13. Jalan-Jalan

Sudah dua hari Dinda berada di rumah Agatha. Karena dia adalah gadis yang aktif, berdiam di rumah beberapa hari akan membuatnya suntuk. Biasanya di jam-jam sore seperti ini, Dinda sedang berada di kantin untuk memakan cemilan-jika tidak lembur. Terkadang, dia duduk-duduk di tangga darurat kantor untuk menikmati kopi.

Seperti saat ini. Dinda begitu bosan di tengah-tengah Nadia yang berteriak girang. James dan yang lain menemaninya. Gadis itu bermain kejar-kejaran bersama Dervin dan James.

Agatha dan Raven duduk di atas tanah. Sesekali berbincang sambil memperhatikan mereka bertiga. Yessy duduk di sebelah Dinda, sibuk mendengarkan musik. Walaupun memakai earphone, volume yang keras membuat lagu yang diputarnya terdengar oleh Dinda.

Dinda entah kenapa merindukan teman-temannya. Sudah dua hari dia tidak ada kabar dan mereka pasti khawatir. Dinda ingin bilang kalau ia ingin pulang, tetapi Dervin pasti tidak mau. Dua hari saja mana cukup untuk memuaskan rasa rindu akibat tidak bertatap muka bertahun-tahun.

Dinda sangat ingin menelepon Franklin dan mengatakan kalau dia baik-baik saja, tetapi sayang ponselnya dilengkapi chip lokasi sehingga dia akan tahu di mana dirinya, dan itu merupakan malapetaka untuk Deadly.

Tentang Deadly, Dinda mengutuk siapapun dalang dibalik ketenangan hidup mereka. Yessy sebenarnya bukan pelaku kekerasan seksual, dia korban. James dipaksa oleh pamannya membuat uang palsu, sekarang pamannya itu hidup kaya raya dan melupakan pengorbanannya. Nadia memang gadis yang keluar dari rumah sakit jiwa, tetapi semua itu terjadi karena kekerasan mental keluarganya. Raven memberontak karena paksaan seseorang di IIS yang masih bekerja dan dia tidak mau memberitahu Dinda saat ia menanyakannya.

"Siapa orang itu? Biar kulaporkan! Aku akan mencari bukti dan menyamarkan namamu," Dinda berucap, menyakinkan Raven kalau ia bisa membantu.

"Maaf, Dinda. Dia berkorban banyak untukku. Melaporkannya karena satu kesalahan berarti aku tidak membalas budi baiknya," tolak Raven.

Begitulah akhirnya. Raven membiarkan Dinda tenggelam beberapa menit mencari jawaban dan entah kenapa, mengingat Bella pernah berhubungan dengan Raven membuatnya menebak kalau gadis itulah yang memaksanya.

Setelah itu, pikiran Dinda kosong lagi. Dia mengumpat dalam hati karena tidak bisa berpikir untuk yang kesekian kali demi mengusir kebosanan.

"Kena! Hore!" Nadia berteriak girang lagi, "Kau jaga!" serunya senang.

Dervin mencuramkan alis. "Bukankah tidak kena? Seharusnya kau yang jaga, Kak Nadia!" Dia mulai membela diri.

"Aku tidak peduli," sahut Nadia, "Kau jaga!"

"Baiklah jika itu maumu!" Dervin segera beranjak untuk mengejar Nadia yang melesat bersama James.

Dinda tersenyum kecil melihat adiknya. Dia sama seperti masih kecil. Dan tentang kecil, Dinda berpikir lagi. Dia sungguh merindukan masa kecilnya saat ibunya, Papa, dan Dervin berkumpul.

Dinda menepis pemikirannya itu. Yang lalu biarlah berlalu.

Beberapa menit setelahnya, Nadia mengeluh lelah dan akhirnya mengakhiri permainan. Dervin dan James hanya ikut. Mereka juga sudah kelelahan karena mengejar gadis gesit itu. Mereka duduk di tanah sambil menikmati angin hutan yang sekali-kali berhembus nyaman.

"Melamun terus, Dinda," seru James saat melihat Dinda yang sedang menatap kosong ke bawah.

Dinda menatapnya gelagapan. "Melamun? Tidak, aku memikirkan teman-temanku yang mungkin sedang khawatir karena kehilanganku," sahutnya.

"Mencurigakan." James menyandarkan badannya ke bodi mobil. "Jika kau mengira aku tidak tahu, maka kau salah, Dinda."

