15. Seseorang Mirip Dinda
Jam malam telah berakhir. Beberapa orang sudah pulang. Beberapa pedagang juga telah menutup dagangannya. Dan Franklin serta Kimberly sedang menuju ke lapangan parkir, ingin masuk ke dalam mobil.
Tas kain yang ada di tangan Kimberly penuh dengan baju. Sedangkan Franklin, dia hanya mengenggam satu botol minuman bersoda. Tangan satunya masuk ke dalam saku celana. Dia memasang wajah lelah, menemani perempuan berbelanja sangat menghabiskan tenaganya.
"Ah, baju-baju ini cantik sekali! Aku tidak sabar mencobanya di rumah," pekik Kimberly saat membuka tasnya. Baju yang dibelinya tidak banyak, tetapi memiliki warna yang cantik dan memukau jika dipakai.
Franklin hanya diam, tidak ingin menanggapi.
Kimberly maju terus ke arah mobil, sedangkan Franklin mendadak berhenti. Entah kenapa dia tidak ingin berjalan untuk sekarang dan memilih menatap ke sekeliling. Lapangan parkir sudah sepi, hanya tersisa beberapa mobil saja lagi. Sebagian sudah menyala, siap beranjak, sebelum pandangannya terhenti ke sebuah mobil van hitam yang familier.
Dua orang keluar dari area pasar malam dan menghampiri mobil itu, lalu membuka kuncinya, sebelum akhirnya masuk. Sejenak Franklin menatap salah satunya, berhijab, dan entah kenapa dia cukup mirip dengan Dinda.
Franklin ingin menghampirinya, tetapi mobil itu segera beranjak dari parkiran. Tidak terlihat bagaimana wajah mereka karena di tempat parkir, suasana sangat temaram.
"Franklin, mau pulang tidak?" seru Kimberly yang sudah masuk ke dalam mobil. Franklin tersentak, tertarik kembali ke dunia nyata setelah terdiam cukup lama seperti orang gila.
Franklin tidak menjawab, dia langsung bergegas masuk ke dalam mobil.
"Lama sekali. Apa yang kaulakukan di sana tadi?" tanya Kimberly setelah mesin menyala.
"Bukan urusanmu," sahut Franklin, mempertahankan kejudesannya. Kimberly mencuramkan alis, lalu membuang napas dan mengomel.
Mobil Franklin beranjak dari halaman parkir. Mereka mulai kembali ke apartemen.
Jalanan sudah sepi. Hanya beberapa mobil saja yang terlihat mengebut memecah keheningan malam.
Di perjalanan pun tidak ada pembicaraan. Kimberly sibuk dengan ponsel, Franklin sibuk dengan setir.
Di dalam pikirannya, Franklin merenungi gadis berhijab itu. Dia cukup mirip dengan Dinda, tetapi sebelumnya dia menggandeng seorang lelaki dan Dinda tidak begitu. Dinda ada seorang yang sangat menjaga tubuhnya untuk tidak dipegang oleh lelaki lain dan-terkadang juga-perempuan. Dan sebaliknya, dia juga menahan diri untuk menyentuh teman-temannya atau orang lain, terutama lawan jenis. Kecuali jika dalam keadaan terpaksa, baku hantam misalnya.
Franklin membelokkan setir ke arah kanan. Mobil van tenpat kedua 'sejoli' itu masuk mirip dengan mobil Deadly. Bahkan, mobil yang ada di masjid juga berwarna sama. Apakah itu mobilnya? Dan apakah lelaki yang digandeng si gadis merupakan anggota Deadly?
Jika itu Agatha, tidak mungkin. Jika itu James atau Raven, tidak sama. Lelaki itu berperawakan tinggi, rambutnya tersisir ke samping, dan memakai jaket kain.
Setelah berada di depan apartemen, Frankin menepikan mobil sebelum berhenti. Kimberly keluar setelah itu, lalu Franklin mengiringi, sambil memikirkan gadis itu yang entah kenapa karena berhijab, Franklin menganggapnya Dinda.
"Kalian ke mana saja? Lihat jam itu! Sudah pagi," omel Xin yang membukakan pintu. Yang lain berada di kamar masing-masing, tidur. Kimberly melirik jam, lalu mengibaskan tangan-menganggap itu sepele, sebelum memperlihatkan baju-baju yang dibelinya.
"Bajunya bagus-bagus di pasar malam. Sayang sekali kau tidak ikut," sindir Kimberly. Xin memajukan mulut.
