

Semua orang menatap Dinda sendu. Dinda sempat berbalik untuk menatap Nadia yang mengiringi kepergiannya dengan mata sembab, lalu berjalan lagi.

Dan tepat saat itu, komputer Yessy berbunyi. Yessy menoleh, lalu melepas pelukan Nadia dan menghampirinya.

Yessy menyalakan komputernya. Kamera pengawas yang dilengkapi sensor gerak, terletak pada jarak 500 meter dari rumah, memberi peringatan kalau ada seseorang yang mencurigakan pergi ke tempat mereka diam-diam.

"A-Agatha, kemarilah!" panggil Yessy. Jelas terlihat raut panik di wajahnya. Agatha segera menghampirinya, lalu terbelalak. Agatha langsung bergegas menghampiri Dinda dan Dervin yang sudah keluar dari rumah beberapa langkah.

"Berhenti!"

Dinda dan Dervin berhenti, lalu menoleh. "Ada apa?"

"Kembali ke sini!" suruh Agatha, mutlak. Dinda dan Dervin saling pandnag, lalu kembali ke dalam rumah.

Setelah berada di ambang pintu, Agatha menarik tangan mereka untuk masuk dan menutup pintunya.

"Apa-apaan, Agatha?" teriak Dinda, "Jika kau tidak mau aku pulang, bilang saja. Jangan menyentuhku," sambungnya dengan alis mencuram karena dirinya anti disentuh lawan jenis.

Tak menyahut, Agatha menempelkan telunjuk ke bibir. Lewat mata, dia memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mematikan lampu, mempersiapkan tempat sembunyi, dan senjata.

"Ada apa? Kenapa mendadak kalian bertingkah seperti ini?" tanya Dervin, menanyakan pertanyaan yang baru saja ingin Dinda tanyakan.

Agatha menerangi tangannya dengan senter setelah semua lampu mati. "Penyusup." Itulah arti dari bahasa isyarat tangannya.

Dervin dan Dinda terbelalak. Dinda dikagetkan saat seseorang menepuk bahunya.

"IIS. Mereka mencarimu." Suara Yessy terdengar.

"IIS? Bagaimana mereka tahu ada aku di sini?" tanya Dinda, setengah berbisik.

"Seseorang mungkin berhasil melacak sidik jarimu. Tetaplah berdiri di sini! Kami mempunyai urusan dengan Dervin."

Setelah itu, genggaman Dervin terlepas. Terdengar sayup-sayup suara langkahnya yang menjauh sebelum digantikan dengan keheningan.

"A-Agatha, di mana kau? Dervin?" seru Dinda, meraba udara. Tidak ada penerangan dan itu membuatnya beberapa kali menabrak dinding.

Karena hening, suara pelatuk yang ditekan terdengar lewat pintu. Dinda membelakangi asal suara, tidak berani menoleh, dan mengangkat tangan.

Dinda dapat mendengar detak jantungnya. Keringat dingin perlahan mengalir dan turun ke dagunya.

Brak!!!

"Angkat tangan!"

Dinda terlonjak kaget, tetapi tetap mempertahankan posisinya. Ia merasakan dinginnya udara menerpa punggungnya. Di belakang kepalanya, besi kecil menempel, siap mengakhiri hidupnya.

"Dinda?" Dinda melebarkan mata saat tahu siapa pemilik suara itu; Gozalez.

"Gozalez." Dinda balik menyapa. Ia memberanikan diri membalik badan dan melihat sekitar tiga orang berlapiskan bulletproof menurunkan senjata di depannya.

"Kau baik-baik saja, 'kan?" tanya Gozalez sambil memeriksa tubuhnya. Dinda mengangguk kikuk.

"Di mana Deadly?" Gozalez memberi isyarat tangan kalau Dinda sudah ditemukan. Dua rekannya yang ada di belakangnya memberi isyarat yang sama kepada kawan yang beberapa bersembunyi di belakang.

"A-Aku tidak tahu," jawab Dinda. Gozalez menyipitkan mata, lalu meraih tangan Dinda dan memperhatikan bekas ikatan yang membekas samar, dibantu dengan senter yang ada di senapannya.

"Masih ada mereka di sini," kata Gozalez, "Karl, bawa Dinda ke tempat aman! Daniel, ikut aku!"

Dua lelaki yang masing-masing memiliki tato ular di lehernya itu mengangguk. Seorang bertindik satu di hidung mengajak Dinda untuk pergi, dan seorang dengan wajah bersih dari benda kecil itu mengikuti Gozalez.

Gozalez dan Daniel mengarahkan senapan ke mana-mana, berjaga-jaga takut ada kemunculan musuh. Cahaya senter mengakibatkan ruangan bersinar sesaat, lalu sinarnya pindah ke lain titik dan ruangan itu kembali gelap.

Sampai di depan kamar Dervin, Gozalez mendengar suara kayu yang diinjak. Gozalez dan Daniel sontak mengarahkan senjata ke sana, lalu perlahan masuk dan menyinari ruangan dengan senter di senapan.

Saat senter sibuk menyapu ruangan, terlihat seorang lelaki berdiri sambil mengangkat tangannya. Gozalez dan Daniel mengangkat senternya ke wajah pemilik badan. Lelaki itu memasang wajah takut. Tak lama setelah itu, sebuah peluru melesat dan membuat Gozalez serta Daniel kaget.

Setelah melindungi diri dari peluru, Gozalez menoleh lagi ke arah lelaki tadi berada. Dia sudah menghilang, membuatnya beranggapan kalau dia adalah bagian dari tim lawan.

~~~

Hola!:D

Bagaimana? Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau kesalahan kepenulisan? Share aja di kolom komentar:D

Terima kasih sudah menunggu dan membaca!!^O^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top