Dinda mendengus. "Memangnya, kau tahu kenapa aku menatap kosong tanah di bawah, huh?" giliran Dinda bertanya.

James diam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Dinda terkekeh kecil. "Sok pintar," ejeknya.

"Hei!" James mencuramkan alis, tidak terima diejek.

"Sudah. Sekarang waktunya bersantai, bukan waktunya adu mulut." Agatha mengakhiri. Dia sedang malas mendengar peraduan mulut untuk saat ini.

Dinda dan James diam. Tidak ada percakapan lagi, alias hening, sampai saatnya mereka semua harus mandi sore.

"Aku yang pertama!" seru Nadia.

"Bukankah kau sudah kemarin?" tanya Raven sambil mengernyit.

"Siapa cepat dia dapat." Nadia menjulurkan lidah sejenak-menantang dan berlari kencang ke dalam rumah.

"Nadia, ini giliran kami!" James, Dervin, dan Raven bergegas mengejarnya, ingin memberhentikannya agar mereka bisa masuk terlebih dahulu ke kamar mandi. Toh, mereka mandinya tidak sampai lima menit.

Dinda menggeleng melihat tingkah laku mereka. Agatha dan Yessy tersenyum dan masuk bersama Dinda ke dalam rumah.

~~~

Selesai makan malam, semua orang berada di ruang keluarga. Dinda tidak ingin ikut menyelidiki Gordon bersama Yessy seperti biasanya. Mendadak dia ingin tidur saja. Namun, matanya tidak mengantuk, dan itu membuatnya kembali suntuk.

Dervin sedang bersamanya sekarang, ingin mengajaknya jalan-jalan. Namun, ia belum membicarakannya.

"Katakan apa yang ingin kau katakan, Dervin," suruh Dinda yang diam-diam memperhatikan adiknya yang gelisah. Dervin cukup kaget mendengar suara kakaknya, sebelum membuang napas dan mengatakannya.

"Aku ingin mengajak Kakak jalan-jalan. Ada pasar malam di alun-alun kota," kata Dervin.

"Jalan-jalan?" Dinda kaget. "Katamu kau buronan, kenapa ingin jalan-jalan?" tanyanya.

"Aku bosan. Tenang saja, aku bisa menyamar." Dervin mengangkat dua kali alisnya ke atas.

Dinda walaupun mendatarkan wajah, dia sebenarnya ingin. Namun, apakah penyamarannya tidak akan diketahui? Mengingat kabarnya polisi sedang mengadakan pencarian pengebom masjid Islamic Center besar-besaran.

"Apakah penyamaranmu tidak akan diketahui?" tanya Dinda, memastikan. Dervin membuang napas, lalu menyisir rambut berantakannya ke samping dengan tangan dan mengambil jaket kain Dinda di dalam lemari.

Dervin memakai jaket itu dan kacamatanya. Dinda melebarkan mata melihat Dervin yang ... tidak berubah banyak, tetapi cukup menyakinkan kalau dia tidak akan ketahuan menyamar.

"Kau sangat tampan," puji Dinda dengan mata menyipit dan sudut bibir tertarik ke kanan. Pipi Dervin memanas, ia menunduk sambil tersenyum malu.

"Sepertinya aku juga harus menyamar." Dinda bangkit dan mengambil jaket Dervin, lalu memakainya. Ia tidak banyak berubah, tetapi dia tetap berbeda. "Di mana ada pasar malam, di situ ada Kim."

Dervin terkekeh kecil. Ia tahu siapa seorang bernama Kim itu, yaitu Kimberly, rekan kerjanya.

"Jadi, kita pergi sekarang?" tanya Dervin.

"Se-Sekarang? Eh!"

Tak mau mendengar kata-kata Dinda yang akan terucap, Dervin menarik tangannya dan melesat keluar dari kamarnya, lalu meraih kunci mobil dekat dengan keluarga.

"Dervin, kau mau ke mana?" tanya Agatha yang tahu dia akan keluar.

"Jalan-jalan. Sebentar saja," pinta Dervin sambil menyatukan kedua telapaknya yang satunya masih menggenggam tangan Dinda.

Agatha membuang napas. Ia khawatir anak itu ditangkap. Namun, melihat penyamarannya yang nyaris tidak dapat dikenali sebagai Dervin, membuat Agatha mengendikkan bahu dan memperbolehkan.

"Baiklah. Aku akan mengizinkanmu kali ini," sahut Agatha, "Tapi, sebelum tengah malam kau harus pulang. Jika ada apa-apa, telepon saja kami."

Dervin mengangguk. Setelah berterima kasih, ia langsung menarik tangan kakaknya kembali untuk ke mobil.

"Anak yang antusias." Agatha menggeleng. Semua orang yang melihat dan tadi mendengar percakapannya dengan Dervin, terkekeh.

Setelah sampai di samping mobil, mereka berpisah. Dervin di kursi kemudi dan Dinda di sampingnya. Ia memutar kunci dan setelah mesinnya menyala, Dervin menginjak pelan gasnya. Mobil perlahan maju dan meninggalkan rumah, masuk ke dalam rimbunnya pohon, lalu keluar lagi di jalan raya sepi yang dipadukan dengan indahnya sungai Michigan.