"Bajuku sudah banyak," sahutnya, lalu menguap, "Aku mau tidur. Kita akan bertemu lagi nanti pagi."
Xin beranjak dari tempatnya dengan langkah gontai. Ia naik ke atas, ke kamarnya, meninggalkan Kimberly dan Franklin yang mulai menyusulnya.
"Terima kasih sudah menemaniku, Franklin," ucap Kimberly sebelum mereka berpisah. Franklin yang baru saja menyentuh kenop, mengangguk tanpa menoleh.
Kimberly langsung berpaling setelah mendapat respon. Dia pun naik ke atas, diiringi suara pintu kamar Franklin yang tertutup.
Franklin melepas mantelnya dan menggantungnya ke gantungan di belakang pintu. Ia berjalan ke arah kasurnya, membaringkan diri, lalu membuang napas lelah.
Diambilnya ponsel di dalam saku celana. Sudah jam 1 lewat lima belas menit. Jalan-jalan tadi memakan waktu yang sangat lama rupanya. Tidak peduli, Franklin memejamkan mata.
Gadis tadi menghantui otaknya, sesaat, lalu hilang ditelan mimpi.
~~~
Mobil van sudah terparkir di depan rumah. Dinda dan Dervin keluar dengan senyum terkembang, tetapi dengan wajah lelah. Mereka mengetuk pintu rumah sebelum terdengar suara kaki melangkah. Pintu terbuka, Agatha yang telah melakukannya.
"Kalian ke mana saja?" tanyanya dengan bulatan hitam di kedua matanya.
"Maaf, Kakak." Dervin dan Dinda masuk. "Pasar malamnya ramai sekali. Cukup banyak wahana permainan dan makanan. Kami akhirnya memutuskan untuk mencobanya."
Agatha menutup pintu, lalu menatap dingin, sambil mengeluarkan sebuah benda mirip dengan thermo gun. "Biar kuperiksa apakah ada sesuatu yang mencurigakan di baju kalian."
Dervin diam, mempersilakan, tetapi Dinda ragu. "Untuk apa? Tidak ada sampah di saku jaket atau celana kami," tanyanya.
"Di keramaian, siapa saja bisa menjadi mata-mata . Mereka bisa mengenali wajah tersangkanya, walaupun menyamar, dan mereka pasti telah menempelkan chip lokasi kepada kalian," jawab Agatha, "Mereka mengenal Dervin, tapi kau tidak. Jika chip itu ada di salah satu baju kalian, aku akan menghancurkannya karena aku tidak mau dipenjara. Jadi, diamlah!"
Dinda membuang napas, lalu merentangkan tangannya saat benda yang sering dijumpainya di IIS itu memindai tubuhnya.
"Kalian aman," kata Agatha kemudian. Dia menghela napas dan melewati mereka.
Dervin lalu mengajak Dinda untuk ke kamar. Dia sangat kelelahan dan ingin beristirahat.
Dinda pun mengangguk, lalu menyusulnya yang sudah melangkah kaki untuk beranjak.
Dinda berhenti sebentar saat menoleh ke ruang tamu. Komputer Yessy menyala dan Agatha duduk di depannya, memijit pelipis.
Dervin mengernyit. Dipanggilnya kakaknya itu, lalu Dinda menyahut, "Aku akan menyusul." Dan Dervin mengangguk.
Dinda menghampiri Agatha, membuat lelaki itu berhenti memijit pelipisnya dan menegakkan tubuh.
"Ada apa?"
"Kau tidak tidur?" tanya Dinda, berbasa-basi.
"Langsung ke inti," sahut Agatha, tidak mau membuang suaranya untuk membicarakan sesuatu yang sudah diketahui.
Dinda membuang napas. "Kenapa kau duduk di sini? Sambil memijit pelipis? Ada masalah?" Dinda mengarahkan mata ke layar komputer dengan satu titik yang kemarin ditemuinya.
"Entahlah," jawab Agatha, "Ada masalah dan masalah itu membuatku bingung."
Dinda mengerutkan dahi. "Bingung? Kenapa?" tanyanya ingin tahu.
Agatha menarik napas, lalu menghembuskannya. "Komputer Yessy disadap dan semua data tentang pengeboman itu sudah tidak ada."
Dinda tak dapat menyembunyikan ekspresi kagetnya. "Disadap!? Bagaimana bisa?"
Agatha mengendikkan bahu. "Sepertinya pihak pengebom tahu kalau kita sedang menyelidiki mereka. Mereka tidak mengizinkan kita untuk tahu kenapa Gordon berdiam lama di lift pagi tadi."
"Itu mengerikan," kata Dinda, bergidik, "Namun, bukan berarti Yessy tidak dapat meretas lagi, 'kan?"
Agatha mengangguk.
"Kami berhasil menemukan kalau setelah dipecat menjadi wakil walikota, Gordon menjadi pengawal pribadi salah satu menteri. Dia benar-benar bisa menutupi kesalahannya tanpa bergerak mencurigakan," sambungnya, "Pria itu sudah ahli melakukan tindak kriminal rupanya."
"Dasar!" umpat Dinda, "Aku menyesal mengenal pria itu," sambungnya dengan wajah kesal.
Agatha hanya diam. Dia memijit pelipisnya kembali.
"Jadi, apa rencananya setelah ini?"
Agatha membuang napas. "Yessy rencananya akan menyelidiki hotel yang dimasuki Gordon tadi pagi. Kemungkinan saja ada satu ruang rahasia yang terletak di lantai tertentu, tapi berada di belakang lift, dan mungkin karena itu juga dia tidak keluar dari lift sampai sepuluh menit."
Dinda mengangguk. "Kuharap berhasil tanpa disadap lagi."
"Itu tidak akan terjadi lagi. Yessy akan memindahkan data ke flashdisk-nya setelah selesai," sahut Agatha. Dinda menghela napas lega.
"Baiklah, kalau begitu aku tidur dulu." Dinda pamit. Dia berbalik dan pergi, tetapi berhenti dan menatap Agatha yang tidak merespon.
"Jangan lupa untuk beristirahat, Agatha," kata Dinda lagi. Agatha mendongak, menatapnya dengan mata memerah karena menahan kantuk, lalu tersenyum dan mengangguk menyakinkan.
Dinda pun pergi meninggalkannya setelah itu.
Agatha menatapnya yang tenggelam di kegelapan. Dia lalu menoleh ke arah komputer Yessy lagi dan mematikannya, lalu beranjak pergi ke kamarnya, setelah memikirkan kalau perkataan Dinda tadi ada benarnya.
~~~
Di waktu bersamaan, di InterContinental Willard, sebuah mini bar yang sepi, tiga orang duduk di atas kursi dan tak henti-hentinya tersenyum. Mereka berhasil meretas sebuah komputer dan melihat pemiliknya panik. Walaupun terjadi berjam-jam yang lalu, tetapi mereka tetap tersenyum geli. Semua file hasil retasan tergambar di layar mereka, berisikan rekaman, data, dan hal-hal lain yang menyangkut kasus pengeboman masjid yang terjadi tiga hari yang lalu.
"Dinda berurusan dengan orang yang salah, juga bekerjasama dengan orang yang salah pula," kekeh seorang gadis, salah satu dari dua lelaki yang masih sibuk memeriksa file.
"Apakah Dervin memang adiknya dari dulu?" tanya teman lelakinya, yang memperhatikan rekannya mengutak-atik.
Gadis itu mengangguk. "Aku membaca buku hariannya. Dan dari sanalah aku tahu kalau dia lahir tanpa memiliki ayah."
"Siapa? Si Anak Jalang itu?" Temannya yang mengutak-atik angkat bicara.
Dia hanya mengangguk.
"Wah, konspirasi baru!" seru yang satunya, girang, "Kita harus memberitahu semua orang kalau dia tidak mempunyai ayah kandung."
"Jangan itu," tolak si gadis, "Yang lain."
"Yang lain yang mana, Bella?" tanya si pengetik, mengernyit.
Bella tersenyum miring. "Gadis pembela teroris," jawabnya.
Mulanya mereka tidak mengerti, tetapi setelah mengingat kembali rencana mereka, mereka paham.
"Ah, bagus sekali. Semua orang akan membencinya setelah itu," puji teman-temannya. Bella Porchia hanya tersenyum.
"Sekarang sudah pagi. Ayo, tidur! Besok kita mempunyai tugas," ajaknya setelahnya. Kedua lelaki itu mengangguk, lalu membereskan meja, dan pergi ke salah satu kamar hotel lewat lift.
Di dalam lift, Bella tak henti-hentinya tersenyum. Besok pagi adalah permainan perdananya, dan dia tidak sabar melakukannya.
~~~
Hola!
Apakah ada kesan, pesan, kritik, saran, atau komentar tentang kesalahan kepenulisan? Share saja di bawah.
Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top