~~~

"Kudengar ada pasar malam," kata Kimberly tiba-tiba. Ia sedang bermain ponselnya sambil duduk ke atas sofa.

"Kenapa? Kau ingin ke sana?" tanya Franklin. Kimberly mengangguk.

"Aku tidak ikut jika kau pergi." Leo mengangkat tangan sambil memainkan play station-nya. Zack mengangguk sekali, juga tidak ikut.

"Kau? Xin?" Xin menggeleng.

"Antarkan aku, kumohon," pinta Kimberly kepada Franklin. Franklin mendengus. Ia tidak mau.

"Sekali saja," pintanya lagi. Franklin tidak suka dengan pasar malam, tetapi menyadari kalau membiarkan Kimberly sendirian sama dengan menantang maut, ia terpaksa. Sebenarnya, ia tidak akan ke mana-mana tanpa Dinda.

"Baiklah, aku hanya akan mengantarmu. Aku menunggu di mobil dan silakan bersenang-senang di sana," sahut Franklin sambil mengambil mantel dan kunci mobilnya.

"Kau harus ikut!" Kimberly menatapnya tidak mau.

Franklin membuang napas, lalu menoleh kepadanya. "Memangnya apa yang mau kaulakukan di sana?" tanyanya sedikit kesal.

"Membeli baju," jawab Kimberly.

Franklin menyipitkan mata, malas. Namun, ketiga temannya menatapnya tajam, menyuruh untuk menemani Kimberly di pasar malam karena mereka tidak mau mendengar omelannya dari malam sampai pagi.

"Baiklah, baiklah! Siapkan dirimu! Kita berangkat sekarang." Franklin ke luar terlebih dahulu untuk menyalakan mobil. Kimberly yang duduk di sofa, bangkit lagi dan melesat ke kamarnya di lantai atas, lalu ke luar dengan mantel tebal dan sebuah dompet.

Kimberly masuk ke mobil dan menatap Franklin, memberi isyarat kalau mobilnya sudah bisa dimajukan. Franklin menghela napas, lalu menginjak gas sedikit kuat, membuat Kimberly terhuyung ke depan dan nyaris membentur bagian depan mobil.

"Apa masalahmu, Franklin!?" Kimberly tak bisa menyembunyikan nada marahnya.

"Sabuk pengamanmu belum dipasang," jawab Franklin, datar. Kimberly melihat ke arah sabuk pengamannya, lalu terkekeh kecil dan meraihnya.

"Maaf, aku lupa," katanya sambil memasang sabuknya itu. Franklin menginjak gas perlahan, lalu menyahut, "Lupa saja terus."

Kimberly mencuramkan alis. Ia menatap ke luar mobil sambil memeluk dompet mahalnya.

Jalannya sedang ramai sekarang. Mungkin karena malam minggu. Franklin harus hati-hati. Biasanya, di saat-saat seperti ini pasti ada acara kebut-kebutan.

Dan benar saja, ada sebuah mobil mewah melaju melewatinya. Franklin ingin sekali balapan dengannya, tetapi mengingat dirinya membawa perempuan, ia mengurungkan.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di alun-alun kota. Pasar malam sudah ramai dengan pengunjung yang rata-rata membawa pasangannya.

Franklin mendengus karena tahu kenapa Kimberly ingin dia ikut masuk ke sana. Kimberly iri dan tidak ingin sendirian di sana, dia juga ingin berpasangan, bersama Franklin.

Franklin mau tak mau mengikutinya. Ia pun keluar, menyusulnya, lalu berjalan beriringan masuk ke sana.

~~~

Hola!:D

Apakah ada kesan, pesan, kritik, atau saran? Share aja di kolom komentar:) Tenang saja.

Aku lebih dari sibuk. Jadi ... maklumi.

Terima kasih sudah menunggu dan membaca!^O^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top